Is it Real?

"Eh, Lisa. Kukira siapa."

Lisa memamerkan gigi kelincinya. "Kakay mau langsung pulang? Biasanya ngajak dulu nongkrong di Kandang Kopi," protes Lisa. Tipikal manusia-manusia tak modal dan mengandalkan traktiran teman.

"Hm, enggak ah. Kamu udah ngikutin fashion ibu-ibu. Kayak mau ke kajian."

Kayla tertawa tanpa beban, yang entah kenapa sangat menusuk lubuk hati terdalam Lisa. Gadis itu memandangi sekilas penampilannya. Masih fashionable, kok. Enggak kalah sama trend zaman sekarang. "Ada yang salah ya, sama dandananku?"

Menyebalkannya, Kayla justru terbahak lebih keras. "Sejak awal, kamu jadi sorot perhatian anak-anak, Lisa. Coba deh, kamu diam dan dengarkan baik-baik."

Lisa dan Kayla tengah berada di depan gerbang penuh keramaian anggota Sastra yang baru saja dibubarkan. Tanpa aba-aba, Lisa terdiam, menajamkan indera pendengaran.

"Heh, kamu lihat enggak si Lisa tadi?"

"Jelas lihatlah! Sok banget anjir, gayanya."

"Haha, aku jadi risih mau nyapa tadi. Bukan Lisa banget."

"Takut, ah. Nanti kalau ada yang salah dikit, pasti diceramahin abis-abisan."

"Sok suci. Pakaiannya sih, udah meyakinkan. Eh, tahu-tahu hatinya busuk."

Hati Lisa memanas. Ia melirik Kayla sebelum benar-benar pergi menghilang saat itu juga. Dadanya semakin sesak. Apalagi melihat senyuman tak biasa dari wajah sahabatnya yang satu itu. Sahabat yang selalu menemaninya dengan tawa lebar. Kini, memandangnya berbeda, seakan Lisa adalah seorang manusia asing yang tak diharapkan. Lisa dapat melihatnya dengan jelas. Tatapan menghakimi itu.

Lisa berlarian di tepi jalan. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Ia tak pernah merasa sesakit ini dalam hubungannya selama tiga tahun terakhir bersama Kayla. Gamis dan hijab lebar ini ... Lisa tak pernah bermaksud menggunakannya. Ia hanya berpikir, siapa tahu Je berpapasan dengannya di tengah jalan, 'kan?

Pantas saja teman-temannya seakan malas berinteraksi dengan Lisa sejak tadi. Apakah tampil syar'i sememalukan itu?

Sial, sial!

Sebelum menaiki angkot, Lisa berbelok terlebih dahulu ke kawasan yang cukup sepi. Jembatan kayu melintang kokoh dari sisi danau ke sisi seberangnya. Lisa melipat kedua tangan di atas pegangan jembatan kayu, untuk kemudian membenamkan wajahnya di sana. Lisa butuh sandaran. Meskipun ia termasuk kategori orang terbuka yang sedikit-sedikit curhat ketika ada masalah, untuk kali ini rasanya Lisa malas bertemu siapa pun. Seerat apa pun interaksi dengan orang ramai, adakalanya ia butuh sendiri. Tidak semua masalah diselesaikan dengan berbagai reaksi teman curhat. Terkadang untuk menyelesaikan masalah, hanya perlu waktu seorang diri, membiarkan angin sore menerbangkan bebannya setinggi mungkin dari pundak.

Air mata Lisa melebur menjadi satu dengan gelombang air danau yang tercipta. Sang surya perlahan bergerak turun di angkasa raya sana, menyisakan semburat jingga. Lisa pengagum senja, namun semua itu tak dapat meluluh-lantakkan benteng tinggi dalam dirinya. Untuk pertama kali seumur hidupnya, senja ini terasa menyebalkan. Hingga Lisa memilih pergi, meninggalkan goresan sejarah beserta luka di belakang sana, terhanyut arus tenang danau.

◾◾◾

IPS2 Sengklek Squad

Kakay Unceh: Jadi liwetan di rumah Lulu, 'kan?

Nadina Rentenir: YANG IKUT, ABSEN KUY!

Decii Duta Inggris: It's me!

FISKAmpret: (2)

Hana Ibu Negara: (3)

Kakay Unceh: @LalisaCans, ikut enggak?:v

FISKAmpret: Mo ikut, @LalisaCans? Ah, aku enggak jadi ikut, ya, takut diceramahin😂

Nadina Rentenir: Oh, jadi yang diomongin kelas sebelah tuh bener? Gile, aku masih gak kebayang penampakanmu, Nak:v @LalisaCans

Decii Duta Inggris: What's happened? Gua ketinggalan berita apaan, anjir!

Gisellalalalala: @Decii Duta Inggris, mentang-mentang ngomong (sok) keinggrisan melulu, sekalinya pake Indo kasar banget, si Bangsat:)

Decii Duta Inggris: @Gisellalalalala Dari pada elu, dateng-dateng ngehujat.

FISKAmpret: @Decii Duta Inggris, ini, si bobroknya IPS 2 taubat, cuk. Udah mau kiamat kali, yak @LalisaCans.

"Aaarrghh!"

Tanpa ragu-ragu lagi, Lisa membanting ponselnya ke sudut kamar. Masih di atas ranjang, berlumur iler dan kusam di setiap senti tubuhnya, Lisa memeluk lutut. Lisa membenamkan wajah di antara tekukan kaki, seakan ingin menghilang dari muka bumi untuk sekejap saja. Sungguh, ia hanya ingin bermain dengan dunia imajinasinya, berharap hal itu dapat membuatnya lupa kenyataan yang tengah dihadapinya sejenak.

Salah ya, aku mengenakan pakaian syar'i?

Gamis panjang dan kerudung lebar itu hanya diperuntukkan wanita-wanita baik semua, ya?

Apakah aku ... akan dijauhi dan dipandang aneh setelah hari itu?

"Lisa!" Gedoran pintu diiringi suara memanggil namanya membuat Lisa bangkit, mau tak mau membukakan pintu kamar. "Kayla temenmu itu telepon Ibu, nanyain kamu ikut liwetan atau enggak. Katanya, WhatsApp kamu enggak aktif. Sanalah ikut. Kapan lagi kau bisa makan nasi liwet gratisan begitu. Lumayan untuk menghemat persediaan beras hari ini."

Lisa melemparkan sumpah-serapah dalam hati. "Iya," tanggapnya untuk kemudian segera kembali menutup pintu kamar. Lisa mendekati cermin di dinding. Ia memandang pantulan dirinya sendiri di sana.

"Berhenti lari dari kenyataan, Lisa." Sebuah suara yang sangat dikenalinya sejak lama tiba-tiba muncul. Entah ini bagian dari ilusinya atau bagaimana, suara itu benar-benar nyata. "Saatnya tabrakkan dirimu pada masalah."

Lisa membuang muka ke jendela kamarnya. Mungkin memang seharusnya ia ikut berkumpul bersama temannya. Kalau Lisa tidak datang, justru malah memberi kesempatan pikiran negatif menghampiri temannya.

Kurang dari lima belas menit setelah mandi dan berpakaian, Lisa sudah berada di hadapan cermin. Seorang gadis bercelana jeans ketat, kaus pendek dilapisi jaket hitam, serta kerudung biru muda yang disampirkan asal di bahu itu menjadi pusat perhatian Lisa. Gadis itu persis di hadapan Lisa, dalam cermin.

Lisa menelan ludah berkali-kali. Apakah ia harus kembali menjadi Lisa yang tak mengenal sosok Bang Je? Lisa mengangkat kepalanya sedikit, menatap intens gamis serta kerudung lebar kemarin di gantungan lemarinya, seakan keberatan atas keputusan Lisa. Meskipun pada akhirnya, ia tetap hanyalah sebuah saksi bisu.

Sungguh, Lisa merasa telah mengkhianati semuanya. Ia telah mengkhianati Bang Je, bahkan Syaima yang selalu antusias dan mendukungnya sepenuh hati untuk mulai mengenakan pakaian syar'i.

Gadis itu menghembuskan napas perlahan. Tak apalah, lagi pula ia tidak akan bertemu Bang Je.

Lisa melangkahkan kakinya keluar rumah, meyakinkan hati, meskipun rasa bersalah selalu meliputinya setiap kedipan mata.

◾◾◾

Hari Minggu, hari paling ditunggu Lisa dalam sepanjang sejarah hidupnya. Bukan. Bukan karena hari libur dan terbebas dari kekangan tumpukan tugas yang jarang dikerjakan itu. Melainkan adanya pengajian mingguan selain hari Rabu yang padat, dan tentunya, kesempatan menemui Abang Gantengnya. Saking bahagianya hari Minggu datang, Lisa hendak menamainya dengan 'hari penuh cinta'.

Lisa sampai melupakan betapa kejernya ia nangis semalaman beberapa hari terakhir. Bahkan ibunya sendiri ketar-ketir penuh kecemasan, ingin memastikan kondisi Lisa baik-baik saja, karena setiap pulang sekolah anak itu langsung mengurung diri di kamar sambil menangis meraung-raung. Ibu tercintanya itu sampai menginterogasi dan meminta Syaima membujuk Lisa agar mau keluar. Mereka kewalahan dibuatnya. Lisa hanya membuka kunci kamar ketika ia lapar. Setelah menyendok nasi dan lauk-pauk seabrek, lengkap dengan persediaan botol berisi minuman dingin, ia akan kembali masuk dan mengunci kamar. Setelah suara sendok bertemu piring tak tersisa, anak itu kembali menangis darah. Begitu terus selama seminggu terakhir.

Ketika dibujuk Syaima untuk membicarakan dan menyelesaikan masalah secara baik-baik, anak itu akhirnya berani menampakkan hidung di luar kamar, dengan mata bintitan, hidung meler dan wajah tak terkondisikan. Setelah menceritakan masalahnya, sendal capit merek swallow ibunya melayang, mencium dahi Lisa. Entah bagaimana bisa Ibu setega itu, padahal sejak awal Ibu sendiri yang mohon-mohon agar dirinya berbagi cerita.

"Anak zaman sekarang, tahunya cuma cinta-cintaan. Bikin khawatir orang tua aja, siah!" Begitulah kalimat Ibu yang menghujami Lisa ketika anak semata wayangnya itu protes atas perlakuan 'tampol sandal capit' sedetik yang lalu.

Padahal 'kan, Lisa enggak salah. Waktu memang jahat. Ia bersekongkol dengan jarak untuk menumbuhkan rindu yang kian menusuk di hati Lisa. Rasanya menyesakkan, ketika Lisa harus menunggu seminggu lamanya hanya untuk bertemu beberapa menit, itu pun selalu terhambat oleh makhluk tak diundang bernama Hafidz. Jarak dan waktu seakan mempermainkan Lisa dalam jerat rindu tak berujung. Dan sebalnya lagi, Bang Je tak pernah mau bertanggung jawab atas rasa yang selalu hadir itu. Padahal, rindu ini miliknya.

"Blackpink in your area!" Begitu mendengar suara kembaran jadi-jadiannya itu di ponsel, Lisa segera paham siapa yang tengah bermaksud menghubunginya. Lisa menyalakan layar ponsel.

Ama Lope Lope is calling...

Lisa tertawa dalam hati. Dugaannya tepat sasaran. WhatsApp tidak bisa mengatur nada dering telepon menggunakan lagu Blackpink kesukaannya. Berarti, panggilan masuk secara offline, fitur yang masih digunakan HP Nokia keluaran zaman dahulu milik Ibu. Selain Ibu, hanya sahabat kecilnya itu yang selalu mengandalkan nomor telepon untuk melakukan panggilan. Lisa tak sadar telah meloloskan kekehan dari mulutnya. Lihatlah. Syaima benar-benar pengertian untuk tidak menelepon via WhatsApp. Kuota internet Lisa kan sudah di penghujung ajalnya. Tinggal menunggu waktu saja.

Lagu terbaru girl band Korea yang sedang naik daun itu terus  terdengar. Tak mau membuat Syaima menunggu lebih lama, Lisa segera menggeser tombol answer. "Kenapa, Amakuuh?"

"Assalamu'alaikum," interupsi suara di seberang telepon sana.

Lisa memutar bola mata. "Wa'alaikumussalaam."

"Sa, kamu ikut pengajian hari ini, 'kan?"

"Iyalah. Abang Ganteng nungguin," ucapnya untuk kemudian berhaha-hihi kegirangan.

"Aku enggak bisa ikut, harus gantiin Abi dulu ngajarin anak pesantren."

Lisa mengangguk maklum meskipun ia tahu Syaima tak bisa melihatnya. "Oke, semangat!"

"Iya. Kamu hati-hati di jalan. Wassalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalaam."

Lisa berjingkrak-jingkrak di jalanan. Meski Syaima berhalangan hadir, itu tetap tak mampu melenyapkan senyuman melintang di wajahnya. Masih berlapis jaket hitam, Lisa mengenakan rok semarak warna dengan kerudung pastel mencapai pinggang. Hiasan awan putih tergantung di langit cerah sana, menjadi teman perjalanannya dalam menjemput asa dan rasa. Menjemput hati yang Lisa yakini tengah menunggunya penuh harapan.

"Istiqomah." Kalimat singkat yang menyapa indera pendengarannya itu sukses membuat Lisa menghentikan langkahnya yang baru saja menginjak lantai sejuk halaman masjid. "Susah banget, ya?"

Lisa dapat menebak siapa yang mengajaknya bicara. Ia menunduk, malas menanggapi.

"Menggunakan pakaian sesuai syari'at Islam hanya ketika ada pengajian. Oh, atau bahkan mungkin hanya kamuflase di depan lelaki majelis?" sarkasnya.

"Kau bicara apa?" Lisa mendesis tak kalah sinis.

"Aku bicara kenyataan."

Lisa mengepalkan tangan, meremas-remas ujung kerudungnya untuk melampiaskan rasa kesal. Entah bagaimana, tapi ia kesal mendengar kalimat Hafidz. "Maumu itu apa, sih? Ngurusin hidup aku melulu."

"Sorry, waktu, tenaga, dan pikiran gue terlalu berhaga buat ngurusin hidup bocah kekanak-kanakan yang susah diatur macam kau." Hafidz membenamkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Gini, deh. Tahu istiqomah, 'kan? Konsisten. Dari pada beramal banyak tapi jarang, Allah lebih menyukai amal sedikit namun bersifat kontinu, terus berlanjut. Allah lebih mencintai proses dari pada sekadar hasil, ingat?"

Lisa mendengus kesal. "Enggak usah menghakimi hidupku. Kau pikir aku tidak menjalani semua ini dengan proses?!"

"Entahlah. Tanyakan saja pada lubuk hati terdalammu."

Lisa berdecih malas mendengarnya. Lisa harus sabar dan berkompromi dengan emosi karena sadar betul bahwa ia sedang menghadapi makhluk paling menyebalkan yang pernah ia temui. "Sumpah, kamu tuh enggak jelas banget, sih. Udah datang-datang ngomong sinis, disarkasin, main asal menghakimi kehidupan aku, ceramah panjang lebar, pas ditanya, malah lemparin lagi pertanyaan ke aku. Enggak ngerti lagi. Apa susahnya sih, persingkat semuanya? Jangan bikin otak aku bekerja terlalu keras untuk memproses perkataanmu yang amburadul enggak tahu tujuan itu."

Hafidz menghembuskan napas, mulai kehabisan kata-kata. "Maaf, sepertinya kata pengantarku kepanjangan." Pemuda itu terlihat menyipitkan mata menatap gemerisik dedaunan di sekitar. "Enggak usah diperumit lagi. Aku cuma mau nanya aja, jawab dari hati nuranimu. Aku enggak ngasih batasan waktu buat jawab. Bukan pilihan ganda, kau jawab sebisanya saja. Pertanyaannya, kau serius hijrah enggak, sih?"

◾◾◾

Bagi yang belum dapat informasi, aku bikin book trailer seadanya buat project ini. Bisa ditonton di bab pertama dan ... yeah, enjoy!

Cheers,
@dekadream

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top