Teacher's Never Fault
Assalamu'alaikum Calon Imam, Dear Allah, Mengejar Cinta Halal, Cinta di Langit Biru, Jomblo Fisabilillah, Karena Iman dan Imam, Assalamu'alaikum Beijing, Cahaya Cinta Pesantren, Harapan di Atas Sajadah.
Lisa tersenyum lebar menatap sembilan judul buku di pelukannya satu-persatu. Meski terlihat kewalahan karena melebihi kapasitas tangannya, gadis itu terlihat bahagia, ditilik dari binar di matanya sekaligus bibir mungil yang sejak tadi bersenandung ria tiada henti. "Aku pinjam ini, ya!"
Syaima menggelengkan kepala dibuatnya. "Semuanya buku fiksi? Yakin enggak mau pinjam yang itu?" tunjuk Syaima pada jajaran buku di rak. Lisa membaca judulnya sejenak. Ternyata Kita Tak Pantas Masuk Surga, Semua Bisa Hafal Al-Qur'an, 7 Do'a Ampuh, Kesalahan yang Sering Terjadi Ketika Berdo'a.
Stop. Lisa segera menggeleng polos. "Cuma sembilan buku ini yang normal buat aku."
Syaima tertawa kecil. Tak apalah, ini sudah menjadi perkembangan yang cukup pesat mengingat respon Lisa dulu ketika melihat-lihat koleksi buku di kamar Syaima untuk yang pertama kalinya, yakni: "Buku macam apa ini? Seleramu payah, Ma!"
"Yaudah, jangan lupa balikin, ya."
Guncangan heboh di belakang punggungnya membuat Syaima yang sedang asyik menggulirkan layar, menelusuri dunia maya, kini menoleh. Matanya mendapati sosok gadis bertubuh kecil itu tengah menaiki tempat tidur Syaima, sedikit kepayahan karena sembilan eksemplar buku yang bebal terus ia peluk sejak tadi. Sangat rempong, memang.
Syaima dapat mendengar pekikan riang Lisa ketika akhirnya berhasil menemukan posisi telengkup yang nyaman. Dengan mata berbinar, gadis itu kembali sibuk menatap satu judul dengan judul yang lain silih bergantian. "Enaknya, buku mana dulu, ya, yang dibaca?" gumamnya bermonolog.
Syaima kembali sibuk dengan gadget di tangannya. Memilih untuk tak memedulikan Lisa yang sudah larut dalam untaian aksara sambil tak henti menggerakkan kedua kakinya naik-turun, menciptakan goyangan berlebih di tempat tidur. Syaima merasa terjadi gempa di sekitar setiap detiknya.
Detik demi detik bergulir. Syaima membiarkan suasana kamarnya hening, menyisakan suara jarum jam dinding menyisir angka demi angka. Diselingi pekikan heboh Lisa begitu membaca scene novel di tangannya yang menurutnya sangat berkesan dan mencampur-adukkan perasaan. Sudah seperti Bang Je saja yang akhir-akhir ini sering menjungkir-balikkan kehidupan Lisa sampai menghadirkan rasa rindu segala. Padahal, menurut salah satu novel remaja yang ia baca, rindu adalah suatu perasaan berat. Manusia terkuat sekalipun bisa terlihat lemah ketika dihadapkan dengan spesies bernama 'rindu' tersebut.
Yah, gawat. Bang Je benar-benar harus bertanggung jawab atas ruang rindu yang terus mengikat di setiap sudut hatinya!
"Kamu enggak jadi kumpul bareng teman sastramu di sekolah hari Minggu ini, Lis?" Syaima yang mendapat pengingat sepuluh menit menjelang adzan ashar dari salah satu aplikasi gadgetnya, kini melirik jam dinding. "Sudah hampir pukul tiga sore, lho."
Masih dengan wajah tegang karena terbawa suasana novel yang ia baca, sedikit demi sedikit dengan wajah ogah-ogahan, tentunya--memperlambat waktu untuk bisa melahap lebih banyak kata--Lisa turut melirik jam dinding. Untuk sepersekian detik kemudian kembali menenggelamkan wajah di antara lautan aksara. Seakan-akan tulisan itu merupakan kode rahasia dalam memecahkan suatu misi yang bisa lenyap kapan pun apabila Lisa lengah, sampai-sampai ia terlihat tak berkedip untuk beberapa saat saking takut kehilangannya.
Syaima memandangnya dengan dahi berkerut. Lisa terlihat kembali sibuk dengan bukunya. Entah gadis itu memang membatalkan niat, atau justru belum bisa mencerna semuanya.
"Eh, sudah jam tiga!" teriaknya tiba-tiba, membuat Syaima terlonjak kaget. Nah, kan. Padahal sejak tadi sudah diingatkan. Ini kinerja otaknya yang telat memproses, atau refleksnya yang memang disetel terlambat?
Dengan gerakan riweuh teu puguh khasnya, Lisa melipat kertas halaman terakhir yang ia baca, kemudian menumpuk sembilan novel itu di tangannya sampai siapa pun tak dapat melihat wajah Lisa. "Kalau sudah beres, nanti aku kembalikan, ya! Tenang saja!" Di saat genting saat ini, masih sempat-sempatnya saja gadis itu menabrak dinding kamar, tubuhnya terbanting hingga mendarat mulus di lantai sementara kesembilan novel pinjamannya sudah berceceran tak tentu arah di sekitar Lisa. Setelah sedikit mengaduh, gadis itu segera kembali bangkit dan berlarian dengan tumpukan novel di tangan penuh semangat empat lima.
"Iya, hati-hati. Dasar ceroboh," gumam Syaima geleng-geleng dengan kebiasaan Lisa yang sulit dihilangkan itu.
Dikarenakan untuk mencapai sekolah harus melewati rumahnya, Lisa memutuskan mampir dan menyimpan novel di atas meja belajarnya dengan grasah-grusuh. Saking tergesanya, Lisa tak sempat membuka sepatu dan meninggalkan jejak-jejak kotor di lantai ruang tamu sampai pintu kamarnya.
"Melisa Andriani! Kau tidak boleh pulang kalau tidak membersihkannya kembali!"
Lisa bergidik, berlari kencang menjauhi tempat ibunya mengamuk. "Iya, Bu. Nanti Lisa bersihin. Dadah!" teriaknya, kembali fokus mengambil langkah secepat mungkin.
Sastra Indonesia Persatas
Teman-teman, maaf aku terlambat datang!
◾◾◾
Decitan pintu ruangan yang bergesekan dengan lantai membuat seluruh perhatian manusia di dalamnya terpusat ke arah bingkai pintu. Sosok gadis pendek dengan gamis panjang berlapis jaket hitam kebesarannya celingak-celingukan. "Belum dimulai, 'kan?"
"Belum, Sa. Bu Ririn belum datang. Katanya ada acara mendadak, sebentar lagi juga sampai," lapor Nadifa, sang ketua ekstrakurikuler Bina Sastra Indonesia di SMAN Persada Bangsa Tasikmalaya.
Mendengar itu, Lisa bersungut-sungut sambil menghempaskan tubuh di kursi kosong pojokan kanan. Ruangan hanya terisi setengahnya. Di antara seribu siswa, hanya makhluk-makhluk ini yang bertahan di ekskul sastra.
"Lisa? Ini kamu, Melisa Andriani?"
Lisa mendongak untuk melihat sumber suara. "Kakay?" Kayla, sahabat dekatnya sejak masuk SMA itu kini duduk di sebelah Lisa, berhubung tidak ada yang mengisi.
"Pangling banget, sih. Enggak salah minum obat, 'kan?"
"Ish, Kakay mah gitu," gerutu Lisa mencebikkan bibirnya kesal.
"Guys, Bu Ririn ngasih tugas." Sang ketua kembali angkat suara. "Katanya, tiap anggota bikin karya sesuai bidang yang diikuti. Takutnya Ibu belum datang-datang, soalnya jalanan macet parah. Nanti pas Ibu sampai, karyanya akan diperiksa."
Selaku ketua, Nadifa bergerak menjelajahi setiap bangku untuk membagikan kertas folio. Beberapa ekspresi terlihat dari teman-temannya. Ada yang antusias segera menulis di kertas folio, ada pula yang menggerutu dengan jutaan sumpah-serapahnya, seperti : "Sialan! Tahu gini, aku masih bisa molor dulu, nulis di rumah."
Kayla yang memilih menetap duduk di samping Lisa itu mengeluh tertahan, aliran opsi kedua. Sementara itu, Lisa berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat. Dengan semangat tinggi, gadis itu menarik pena bertinta hitam dari saku jaketnya. Daripada anggota lain yang kebanyakannya sengaja membawa tas untuk memberikan kapasitas ruang berlebih bagi buku, minuman, dompet, handphone, dan payung sebelum hujan, Lisa justru terbilang sebagai anggota paling simpel. Baginya, cukup sebuah pulpen--yang kalau habis tinggal cari di kolong bangku dan mematenkan hak milik sebagai kepunyaannya--ponsel, serta uang receh dua ribuan untuk ongkos pulang naik angkot nanti yang dijejalkan paksa pada saku jaketnya.
Uang bekal? Tak perlu. Lisa tinggal menagih setiap orang yang terlihat baru saja membeli makanan dan minuman. Anehnya, budaya tersebut sudah tertanam di ekskul sastra. Tanpa perlu bertanya dan melayangkan protes tanda keberatan, setiap anggota akan memberikan makanan secara suka rela. Seakan tengah membayar pajak mingguan pada Lisa.
Waktu demi waktu berlalu. Dilewati setiap anggota yang mau tidak mau, menggerakkan tangan untuk menorehkan karya di selembar kertas folio.
"Assalamu'alaikum." Suara salam dari bingkai pintu dengan diiringi munculnya sosok wanita setengah baya, sontak saja menjadi pusat perhatian seluruh manusia di dalam kelas.
"Wa'alaikumussalaam warahmatullaah wabarakaatuh."
"Langsung saja, anak-anak. Kita harus menggunakan waktu seefisien mungkin. Ibu sudah kehilangan banyak waktu yang seharusnya diisi pada kumpulan hari ini." Dengan langkah tergesa tanpa menghilangkan kesan anggunnya, Bu Ririn meletakkan tas selempangnya di atas meja guru. "Selesai tak selesai, semua karya harap kumpulkan saat ini."
Lisa segera mengejang. Dengan gerakan secepat kilat tanpa memedulikan goresan tintanya yang sudah macam cacing kepanasan tak tahu bentuk itu, Lisa mencurahkan idenya. Terus terang saja, ia termasuk tipikal penulis yang menyimpan ide serta bagian terbaiknya di akhir. Namun, beginilah resikonya. Ketika sudah di penghujung deadline, akhirnya ia hanya bisa pasrah menumpahkan idenya tanpa perhitungan lagi.
Meski kerepotan, Lisa masih sempat-sempatnya saja menggerutu. Biasanya, kesan pertama begitu melihat guru Bahasa Indonesia itu meliputi: anggun, baik, ramah, lembut, terbuka, tipikal guru idaman yang selalu memaklumi muridnya ketika tak mengerjakan tugas. Tapi Bu Ririn menghancurkan reputasi guru Bahasa Indonesia tersebut. Normalnya, totalitas, disiplin waktu, dan tidak berperasaan dalam menegakkan deadline dimiliki sepenuhnya oleh guru Matematika. Tapi kejamnya, guru Bahasa Indonesia satu ini ikut-ikutan. Guru Matematikanya apalagi. Entahlah. Semenjak Lisa masuk dunia Persatas, semua terasa suram, memang.
Dengan bantuan suka rela dari Nadifa sang ketua, tumpukan kertas folio itu sudah mendarat mulus di hadapan Bu Ririn. Dalam waktu sekedipan mata, guru itu segera mengambil salah satu kertas, membuat jantung mereka semakin bergenderang memikirkan siapa yang hendak menjadi 'tumbal' hari ini.
"Melisa Andriani, ke depan!"
Aduh, Bu Ririn ini memang tidak santai sejak awal. Masuk kelas pasang muka ngajak perang, memberi perintah mendadak, sampai menunjuk orang pun tak ada aba-aba terlebih dahulu. Hobinya benar-benar membuat siswa kena serangan jantung mendadak, memang, ya.
Disertai langkah percaya diri dan cengiran lebarnya, Lisa berdiri di depan kelas setelah mengambil folio dengan coretan namanya di pojok kiri. Gadis itu berdeham, siap membacakan puisi.
"Rupaku tak seelok purnama,
Senandungku tak semerdu desau angin di malam hari,
Senyumku tak seteduh lautan,
Pelukku tak sehangat mentari sinari bumi.
Namun izinkan aku,
Menjadi gemintang di antara gulitamu,
Menjadi air hujan di antara gersangmu,
Sandaran untuk kau berpulang."
Riuhan tepuk tangan memenuhi penjuru kelas. Lisa sibuk mengucapkan terima kasih sambil sesekali berpegangan pada papan tulis, memastikan dirinya masih menginjak bumi dan tidak melayang begitu saja. Sampai ia tak sadar, seseorang di balik dinding menarik sudut bibir mendengarnya. Andai saja, ya. Hingga sosok itu tak nampak lagi, ditelan bayangan.
Bu Ririn mendeham, seisi kelas senyap seketika. "Melisa, tulisanmu cukup berkembang. Pembendaharaan diksimu sudah bertambah. Namun, gaya kepenulisanmu masih kurang kuat. Memang dalam karya puisi, pengulangan kata dalam beberapa kalimat sudah menjadi hal yang wajar dan menjadi poin tambahan bagi karya itu sendiri. Tapi jika kau membacakannya dalam intonasi sama, justru memberikan kesan negatif dan membuat pendengar lebih cepat bosan. Paham?"
Lisa sebisa mungkin melemparkan senyum yang terlihat tulus. Padahal, ia sudah habis-habisan memaki dalam hati. "Paham, Bu."
"Selain itu, coba kau perbanyak interaksi dengan karya para sastrawan ternama. Pembawaanmu masih kaku. Semakin sulit pendengar memahami maksud dalam sebuah puisi, semakin tinggi kualitas puisi tersebut. Sementara karyamu terlalu gamblang, tulisanmu itu bahkan lebih pantas disebut curhatan dari pada sebuah karya. Coba batasi lagi penggunaan katanya. Kamu juga harus lebih memperhatikan teknik menulis efisien, mulailah berlatih me-manage waktu dengan baik. Ibu terlambat cukup lama, dan kamu cuma menghasilkan sebait puisi pendek. Belajarlah jadi penulis produktif."
Di saat situasi terpojok seperti ini, Lisa hanya bisa mengeluarkan jurusnya: bertampang seolah manusia penurut paling manis sedunia.
"Satu lagi." Lisa mengulum senyum, menahan umpatan keluar dari bibirnya. "Ibu hanya memintamu maju ke depan. Siapa yang menyuruhmu membacakan puisi?"
Cukup. Lisa hanya ingin bilang satu kalimat, Iya, guru memang selalu benar!
◾◾◾
Yeah, aku sadar seratus persen masih sepuluh menitan lagi hari berganti, sedangkan jadwal updateku hari ini sudah lunas. Iya, aku enggak ngelindur, kok. Trust me. Karena hari ini double update, jadi besok enggak usah update deh, kayaknya. Haha.
Thanks for reading.
God bless you.
Salam,
@dekadream
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top