ĈĤĂPŤÊŘ [ 15 ]
***
Matahari sudah tampak di ubun-ubun, Luna duduk di pondok yang berada di antara perkebunan teh, kakinya mengayun di udara sambil melihat ponselnya yang sedari tadi layarnya ia gulir untuk mencari informasi. Ruka berhenti pada halaman pencarian yang memperlihatkan gambar hitam putih seorang pria dengan tinggi 180 cm berdiri di depan sumur sambil memegang satu pot tanaman yang entah apa namanya. Luna mengenali tempat foto itu, ia kemudian melihat nama Arnold Januar yang merupakan seorang ahli kimia berdarah Jerman dan Indonesia.
"Ketemu," gumam Luna. Rasa penasarannya terhadap sumur permohonan dan rumah tua itu membuatnya berusaha mencari semua hal yang bersangkutan.
Namun Luna tampaknya kecewa karena jarang sekali artikel berita yang membahas ini. Hanya tertulis bahwa Arnold tewas bersama istrinya dan meninggalkan putrinya yang bahkan tak disebutkan penyebab dan nama putrinya. Bahkan jika ia mencari lebih hanya akan menemukan laman kosong yang membuat dirinya menyerah. Luna membuang napas, harusnya ia berada di kamarnya sekarang menikmati kipas angin dan kasurnya yang empuk. Tetapi Luna masih marah pada Darman, ia juga tidak puas akan jawabanya ayahnya waktu itu. Luna merasa ayahnya memang sengaja membiarkan ia melupakan tentang Lana.
"Andai Ruka masih di sini." Luna membuka tas kecil yang ia bawa, mengeluarkan air mineral dan meneguknya.
Ibunya yang lambat laun bisa berbicara malah membuat Luna merasa tidak tenang. Padahal ia sendiri yang menginginkan Laura sembuh.
"Jika benar sumur itu mengabulkan apa yang aku minta. Bagaimana jika aku meminta Lana dihidupkan," monolog Luna lalu menggelengkan kepala.
Sekarang sumur itu seperti membawa harapan pada Luna. Gadis itu menolak sadar atas apa yang disaksikan dan ia rasakan setelah meminta pada sumur itu.
Luna merasakan gatal-gatal pada kulitnya yang sekarang terlihat merah. Luna meringis saat tidak sengaja mencakar kulitnya. Diam sambil mnutup mata mengingatkannya pada ponsel Ruka waktu itu. Ia baru ingat kalau ponselnya dan ponsel Ruka itu terhubung melalui aplikasi yang menunjukkan tempat berbagi lokasi. Luna turun dari pondok itu, mengecek kembali di mana Ruka terakhir berada.
Luna hampir memekik saat aplikasi itu masih bisa memberi infromasi tentang keberadaan terakhir Ruka. Saat melihatnya semakin dekat, Luna malah menemukan tempat terakhir Ruka tak jauh dari rumahnta sendiri.
Luna bergegas kembali menyusuri jalan setapak dengan sedikit tergesa-gesa. Ia mengikuti titik terakhir ponsel Ruka yang ternyata berada 20 meter sebelum berdiri di halaman rumah Luna. Dilanda kebingungan, Luna berinisiatif mencari ponsel itu di semak-semak namun tak kunjung ia temukan. Apa sudah ada orang yang mengambilnya hingga sehari yang lalu masih terhubung saat Luna meneleponnya.
Karena merasa lelah, Luna kembali ke rumah dan melihat Darman di kursi santai depan rumah tertidur pulas. Pria itu menunggu aputirnya kembali. Mendengar suara sendal Luna yang tak sengaja menendang kaki meja kecil karena memperhatikan Darman.
"Sudah balik, Nak," ucap Darman memeluk Luna dan berkata, "maafkan, Ayah."
Luna yang tak tega melihat Darman seperti ini membuatnya mengangguk memaafkan. Luna memperhatikan wajah Darman yang tampak kelelahan. Lingkar matanya semakin kelihatan. Apa lagi Laura selalu terbangun tengah malam dan mengamuk tak jelas. Luna terlihat gusar dan tangannya refleks menepuk bahu ayahnya yang kini terlihat menyunggingkan senyuman.
***
Luna yang baru saja dari gudang tempat ayahnya menaruh perkakas dan barang-barang yang tidak terpakai namun terlihat msih bagus itu melihat sebuah celana yang ia sendiri tak pernah melihat Darman mengenakannya, Luna yakin pernah melihat celana itu tetapi bukan di rumah namun di tempat lain. Lamunan Luna terpecah saat Darman menghampirinya dan mengambil cangkul dari tangan Luna.
"Biar Ayah saja, kamu pergi temani ibumu saja di kamar," suruh Darman yang kemudian langsung diiyakan oleh putrinya.
Luna melihat Laura menatap dinding di hadapannya, lalu secara mendadak Layra menatap putrinya dari pantulan cermin.
"Lana," panggil Laura, rasanya Luna ingin protes jika ibunya terus-terusan memanggilnya dengan nama Lana. Sedikit aneh di lidah Luna jika menyebutkan Lana dan mengingat ternyata ia punya saudara kembar.
Luna mendekati Laura yang kini menghadoo padanya. Gadis itu langsung memeluk Laura dan tak disangka Laura membalas pelukannya. Ini membuat sudut bibir Luna naik dan memeluk semakin erat. Tetapi Luna juga merasa jika ibunya ini sering berubah-ubah terhadap tingkah lakunya.
Melepas pelukannya, Luna mematap sekeliling dinding kamar yang semakin menghitam. Wallpaper dinding itu tampaknya semakin buruk saja.
"Ibu takut," ucap Laura yang membuat Luna kebingungan. Tetapi melihat manik mata Laura yang serius dan berulang kali menggigit bibirnya, Luna tahu ibunya benar-benar merasakan apa yang wanita itu ucapkan.
Laura menunjuk dinding kamarnya dan beralih ke langit-langit kamar. Luna mwmicingkan mata dan menyadari ada jejak kaki di langit-langit kamar. Kalau dipikir tidak mungkin seseorang bisa menapakkan kaki di atas sana.
Luna berdiri dan ingin memperbaiki wallpaper dinding yang terlepas dari lemmnya namun baru beberapa langkah Laura menarik kembali tangan Luna untuk duduk.
"Jangan," kata Laura disertai gelengan kepala.
Luna memegang tangan Laura dan menyapunya dengan lembut. Entah kenapa sikap ibunya ini membuat Luna senakin penasaran.
Selain kecelakaan, apalagi yang mereka sembunyikan, batin Luna yang menuntun ibunya untuk merebahkan badannya di kasur dan juga dirinya. Untuk pertama kali dari sekian lama Luna tidur di sebelah ibunya, walau sore hari seperti ini bukan jam yang pas untuk rebahan. Pikiran Luna menerawang hingga tuda terasa ia ikut terlelap setelah ia mendengar bisikan di telinga kanannya yang menyuruhnya untuk tidur. Laura bersenandung beberapa menit namun saat Darman masuk ke kamar ia terdiam.
Laura menatap Darman yang telah hidup bersamanya selama 22 tahun. Pria dihadapnnya itu tersenyum tetapi hanya di balas dengan diamnya Laura.
Darman akhirnya keluar setelah memberi lem pada walpaper dinding yang tadi Luna pegang.
***
Luna terdiam setelah bangun dari tidurnya, melihat Laura tertidur lelap. Luna mengulurkan tangan pada surai Laura namun terkejut saat mendapatkan rambut ibunya itu sangat rapuh dan mudah rontok.
Luna membuka jendelan dan membuang rambut yang ia pegang. Sudah hampir magrib, Luna malah melihat ayahnya sedang memetik bunga rosella.
"Sumur."
Luba menoleh pada ibunya yang baru saja berbicara. Menyadari Laura mengigau Luna menghamliri Laura.
"Pergi!" teriak Laura yang masih memejamkan mata. Teriakan yang cukup nyaring.
"Mati."
"Pergi."
"Kembali."
Tiga kalimat yang diucapkan Laura membuat Luna terdiam. Mimpi apa yang dialami Laura hingga ibunya itu mengatakan hal-hal yang aneh menurut Luna.
"Meraka kembali."
Ucapan terakhir itu menjadi tanda tanya besar di kepala.
***"
Jangan lupa untuk vote, komen, kritik dan saran juga boleh bestieee. Terima kasih 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top