Job Palsu


"Nih! Pelajarin! Gue gak mau lo pada gagap nanti!"

Setelah berucap Daniel langsung pergi begitu saja.

Aku berdiri.

"Heh! Mau kemana lo?!"

"Maksudnya apa ini!"

Aku berteriak sekencang mungkin. Tapi tak membuat Daniel menoleh, kugeser Septi yang duduk di sampingku yang sedang melihat buku yang diberikan Daniel tadi. Namun, Septi mencegahku.

"Tunggu, Del!"

Aku memutar bola mata malas. Aku rasa Septi sudah mulai beni bucin sama Daniel. Sampai-sampai dia tak membiarkan aku untuk melewatinya.

"Apa sih? Minggir sebentar. Aku mau kejar tuh si Daniel. Apa-apaan dia!"

"Del, please, duduk! Nggak usah dikejar. Ini buku yang kita cari. Coba lihat!"

Aku merebut buku itu dari tangan Septi.

"Kok bisa si, cogan gue dapetin ini?" lanjut Septi masih tak percaya dengan penemuannya ini.

'Apa benar yang dia katakan itu.' aku membatin sambil melihat isi buku tersebut.

Mata ku seolah tak percaya dengan apa yang kulihat. Buku yang selama ini aku cari di perpus. Buku yang benar-benar mirip dengan yang dipakai Bu Eni, ada digenggamanku sekarang.

Waw, ini menakjubkan. Serasa dapat tumpukan emas. Pasalnya Bu Eni tidak pernah memberikan buku rahasianya ini kepada siapapun, alasannya agar semua murid mencatat apa yang sekretaris kelas catat di papan tulis. Menurut beliau sih, kita akan cepat paham jika menulis. Karena tanpa sadar kita akan menghafalnya juga.

Aku tanpa sadar tersenyum.

"Acie … marahnya ilang nih liat harta karun!" Septi meledekku.

"Ish!" Aku seketika menepuk pundaknya memberi sinyal agar dia tak mengejekku terus.

"Hmm, tapi aneh nggak sih. Kita sekolah tiga tahun disini, nggak pernah tahu lho buku rahasia Bu Eni itu. Bahkan Nandi. Dia aja kalau nulis di papan tulis, selalu pakai kertas fotokopi dari Bu Eni. Kok bisa ya, anak baru tahu buku pelajaran Bu Eni? Jangan-jangan dia … anak Bu Eni? Hah!" Seketika Septi menutup mulut dengan kedua tangannya. Wajahnya terkejut seakan pernyataannya itu benar.  Aku menggeleng sedikit tertawa geli. Ada-ada saja cara berpikir temanku ini.

"Haha, mana mungkin, hei. Sikapnya aja udah beda. Meski Bu Eni sedikit kolot, tapi dia baik, ramah, lembut. Kalau anak baru itu, hmm, boro-boro baik. Punya hati aja nggak! Sebel!"

"Ih, Lo kayak kenal deket deh sama dia. Jangan-jangan iya nih. Kok lo jahat sih, nyembunyiin cogan dari gue!" Septi mencolek lenganku. Dia ini ingin sekali membuatku marah meledak-ledak.

"Dih, mulai!"

Aku tertawa bersama Septi kala itu. Terkadang hal ini yang memberiku semangat untuk bersekolah. Hal random yang aku dan Septi pikirkan sejenak membuat otak kusutku ini tenang. Hm, terlebih hanya Septilah yang mau berteman denganku yang kondisi ekonomi di bawah harga standar keluarga lain. Ini sih hanya menurut survei ku aja.

**

Jam istirahat tiba. Aku bergegas keluar lebih dulu dari pada Septi karena ingin mengambil hadiah uang tambahan dari Sita dan juga Joni yang sudah aku jodohkan minggu lalu. Kami sudah berjanji di depan kamar mandi wanita kelas tiga.

Aku sedikit berlari menuju kesana. Uang hadiahnya akan kupakai untuk membeli semangkuk mie ayam Mang Ojo. Aku sama sekali tak ada uang hari ini. Semua masih di ATM, belum diambil, karena aku tahu akan ada jatah dari Sita.

Ketika sampai di belokan belakang kelas, aku melihat Sita sedang mondar mandir di depan kamar mandi wanita. Dia sambil menggigit jari telunjuknya. Terlihat sekali kegelisahannya. Apa yang terjadi. Semoga saja kabar baik.

"Sita!" kupanggil dia agak kencang.

Wajahnya tegang ketika menoleh.

"Sit, sorry lama," sapaku.

Dia mengangguk.

"Gimana lu Ama Joni? Lancar?" ku bertanya terlebih dahulu sekedar basa basi.

"Hmm, anu, Del. Gue …."

Pembicaraannya terhenti. Seperti terjadi sesuatu. Aku selangkah mendekatinya.

"Sit? Are you ok?"

"Hmm, sorry banget ya, Del. Gue nggak jadi kasih lo bayaran. Ternyata si Rangga temennya Joni, nembak gue semalem. Gue yang masih pedekate sama Joni yang notabene-nya nggak suka gitu sama gue, ya gue hempas aja. Gue pikir, ngapain juga gue harus ngejar dia mulu. Jadi gue jadian aja sama Rangga. Sorry ya, lo jangan marah. Nanti gue bakal traktir lo deh. Duit DP jasa lo yang kemaren itu gue kasih, nggak usah diganti. Buat lo aja."

Aish, harapan makan mie ayam Mang Ojo pun sirna juga. Mimpi apa aku semalam. Sampai-sampai uang yang sedikit lagi ke genggaman aja, hilang. Dia bilang duit DP buat gue aja. Hadeuh, dia nggak tahu apa pura-pura. Duit DP itu buat modal acara pernyataan cinta dia kemarin, meski Joni hanya Video Call aja nggak dateng. Tapi kan, tetap aku nggak dapat apa-apa. Aku pikir dia mau lunasin plus bonus sesuai omongannya kemarin.

"Del! Hei, lo marah?" tegurnya membuyarkan lamunanku.

"Ah, i-iya. Maaf gue agak ngelamun." ujarku berusaha tersenyum meski perut sudah ingin menunjukkan skilnya dalam berbunyi kencang dan tentunya akan menurunkan harga diriku.

"Hmm, kalo gitu selamat ya, Sit. Ya, gue juga kalo jadi elu bakal milih Ranggalah. Secara dia lebih asik anaknya dibanding Joni yang agak sok itu."

Sita tersenyum lebar.

"Nah, kan. Gue kira juga begitu. Dia itu …."

Sita terus bercerita tentang dirinya dan juga kisah asmara barunya bersama dengan Rangga. Sebenarnya aku malas sekali mendengarkan ini tapi mau gimana lagi keadaan menghimpitku. 

Huft, gagal sudah plus lapar.

Sampai tak berapa lama, aku mendengar sebuah panggilan.

"Del! Woi!"

Aku menoleh sambil tersenyum ternyata Septi. Alhamdulillah banget dia menyelamatkan aku dari obrolan random yang tidak penting ini. Aku ingin sekali menolak, tapi bagaimana rasa tidak enakan di dalam hatiku membuat aku terpaku.

Septi menghampiri kami.

"Del, gue cariin juga dari tadi. Untung tadi ada yang lihat lu ke sini. Ngapain sih lo!" ucapnya ketus.

Septi menatap Sita nyolot. Dia melipat kedua tangannya, melirik dengan tatapan yang sangat judes. Dari awal Sita datang menemuiku dia memang tidak suka. Ya, biasalah dulu mereka ada masalah karena lelaki.

"Ah iya, Del. Gue cabut dulu ya. Makasih sebelumnya." Sita langsung pamit, berlalu. Mungkin dia takut sama Septi. Pasalnya sampai sekarang mereka pun belum saling bermaafan.

"Lo ngapain sih, Del nyamperin dia. Udah gua bilang nggak usah ngurusin dia. Kok lu  malah begitu sih di belakang gue."

Aku langsung merangkul sahabatku itu. Memang dia yang paling khawatir dan takut, kalau aku ditipu oleh Sita.

"Udah, udah nggak usah dibahas. Orangnya udah pergi juga, kan. Yuk, makan. Gue laper nih."

"Hadeh, jujur ama gue, dia nggak bayar? Hah?"

"Hmm, iya."

"Tuh, gue bilang apa! Dari awal nggak usah ngurusin dia."

"Iya. Udah ih, ayo makan. Tapi gue pinjem duit lo dulu ya? Gue belom ambil duit soalnya."

"Elo itu…."

Septi ingin mengucapkan beberapa kata lagi. Tapi aku langsung menepisnya, menggandeng dia, agar berhenti berbicara. Kami pun pergi ke kantin.

Sesampainya di kantin kamu sepakat makan mie ayam. Kami duduk di dekat rumah es teh. Tempat favorit kami agar bisa pesan es lagi jika terlalu pedas.

Di saat aku sedang makan bersama Septi. Tiba-tiba saja Daniel duduk di hadapan kami berdua. Menaruh semangkuk mie ayam juga. Tak lupa dia berteriak, memesan es teh.

Aku melongo melihatnya. Aku dan Septi saling berhadapan. Kami berdua bertanya-tanya. Lalu kembali melihat aneh ke arah Daniel.

"Kenapa lo berdua ngeliat gue kayak gitu, udah lanjut makan. Ini bangku umum. Semua orang berhak duduk di sini!"


Bersambung …

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top