Invite The Pain

Lisa menekan pelipis kirinya yang tak henti mengucurkan cairan merah itu. Dengan mata kiri yang terus menutup karena dialiri darah, Lisa menyunggingkan senyuman miring. Sialan. Baru kemarin plester di pipinya boleh dilepas karena luka sudah mengering. Sekarang Lisa harus kembali membelinya. Kenapa akhir-akhir ini dia jadi selalu berurusan dengan benda penutup luka itu?

"Lisa!" pekik Syaima begitu melihat darah Lisa merembes, membasahi tanah. Kepala Syaima semakin tak terkendali. Dengan pandangan semampunya, Syaima berusaha meraih Lisa.

"Lalat pengganggu! Kau lihat apa yang terjadi pada dirimu saat ini? Camkan. Lebih baik kau tidak mencampuri urusanku dengan tengik ini." Dagu Salesa terangkat angkuh, menunjuk Syaima yang hampir kehilangan dayanya.

"Pernyataan brilian, Nyonya." Lisa kembali meletakkan tangan kirinya di samping tubuh, tak peduli lagi dengan darahnya yang meluas, hingga mata kirinya tak dibuka-buka untuk mencegah infeksi masuk. "Tapi tidak berlaku bagiku. Karena urusan sahabatku, berarti urusanku juga."

Semilir angin sore yang menerobos masuk lorong sempit itu sukses melayangkan hati Syaima. Ada kehangatan menjalar di setiap sudut sukma yang sulit didefinisikan dengan rangkaian kata. Meski pandangannya semakin mengabur, Syaima tak dapat menghentikan kemilau haru yang bersiap pecah untuk jadi air mata.

Lisa masih menganggapnya sahabat.

"Kau tidak tahu apa-apa. Minggirlah, gadis kecil." Tanpa peduli kalimat menggugah hati itu, Salesa malah menodongkan pisau lipatnya untuk semakin mendekat ke arah Lisa. "Atau kau akan terluka lebih dari ini."

Dingin. Kalimat itu laksana es batu yang membeku. Bukannya terintimidasi, Lisa justru semakin kebakaran jenggot. "Hei, Nyonya yang menjulang tinggi! Mentang-mentang badanmu dua kali lebih raksasa dariku, jangan sekali-kali berani merendahkanku, ya. Yang terpenting, jangan panggil aku gadis kecil!"

Kalau saja situasinya berbeda, Syaima ingin tertawa mengingat tinggi Lisa yang memang hanya mencapai perut Salesa. Maklum saja, sebenarnya Salesa blasteran orang Eropa, badannya bongsor, bahkan sejak mereka masih SMP sudah terlihat bibit-bibit tiang listrik yang melekat pada tubuhnya.

"Oh, ya. Jangan salah. Aku tahu siapa kau. Seorang perebut kebahagiaan orang lain, yang tak pernah menemukan kebahagiaannya sendiri."

Perkataan Lisa tepat menembus jantung Salesa. Gadis bongsor itu melonggarkan intimidasi, hingga tangannya luruh ke bawah. "Apa kau bilang?"

Nadanya bergetar, membuat Lisa semakin tak gentar. "Kau mencintai Bang Je, oh, kalian memanggilnya Fadhel, tentu saja. Kau sangat terobsesi padanya, dan saat kau dihadapkan kenyataan bahwa lelaki pujaanmu telah mempersunting wanita lain, kau marah, melampiaskannya pada orang yang salah. Oh, tidak. Maksudku, tidak ada orang yang patut menerima pelampiasanmu dalam kasus ini. Kau berbuat seenaknya, seolah mata hatimu telah buta oleh cinta yang berlabel haram bagimu."

Syaima terhenyak mendengarnya, menggenggam bahu Lisa erat, menguatkan. Air mata Lisa sudah berhamburan, mengingat kalimat itu yang seharusnya ditujukan pada dirinya sendiri.

"Kau tidak perlu menghakimi hidupku," sengitnya, lirih dan menusuk. Tangan Salesa bergetar kuat, menjatuhkan pisau lipat itu ke atas permukaan tanah begitu saja.

"Satu fakta yang perlu kau ketahui: aku juga mencintainya. Mencintai Bang Je-ku, yang tidak lain adalah Fadhel."

Kalimat itu terlontar dari mulut Lisa, menyisakan lorong sempit yang hening mencekam. Syaima mengepalkan tangan kuat-kuat, pernyataan itu cukup menohok hatinya, menyemai perasaan bersalah yang kian menjadi-jadi.

"Aku sama sepertimu! Menginginkan lelaki itu sama besar dengan kamu menginginkannya. Tapi lagi-lagi, kalau guratan takdir berkata lain, kita bisa apa?"

Lisa berjongkok, menarik badan Syaima untuk naik ke atas punggungnya. Lisa memaksa, meski Syaima menunjukkan gestur tubuh enggan merepotkan.

Lisa memperbaiki posisi Syaima yang sudah dalam gendongannya. "Ingat perkataanku. You will take a better one. Allah pasti akan mempertemukanmu dengan seseorang itu. Seseorang yang nantinya akan menjadi pendamping hidupmu hingga mencapai Surga-Nya kelak. Just keep your smile, Allah knows what's better for you."

Patah-patah, Lisa melangkah pergi dari lorong sempit itu. Tak peduli tubuh kerempengnya penuh luka, lututnya lebam, darah di pelipisnya, dan Salesa dengan dua sahabatnya yang hanya bisa terpaku di tempat. Kekuatan rasa, membuat seluruh luka itu sirna.

Baru saja menginjakkan kaki di lantai rumah sakit, tandu sudah menyambut kedatangan Syaima. Di sana, Ummi terlihat bahagia, menggemakan rasa syukur memuji kehadirat-Nya tiada henti. Begitu tubuh Syaima lepas dari kaitan leher Lisa, tangan Syaima yang menggapai-gapai sukses menghentikan gerakan para medis.

"Aku ... tidak akan pergi ke manapun, tanpa genggaman hangat Lisa."

Bisikan itu menekan ulu hati Lisa. Ragu, Lisa mengelus sekilas punggung tangan Syaima. Syaima mengangguk lemah. Dan tangan Lisa mencengkeram kuat telapak tangan Syaima, seolah mengatakan bahwa ia akan selalu ada di sisinya.

Selang infus itu kembali tersalurkan. Dengan tangan yang masih saling menggenggam, Syaima meminta suster mengambilkan kotak P3K dan bersikeras untuk mengobati luka Lisa dengan tangannya sendiri.

"Karena urusan sahabatku, berarti urusanku juga. Kalimatmu ngena sekali, Sa."

"Berisik!" hardik Lisa, segera mengalihkan pandangan. "Aku terpaksa mengatakannya, formalitas. Biar pantat panci itu bungkam."

"Kukira, kau tidak akan sepeduli itu. Apalagi sampai kena luka yang harusnya aku terima, rela menggendongku ke rumah sakit, pula. Padahal kau baru saja jatuh dari sepeda, 'kan?"

Lisa mendengus mendengarnya, melipat lengan jaket sampai siku, berlagak layaknya preman. "Biar kutebak. Kau keluar rumah sakit begitu melihatku diserempet orang tidak bertanggung jawab tadi, kemudian hendak bertingkah sok jagoan, tapi kenyataannya kau malah membuat masalah baru, menambah beban orang lain. Lain kali, jangan gegabah. Aku tidak akan menumpahkan darahku hanya untuk hal sepele."

Syaima tertawa saja mendengarnya, tak berniat menanggapi. Lisa berani berkorban sebanyak itu untuknya, dan itu berarti, ikatan persahabatan masih terpancang kukuh di antara mereka.

Ya, itu lebih dari cukup.

"Eh, kau mau ke mana?"

Lengan Lisa menggantung di udara, ditahan Syaima yang masih terbaring di atas ranjang rumah sakit. Dengan badan yang memunggungi lawan bicara, tanpa keinginan berbalik sedikitpun, Lisa angkat suara, "Aku ada urusan yang jauh lebih penting daripada menunggui orang yang sok kuat di sini."

Pintu kayu ruangan 108 kembali tertutup, menyisakan Syaima yang tak berniat menurunkan tangannya. Pandangan yang awalnya mengikuti kepergian langkahnya, kini dialihkan Syaima ke arah laci meja tempat menyimpan makanan dari rumah sakit yang semuanya membosankan di lidahnya.

Tangan Syaima terulur untuk menelusuri isi laci, sampai menemukan sebuah kartu undangan dan meletakkannya di atas paha yang terbalut selimut rumah sakit. Helaan napas terhambur dari hidungnya.

Yth. Melisa Andriani
di
Tempat.

Undangan pernikahannya, untuk Lisa. Seluruh undangan sudah disebar, kecuali untuk sahabat kecilnya itu. Syaima tak siap menyaksikan hati Lisa terkoyak untuk kesekian kalinya. Dan lebih menyakitkannya lagi, Syaima, harus dia yang menebas pisau itu. Walau begitu, siap atau tidak siap, Syaima harus memberikannya. Meskipun itu artinya, Syaima harus semakin mencemari labelnya sebagai seorang sahabat bagi Lisa.

◾◾◾

Pihak rumah sakit sudah memperbolehkan Syaima pulang sore ini, meskipun mengandung banyak paksaan penuh emosional dari sang pasien. Ummi dan Abi sampai kewalahan menghadapi Syaima yang tidak pernah memelas selebay ini, sebelumnya.

Dengan cengiran lebar yang melintang dan tidak luntur-luntur dari bibir tipisnya, Syaima antusias bantu-bantu mengemasi barangnya. Orang-orang lain seperti perawat dan Ibu Lisa yang turut menyaksikan hal itu hanya bisa geleng-geleng tak mengerti. Syaima sudah macam anak remaja labil yang baru jatuh cinta saja.

Setengah jam kemudian, mobil Abi berhenti di depan rumah Lisa. Dibantu Ibu untuk berjalan masuk rumah, Syaima melambaikan tangan saja pada Ummi dan Abinya yang hendak kembali ke pondok pesantren. Binar mata Syaima seolah meminta kedua orang tuanya agar tidak perlu khawatir.

Seharusnya Syaima mengistirahatkan tubuhnya. Tapi Syaima ngotot untuk menurunkannya di rumah Lisa, atau Syaima akan pergi sendiri naik angkutan umum. Pada akhirnya, Abi hanya bisa mengalah, meminta Ibu untuk menjaganya yang tentu saja dibalas anggukan senang hati.

Tapi tidak dengan Syaima. Gadis itu masih keberatan karena ia terus merepotkan Ibu Lisa. Sejak pukul empat pagi tadi ia jatuh pingsan, sampai sekarang ia sudah diperbolehkan pulang pun, Ibu terus ada di sisinya. Ibu hanya keluar ruangan 108 saat diminta Syaima mengisi perutnya, bersamaan dengan berkunjungnya calon ibu dan ayah mertuanya--oh, jangan lupakan calon imamnya juga. Kehadiran Ummi, Abi, dan Ibu selalu membuatnya merasa benar-benar diinginkan di dunia ini.

"Tampaknya Lisa belum pulang, Nak Syaima. Dasar, anak itu. Kukira dia akan langsung ke rumah sesudah dari rumah sakit."

Bukannya menimpali ocehan Ibu yang masih memeriksa Lisa ke setiap ruangan, Syaima justru terpaku di depan pintu kayu yang engselnya sudah berkarat itu. "Ibu ... boleh aku masuk kamar Lisa?"

"Oh, tentu saja."

Dan sampailah Syaima pada ruangan seluas 4X4 meter itu. Meja kecil yang tak menyisakan ruang di atas permukaannya itu dipenuhi oleh tumpukan novel yang tak beraturan susunannya. Syaima mendadak tersenyum begitu melihat novel pinjaman darinya juga ada di sana.

Pegangan laci meja itu dilekati debu yang cukup tebal, layaknya magnet yang membuat Syaima tertarik untuk membukanya.

Kejutan! Sebuah buku ber-hard cover warna biru langit itu menghipnotis Syaima untuk mengamati lebih lanjut.

Memorable. Tulisan cetak timbul berwarna kuning keemasan itu menjadi pusat perhatian di sampulnya. Setiap halamannya memuat satu sampai dua foto--yang hampir 90%, tentu saja adalah foto kebersamaan mereka. Di bawahnya tercantum keterangan sekaligus curhatan Lisa. Syaima tahu persis, album kenangan ini mulai dioperasikan sejak tiga tahun lalu. Karena benda itu tak lain dan tak bukan adalah hadiah dari Syaima dalam bentuk menyenangkan Lisa di hari kelahirannya.

Dalam diam, Syaima tersenyum. Rasa haru membuncah di hatinya, yang tak dapat dilukiskan oleh tarikan dua sudut bibir tipisnya.

Masih ada satu lagi benda di sana. Buku tulis bersampul cokelat kertas payung, dengan gambar karakter manual dari spidol hitam yang terkesan seadanya dan acak-acakkan. Teknik hand littering sederhana merangkai kata: Majelis in Love. Begitu membuka halamannya, Syaima tercengang mendapati kisah antara dia, Je, dan Lisa yang dikemas dalam bentuk novel di sana. Meski terlihat layaknya curahan hati dan alay seperti penulisnya, Syaima sampai menangis karena seolah merasakan sentilan dari setiap aksara di dalamnya.

Samar-samar, terdengar suara pintu depan terbuka dan langkah kaki mendekat. Tanpa sempat mengembalikan dua buku itu ke tempat asalnya, Lisa sudah masuk kamar, dan mematung di bingkai pintu.

Syaima mendekat, menyerahkan kedua buku itu ke genggaman tangan Lisa. "Cukup. Tidak perlu kau minta, aku akan segera pergi dari sini. Pintaku, tetaplah menulis. Aku yakin, kau bisa menuangkan dakwah pada setiap aksaramu. Dan ... ya." Tanpa memberi Lisa kesempatan untuk mencerna dan menginterupsi, Syaima mengeluarkan kartu undangan itu. "Terimalah, kuharap kau bisa menghadirinya."

Detik berikutnya, Syaima sudah melesat keluar, melambaikan tangan pada angkutan umum yang kebetulan lewat. Ibu yang baru selesai mencuci di kamar mandi tak sempat mengejar. Padahal, Ummi dan Abi meminta untuk ditelepon saja kalau Syaima sudah mau pulang.

Lisa masih termenung, dengan selembar kartu bertuliskan dua nama paling mengacau-balaukan isi hatinya belakangan ini. Kartu undangan yang mengundang lukanya untuk kembali ke permukaan.

◾◾◾

Double update ini buat lunasin kewajiban apdet besok, ya? Senin tuh kayaknya males banget buat apdet dah. Haha.

Fyi, makin sini, Lisa makin dewasa. Kognitifnya berkembang meskipun enggak jauh-jauh amat. Buktinya bisa kita lihat lewat percakapannya dengan Syaima. Yang awalnya sering ngereceh (sampai tamat nanti pun masih receh, sih), sekarang mulai bisa memilah mana yang ga seharusnya dia katakan. Amati deh, bagaimana caranya Lisa menahan mulut embernya saat berhadapan dengan Syaima yang notabenenya lagi enggak dapet respek dari Lisa. Nah. Meski cuma fiksi, karakter tokoh juga harus berkembang ye, Gaes. Biar lebih hidup.

Cheers,
@dekadream

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top