Piece of Dream

"SYAIMA WILDATUSSALWA, PENGUMUMAN PENTING! CEWEK CANTIK JODOHNYA ABANG GANTENG YANG KAU RAGUKAN HASIL UJIANNYA INI LOLOS SNMPTN!"

"Serius, Sa? Alhamdulillah," ujar Syaima menampilkan senyuman terbaiknya. Kejadian ini bisa-bisa jadi keajaiban dunia. Langka banget, cuy. "Tapi, enggak usah loncat-loncat juga bisa, 'kan?"

Meski suara Syaima terdengar tajam, binar kebahagiaan pada gadis abnormal itu tidak sirna begitu saja. Bukan apa-apa, Lisa datang-datang sudah pecicilan jingkrak-jingkrakkan di atas tempat tidur Syaima yang spring bed itu. Katanya, 'Kasur Ama nyoy banget kayak jeli, sih!'. Padahal, baru beberapa detik lalu Syaima membereskannya dengan sepenuh hati. Lah, Si Tengil Lisa malah menghancurkan segalanya. Tahu bagaimana rasanya? Kayak mantan yang sudah lama tertinggal di masa lampau, tiba-tiba masuk lagi di kehidupan kita sambil mengacak-acak hati yang awalnya sudah kita tata sebaik mungkin. Mantep enggak, tuh?

"Jadi ...." Meskipun tidak menanggapi tegurannya, Lisa kembali jinak kemudian mengikis jaraknya dengan Syaima, bersamaan dengan seringaian mengerikan yang mekar di wajahnya. "Mau kasih aku hadiah apa?"

Syaima memutar kedua bola mata, perkataan itu sudah Syaima duga akan terlontar tak lebih dari sepuluh detik semenjak kehadirannya di rumah Syaima. Mungkin Syaima perlu menabur bawang putih di sekeliling rumahnya supaya tidak didatangi makhluk astral sejenis Lisa. "Hadiah melulu yang otakmu pikirin," celetuknya, melipat kedua tangan di depan dada.

Bukannya marah dan tersinggung atas perkataan berupa kenyataan yang terlontar dari mulut Syaima, Lisa justru menawar, "Oh, beliin aku novel aja, ya. Banyak banget list novel yang mesti kubeli tahun ini."

"Eng-gak."

"Ama cantik, ih. Mau shodaqoh ke sahabat sendiri aja susahnya minta ampun." Lisa masih terus memakai segala cara untuk mendapatkan hati Syaima, ciailah.

"Shodaqoh tuh enggak harus ke sahabat sendiri, apalagi terdapat unsur paksaan begini."

Lisa memonyongkan bibirnya ke depan--fase yang akan dilaluinya ketika ia sudah kehabisan kata-kata dan berada di ambang kekalahan. Syaima tuh sebenarnya jarang bicara. Tapi sekalinya bicara, selalu ngena dan enggak pernah bisa dikalahkan. Sampai bikin makhluk seabsurd Lisa yang biasanya bikin orang kesel, kini kena batunya.

Syaima menggeleng sejenak, kemudian bangkit dan berjalan keluar rumah. Di belakang, Lisa sudah heboh mengikuti langkahnya. Ngintil-ngintil aja tuh anak kayak anak ayam cari induknya. Wuih, jadi keinget kartun si kembar Malaysia itu, 'kan?

"Ama, mau kemana? Enggak jelas banget, sih," komentar Lisa yang sudah tak tahan untuk angkat suara begitu mereka telah keluar dari kawasan pondok pesantren.

"Tahu enggak jelas, kenapa masih ngikut?"

Lisa cemberut, mendadak selera bicaranya menghilang, lenyap ditelan bumi. Akhir-akhir ini, Syaima jadi menyebalkan sekali. Daripada capek-capek mengoceh padanya, Lisa memilih bungkam seribu bahasa. Enggak mau tahu!

Merasa tidak mendengar perlawanan seperti biasanya, Syaima membalikkan badan untuk melihat sahabat kecilnya itu. Dalam sekilas lirikan, Syaima sudah 'ngeh' Lisa yang kekanak-kanakkan itu tengah marah. Lisa tuh sensitif kayak cewek PMS. Bedanya, penyakit sensitifnya ini kambuh setiap saat. Rasanya, tidak pernah sehari pun dilewati Syaima tanpa omelan Lisa. "Ngambek, nih?"

"Gak tahu. Lagi males bicara. Tanya aja sama tembok, sono."

Syaima tertawa mendengarnya. Lisa memang menyebalkan, hobinya bikin orang keki. Tapi melihat ekspresi kesalnya merupakan hiburan tersendiri bagi Syaima. Apalagi Lisa yang katanya lagi 'mogok bicara', tapi masih bisa menjawab pertanyaannya. "Oh, baguslah. Tadinya mau kutraktir es krim cokelat. Kalau enggak mau sih ...."

"Kata siapa enggak mau!" sela Lisa begitu menyadari bahwa kini mereka sudah berada persis di depan kedai es krim favoritnya. "Yeay, es krim! Enggak novel, es krim pun jadilah! Ice cream, i'm coming!"

"Eits," tegur Syaima, menarik bahu Lisa untuk menghentikan sikap pecicilannya yang kembali lagi keluar. Lihat saja, anak itu sudah loncat-loncat kegirangan di tepi jalan ramai, seakan lupa baru beberapa detik yang lalu ia berakting marah. Emang, ya. Lisa tanpa pecicilan itu bagaikan bumi tanpa langit. "Yang males bicara sih, enggak usah. Aku mau traktir tembok aja. Soalnya tadi dia mau ngomong sama aku. Asyik, tahu."

"Ama, niat baik itu enggak boleh dicancel, lho. Ayo makan es krim!"

Nasib baik, Syaima pribadi yang sabar menghadapi makhluk seabstrak Lisa. Gadis itu tersenyum maklum saja saat Lisa memesan banyak es krim untuk dirinya sendiri, padahal itu hasil palak dari dompet Syaima. Dan supernya lagi, Lisa memesan es krim dengan harga tiga kali lipat lebih mahal dari pada sang pentraktir.

Kalau jadi Syaima, udah keki belum, tuh?

◾◾◾

Setelah menghabiskan tiga gelas es krim sampai bersih tak bersisa, Lisa masih sempat-sempatnya memesan dua porsi es krim tambahan untuk dibungkus dan dimakan di rumah Syaima nanti. Yang pada akhirnya, tetap ia makan di sepanjang jalan. Bilangnya sih, enggak tahan terhadap pesona es krim di genggaman tangan. Dasar bocah. Plin-plan banget.

"Ngapain di sini?" Lisa masih sibuk menjilati es krim dengan mulut yang sudah belepotan oleh berbagai macam topping, mulai dari cokelat, lava stroberi, creamy vanila, pecahan kacang mede, bubuk astor, sampai seres warna-warni itu. Dua tangannya erat menggenggam dua es krim terakhir. Ia memakan dengan metode 'jilat kiri-jilat kanan' favoritnya. Lisa heran melihat Syaima yang membaringkan tubuh di atas rerumputan halaman belakang rumahnya. Meski begitu, Lisa ikut-ikutan duduk di sebelahnya. Masih dengan es krim yang tak mau ia lepas itu. Rempong sekali, memang.

"Akhir-akhir ini, aku suka mengunjungi tempat ini. Apalagi di saat senja kayak begini."

Lisa yang baru saja menghabiskan dua es krim sekaligus, kini ikut berbaring di sebelah Syaima, merasa tertarik pada hamparan jingga yang tersaji di hadapannya. "Senja, ya? Indah namun sekejap."

"Tapi membekas di pelupuk hati," sambung Syaima segera.

"Hm." Lisa menggunakan dua telapak tangannya sebagai bantal, mencari posisi paling nyaman. "Kayak pertemuanku sama Abang Ganteng. Sebentar tapi terbayang sampai enggak bisa tidur. Efeknya bisa sekuat itu, ya?"

Meskipun sering berlebihan dan mendramatisasi keadaan, Lisa mengatakan apa adanya. Setiap malam selalu dibayangi siluet sosok Je yang berlapis ribuan kerinduan. Abang Ganteng-nya itu sudah seperti hantu saja yang mengiringi tidurnya. Tapi Lisa tak pernah mau berhenti. Senyuman manis Je tak pernah luput untuk ia lukiskan di antara bintang-bintang angkasa harapan. Motto hidupnya, 'aku padamulah, Abang Ganteng'.

Syaima segera angkat suara, sebelum halusinasi Lisa semakin menjadi-jadi dan sulit untuk membuatnya kembali menginjakkan kaki di atas permukaan bumi. "Kamu punya mimpi, Sa?"

"Tentu saja menjadi istri sah--"

"Tidak, tidak," sela Syaima cepat, sebelum kesalah pahaman benar-benar terjadi. "Kau sudah dua puluh tiga kali menyatakan mimpi yang satu itu. Lagipula, tanpa kau bicarakan aku sudah tahu sejak awal. Jodoh itu kaitannya dengan takdir Ilahi. Yang kubahas ini impian, suatu pencapaian. Berkaitan dengan ikhtiar dan tawakkal. Aku senang melangitkan mimpi di antara semburat jingga menghiasi angkasa raya. Kurasa tak ada salahnya kita berbagi impian di sini. Aku tak pernah tahu kau punya mimpi, habis kau selalu terlihat bercanda setiap kali aku membahasnya."

Benar juga. Selama tujuh belas tahun ini Lisa menghirup napas di bumi, tidak pernah ada mimpi yang membuatnya benar-benar berambisi ingin meraihnya. Selalu saja terbawa arus. Baca novel yang ceweknya mengobati luka sang cowok, kepengen jadi dokter dengan motif: 'Supaya bisa modus dan terlihat keren pas si doi luka. Berasa jadi bidadari tak bersayap gitu'. Lihat konser Blackpink via YouTube, kepengen jadi idol. Lisa berpikir sejenak. Sesuatu hal yang ingin ia raih. "Penulis, mungkin?"

Syaima tergelak. "Kok ragu begitu?"

"Ish, berat sekali pembahasanmu ini, Ma. Yang lain, yang lain," protesnya serba salah. Otak dangkal Lisa mana kesampaian sih, bahas yang begituan?

"Senja itu hanya tiba sesaat kan, ya?" Pandangan Syaima mengikuti mentari berlapis selaput awan yang kian menurun di kaki langit. "Begitu juga dengan kehidupan. Cepat atau lambat, setiap manusia akan kembali ke pangkuan Rabb-nya, kembali pada hakikat asalnya. Tinggal menunggu waktu. Dan pilihannya hanya ada dua: meninggalkan, atau ditinggalkan."

Lisa menghela napas, tak seperti biasanya yang ketika mendengar kata mengenai 'kematian', selalu bergidik ngeri dan memaksa Syaima menghentikan ucapannya. Lisa teringat Ayah. Yang menurut pemaparan Ibu, meninggal dunia saat petang begini, persis ketika Lisa pertama kali menyapa dunia.

Lisa tak pernah melihat wajah keras kebapak-annya. Lisa tak pernah mendengar tegas suaranya. Lisa tak pernah merasakan hangat dan nyaman di balik perlindungan punggung kokohnya.

Selama ini, Lisa hanya bisa mengada-ngada. Membayangkan semuanya dalam benak ketika tubuh kokoh itu mengelus rambutnya lembut. Bermimpi dengan ilusi ketika sosok itu menguatkan Lisa. Semua itu hampa, kosong, hanya fatamorgana semata.

"Begitu pula denganku. Bila suatu saat nanti, aku lebih dahulu dipanggil, apa kau ... akan mencari penggantiku?"

"Ama jangan bilang begitu," lirihnya. "Kalau kau pergi, aku berbagi curhatan unfaedah pada siapa? Tidak ada yang mengerti karakterku lebih daripada kamu, Ama."

Syaima melukis senyuman manis pada wajah bercahayanya. Ia sudah menduga jawaban itu yang akan keluar dari mulut Lisa. "Tenang saja. Ada Allah, kok. Dia sangat mengerti kamu, selaku makhluk ciptaan-Nya. Dia akan selalu mendengarkan keluh-kesahmu. Dia akan selalu hadir, bila kau selalu menghadirkan nama-Nya di setiap sepertiga malammu, waktu yang paling romantis untuk bercengkerama dengan Rabb-mu."

Lisa terdiam, tak tahu harus berkata apa.

"Ingatlah, Allah selalu menunggumu untuk mulai bercerita pada-Nya. Kurang romantis apa lagi, coba? Daripada dia yang enggak peka-peka, 'kan?"

Sindiran halus Syaima itu mengena di sudut hati Lisa. "Huaa, Abang Ganteng cepat halalin aku, dong!"

"Rumah tangga enggak sesimpel perkataanmu itu."

"Oh, iya. Aku harus sabar menanti kan, ya. Abang Ganteng masih otewe. Baru sampai mana, ya? Apa jangan-jangan kesasar?"

"Enggak apa-apa kesasar, asal jangan nyangkut di hati orang," goda Syaima membuat Lisa semakin menjadi-jadi.

Lisa menengadahkan kedua tangannya. "Ya Allah, hamba yakin setiap jodoh akan bertemu di saat yang tepat. Hamba yakin setiap jodoh tidak akan ada yang namanya kesasar, nyelip, atau bahkan kandas disambar orang lain. Oleh karena itu, jangan patahkan keyakinan hamba-Mu ini, Ya Allah. Aamiin."

Syaima cekikikan. "Kamu kedengaran yakin banget Bang Je jadi jodohmu. Bangun, Sa. Tidur habis Ashar apalagi mimpi ketinggian macam itu enggak boleh. Terlalu yakin sama makhluk hanya berbuah kepahitan. Yakin aja sama Allah. Yakin bahwa Allah pasti ngasih yang terbaik buat kita."

Lisa mencebik kesal. "Ish, sambil nungguin Abang Ganteng bertamu ke rumah, biarkan aku hidup di alam mimpi sejenak, Ma."

◾◾◾

No author note.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top