ĈĤĂPŤÊŘ [ 14 ]
***
Bisikan lirih merayap di dinding-dinding kamar, membangunkan Luna dari tidur lelapnya. Suara itu samar, seperti napas seseorang yang terengah-engah, namun jelas mengusik ketenangan malam. Luna meraih botol air di nakas, rasa kering di tenggorokan membuatnya sulit menelan ludah. Namun, bukannya semakin lega, ia malah merasa tenggorokannya seperti ditusuk jarum-jarum kecil. Teriakannya tertahan, kakinya menegang dan tubuhnya menjadi kaku, bersamaan dari itu muncul gumpalan berwarna merah kehitaman dari dalam mulutnya. Ia memuntahkan benda berlendir yang membasahi kasurnya. Ketakutan mencengkramnya, tangannya gemetar. Tubuhnya seolah-olah kembali merasakan tenaga, ia bernapas lega menatap kamarnya yang diliputi kegelapan, hanya kilau lemah yang berasal dari lampu tidurnya. Sekilas ia bisa melihat bayangan yang berdiri dekat pintunya.
Lambat laun bayangan itu seolah bergerak mendekatinya. Luna terdiam, ia menarik napas saat wajah sosok itu berada tepat di atas wajahnya, hanya berjarak beberapa sentimeter saja. Mata Luna memerah, tubuhnya tak berhenti bergetar hingga sosok itu menghilang bersama dengan ketukan di jendela kamarnya.
Luna menatap jendela tersebut, ia kemudian menyalakan lampu kamar hingga Luna bisa melihat setiap sudut kamarnya. Luna pikir ia tak akan tidur lagi dalam kegelapan. Luna sandar pada kepala ranjangnya, melilit tubuhnya dengan selimut. Ingin rasanya berteriak memanggil Darman tetapi ka mengurungkan niatnya itu. Ia sendiri bingung apa yang terjadi pada dirinya.
Kematian Ruka, Rita, dan menghilangnya Dion membuatnya semakin kepikiran. Mata cekung berwarna gelapnya itu mulai lelah. Yang Luna yakin malam ini ialah ia tak akan tidur sampai sang fajar menyambutnya.
Tiba-tiba terdengar suara kotak musik menyandungkan melodi indah pengantar tidur. Luna bersiap-siap melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Tangannya yang ia kepal kuat-kuat berkeringat di bawah selimut. Beberapa helai rambutnya terlihat basah dan menempel di dahinya. Lampu kamarnya berkedip, ia menatap cermin sebahu yang teroasang di dinding kamarnya. Ia melihat pantulan dirinya yang tersenyum walau Luna sama sekali tak tersenyum menatap cermin tersebut.
Tak terduga, pantulan cermin itu bergerak.
"Tolong aku," lirih sosok di dalam cermin yang Luna sadari itu adalah Lana.
"Temukan aku, " kata Lana lalu tiba-tiba ia menghilang.
Langkah kaki terdengar dari luar kamar. Bukan seperti langkah kaki seperti biasanya tetapi langkah seseorang yang sedang menarik beban pada kakinya, terseok-seok. Luna tampak menunggu kenop pintunya terbuka. Luna memukul kepalanya sendiri karena baru teringat ia selalu lupa untuk mengunci pintunya.
Hening. Tak ada lagi suara selain pintu Luna yang terbuka. Luna menyaksikan seseorang masuk ke kamarnya sambil memegang sesuatu yang tambak sedikit berat.
"Ibu," panggil Luna yang terkejut menatap Laura dengan wajah tanpa ekspresi.
Laura berjalan mendekat pada putrinya. Plastik merah itu mengeluarkan bau amis yang menyengat. Luna menyadari satu hal kalau Laura sekarang bisa berjalan meski cara jalannya terlihat aneh dan tidak normal.
"Kembalikan aku," kata Laura.
Setelah itu Luna berteriak melihat Laura tersenyum tanpa kilau di matanya. Darman bergegas msuk dan keterkejutannya melihat Laura berjalan membuatnya hampir terjungkal.
Laura menolah menatap Darman, tatapan itu sulit diartikan. Darman langsung meraih Laura dan memeluknya dengan erat. Tak ada pemberontakan yang Laura lakukan melainkan ia terdiam begitu saja. Tak berselang lama Laura kembali ke kamarnya bersama Darman meninggalkan Luna yang terdiam. Malam itu ia benar-benar tak bisa memejamkan matanya.
***
Samar-samar saat sarapan Luna merasakan sakit di kepalanya, perubahan kondisi Luna yang tak sehat membuat Darman menatapnya dengan iba. Pria itu masih berpikir alasan Luna bersedih adalah perihal Ruka.
Laura duduk di samping Darman yang sedang menyuapinya. Luna sesekali bertatap mata pada Laura, tetapi gadis itu selalu mengakhiri tatapannya dengan cepat. Entah mengapa melihat ibunya sekarang mmembuatnya sedikit takut.
Hanya suara dentingan sendok yang beradu dengan piring kaca yang terdengar dari arah dapur. Mereka seperti sibuk dengan pikirannya masing-masing. Tak ada yang mau memulai pembicaraan hingga makanan di atas meja yang dimasak Darman pagi-pagi sekali itu hanya dimakan setengahnya saja.
"Apakah Lana saudari kembarku?" tanya Luna, sebenarnya itu bukan lagi pertanyaan tetapi pernyataan yang harus mendapat penjelasan dari Darman.
Darman yang tadinya ingin beridiri dari duduk kini duduk kembali, tatapannya begitu tajam, dahinya mengerut tanda ia berpikir terlalu keras. Sebelum Darman bercerita ia menghela napas panjang.
"Kamu ingat?" kata Darman. Luna kemudian mencerca ayahnya dengan sejumlah pertanyaan.
Darman kemudian menceritakan tentang Lana. Tadinya Luna berpikir kalau ayahnya akan menolak menceritakan Lana.
Luna masih heran kenapa ingatannya tentang keluarganya dulu tak membekas di kepalanya seperti dulu. Ia sekarang lebih takut karena kenangan-kenangan yang mungkin saja sangat indah kini menghilang dari kepalanya.
3 bulan lalu setelah terjadi kecelakaan.
Luna terbaring lemah dengan luka sobek di bagian kepala belakangnya sedangkan Lana lehernya tertusuk sebuah besi dan ikon yang menari dalam kotak musiknya. Sehari setelah hal tersebut, Lana akhirnya meninggal bukan karena kritis akibat kecelakaan tetapi sebuah kesengajaan untuk meleyapkan Lana. Darman yang tahu putrinya itu meninggal menangis begitu histeris di lorong rumah sakit yang mulai terasa sunyi. Dari sekian luka yang di dapat anggota keluarganya hanya Darman lah yang mengalami luka paling ringan, meski tangan kanannya patah.
Luna tersadar dari tidurnya, seluruh tubuhnya terasa begitu sakit. Beberapa luka lebam di bagian paha, wajah, dan perutnya. Tetapi ia sama sekali tak bisa mengingat samar kejadian tersebut. Ia tampak kebingungan kala dokter itu mengatakan kalau Luna akan melupakan hal tersebut karena benturan pada kepalanyan. Untuk penyembuhannya hanya butuh waktu yang entah sampai kapan.
Laura yang berada di ranjang pasien juga mengalami masa kritis yang membuat Darman benar-benar ketakutan. Ia kemudian menelepon temannya untuk mengantarnya ke suatu tempat.
Tempat yang seharusnya ia datangi sebelum Lana meninggal.
Setelah menaruh ponselnya di saku, Darman duduk di kursi rumah sakit sambil bergumam tak jelas. Pria itu menyalahkan dirinya yang memang tak berhati-hati dan tidak fokus untuk berkendara.
Flashback off
"Di mana kuburan Lana?"
Pertanyaan itu membuat Darman menutup mulutnya rapat-rapat hingga Luna mengulang beberapa kali pertanyaan yang sama sampai Darman membuka mulutnya.
"Lana dikuburkan di bukit teh di bawah pohon sengon," jawab Darman lalu bergegas dari duduknya. Laura juga ikut dengan suaminya tersebut.
"Mengapa Ayah menyembunyikan hal seperti ini padaku." Luna sedikit marah akan ayahnya yang ternyata tak terbuka tentang Lana padanya. Padahal Luna beranggapan kalau hal ini harusnya diberi tahu pada ia setelah siuman kala itu, yang disebabkan kecelakaan.
"Mengapa!"
***
Jangan lupa untuk vote dan komen. Boleh kritik dan sarannya kawan-kawanku semua
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top