ĈĤĂPŤÊŘ [ 1 ]
***
'Tidurlah lebih awal'
Pesan singkat yang membuat ia melempar ponselnya ke atas kasur dan melepas headseat dengan kasar. Barulah ia menoleh mendengarkan suara yang diredam headseat, 20 menit yang lalu.
Angin disertai hujan deras di luar sana membuat suasana semakin sejuk di dalam rumah. Udara dingin menyusup masuk melalui celah-celah jendela yang tak tertutup rapat. Seorang gadis duduk merenung dekat jendela, menarik dan membungkus dirinya dengan selimut tebal sambil memandang ke arah luar. Melihat tetes hujan yang mengalir ke jendela kacanya. Lampu kamar keemasan yang memancar menembus kaca bergelombang pada jendela. Sesekali ia terdiam menatap lampu jalan menuju bukit perkebunan teh yang berkedip berulang kali secara bergantian. Mungkin karena cuaca saat ini membuat aliran listrik sedikit terganggu. Di luar sana angin malam berembus cukup kencang hingga ia kadang tersentak karena ranting dari pohon dekat kamarnya itu mengetuk jendela seperti menciptakan suara mencekam yang membuat bulu kuduk meremang.
Jendela yang memang sengaja dihadapkan pada perkebunan teh agar saat bangun di pagi hari mata terasa segar menatap hamparan hijau di luar sana. Namun, saat malam itu sedikit membuat gadis tersebut gelisah dengan jendela yang besar tepat di sebelah kasurnya. Ia bergeser dan semakin dekat dengan jendela, meletakkan kedua tangan pada permukaan kaca yang terasa dingin lalu menangkupkan wajahnya agar bisa menatap keadaan di luar sana lebih jelas. Dari lantai dua rumahnya ia menatap ke bawah pada lampu jalan yang terlihat berkedip lagi. Walau hujan semakin deras dan menghalangi pandangannya tapi ia sekilas melihat siluet yang aneh berdiri di bawah lampu jalan.
Orang bodoh mana yang mau berdiri di bawah hujan deras malam ini, batin gadis itu. Tadinya ia ingin membuka jendela tapi mendengar suara derap kaki menaiki anak tangga membuatnya terdiam dan menoleh menatap—menunggu siapa yang akan mengetuk pintu kamarnya yang tak ia kunci. Gadis itu yakin mendengar salah satu anak tangga yang memang berderit saat diinjak. Entah kenapa ia semakin merasa gelisah. Gadis itu kembali menatap ke arah yang sama di mana ia melihat siluet tadi tetapi hal itu tak ada lagi. Kini ia merasa ada yang ganjil. Jantungnya berdegup kencang. Ia segera melepas selimutnya dan turun dari kasur dengan tergesa-gesa sampai tak sadar kakinya menendang ponselnya hingga jatuh ke lantai. Bersamaan dengan tangannya yang menyentuh gagang pintu dari arah luar ada seseorang yang membuka pintunya. Ia tersentak, seakan jantungnya hampir saja melompat dari dada. Melihat seorang pria jangkung menggunakan kaus putih dan celana pendek di bawah lutut membawa semangkuk mi rebus dengan tangan kanannya. Gadis itu mengatur ritme napasnya.
"Ini makan dulu," ucap pria itu dengan senyum samar di wajah, ayahnya, Darman. Rasa lega langsung menggantikan ketakutan gadis itu. Ia tersenyum kecut merasa konyol membiarkan imajinasi liar menguasai dirinya beberapa menit yang lalu.
"Ayah repot-repot segala. Luna kan bisa buat sendiri." Gadis bernama Luna itu mengulurkan tangan mengambil mangkuk dan tersenyum menatap Darman yang terlihat semakin kurus saja. Luna menaruh mangkuknya di atas meja, masih sangat panas untung saja ada piring di bawah mangkuk sebagai perantara tangannya menyentuh mangkuk tersebut.
"Kok malah ditaruh lagi Nak, makanlah sebelum dingin. Mumpung cuaca di luar lagi mendukung," jelas Darman menyapu lembut rambutnya yang hampir mengalami kebotakan. Rambut yang dicukur cepak itu tampak beruban.
"Ibu udah makan?" tanya Luna dengan pelan takut Darman tak menghiraukannya.
"Iya, ibumu sudah makan, sekarang sedang tidur," jawab Darman. Luna mengangguk, membiarkan pria yang telah menginjak umur kepala empat itu berlalu. Gemerincing kunci yang baru saja diambil Darman dari saku celananya membuat Luna bertanya, untuk apa kunci itu? Tetapi karena aroma mi yang menguar membuat pertanyaannya tadi menguap begitu saja. Luna kini duduk menyantap mi rebusnya, sedikit asin tapi tak mengapa.
Sejenak Luna kembali teringat setiap ia bertanya tentang ibunya pada ayahnya pasti akan berakhir canggung. Bukan ingin merusak suasana hati sang Ayah, tapi Luna sangat tidak tenang dengan keadaan sang ibu sekarang. Sudah hampir genap 3 bulan dia tak berbicara pada ibunya, padahal mereka tinggal bersama. Sejak kecelakaan yang hampir merenggut nyawa ibunya sejak saat itu Luna tak pernah mendengar ibunya mengatakan sepatah katapun. Bahkan untuk melihat wajahnya saja jarang sekali. Darman sering sekali menyuruh Luna untuk datang ke kamar sang ibu tapi saat gadis itu tiba di sana beberapa benda yang dapat dijangkau ibunya di lempar ke arah Luna membuat gadis itu merasa sedih. Apa yang salah dengannya.
Semangkuk mi ludes ia makan, kini Luna bersandar pada kursi yang terbuat dari rotan. Ponselnya berdering, hampir saja ia mengumpat karena terkejut. Ia memungut ponselnya, untung saja tak ada yang lecet. Sebuah pesan dari nomor tanpa nama. Padahal tadi Luna mengira bahwa laki-laki yang menyuruhnya tidur lebih awal itu yang mengiriminya pesan.
'Tolong aku! Aku di depan rumahmu sekarang'
Luna terpaku beberapa detik hingga suara guntur menyadarkannya. Tanpa pikir panjang Luna ke luar dari kamar menuruni anak tangga yang dindingnya terpajang potret-potret tua yang enggan ayahnya ganti tergantung dengan bingkai yang mulai memudar, matanya seakan mengikuti setiap gerakan yang terjadi.
Luna menyalakan lampu ruang tamu, mengintip lewat kaca dekat pintu, siapa yang berdiri di depan pintunya.
'Ini aku Ruka'
Setelah melihat pesan itu Luna langsung mengambil kunci yang digantung dekat jendela dan membuka pintunya.
"Masuklah," kata Luna melambaikan tangan.
"Maaf menganggumu malam-malam, tapi aku ketakutan di rumah sendirian," jawab Ruka yang menaruh payung hitamnya di teras. Dahinya tampak basah dan kakinya sedikit kotor karena menginjak genangan air.
"Tak apa, ayo masuk dan hangatkan badanmu. Tidak perlu sungkan kau kan temanku," ajak Luna.
Tetapi Ruka masih terdiam hingga Luna inisiatif untuk menarik tetangganya itu masuk ke dalam rumah. Ruka berbalik ke belakang lalu kembali menatap Luna. Tangannya bergetar seakan apa yang dia lihat barusan adalah hal yang mengerikan tapi saat Luna menatap ke belakang tak ada siapa-siapa selain hujan deras dan kegelapan jalan yang tampak tak berujung. Dahi Luna mengerut, Ruka tiba-tiba saja menangis. Tak mau membuat temannya itu semakin dingin, Luna langsung mengambil handuk kecil yang memang selalu tersampir di dinding dekat pintunya.
"Ayo aku buatkan teh, kamu bisa tidur bersamaku malam ini." Luna menuntun Ruka menaiki tangga menuju kamar.
Namun saat tiba di sana Ruka semakin aneh saja, menunduk tak mengeluarkan suara beberapa menit. Bahkan setelah Luna selesai membuatkan teh hangat untuknya.
Ruka mendekat dan berbisik, "mereka tak akan pernah berhenti mengikutiku."
Luna mematung, lalu saat Ruka memegang bahunya, Luna berteriak.
"Aghhhh!" Napas Luna menderu dia baru saja terbangun dari tidurnya di atas kursi. Menoleh kanan kiri memastikan tak ada siapa-siapa di kamarnya. Hanya semangkuk mi rebus di meja yang membuatnya terlelap beberapa menit karena kekenyangan.
"Hanya mimpi," gumamnya sambil melirik jam dinding, namun saat itu ponselnya berdering seperti dalam mimpi barusan.
***
Halo semuanya, jangan lupa untuk tinggalkan jejak seperti vote atau komen. Kritik dan saran juga boleh bangetttttttt. Biar makin semangat updatenya jangan jadi silent readears ya sayang hihi.
😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top