Stop Livings in Past

"Halo, Ama! Siap, nama Melisa Andriani, dengan ini menyatakan, telah sedia siaga untuk memboikot isi kulkas dan toples kediaman Syaima Wildatussalwa."

"Hah?" Berbanding terbalik dengan Lisa yang terdengar berapi-api dan mata binar penuh antusiasmenya, Syaima justru mematung sambil mempertahankan raut wajah polosnya. Tatapannya menyerukan keheranan, diiringi sebelah alisnya yang terangkat. Mungkin yang sedang berkecamuk di pikirannya adalah: Ini gembel satu, ngapain datang ke rumahnya sepagi ini?

Tanpa basa-basi, Lisa menyerobot masuk rumah yang sudah lebih dari empat bulan tidak ia kunjungi. "Huaa, sofa merah yang kusayangi! Awis tepang sekali. Kau pasti merindukanku, iya, 'kan? Dan, oh! Kau juga, toples-toples surgawi yang banyak berisi kue nastar nikmat. Sudah berapa lama kembaran Lisa Blackpink ini tidak memangkumu dalam pelukan dan kehangatan sistem organ pencernaanku? Yah, walaupun tetap saja kau selalu berakhir sebagai sebuah feses, nantinya."

Syaima menepuk dahi, menyadarkan bahwa sikap absurd Lisa tak akan pernah hilang dari sejarah peradaban manusia, tak peduli sudah sedewasa apa pun ia. "Oke, Sa. Itu suatu hal yang menjijikkan. Tega sekali kau membahasnya di depan makanan."

"Dan, yeah! Inilah sang master dari segala ruang rinduku: kulkas dua pintu Ama! Kalau aku mengadakan nominasi kategori sesuatu yang paling kurindukan, maka kupastikan, kau akan menjadi juaranya, freezer! So, let's celebrate our meet right now!" Lisa mengelus-elus pintu freezer, memeluknya dengan erat--meskipun tangan pendeknya tak menjangkau seluruhnya.

Oh, kulkas tak berbelas kasihan! Lisa bahkan tak mengacuhkan kalimat dari sahabatnya sendiri, yang sudah jelas-jelas berupa makhluk hidup, manusia, berakal, dan berperasaan. Suasana rumah Syaima yang awalnya nyaman, damai dan tenteram, kini berubah drastis, menjadi lebih parah dibandingkan seruan histeris para santri yang baru saja mendapati gadis cantik di wilayah pondok pesantren, (dalam kasus ini, jelas-jelas Lisa bukan termasuk kategori). Hanya tinggal menunggu waktu, kulkas Syaima pasti sudah dimonopoli sempurna oleh spesies tak diundang itu.

"Aku akan mengecekmu, freezer. Bersiaplah." Lisa membuka pintu kulkas paling atas, dan hanya mendapati seonggok es batu di dalamnya. Wajah riang bersinar Lisa mendadak berubah sesuram masa depannya. "Nooo! Aku memang merindukanmu, freezer. Tapi aku akan jauh lebih menyayangimu kalau dirimu penuh dengan es krim menyegarkan! Enggak, aku gak terima! Aku harus mengajukan kontroversi!"

"Kau pikir, yang sering melahap habis isi stok es krim, siapa kalau bukan seorang Melisa Andriani, hm? Empat bulan tak ada kabar, ya jelas saja stok makanan di rumah tak begitu asyik lagi diajak kompromi untuk dipajang."

Lagi-lagi, tanpa menghiraukan dumelan Syaima, Lisa justru menghambur ke arah sosok pria setengah baya dengan uban yang semakin menyebar luas, muncul dari pintu depan sambil menggumamkan salam. "Abi! Bagaimana kabar Abi? Masih sering ke luar kota, kah? Lisa kangen oleh-oleh Abi!"

Kiai Rais tertawa kalem, macam anaknya, yang memperlihatkan dengan jelas setiap garis kerutan di sudut bibirnya. "Nak Lisa, sudah lama tak jumpa. Yah, seperti yang kau lihat, Abi sudah semakin tua dan renta. Akumulasi perjalanan ke luar kota sudah berkurang dengan intensif bulan-bulan ini. Toh, lagi pula, Abi tak begitu khawatir karena sudah ada menantu yang mampu mewakili posisi Abi. Seharusnya Abi yang bilang begitu padamu. Dua hari lalu, kau pulang dari Yogya, 'kan?"

Lisa mesem-mesem tak jelas, malu karena kedapatan liburan ke luar kota, dan kembali tanpa membawa oleh-oleh. Padahal sejak dulu, kalau Abi baru pulang dari luar kota, Lisa selalu menjadi orang pertama yang wajib sekali menanyakan perihal buah tangan itu.

Begitu Abi undur diri dari kedua sahabat yang kembali bersatu itu, Syaima lekas menarik tangan Lisa untuk memasuki kamarnya. Dan benar saja dugaan Syaima, Lisa langsung mengobrak-abrik seisi ruang kamar Syaima sampai macam kapal pecah. Benar-benar resek, memang. Untung Syaima adalah salah satu dari sedikit orang yang punya banyak ketersediaan stok sabar dalam jiwa raganya.

"Eh, Ma. Ngomong-ngomong, apa kabar suamimu? Dia enggak tinggal di sini?" tanya Lisa sambil berusaha memperlihatkan ekspresi datar yang biasa saja. Toh, jarak dan waktu sudah membantu Lisa untuk mengikis rasa itu secara perlahan namun pasti. Wajar saja Lisa melontarkan kalimat semacam itu, seolah-olah dia adalah orang baru yang sangat buta soal seluk-beluk kehidupan Syaima. Yah, empat bulan tanpa komunikasi berarti, jelas saja Lisa seakan tak tahu apa-apa soal sahabatnya yang satu itu.

"Kami tinggal di rumah yang kami bangun sebelah utara masjid ponpes. Tapi setiap dia kerja, mengajar santri di pondok, atau mendapat panggilan jauh, aku selalu ke sini, ke rumah Abi. Kebetulan sekali kau datang saat aku di sini, Sa." Seakan paham alur cerita yang Lisa mainkan, Syaima ikut mengalir saja. Meskipun pembahasannya cukup sensitif, sepertinya keduanya tahu persis bahwa mereka sedang mencoba bersikap biasa saja untuk menutupi kecanggungan satu sama lain. "Aku ingin tanya, Sa. Kau dengan Arkan itu ... seriusan menjalin hubungan bernama pacaran?"

Pipi Lisa bersemu dengan cepat. "Hah? Apa?"

"Jujur saja. Awalnya, aku yang memberikan nomormu pada Arkan. Saat itu, aku sudah merasa sangat putus harapan. Kupikir, Arkan bisa menjadi media penghubung antara aku denganmu, agar aku bisa memastikan bahwa kita berdua berada dalam status hubungan yang baik-baik saja. Tapi ... tak kusengaja akan sejauh ini. Aku sudah sering mendapati foto kebersamaan kalian berdua lewat setiap postingan Arkan di seluruh jejaring media sosialnya. Aku juga pernah melihat dirimu sedang jalan-jalan berdua dengan Arkan. Ditilik dari ekspresimu, jadi ... semua itu benar adanya?"

Gerak-gerik berupa ekspresi dari 'salah tingkah' Lisa semakin menjadi-jadi. Lisa malu setengah mati karena kedapatan menjalin hubungan dengan seseorang yang sering ia 'najiskan' sejak dulu. "Hm, gitu deh, Ma."

Suara sepotong tawa berhasil keluar dari mulut Syaima yang berusaha keras ia tahan. "Boleh ketawa, enggak?"

Muka Lisa berubah flat. Tangannya terulur untuk mendamprat punggung Syaima yang malah sibuk menahan tawa, meskipun kebanyakannya lolos, sih. "Ish, Ama mah gitu!"

Tawa Syaima berangsur terhenti. Mimiknya mulai berubah serius. "Kamu benar-benar mencintai Arkan, Sa?"

Kepala Lisa tertunduk dalam. Ia cukup malu dengan kenyataan bahwa ia menjalin hubungan yang katanya berlabel haram itu, di hadapan sahabatnya yang sudah mengikat akad dalam suatu pernikahan sakral dan diakui agama. "Hm ... entahlah. Ma, pacaran itu dosa, ya?"

Syaima tersenyum saja mendengar pertanyaan Lisa yang jelas-jelas sudah mengetahui jawabannya. "Menurutmu?"

Kedua sudut bibir Lisa semakin melengkung ke bawah. "Iya sih, kayaknya. Tapi, apakah berpacaran dengan niat sebagai penyemangat hidup, tetap berdosa? Bukankah segala sesuatu itu dinilai dari niatnya?"

"Gini, deh. Buat kamu yang masih pacaran dengan menggunakan 'penyemangat hidup' sebagai tameng pembenaran, apakah kedua orang tua yang susah payah banting tulang demi kelangsungan hidupmu, tidak cukup menempati posisi itu?"

Kena telak. Kalimat itu benar-benar menghantam jiwa Lisa dengan keras. Apalagi, mengingat kondisi Ibu yang semakin lemah beberapa waktu belakangan ini. Rasa bersalah semakin menguasai hati Lisa.

Untuk sesaat, keduanya memilih tidak angkat suara sedikit pun. Renungan keduanya semakin tinggi mengangkasa di awang-awang sana. Hingga Lisa teringat pertemuan terakhirnya dengan Hafidz sehari yang lalu. Oh, mumpung ada orang yang bisa ia tanyai. "Ma, kalau kau menjadi penulis, bagaimana keputusanmu begitu ada yang menawari karya tulisanmu agar diterbitkan?"

Teruntuk pertanyaan kali ini, Syaima terlihat berpikir lebih keras. Terus terang saja, ia bukan ahlinya dalam hal semacam ini. "Keputusanku sebagai seorang penulis, ya? Hm ... menurutku, impian setiap penulis adalah melahirkan karyanya, 'kan? Tentu saja aku akan mengambilnya. Kesempatan emas, itu. Tak boleh disia-siakan."

"Tapi, bagaimana kalau dengan diterbitkannya karyamu, kau malah semakin jauh dari Allah? Masih samakah keputusanmu itu, Ma?"

"Argh, pertanyaanmu terlalu rumit dan pelik, Sa!" Syaima mengacak-acak kerudung hitamnya frustasi, merasa pembahasan kali ini jauh melebihi kapasitas yang dapat diterima otaknya.

Dalam hati, Lisa ingin menertawakan respon Syaima. Sungguh, demi stok es krim yang sudah habis di kulkas Syaima, baru kali ini Lisa melihat pemandangan di saat Syaima seolah kehilangan harapan hidup seperti ini. Menyaksikan orang paling sabar yang Lisa kenal jadi mendadak kelimpungan karena satu pertanyaan, justru menghadirkan kesenangan tersendiri. Macam ada kepuasan batin, gitu.

"Oke, aku yakin seratus persen, pasti pertanyaan membingungkanmu ini berkaitan erat dengan masalah yang sedang kau hadapi, benar begitu?" tebak Syaima, mengenai sasaran. "Jadi, dari pada membuatku seolah menyelam dalam kegelapan samudera tiada dasar, lebih baik kau ceritakan masalahmu, supaya aku mengetahui duduk persoalannya dengan jelas. Agar tidak ada salah tangkap, tidak ada kesalahpahaman di antara kita. Oke?"

Lisa menyemburkan napas ke atas, mengingatkan pada dirinya sendiri untuk yang kesekian kalinya, bahwa Lisa tidak bisa menyembunyikan sesuatu dari pengamatan Syaima. "Oke, jadi begini. Kau tahu Majelis in Love, 'kan? Karyaku yang sempat kau baca saat itu, dan kau pinta agar aku terus menulis?"

"Oh, ya! Yang isinya lebih mirip curhatan itu?"

Sialan. Syaima benar-benar ingin membuatnya kesal. "Hm. Tepat sehari yang lalu, aku kehilangan buku itu. Tahunya, cecunguk buluk itu yang menyimpannya--entahlah, aku bahkan mulai curiga bahwa dia sengaja mengambilnya tanpa izin dariku--"

"Tunggu, tunggu," tukas Syaima, berpikir sekilas. "Yang kau maksud cecunguk buluk itu Hafidz? Ya Allah! Kau masih mempertahankan panggilan laknat itu untuk disematkan padanya?"

Lisa mendengus, kesal karena kalimatnya terpotong hanya untuk seruan lebay yang berlebihan dan tidak tahu tempat itu. "Nah, untuk mengambil kembali buku itu dari kuasanya, aku harus memenuhi syarat yang dia ajukan: menerbitkan tulisanku dalam bentuk fisik buku. Sebenarnya, aku sudah mendapatkan kembali bukuku tanpa memenuhi syarat tak masuk akal itu. Tapi lama-kelamaan, cukup mengganggu pikiranku juga. Kupikir, sayang sekali kalau hasil tulisan hanya mengendap di draft. "

"Ya udah, simpel, dong. Terbitkan saja. Kenapa harus pusing-pusing?"

"Masalahnya, bagaimana kalau selepas menerbitkan karya, aku malah terkenal di seluruh hamparan bumi nusantara ini? Mendadak famous, gitu? Bukannya sangat merugi, ya, jika di dunia, seluruh manusia meneriakkan nama kita penuh kekaguman, tapi di hari akhir kelak, Rasulullah tidak menyebutkan nama kita sebagai salah satu umatnya yang mendapat syafa'at."

Syaima malah tergelak. "Mendadak famous? Ya kamu jangan terlalu kepedean dulu, lah! Tapi kata-kata mutiaramu yang aku yakini hasil copy-paste dari internet itu memang ada benarnya, sih."

"Dih, itu buatanku sendiri, lho!"

"Oke, bercanda," cetus Syaima segera, malas memperpanjang persoalan. "Ingat harapanku saat itu? Aku yakin, kau bisa menuangkan dakwah pada setiap aksaramu."

"Jadi?"

"Konsep dakwah dalam penegakkan tiang-tiang agama Islam itu sangat penting. Berdakwah bukan sekadar kewajiban seorang da'i atau alim ulama. Melainkan berupa kewajiban, tanda bahwa kita adalah seorang muslim. Kalau lewat tulisanmu bisa menggugah dunia untuk lebih dekat kepada Allah, kenapa tidak? Dan kau juga tidak perlu membeberkan identitas aslimu kalau tak ingin menjadi terkenal."

Tak perlu membeberkan identitas asli? Menggunakan semacam nama pena, kah? Good idea! Bertingkahlah sebagai sosok orang misterius. Bukankah itu terdengar sangat keren?

◾◾◾

Penggalan lirik soundtrack FROZEN cocok banget buat chapter ini:

The past is in the past!
Let it go~ Let it go~

Wkwk. Okay, enough.

Dua part lagi khatam:(

With Love,
@dekadream

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top