Majelis in Break
"Huwaa, cowoknya mati, dong!"
"Innalillaahi," komentar Syaima datar, masih dengan mata yang fokus menelusuri dunia maya di genggaman tangannya. Pancaran cahaya biru dari layar ponsel menerangi wajahnya. Suara lantunan sholawat yang terdengar merdu dari masjid utama pondok pesantren mengalihkan perhatian Syaima pada deret angka penunjuk waktu di telepon genggamnya. "Lima menit lagi adzan, Sa. Waduh, aku terlambat. Ayo ke masjid!"
"Aku lagi halangan," sahut Lisa bersamaan dengan cengiran lebar menghias di wajah innocent-nya.
Syaima menyipitkan mata, menatap sahabat kecilnya penuh selidik. "Sengaja, ya. Kebiasaan," gumamnya baru menyadari sesuatu.
Bagaimana mungkin Syaima bisa melupakannya begitu saja? Persis beberapa menit lalu, Lisa menyatakan diri hendak bermalam di rumah Syaima. Katanya, mumpung belum sibuk banget di kampus. Pernyataan yang cukup tidak tahu diri, sebenarnya. Karena, memangnya Lisa punya kesibukan selain mengganggu Syaima?
"Sengaja apa, sih?"
Syaima geleng-geleng melihat Lisa yang masih-masihnya saja sok tidak tahu apa-apa. "Aku baru sadar pola bermalam kamu akhir-akhir ini, sih. Tapi, berdasarkan data penelitian yang kuanalisa, sembilan puluh sembilan persen besar kemungkinan kamu bermalam ketika halangan. Itu pasti ada motif tertentu, 'kan?"
Lisa masih mempertahankan cengiran lebarnya. Sejujurnya, apa yang Syaima katakan itu sangat tepat. Lisa mengalami pengalaman buruknya ketika bermalam di rumah Syaima beberapa tahun lalu. Pagi-pagi buta Lisa sudah dibangunkan untuk qiyamul lail dan tadarrus Al-Qur'an. Bayangkanlah ketika gadis itu sedang enak-enaknya berjalan di alam mimpi bersamaan dengan air liur yang tak tahan untuk keluar dari tempatnya, Lisa harus diseret ke masjid tanpa ampun. Makanya Lisa jera. Meskipun tetap saja matanya kembali menyala oleh binar kebahagiaan begitu melihat lelaki dengan kadar ganteng berlebih berlalu di depannya menuju masjid. Tapi tidak lagi mempan begitu Lisa sudah bertemu dengan pawang hatinya. Iya, Bang Je. Abang Ganteng tiada duanya itu. Siapa lagi?
Hingga ia menemukan taktik jitu agar bisa bermalam sepuasnya di rumah Syaima. Kan tidak rempong apabila mereka tahu Lisa sedang halangan. "Ama memang sahabat paling peka! Hihi," timpalnya singkat, tak mau repot-repot menjelaskan.
"Pantas saja kau selalu bermalam sebulan sekali. Di saat yang tepat, pula," sindir Syaima halus.
Lisa mengangkat bahu, malas menanggapi. Gadis itu justru kembali asyik menekuni novel di genggaman tangan. Kemudian berganti posisi menjadi telungkup di tempat tidur, menyimpan novel di atas bantal. Melemaskan otot tangan yang sudah pegal sejak tadi karena harus mengangkat beban novel yang dua kali lipat lebih besar dari kapasitas tangannya itu.
Di luar sana, matahari sudah benar-benar lenyap dari pandangan mata. Berganti dengan rembulan yang perlahan naik, menjadi pusat perhatian di antara kelamnya malam.
Tak terasa, adzan isya sudah berkumandang sejak dua menit lalu. Dan belasan posisi sudah dicoba Lisa untuk mengusir kebosanan. Mulai dari telentang, menyamping, bersandar ke nakas tempat tidur, berbaring di atas bantal yang ditumpuk hingga hampir menyentuh atap lemari berukuran sedang, sampai mengangkat kedua kakinya tinggi-tinggi di dinding.
Lisa menyalakan layar ponsel, menjelajahi baris notifikasinya. Sepi, kosong melompong. Sudah macam hatinya saja. Lisa menyemburkan napas ke atas, mulai sebal dengan kejenuhan yang terus menggerogoti. Novelnya sudah khatam sejak tadi. Sambil menunggu Syaima, mungkin Lisa bisa membaca beberapa cerita di wattpad. Dengan semangat, gadis itu menekan aplikasi favoritnya. Dan mulai tenggelam kembali pada dunianya sendiri.
Biasanya, Syaima pulang setelah sholat isya. Meskipun Syaima sudah tidak terlalu terikat dengan peraturan santri lainnya, gadis itu masih menyempatkan berbaur layaknya santri biasa. Padahal ia sudah naik tingkat, bahkan sering menggantikan shift ayahnya untuk mengajar santri.
Suara gemericik air di kamar mandi yang letaknya tidak jauh dari kamar Syaima, mengalihkan perhatian Lisa sejenak. Dengan langkah hebohnya, Lisa berlarian keluar kamar. "Ama, pulang kok enggak bilang-bilang?" teriaknya tanpa malu. Sebal sih, habisnya dia sudah lumutan menunggu dan yang ditungguinya malah datang enggak bilang-bilang. Ibaratnya pamitan untuk pergi, tapi tak menyapa ketika kembali. Kan Lisa jadi merasa terlupakan.
"Eh, Lisa mau bermalam di sini?"
Lisa gelagapan ketika mendapati sosok yang keluar dari balik pintu kamar mandi adalah Abi. Waduh, untung tidak didobrak Lisa, tadi. "Iya, Abi. Hehe. Kok tumben Abi pulang duluan? Ama-nya mana, Bi?"
"Biasa, tadi Abi ada panggilan alam sejenak." Abi terkekeh. "Lisa sudah makan? Ummi masih punya makanan di meja makan, kok. Ambil aja."
"Hihi, Abi tahu aja." Lisa menyengir. Formalitas saja, sebenarnya. Toh, tanpa dipersilakan Abi pun, Lisa memang berencana memonopoli makanan di rumah ini.
"Ya sudah, Abi harus kembali ke ponpes. Duluan, ya."
Lisa mengangguk-angguk, bertingkah seolah jadi anak penurut yang manis. Padahal lihat saja, palingan dalam selang beberapa detik, sikap pecicilannya akan kembali muncul. Apalagi ketika ia mendengar suara langkah tenang sahabat karibnya yang sudah tak asing lagi di telinga. "Ama! Lama banget, sih. Aku kangen, tahu."
Tanpa menunggu aba-aba, Lisa sudah menyerbu lemari es Syaima. Mengambil tiga buah es krim sekaligus. Lisa menengok lemari kecil di sudut ruangan dapur, kemudian kembali meletakkan hasil jajahannya di atas meja makan berlapis taplak berwarna merah marun. Kue salju, keranjang cokelat, nastar, dan brownis kering memenuhi empat toples berbeda yang kini sudah mendarat mulus di atas permukaan meja makan. Lisa menjilat bibir, sudah terbuai pesona kue-kue itu. Lumayan untuk cemilan sebelum tidur.
Tiga kali ketukan di pintu sama sekali tidak dihiraukan Lisa. Gadis itu malah rempong memanggul empat toples sekaligus tiga buah es krim dengan dua lengan kecilnya. Toples kue salju berbentuk bulan sabit itu bahkan hampir tergelincir, nasib baik Lisa berinisiatif mengangkat kaki untuk menahannya agar tidak terjatuh ke lantai.
"Sa, tolong bukain pintu. Aku belum pakai kerudung."
"Iya, iya!" Lisa merutuk dalam hati. Mau tidak mau, gadis itu kembali meletakkan penggugah hatinya di atas meja makan. Kemudian berjalan dan membuka ke pintu depan.
"Oh, sang kekasih hati ternyata menyambut di balik pintu."
Lisa mencengkeram erat kenop pintu, melampiaskan umpatan yang ia tahan sebisa mungkin pada pegangan pintu tak berdosa itu. "Sialan. Kutil unta! Pergi kau," usirnya sambil terus memelototkan matanya.
Bukannya menurut, lelaki itu justru tertawa kecil penuh riang gembira. "Yah, jodoh memang tidak akan ke mana."
"Daripada mengganggu, sebaiknya kau pulang sekarang. Syukur-syukur langsung pulang ke pangkuan Ilahi."
"Aduh, Sayang," timpal Arkan dengan wajah tengilnya. "Kapan sih, kamu menyadari bahwa kita ditakdirkan bersama? Bagaikan langit dan bumi, yang tidak akan pernah berpisah meskipun komponen lain bergantian memasuki kehidupan. Matahari dengan sinar megahnya, rembulan dengan cahaya lembutnya, kau dan aku akan tetap bersama mengarungi samudera kehidupan."
Daripada umpatan keluar mulus dari mulutnya, Lisa lebih memilih untuk segera menutup pintu, melenyapkan wajah yang hanya akan membuatnya semakin keki dari pandangan mata. Setidaknya, dunianya jauh lebih tenang tanpa sosok menyebalkan itu.
"Lisa, siapa?"
Lisa segera menampilkan wajah masam pada Syaima yang sudah mengganti mukenanya dengan kerudung langsung berwarna hitam. "Enggak usah dipikirkan. Cuma angin lewat."
"Eh, ini, Kiai, tadinya saya hendak mengunjungi rumah Kiai untuk bertemu. Tapi sepertinya, ada yang tidak berkenan--"
Percakapan di halaman rumah itu sontak saja membuat Lisa segera membuka pintu. "Bohong, Abi! Dia--" Lontaran kalimat Lisa terhenti begitu hanya mendapati pemandangan yang sama seperti beberapa detik lalu. Sialan, ia benar-benar tertipu. Lisa kira bocah tengil itu mengadu pada Abi tercintanya.
Arkan tergelak, diikuti Syaima yang mulai paham situasi. "Aku akan menyusul Abi. Lisa, kau temani tamu dulu, ya. Tenang saja. Di luar ramai oleh santri-santri yang baru keluar dari masjid, tak perlu khawatir terjadinya ikhtilat, selama kalian tahu batasan. Aku segera kembali," pamit Syaima melarikan diri begitu saja.
"Aku tidak dipersilakan masuk? Kukira, tamu harus dihormati dan dilayani sebaik mungkin. Anggap saja simulasi sebelum sah menjadi imam di masa depan."
Sebelum amarahnya benar-benar memuncak, Lisa memilih pergi sambil mengentakkan kaki. Ia sudah muak duluan melihat wajah itu. Lebih baik ia menunggu Syaima di kamar.
Waktu terus berlalu. Hingga ia mendengar samar percakapan di ruang tamu. Syaima sudah kembali, memunculkan wajahnya di pintu kamar. "Arkan mau lihat-lihat arsitektur ponpes. Tugas kuliah, katanya," lapor Syaima tanpa diminta.
"Enggak nanya."
"Oh, ngambek?"
Lisa berbaring ke samping, memunggungi Syaima. Tatapannya berpura-pura fokus pada layar ponsel. Padahal yang ia lakukan hanya geser-geser beranda. Lisa malas berhadapan dengan sahabat kecilnya itu. Lihatlah bagaimana sikapnya tadi yang seakan berada di pihak kutil unta itu. Pokoknya Lisa sebal pada Syaima, enggak mau bicara!
"Alhamdulillah, deh. Empat toples cemilanku aman." Syaima sengaja sekali memancing hasrat Lisa dengan mendramatisasi suara kunyahannya menggigit brownis kering di tangan. "Oh, ini toples terakhir, ya? Pantas saja aku tidak menemukan stok sisanya di lemari.
"Jangan dihabiskan, dong!" Lisa segera meloncat ke lantai, merebut paksa toples dari sang pemiliknya. Toples bening itu kini sudah diamankan Lisa dalam pelukannya. Dan tanpa perlu menunggu lagi, kepingan brownis kue itu diraup Lisa sebanyak mungkin dalam selang waktu yang relatif singkat.
Syaima mengangkat bahu, sudah sangat terbiasa dengan penampakan Lisa yang memberikan kesan seakan makanan di hadapannya adalah santapan terakhir di dunia ini. Limited edition, seperti yang memakannya. Syaima memilih untuk mengambil telepon genggam di atas nakas, menggulirkan layar dengan fokus. Membiarkan Lisa asyik dengan dunianya sendiri. Meskipun itu berarti keesokan harinya, Syaima harus bekerja keras membersihkan setiap sudut kamar untuk hasil mahakarya Lisa dalam proyek mengamburadulkan ruangan Syaima.
"Ma, ambilkan aku air dingin, dong. Oh, es krimnya juga. Alamak, es krim tercintaku tertinggal di meja makan, pasti sudah mencair! Ambilkan dong, Ma. Tolong."
Setelah mengunci layar ponsel dan meletakannya di pinggir tubuh, Syaima memandang Lisa dengan tatapan, 'seriously?'. Biasanya Lisa dapat menggeledah setiap sudut rumah Syaima tanpa ragu. Sementara ini, hanya untuk segelas air dingin dan es krim ... tumben sekali.
Mengerti maksud tatapan lawan bicaranya, Lisa buru-buru menjelaskan seadanya, "Aku malas ke beranda rumah."
Kekehan kecil berhambur dari mulut Syaima. "Santai saja, calon imam kamu sudah pulang."
"Ama!" gerutunya kesal. "Ayolah, sikap menyebalkanmu jangan kambuh sekarang, es krimku menanti!" Ekspresi Lisa benar-benar sudah tak mampu dikondisikan, ia benar-benar dilema. Antara keinginan hati untuk menyelamatkan es krim dan rasa gengsi sekaligus malas menemukan wajah kutil unta di kehidupannya.
Kepala Syaima berdenyut nyeri mendengar kehebohan gadis satu itu. "Iya, iya. Aku ambilkan."
"Yeay, sekalian ambil dua es krim lagi yang baru, ya? Biar lebih nendang."
Najis.
Dalam waktu singkat, lima bungkus es krim sudah berjajar di hadapan wajah berbinar Lisa yang dengan rakus mulai memangsanya tanpa ampun.
"Syaima, kemarilah. Ada tamu."
"Hari ini kau kedatangan banyak tamu, Ma," komentar Lisa ketika Syaima pamit ke ruang tamu. "Ya ... meskipun yang pertama terlalu tengil untuk kusebut tamu, sih."
Lima menit, es krim di tangan Lisa sudah habis, menyisakan sampahnya yang tergeletak di mana-mana. "Ama lama sekali." Lisa bergerak layaknya pencuri, perlahan mengintip dari dinding yang memisahkan ruang tamu dengan dapur. "Wah, Abang Ganteng! Ngapain di sini?" gumamnya bermonolog.
"Lisa? Kemari, bergabunglah dengan kami, Nak."
Suara Abi benar-benar mengagetkan Lisa sampai jari kelingking kakinya tersandung sudut dinding dan bergedebuk jatuh di atas lantai. Lisa menyengir saja begitu menjadi pusat perhatian seluruh orang di ruang tamu. Gadis itu bangkit sambil menepuk-nepuk bagian belakang pakaiannya yang menghantam lantai beberapa detik lalu. Tidak ada kotoran menempel, formalitas saja, sebenarnya. Yah, meskipun malu ketahuan menguping, Lisa mendapat kesempatan berhadapan dengan Abang Gantengnya. Hati Lisa kan sudah meletup-letup oleh gelembung rindu.
"Yah, langsung saja, Nak Syakir," kata Abi mempersilakan, merasa tidak terganggu dengan kehadiran Lisa yang mulai senyum pecicilan sambil mencuri-curi pandang pada Je.
"Bismillaahirrahmaanirrahiim. Atas nama Allah yang Pengasih lagi Maha Penyayang. Dengan segenap kemauan untuk menyempurnakan separuh agama sebagaimana mestinya, saya berniat untuk mengkhitbah putri Kiai Rais yang bernama Syaima Wildatussalwa."
Apa?
Waktu mendadak terasa terhenti, membekukan hati Lisa yang sepersekian detik kemudian, hancur berkeping-keping. Menyisakan kehampaan tiada tara, bersamaan dengan persediaan oksigen yang seakan menipis di dunia ini.
Abang Ganteng, tidakkah kau mendengar sesuatu yang patah di kedalaman hati yang selama ini selalu kau kuasai sepenuhnya?
Oh, ya. Lisa baru menyadari satu hal. Jangankan berniat untuk tinggal, kau bahkan tidak pernah memasuki gerbang hatinya barang sejenak.
Rasa sesak itu berujung tanya, ilusikah bayangmu yang selalu menghiasi setiap sudut hati?
Tanpa orang lain sadari, bukan hanya Lisa yang gemetar hebat mendengar pernyataan itu. Syaima memilin kuat gamis salemnya, merasakan sensasi mencekam yang melingkupi jiwanya.
Lelaki itu kembali. Lelaki yang berhasil menjungkirbalikkan hidupnya tiga tahun lalu. Lelaki yang telah mengisi masa lalunya dengan gigi gingsul menyembul ketika ia tersenyum. Lelaki yang tanpa permisi, kembali menanamkan rasa terlarang bernama rindu yang tumbuh subur dan memekarkan harapan baru. Lelaki yang kembali hadir dan membangun ketakutan memuncak yang sudah Syaima prediksi sejak beberapa minggu lalu.
Lelaki itu. Al-Fadhel Muhammad Syakir Jaelani.
◾◾◾
Yeah, it's a longest chapter, fyi. Membuat karakter hancur sehancur-hancurnya adalah suatu kenikmatan tersendiri, haha. Btw, i'm feel bad right now. But, as you see, i'm comeback for ya.
See ya,
@dekadream
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top