Ditipu Sita
Aku seketika emosi dibuatnya, lagi. Bisa-bisanya dia duduk tanpa permisi lalu makan dengan santai dan mengomel.
Huh!
"Hei, maksudnya apa ini? Lo itu…."
Seketika mulutku ditutup oleh Septi. Aku tak bisa melanjutkan omonganku.
"Diem Del!" Septi sedikit mengancamku, lalu dia tersenyum ke arah Daniel. Tuh kan, bener apa yang aku lihat. Dia ini sepertinya sudah mulai ada benih bucin. Huh.
"Daniel, lo itu manis banget deh. Selalu melakukan hal yang bener-bener bikin gue terpana."
Septi berbicara dengan nada manja macam itu. Oh, tuhan! Jangan sampai temanku ini jadi bucin sama cowok jutek dan nggak ramah kayak dia.
"Sep? Nggak salah?" Aku pun menegaskannya.
"Del, udah ih diem. Gue lagi mandangin calon pacar!"
Bener aja ni anak kudu di ruqyah. Bisa-bisanya jatuh cinta sama cowok model kaya Daniel. Emang sih, kalau dilihat-lihat dia tampan. Tapi, sikapnya itu lo yang bikin gue ngerasa pengen banting aja itu badannya. Mungkin isi otaknya aja kali ya, yang selalu nggak peduli sekitar. Atau … ah sudah lah. Ngapain aku harus ikutin si Septi liatin si Daniel. Untung juga kagak.
Selesai makan aku pamit pergi terlebih dahulu kepada Septi. Terserah dia mau ngobrol sama Daniel atau tidak, aku tak peduli.
**
Tak terasa setelah setengah hari di sekolah, bel pulang pun berbunyi. Aku langsung membereskan semua peralatan tulis milikku. Setelahnya langsung aku keluar dari kelas menuju parkiran. Berjalan beriringan dengan sahabatku, Septi yang selalu saja menceritakan tentang Daniel.
"Ya ampun, Del. Si Daniel ganteng banget. Gue nggak nyangka bisa suka sama orang kayak dia. Udah kharismatik, baik, dan perhatian. Tadi aja waktu gue mau ambil saos, eh dia tahu dong. Peka gitu ambilin Tampa gue minta. Pokoknya persepsi lu tentang dia itu salah. Huh!"
Aku memutar bola mata malas. Benar-benar obrolan tak bermutu bagiku. Daniel si cowok jutek begitu dibilang kharismatik, hadeuh.
"Iya, iya, setelah lo aja Septi Fatimah Azzahra. Gue nggak peduli."
"Idih jahat lo mah. Temen seneng bukannya ikutan seneng."
"Haha, terus gue harus gimana? Ikutan suka juga. Kita rebutan gitu. Lo pengen begitu?"
"Ya enggak lah. Ada ada aja lho!"
Kami tertawa menyusuri lorong sekolah sampai ke parkiran.
Aku langsung menuju gerbang kali ini tidak seperti biasanya, sepedaku rusak aku terpaksa naik angkot. Septi melihatku aneh tidak ke parkiran bersama.
"Loh, Del, kok nggak ke parkiran? Emang lo nggak bawa sepeda?"
Aku tersenyum kepada Septi.
"Nggak, bannya bocor. Tadi gue belum sempat nambal."
"Ah gitu. Terus lu mau naik apa?"
"Gua naik angkot aja."
Septi lalu mendekat dan menarik tanganku.
"Udah, simpan aja ongkos angkotnya. Lo bareng gue, gua anterin sampai rumah."
Aku tidak berkutik lagi dan langsung mengikuti langkah kaki Septi menuju mobilnya yang sudah terparkir di parkiran sekolah.
Ya, aku dan Septi bagaikan langit dan bumi. Septi disukai semua orang di anak orang kaya dan anak tunggal. Setiap hari dia diantar oleh sopir dan dijemput juga. Sedangkan aku hanya anak penjual nasi uduk di depan rumah. Ayahku sudah lama meninggal. Dan kadang aku harus membantu mencari uang untuk tetap bersekolah.
Di sekolah semua teman-teman menjauhiku karena mereka pikir miskin itu menular. Tetapi berbeda dengan Septi. Dia justru mendekatiku bahkan kami sudah bersahabat dari pertama kali masuk ke sekolah ini.
Dibilang beruntung ya benar aku beruntung sekali. Bersahabat dengan Septi aku tahu segalanya. Makan bareng bersama keluarga lengkap dengan ayah ibu. Bercanda dengan sepupu begitu riang.Jalan-jalan seminggu sekali seperti pergi ke kolam renang yang sangat mahal harganya. Tak jarang Septi selalu mengajakku pergi dengan keluarganya. Aku sangat beruntung.
**
Sesampainya di rumah aku tidak mendapati Ibu di sini. Seperti biasa di akhir bulan ibu selalu mencari tambahan dengan mencuci di beberapa rumah. Bulan ini aku belum setor hasil pendapatan dari beberapa perjodohan yang telah berhasil.
Semuanya sengaja memang aku simpan di bank agar aku ambil akhir bulan. Tentunya ini baru setahun belakangan karena aku baru memiliki KTP untuk membuat rekening.
Setelah merebahkan badan di tempat tidur aku pun melihat m-banking. Jumlah tabukanku tidak sebesar kemarin karena bulan ini aku hanya menerima beberapa job perjodohan. Belum lagi kemarin tentang Sita yang tidak membayar. Dia hanya membayar separuh dan itu pun untuk dekoratif cafe yang dimintanya.
Selang beberapa lama teleponku berdering ternyata itu Septi. Aku tersenyum dengan sahabatku ini baru ditinggal sebentar langsung menelpon ku.
"Halo, kenapa lagi beb? Lu kangen. Baru juga nurunin gua di gang, lu juga belum tentu sampai di rumah, udah telpon aja," celotehku panjang dan lebar tidak membiarkan dia menjawab lebih dulu.
"Ish apa sih. Ada hal penting yang gue pengen kasih tahu ke lo. Pokoknya besok gua kasih tahu."
"Kebiasaan lah, kalau besok dikasih tahu ngapain lu telepon gua."
"Haha pengen bikin lu penasaran aja sampai nggak bisa tidur."
"Mulai deh, cepetan kasih tahu gua paling nggak bisa kan nunggu."
"Haha, gua paling demen bikin lu nunggu."
"Ya udah, kalau nggak mau ngasih tahu gua matiin nih teleponnya."
"Dih, ngambek. Iya, iya, gue kasih tahu. Besok lo ambil jatah lo sama Sita dia mau bayar kontan."
"Hah? Maksudnya gimana?"
"Gue baru aja ngeliat Sita jalan sama Joni. Gua langsung suruh sopir berhentiin mobil di depan mereka. Gua tanya dong sama si Joni ternyata dia tuh jadian. Kalau menurut kita buat apa capek-capek bayar lo kalau ujung-ujungnya mereka jadian, gara-gara saling suka. Konyol ya? Nah, itu."
"Hah! Serius?"
"Serius lah, ya kali masa gue bohong."
"Oke, kita lanjut besok ya."
"Hmm."
Setelah itu aku mematikan telepon dari Septi.
Waw, aku merasa bodoh sekali jadi orang. Bisa-bisanya Sita memanfaatkanku. Pokoknya besok aku harus membuat perhitungan dengannya.
Ketika aku sibuk mencaci maki Sita. Tiba-tiba aku mendengar suara pintu depan terbuka. Lekas aku langsung berdiri dan keluar dari kamar untuk menyambut ibu. Aku yakin itu.
Ketika sampai ruang tamu ibu duduk dengan wajah penuh luka serta lengan yang dibalut dengan perban.
"Ibu? Ibu kenapa? Kok begini?"
Tak terasa air mataku turun begitu saja melihat orang yang sangat kusayangi penuh luka. Tak berapa lama masuk suara lelaki yang tidak lain tidak bukan itu Daniel.
"Bu maaf, ini tas-nya ketinggalan."
Daniel menaruh tas ibuku di atas meja ruang tamu.
Oh shit! Ternyata dia yang membuat ibuku seperti ini. Aku yakin ibuku pasti ditabrak olehnya.
Aku langsung bangkit dari tempat duduk menghampirinya.
"Sialan! Lo lagi. Nggak cukup buat gua kesel di sekolah. Terus lo nabrak ibu gue jadi begini, Hah!"
Aku membabi buta menjenggutnya, mendorong, dan memukul tanpa arah dengan penuh kebencian. Ibu yang melihatku langsung berteriak histeris sampai teriakan paling kencang.
"Dela! Cukup!"
Bersambung …
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top