Play The History
Jangan bersedih ketika sang mentari tenggelam tanpa pernah terbit kembali. Meski diliputi kegelapan, masih ada rembulan yang bersinar dengan sejuta purnamanya. Percaya atau tidak, itu adalah aku.
Berulang-ulang Hafidz membaca hasil ketikannya pada nomor yang sudah ia hafal di luar kepala, berulang-ulang pula Hafidz menyumpahi dirinya sendiri sambil berharap Lisa tak membacanya meski sudah bercentang biru. Parah, kenapa pesannya terkesan curhat begini? Nasib baik Lisa tidak pernah mempermasalahkan dengan bertanya macam-macam pada nomor tanpa identitasnya. Aneh, sebenarnya. Padahal Lisa tipikal cewek kepo yang tidak akan pernah bosan mencari tahu soal hal misterius, apalagi yang berkaitan langsung dengan dirinya sendiri.
Rasanya Hafidz ingin amnesia saja dalam rentang waktu dua minggu terakhir, supaya apa yang membuatnya kesal tidak akan terus menghantui setiap saatnya, terutama sebelum tidur. Hafidz bahkan seringkali kepikiran sampai tidak bisa terlelap dua minggu ini. Alhasil bagian bawah matanya dihiasi lingkaran hitam mengerikan yang sering disamarkan Hafidz menggunakan fondation, dan alat-alat cewek apalah itu namanya--Hafidz hanya tahu mereka bedak dan digunakan pada kulit--make up kepunyaan Abil yang dipakai sembunyi-sembunyi, tentu saja. Tengsin sekali kalau sampai cowok sedingin dia kepergok pakai alat cewek.
Baru saja Hafidz keluar dari toilet ikhwan yang berdampingan dengan toilet akhwat, seseorang yang selalu memenuhi benak dan pikirannya mendadak muncul dari kelokan koridor. Secara otomatis, senyuman Hafidz mengembang begitu saja. Syukurlah, anak itu benar-benar menghadiri acara pernikahan ini.
"Mana jaketku?" tanya Hafidz, melipat kedua tangan di depan dada. Tak butuh dua detik, senyuman Hafidz kembali padam. Hafidz dapat melihat suatu hal menyakitkan dari sorot mata Lisa. Dia pasti tidak baik-baik saja.
"Ambillah, terima kasih."
Kantung plastik hitam itu terlempar tepat di hadapan Hafidz yang langsung menangkapnya sebelum benar-benar menabok wajah. Jantung Hafidz mendadak berdetak dua kali lebih cepat. Dadanya menggebu. Hafidz harus melakukan sesuatu.
Terlambat. Lisa sudah terlanjur masuk toilet dan menggebrak pintu.
Tangan Hafidz mengepal. Rasanya ia kesal terhadap dirinya sendiri. Karena selama ini, Hafidz selalu saja tak mampu menenangkan gadis itu. Suara keran terdengar mengalir deras. Pasti Lisa sedang menangis di dalam sana. Oh, andai saja Hafidz sudah berlabel halal untuknya. Hafidz ingin memberi kehangatan, merengkuhnya dalam pelukan, mengelus kepalanya sambil berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja.
"Abang, dari mana aja, sih? Kebiasaan banget, deh. Dari tadi dicariin."
Hafidz berdeham, mengembalikan aura cool-nya yang sempat pudar gara-gara kepikiran gadis itu. "Kenapa?"
"Abil teleponin malah enggak aktif. Kenapa sih, gonta-ganti mulu nomor hape? Padahal belum ada lima jam sejak terakhir kali Abang ganti. Bikin orang susah saja. Mana group chat komunitas Abang yang Bumi Sastra apalah itu ada di ponsel Abil, pula. Berisik, tahu," cerocos Abil tak memberi kesempatan pada Hafidz untuk menyela sedikit pun.
"Kebetulan yang menyenangkan, Nabilla Az-Zahra," sahut Hafidz yang mendadak berlagak formal dengan menyebut nama lengkap adik kecilnya itu.
"Hah?" Dengan semangkuk bakso kuah yang masih mengepul dan menguarkan aroma nikmat di tangannya, Abil ternganga.
"I have a mission that you need to complete."
"Misi apaan sih, Bang? Akhir-akhir ini Abang sering banget main misi-misian," gerutu Abil yang sedetik kemudian membulatkan bibir sambil menyalakan binar di kedua mata hitam legamnya. "Oh, ini soal ... Kakak itu, ya?"
Hafidz memutar bola mata melihat ekspresi terkejut dan nada berbisik Abil yang alay, dramatis, dan bermaksud menggodanya itu. "Kalau iya, kenapa?"
"Wooh, you sure have a truly love with her! Abang Papan Triplekku akhirnya merasakan jatuh cinta, Ya Allah. Abil terhura. Ternyata benar, ya, kalimat bijak di novel-novel itu. Cowok tsundere susah jatuh cinta, tapi sekalinya cinta, gunung didaki, samudera diarungi, lautan disebrangi!"
"Shut up, Bil." Alis Hafidz mengerut kesal, suara Abil terlalu keras. Benar-benar memalukan.
"Jadi, apa misi kali ini, Bang?"
Hafidz menyemburkan napas melihat Abil yang mendekatkan wajahnya, tertarik. "Tumben sekali kau seantusias itu."
Abil hanya menanggapi sindiran Hafidz dengan cengiran melintang lebar dari kedua sudut bibirnya. "Yang jelas ada kompensasinya, Bang."
Tangan Hafidz terulur untuk menjitak kepala adiknya penuh kelembutan. "Kompensasi, matamu. Kecil-kecil sudah mata duitan."
"Yee, bukan mata duitan, Bang. Ini namanya teknik mencari keuntungan."
"Ngeles aja kamu. Sini, mangkuknya. Segera kerjakan misi." Dalam gerakan kilat, mangkuk bakso menggiurkan itu sudah berada di tangan Hafidz.
"Yah, yah. Nanti dululah, Bang. Abil habiskan dulu baksonya," rengek Abil sambil berusaha menggapai-gapai dari badan tiang listrik abangnya.
"Nanti kukasih selusin mangkuk bakso. Deal?"
Tanpa perlu menunggu sedetik sejak pertanyaan Hafidz terlontar, Abil sudah menyambar cepat, "Oke, deal!"
◾◾◾
Amburadul. Satu kata itu sudah cukup untuk menggambarkan kondisi wajah Lisa saat ini. Lisa mendengus, menarik kembali selaput lendir yang tadinya sudah siap mendarat. Ia terus mematut diri lewat kamera ponselnya. Menggeledah isi tas selempangnya, kemudian mengeluarkan sekotak tisu dan sebuah bedak padat berbentuk bulat--satu-satunya alat dandan yang Ibu punya. Terus terang saja, Ibu sering menegur Lisa supaya bisa berdandan macam anak gadis lain, padahal Ibu sendiri hanya bisa mengoleskan bedak tanpa embel-embel apapun di wajahnya. Yang penting tidak kucel sepertimu, elaknya saat diserang balik oleh Lisa.
Sesuai dengan prediksinya, dua benda itu pasti akan sangat dibutuhkan saat ini. Setelah memastikan tidak ada jejak air mata di pipinya, Lisa mulai terlihat mengotak-atik bedak Ibu. Menyebalkan. Tidak ada menyenangkannya sama sekali. Lisa sungguh heran pada wanita yang rela berjam-jam di depan cermin hanya untuk membubuhkan bedak tak berguna macam ini. Huh, andai saja keadaan tak memaksanya, Lisa malas sekali melakukan semua ini.
Tak dapat dikatakan sempurna, tapi cukup untuk menutupi. Toh, tidak akan ada yang memandangnya dalam jarak lima belas sentimeter hanya untuk melihat bengkak di kantung matanya, 'kan?
Drrt, drrt!
Sebuah notifikasi dari nomor misterius sukses mengalihkan perhatian Lisa.
Let your smile change the world, not the world change your smile. Tunjukkan pada dunia, bahwa, "Nah, ini lho aku yang sekarang. Ini lho aku yang sekarang, tak akan mudah terhempas hanya karena sebuah rasa yang tak terbalas."
Mengena sekali, sebenarnya. Sempat menohok, tapi Lisa segera mengepalkan tangan. Pesan misterius itu ada benarnya juga. Dengan sebuah hembusan napas, Lisa melepaskan kerasahan, menyebar kebahagiaan sebanyak mungkin di sekitarnya. Pintu toilet ia buka, sekaligus berusaha membuka pintu penerimaan di hatinya.
Namun, pemandangan di hadapannya sangat mengejutkan. Masih sama sejak terakhir kali Lisa meninggalkannya. Bedanya, sebuah mangkuk berisi bakso kuah kini bertengger manis di tangan kokoh lelaki itu. Tangan kanannya menggulir layar ponsel dengan santai, tubuh tegaknya kini bersandar pada dinding koridor yang tak terlalu sepi.
Merasa diperhatikan, Hafidz balas menatap seorang gadis yang baru saja keluar dari toilet akhwat.
Seakan tersengat listrik bervoltase tinggi, Lisa berjengit dan segera memalingkan muka ke sembarang arah, ke mana saja yang penting tidak tepat pada dua bola mata itu. Sialan, hancur sudah martabatmu, Sa. Kepergok perhatian, sok buang muka segala, lagi! Meski tangannya bergetar tak keruan dan keringat dingin sudah mulai membasahi sekujur tubuhnya, Lisa sok apatis saja. Habisnya cecunguk buluk itu bikin penasaran kuadrat, sih. Kalau melihat sebagian tamu undangan yang sudah mulai merapikan bekas makan perasmanannya, tentu sudah lama sekali Lisa dalam toilet dan lelaki itu masih saja berdiam diri di sebelah sana?
Hafidz berdeham, tubuh Lisa semakin menegang. Stay cool, Sa. Stay cool. Anggap aja mantan ngajak balikan. Ya, itu mengerikan dan tidak perlu ditanggapi. Lebih horornya lagi, jangankan ngajak balikan, Lisa punya mantan saja tidak.
"Melisa Andriani."
Suara berat itu berhasil menghentikan langkah Lisa. Mendadak kakinya sulit digerakkan. Patah-patah, Lisa menoleh. Saking salah tingkahnya, Lisa mendadak kelepasan melampiaskan emosi. "A-apa? Kau tidak perlu mencampuri urusanku! Berdiam diri di sini lama-lama, benar-benar tidak ada kerjaan! Oh, pasti kau juga dalang di balik setiap pesan misterius yang masuk WhatsAppku, 'kan? Hentikan, enggak ada gunanya."
Masih dengan papan triplek datar di wajahnya, Hafidz menarik ujung jaket hitam bagian lengan Lisa. Kemudian meletakkan mangkuk bakso yang sudah tak mengepulkan uap itu di atas telapak tangan Lisa. "Tenangkan dirimu. Dan bangunlah. Ini bukan novel detektif dengan sejuta misterinya. Bodohnya lagi, kau tuduh aku. Kau pikir hidupku seringan apa sampai sempat-sempatnya berbuat hal tak masuk akal macam itu?"
Bungkam. Lidah Lisa benar-benar terkunci. Pipinya mulai menjalarkan kehangatan, rona kemerahan merekah. Apa-apaan tuduhan tak berdasarnya tadi? Lagian bagaimana bisa Lisa berpikir Hafidzlah pengirim pesan misterius yang sering mengirimi perhatiannya itu? Terlalu jauh, Sa! Mungkin Hafidz benar, Lisa harus segera menyadarkan diri saat ini.
Tanpa berkata apa-apa, Hafidz sudah berlalu begitu saja. Lisa segera fokus pada mangkuk bakso di tangannya. Lumayan. Di saat galau seperti ini, ia butuh lebih banyak asupan gizi.
"Kak Lisa!"
Persis saat Lisa menyeruput habis kuah bakso dari bibir mangkuk, saat itu pula seorang gadis kecil menghampiri sambil memeluknya. "Abil!" Lisa balas memeluk pundak Abil yang tak lebih tinggi darinya.
"Kak Lisa sedang apa di sini? Makan bakso kok dekat toilet, sih. Enggak elit banget."
Lisa tertawa, satu-satunya tawa yang bisa keluar pure dari hatinya hari ini. "Yeah, kenapa enggak? Anti-mainstream, gitu. Beda dari yang lain."
"Eh, Kak," interupsi Abil yang menghentikan gelaknya. "Di sini suram banget. Sejak awal, Abil paling gak suka kalau harus hadir di acara-acara kayak gini. Nasib baik ada banyak bakso sama es krim gratis yang bikin Abil oke-oke aja. Sekarang Abil udah kenyang. Kak Lisa mau anter Abil ke suatu tempat, enggak? Aku yakin Kak Lisa suka banget!"
"Ke mana?"
Abil menunjukkan cengirannya begitu melihat alis Lisa mengerut, dengan kedua matanya yang menyala akan rasa penasaran. "Ikut aja, yuk!"
Meski sebenarnya Lisa dan Abil selisih lima tahun, tapi mereka jauh lebih terlihat layaknya sahabat yang istilah gaulnya, hendak nongkrong bareng-bareng.
Tak lama, mereka sampai pada sebuah tempat yang sudah lama tak dikunjungi Lisa. Masjid agung, masjid dengan sejuta ketenangan tiada tara di dalamnya. Angin siang berhembus, memainkan jilbabnya. Ada rasa bersalah yang menelisik di hati. Seolah hembusan angin mengatakan, 'Lama tak berkunjung, kau terlalu sibuk dalam rasa sakit yang tak seharusnya ada'.
Tak ingin mengganggu suasana, Abil tersenyum saja melihat Lisa yang terus saja menatap kosong setiap sudut masjid, seakan tengah merenungi sesuatu. Tak ada kata, tak ada suara. Lisa tergiring begitu saja untuk membasuhkan air wudhu', kemudian melaksanakan sholat dhuha dua rakaat.
Selesai melipat alat sholat, Lisa ditarik Abil untuk menuju sisi lain masjid agung, sebuah perpustakaan mini dengan tumpukan buku Islami di sana-sini. Mata Lisa berbinar. "Hei, sejak kapan masjid agung punya fasilitas ini?"
Abil terkekeh, bersama Lisa mulai mencari-cari judul buku yang menarik minat. Lisa menarik sebuah buku berwarna hijau turki yang berukuran besar. Ensiklopedi Biografi Nabi Muhammad Saw; dan Tokoh-Tokoh Besar Islam: Panutan dan Teladan Bagi Umat Sepanjang Masa, jilid 1.
Sepanjang pagi, Lisa menghabiskan waktunya untuk membaca ensiklopedi itu sampai waktu menunjukkan pukul sepuluh. Dengan rasa ingin tahunya, Lisa kembali menyelami sebuah sejarah yang kisahnya takkan pernah ada duanya.
◾◾◾
Buat scene baca ensiklopedi itu tuh aku dapet inspirasi pas lihat-lihat perpustakaan madrasah. Nah, di sebelah rak tuh ada fentilasi gitu kan, yak. Aku ngintip, pas banget bapak-bapak lagi pada jum'atan. Halusinasikoe mengangkasa. Ngebayangin gimana kalo dari sini, seseorang ga sengaja ketemu ama someone special di idupnya, gitu. Meskipun agak melenceng dari niat awalnya, finally lahirlah Majelis in Love ini, wkwkwk.
Cheers,
@dekadream
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top