Survive
Stok persediaan es krim terakhir di lemari pendingin sudah langsung mendarat di perut karet Lisa. Untuk kesekian kalinya, Lisa membuka pintu kulkas, berharap ada sesuatu yang dapat menjadi pelampiasan emosinya. Kulkas karatan! Tidak ada isinya begini, masih saja membuat Lisa penasaran untuk mengintip setiap menit. Padahal mana bisa ada makanan kalau tidak diisi.
"Assalamu'alaikum."
Suara yang menusuk ulu hati, melubanginya dengan luka sedalam mungkin.
Dari kamar utama, Ibu menjawab sambil menyambut ke depan pintu. "Wa'alaikumussalaam."
Cukup. Sebelum hatinya semakin koyak tak berbentuk, Lisa memilih lari, secepat kakinya bisa membawa pergi ke kamar. Rumahnya tak begitu luas, jarak dari dapur ke kamarnya yang hanya berkisar empat meter mendadak seolah sejauh empat kilometer.
Terlambat. Lengannya sudah dicekal dari belakang. "Lisa, tolong. Kita harus bicara. Beri aku waktu, kumohon."
Berontak. Tenaga Lisa meningkat tiga kali lipat lebih besar, seakan perlawanan itu dapat meluapkan segala kekesalan. Seolah semakin besar kekuatan fisiknya, semakin besar pula kekuatan imun hatinya. "Kenapa aku harus mengikuti apa maumu?!"
Sedikit lengah, tangan Syaima terhempaskan oleh Lisa. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, Lisa menggapai kenop pintu kamar yang sudah tinggal dua langkah dari posisinya. Syaima segera menyusul, tak mau mengalah. Namun kalah cepat. Pintu kamar sudah dibanting tepat di depan matanya.
"Sa, tolong," lirihnya. Syaima mendekat, dengan telapak tangannya yang menyusuri setiap tekstur pintu kamar Lisa, berharap dapat menyalurkan isi hatinya. "Kau tidak boleh terus terluka seperti ini."
"Kalau tak ingin membuatku terluka lebih lama lagi, just go away from me!"
Syaima mundur dua langkah, memberi kesempatan pada Ibu yang sudah mengikis jarak ke arahnya, gantian membujuk Lisa.
Tak ada hasilnya. Lisa memilih tak angkat bicara sekali pun. Toh, hanya soal waktu Syaima akan kembali pulang dengan kehidupan barunya.
Ibu menghela napas, membelai lembut kepala Syaima yang terbalut jilbab. "Nak Syaima, kau kelelahan. Sudah sore, mukamu juga terlihat sangat pucat. Sebaiknya kau istirahat saja, atau kau akan sakit. Jangan terlalu memforsir diri. Biarkan Ibu yang berusaha menjelaskan pada Lisa."
Kepala Syaima menggeleng, tak lupa dengan senyuman tulus merekah di kedua sudut bibirnya. "Tak mengapa. Biarkan aku tetap di sini, Ibu. Aku sudah meminta izin pada Abi, aku akan menginap di sini sampai Lisa bersedia berbicara denganku. Tak masalah kan, Ibu?"
Air mata haru bercucuran dari kelopak matanya yang sudah mengerut, tergerus usia. "Kamu memang sahabat yang baik dan penuh kesabaran, Nak Syaima. Rasanya Ibu bangga dan lega tentunya, karena Lisa punya sahabat sepertimu. Ibu selalu berdo'a dan berharap agar Lisa dikelilingi orang-orang baik. Dan kamu adalah salah satu bukti Allah mendengarkannya."
Syaima merengkuh Ibu, meraihnya dalam pelukan. Kehilangan kata-kata. Ada hal menyesakkan yang menyeruak dalam hati. Sahabat yang baik? Demi mendengarnya, Syaima ingin menghilang saja dari muka bumi. Ya, bagaimana pun caranya, Syaima harus segera meluruskan segala persoalan ini. Cukup sudah, tak perlu ada lagi hati yang kecewa karenanya.
"Temperatur badanmu meninggi, Nak Syaima. Sebaiknya kau segera istirahat, pakai kamar tamu saja tidak apa-apa, ya? Tunggu, biar Ibu bereskan dulu." Tanpa menunggu persetujuan Syaima, Ibu bergegas ke arah kamar tamu yang paling dekat dengan dapur, tempat cucian, setrikaan, serta pekerjaan rumah lainnya diselesaikan. Kadang digunakan Lisa untuk tidur juga, dulu bahkan sempat-sempatnya membuat jadwal tidur sehari sekali di kamar tamu, dan kamar miliknya.
Tak mau tinggal diam begitu saja, Syaima ikut membereskan pakaian-pakaian yang berserakan di sana-sini. Setelah menggeleng ketika ditawari makan, Syaima memilih duduk di kursi ruang tamu, yang tepat berada di depan kamar Lisa. Kamar yang masih tertutup rapat untuknya.
Rumah Lisa sederhana. Kalau kata almarhum ayahnya dulu, sejatinya setiap tempat tinggal itu tidak ada yang besar-kecil, mahal-murah, ataupun mewah-ala kadarnya. Semuanya kembali lagi pada kita. Karena rumah gubuk sesempit apa pun, bilamana hati kita lapang, merasa cukup dengan segala nikmat yang Allah beri, pasti luas pulalah rumah kita terasa. Begitu pula sebaliknya. Maka inilah kenyataannya. Rumah Lisa hanya terdiri dari sepetak ruang tamu yang dikelilingi tiga kamar, dengan dapur yang agak menjorok ke luar, berdampingan dengan kamar mandi.
Menunggu. Itu yang terus Syaima lakukan dua jam ini. Tiba-tiba, Ibu sudah menyembulkan wajah dari balik dinding dapur. "Sudah adzan maghrib, Nak Syaima. Lagi menjalankan, 'kan?"
"Ashar tadi, aku baru aja dapet, Bu." Syaima menggeleng-gelengkan kepala, kemudian mencari posisi duduk yang lebih nyaman. Menstruasinya kali ini terasa lebih banyak daripada biasanya. Nasib baik ia sempat mampir ke mini market untuk membeli pembalut sebelum mengunjungi Lisa. "Eh, setahuku, beberapa hari lalu Lisa sedang halangan, Bu. Apa sekarang masih?"
Anggukan Ibu sukses membuat Syaima menghela napas. Itu berarti memperkecil kemungkinan Lisa akan keluar kamar. Syaima hanya bisa menunggu Lisa kelaparan, atau perlu kamar kecil karena Lisa tak punya semacam toilet pribadi di dalam kamarnya.
Pertanyaan terbesarnya ... apakah Lisa mau mendengarkan?
Syaima membenamkan wajah pada kedua telapak tangannya, berharap dunia dapat menelannya bulat-bulat. Gesekan engsel yang sedikit berkarat itu membuat Syaima lekas-lekas mendongak. Hanya untuk mendapati kekecewaan. Ibu meminta maaf karena suaranya mengganggu. Maklum sudah minta diganti, katanya.
Kembali mendongak, Syaima hendak menenangkan, berkata tidak apa-apa. Tapi pandangannya mendadak kabur oleh bayangan-bayangan hitam. Mungkin efek angkasa yang sudah mulai menunjukkan malam beranjak matang. Syaima kembali menelan kalimat yang telah menggantung di tenggorokan. Bergeming, mematung sejenak, sampai penglihatannya kembali normal. Meskipun entah mengapa, sejak tadi siang, kepalanya tak henti berdenyut nyeri.
Tahu-tahu, Ibu sudah mendekat ke arahnya untuk menyajikan teh manis hangat di atas meja. "Ini, minumlah. Ibu tahu kau lebih suka kopi, tapi Ibu tidak mau kau begadang."
"Tidak apa, Ibu. Terima kasih." Syaima menampilkan senyuman penghargaan atas kehangatan yang selalu terpancar dari sosok Ibu.
Ibu mengelus jilbab Syaima penuh kasih. "Sudah lebih dari dua jam kau bertahan dalam posisi duduk itu, Nak Syaima. Pasti sangat pegal dan melelahkan. Sebaiknya kau segera masuk kamar dan istirahat yang cukup."
"Aku masih ingin di sini, Bu. Memang pegal, sih. Kalau begitu, aku ikut berbaring di atas kursi tidak apa-apa 'kan, Bu?"
"Kau selalu saja minta izin untuk hal yang tentu saja sudah diizinkan. Benar-benar jauh dengan Lisa yang selalu seenaknya kalau bermalam di rumahmu. Jangan berlama-lama di sini hanya untuk menunggu Lisa keluar, Nak Syaima. Ruang tamu dingin sekali. Kau bisa--" Sebelum kalimat itu tuntas, tangan Ibu segera menutup mulutnya. "Ya ampun, Nak Syaima! Di temperatur udara yang dingin begini, wajahmu berkeringat sebanyak itu?"
Tangan Syaima refleks menghapus cucuran peluh di dahi. Benar juga. Semakin larut malam, tubuhnya justru semakin banyak menghasilkan keringat. Cukup meresahkan, sebenarnya. Tapi lagi-lagi senyuman manis terukir di bibirnya yang pucat. "Sepertinya karena masuk musim kemarau, Bu."
Ibu menggeleng-geleng saja. Merasa ganjil karena selama musim kemarau malam justru jauh lebih dingin menusuk tulang. "Aneh, tangan dan kakimu justru dingin sekali. Ya sudah. Ibu tinggal dulu, ya? Bilang saja kalau butuh sesuatu."
"Kuminum teh manisnya ya, Bu. Terima kasih."
Setelah batang hidung Ibu tak tampak lagi, Syaima menyesap teh manis yang masih menguarkan kepulan hangat. Sederhana, tapi sukses meringankan beban di kepalanya. Secangkir teh itu tandas dalam waktu singkat. Syaima membaringkan tubuh di atas kursi panjang yang kayunya sering berkeriut akibat lapuk dimakan usia. Matanya terpejam, tapi tetap tak mau tertidur. Perkataan Ibu tidak sepenuhnya benar. Karena Syaima merasa terus terjaga tanpa kopi sekalipun. Padahal tubuhnya sudah sangat letih minta istirahat.
Syaima masih memilih bertahan.
◾◾◾
Pukul 04.10.
Untuk pertama kali dalam sejarah hidupnya, Lisa berhasil bangun sepagi itu tanpa bantuan eksternal. Hatinya membuncah oleh rasa bangga. Detik berikutnya, Lisa malah guling-guling di atas tempat tidur tanpa tujuan jelas, bingung juga apa yang harus ia lakukan di pagi buta begini.
Lima menit berlalu, dihabiskan Lisa untuk membaca salah satu novel remaja di situs Wattpad yang sedang ramai-ramainya diperbincangkan, tak peduli dengan mata sepetnya kedip-kedip menyesuaikan layar ponsel. Suasana di balik jendela masih gelap gulita, begitu pula kamarnya.
Blackpink in your area!
Seketika, Lisa terlonjak kaget. Getaran dari ponselnya merambat seiring meningkatnya pompaan darah di jantung. Buru-buru, Lisa mematikan alarm sebelum lagu Blackpink kembali menggema kencang, memecah lengang. Lisa kembali memeriksa jadwal alarm di ponsel yang semuanya bernada lagu Blackpink, dengan volume full, dan berbunyi setiap lima menit sekali. 04.00, 04.05, 04.10, dan seterusnya. Sangat memekakkan telinga, tapi selama ini Lisa tidak pernah terbangunkan. Padahal Lisa sudah mengira alarmnya tidak berfungsi. Nyatanya, dia saja yang tidurnya sudah macam lupa untuk kembali bernapas.
Perutnya berbunyi, membuat Lisa segera bangkit. Tersiksa juga, bisa tipis lama-lama.
"Sa!"
Terkejut mendapati suara serak memanggil namanya begitu membuka pintu, Lisa harus merelakan tangannya ditarik dari belakang. Ia sampai mengentak-entakkan kaki di atas lantai untuk mengekspresikan keberontakannya. "Lepas!"
"Aku menunggumu. Kumohon, Sa. Dengarkan aku dulu."
"Menungguku? Hanya orang tolol yang rela menunggu semalaman demi sebuah alasan yang tak perlu diungkapkan. Kau tahu kenapa? Karena semuanya sia-sia. Omong kosong. Useless. Enggak ada gunanya." Entah apa alasan konkretnya, telapak tangan Syaima yang terasa dingin membuat Lisa harus merelakan pelupuk matanya kembali bobol oleh air mata. Sialan. Seharusnya ia yang dikatai tolol. Ia jauh lebih tolol karena menangisi hal sia-sia.
Genggaman tangan Syaima mengerat, berbisik lirih, "Harus sampai kapan?"
Tubuh Lisa terasa membeku begitu telapak tangan Syaima yang dingin menghapus air matanya. Tangan Syaima bergerak mengelus pipi Lisa dengan lembut, lebih dari cukup untuk membuat Lisa terdiam begitu saja.
"Harus sampai kapan, kau membiarkan dirimu sendiri terperangkap rasa sakit?"
"Aku tak suka basa-basi. Cukup katakan apa yang kau inginkan, kemudian segera pergi dari hadapanku," tekan Lisa.
"Ajak aku pada perangkap rasa itu. Ajak aku, untuk merasakan sakitnya bersamamu."
"Kau gila." Lisa mulai aktif, mengangkat tangannya, berusaha melepaskan diri dari Syaima, meskipun tak seagresif tadi. "Maaf, aku tidak punya waktu untuk mendengarkan kata-kata sok dramatismu."
"Apa yang harus kulakukan, agar kau mau kembali bersamaku?" Syaima masih tak mempedulikan sarkasme Lisa. "Apa ... apa? Apakah hanya Kak Fadhel ... yang bisa membuatmu bahagia?"
Seketika, Lisa menghempaskan tangan Syaima yang mulai melemah karena terlalu sibuk dengan isakannya. Fadhel. Lisa benci mendengar nama itu. Mengatakan Fadhel di hadapannya bagaikan menamparkan kenyataan bahwa Je dan Syaima sama-sama sudah saling mengenal dan menyimpan rasa sejak lama. Menghantamnya dengan panggilan kesayangan yang terdengar dari lidah sosok kepingan berharga di masa lalu Je.
Lisa tidak ada apa-apanya. Lisa kalah telak. Kali ini, atau mungkin memang lagi dan lagi, ia harus mengalah. Lisa harus mundur. Membiarkan hatinya terperosok pada jurang tanpa dasar, bernama 'rasa sakit'.
Begitu siap kembali ke kamar karena nafsu makannya mendadak hilang, Lisa terkejut ketika matanya tak sengaja menatap lantai ruang tamu. Dengan Syaima yang tergeletak tak sadarkan diri di sana.
◾◾◾
Hayoloh, Ama kenapa?
By the way, apa sih, harapan kalian atas duo sahabat kecil ini?
Apa perlu kubreak-in aja persahabatan mereka, ya? Huahaha.
Pernah ga sih, punya sahabat selengket Ama sama Lisa tapi mendadak harus merenggang hanya karena seorang lelaki? Well, ini tuh problematika kebanyakan anak-anak zaman sekarang, wkwk.
Kalo kamu berhak memilih, kamu akan ada di pihak Lisa yang telah berkali-kali dikecewakan, atau di pihak Syaima yang terus bertahan meski terus melakukan kesalahan sama?
See ya,
@dekadream
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top