Empty Space

Di mana? Don't waste your breath! Kau pikir aku segabut itu sampai mau-maunya menunggumu, apa? Aku sibuk, tahu! Urusanku bukan hanya buku di tanganmu!

Send.

Oke, kenapa ia malah curhat pada cecunguk buluk itu? Argh, ingin rasanya Lisa membanting ponselnya ke lantai kafe. Tapi urung, mengingat kafe ini punya free wi-fi yang mubadzir sekali kalau tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya. Kapan lagi seorang anak kuliahan menjelang tanggal tua di akhir bulan macam dia bisa punya jaringan kencang begini?

Sepuluh menit dilalui Lisa dengan kesia-siaan yang nyata. Sialan. Kenapa di hari ulang tahunnya ini, semua orang seolah berkonspirasi untuk membuatnya lumutan karena suatu kegiatan menyebalkan bernama 'menunggu'? Yeah, yang pasti, semoga saja menunggu kali ini tidak akan membuahkan hasil kejutan paling mengejutkan seperti tadi.

Dua centang balon percakapan dari pesan terakhirnya sudah berubah warna menjadi biru sejak berhasil dikirim. Tapi Hafidz tidak membalasnya satu huruf pun. Ini keyboard-nya yang lagi error, atau orangnya yang enggak bisa ngetik? Meskipun akan datang terlambat, setidaknya dia bisa memberi Lisa penjelasan. Kan Lisa butuh kepastian. Terombang-ambing di tengah samudera kebimbangan itu menyeramkan, lho. Belum lagi, ada kemungkinan kapalnya tenggelam, atau bahkan karam sebelum sampai di pelabuhan impian. Oke, Lisa mulai ngawur sekarang.

Getaran berulang yang tidak santai dari telepon genggamnya itu membuat Lisa segera menyambar tombol hijau dan menggesernya ke atas, tanpa basa-basi lagi. Apalagi begitu melihat nama kontak yang menghubunginya, bikin gemas, rasanya pengin mencubiti ginjalnya saja kalau ketemu.

"Heh, lagi di mana? Ngajak meet up tuh yang bener, dong! Udah ditungguin juga. Dikira, orang enggak punya jadwal kesibukan lain, apa?" cerocos Lisa, tak memberi lawan bicaranya kesempatan untuk melontarkan sepatah kata.

Hening. Di seberang telepon sana tidak mengeluarkan suara apa pun.

Lisa mulai khawatir, tak biasanya cecunguk buluk yang sok cool itu membiarkan Lisa berseloroh panjang lebar sampai bermuncratan air hujan ke mana-mana. Biasanya, dia akan segera menghujatnya, dan tidak mau kalah. Ada apa kali ini? "Halo? Halo? Heh! Jawab, dong! Enggak sopan banget."

Masih sunyi, tak ada jawaban.

"Oh, aku ngerti!" Lisa menjentikkan jarinya, memicingkan mata meskipun orang yang sedang ia hubungi tidak bisa melihatnya. "Hape cecunguk buluk itu pasti sudah kau sadap, ya? Ho! Aku paham alur ceritanya! Sebagai anak dari Sherlock Holmes sekaligus istri dari Sinichi Kudo, izinkan aku membeberkan analisisku. Kau pasti adalah seorang psikopat yang mengincar cecunguk buluk itu, bukankah begitu? Dan setelah melihat namaku sebagai kontak yang terakhir kali dihubungi cecunguk buluk itu, kau pun mengubah rencana, mencoba menjebakku dengan memintaku ke kafe ini. Kau berpikir, aku tidak akan rela membiarkan nasib cecunguk buluk itu berakhir di tanganmu. Haha! Sayangnya, hal itu salah besar, Anak Muda. Aku justru akan mendukungmu dengan sepenuh hati. Bahkan, aku bersedia siap siaga kalau kau memerlukan bantuanku. Kita bagi tugas, deh. Aku bagian mencincang ususnya saja, ya?"

Tuut. Sambungan telepon itu terputus seketika.

Psikopat keparat! Benar-benar tidak tahu diuntung! Sudah ditawari kerja sama, malah main mengakhiri hubungan secara sepihak. Padahal Lisa sudah merasa keren-kerennya begitu berhasil mengeluarkan buah pikiran. Jarang-jarang, lho, Lisa membuang waktu hanya untuk berpikir. Dan pengorbanannya kali ini, tidak dihargai sedikit pun. Benar-benar minta ditenggelamkan! Lisa sudah hampir menggigiti ponsel saking kesalnya.

"Ini yang kau cari, bukankah begitu?" Sebuah buku yang sudah tak asing lagi di mata Lisa dengan sampul cokelat, hand littering, dan ilustrasi amburadul yang sekenanya, kini sudah mendarat mulus di atas meja Lisa, tepat di hadapan matanya.

"My project! Finally--"

"No," balas Hafidz yang baru saja tiba sambil menarik kembali buku itu dari jangkauan Lisa. Parah sekali. Lisa hampir saja menumpahkan minuman soft drink-nya dari atas meja, saking antusiasnya begitu mendapati benda berharganya dalam keadaan selamat sentosa. Tapi si cecunguk buluk tidak tahu diri ini malah merenggutnya lebih dulu. Dasar tukang tarik-ulur! "Tidak semudah itu."

"Aduh, ayolah! Aku punya banyak urusan. Jangan membuang waktuku hanya untuk ocehan tak bermutumu. Lebih baik, segera serahkan buku itu padaku, kemudian kembali pada kesibukan kita masing-masing. Oke?"

"Tidak, sebelum aku berhasil mencincang ususmu, kemudian menyerahkan sisanya pada psikopat gila yang mengincarmu," sembur Hafidz sewot, dengan tatapan setajam elangnya.

Lisa mati kutu seketika. Jadi, yang tadi itu benar-benar Hafidz, ya? Lisa mengibarkan cengiran lebar saja mendengarnya. "Makanya, kalau melakukan panggilan telepon itu yang jelas, dong. Ngomong. Kan jadinya, jiwa Detektif Conan saya keluar macam tadi."

Hafidz berdecih sekilas, meremehkan bahasa Lisa yang mendadak sok formal. Dan itu ganjil sekali, mengingat Lisa yang jarang menggunakannya. Detik berikutnya, Hafidz merasa lidahnya kelu, otaknya mendadak kesulitan mencerna mengenai apa yang harus ia lontarkan.

"Sa, aku minta maaf untuk kejadian empat hari lalu."

Cukup satu kalimat itu saja. Kenapa rasanya sangat sulit? "Kau ingin buku ini kembali? Aku punya syarat yang harus kau penuhi." Sialan. Mulut bedebah! Kau malah mengatakan hal yang membuatnya semakin kesal!

"Dih, drama king banget, sih! Kau pikir ini sinetron, apa? Don't be weird, please! Aku tak punya banyak waktu untuk menemui orang apatis sepertimu. Cukup berikan buku itu, maka urusan kita segera clear, tuntas dengan cepat."

"Yeah, terserah, sih. Bukumu mau diambil atau tidak, keputusannya tetap ada di tanganmu. Tapi yang pasti, aku tidak akan pernah menarik atau bahkan mengubah kata-kataku. Kau tahu? Lelaki sejati dinilai dari seberapa teguh ia memegang ucapannya. By the way, aku sudah membaca keseluruhan isi tulisan yang kau bilang proyek ini," kata Hafidz dengan ringannya, membolak-balik halaman buku menggunakan kecepatan tinggi.

Monster kelabang! Anak ini benar-benar menguji kesabaran Lisa. "Enggak sopan! Kau ini tahu etika enggak, sih? Itu privasi! Kamu tidak berhak membukanya sembarangan begitu saja. Hih, sini! Sini kembalikan!" Dengan gerakan tidak santainya, Lisa ganas menyerbu Hafidz. Tangannya menggapai-gapai, berupaya merebut buku yang sudah macam harta karunnya itu.

"Shhh, weh slow, Mbak. Jangan ganggu ketenangan pelanggan lain. Kamu bisa diamankan security, lho." Hafidz menerbitkan senyum miringnya yang sumpah demi apa pun, ingin Lisa tampol sekaligus menenggelamkannya di Laut Mati. "Lagi pula, aku yang menemukan buku ini. Justru perilaku yang kau bilang lancang itu membuatmu dapat menemukan buku ini. Bukankah proyekmu ini adalah segalanya bagimu? Yah, dan aku punya syarat yang harus kau penuhi kalau memang ingin buku ini kembali pada genggamanmu."

"Apa syaratnya?" tanya Lisa begitu berhasil kembali dijinakkan, menghempaskan bokong di atas kursi dengan tenang, pasrah dengan makhluk absurd di hadapannya ini.

"Terbitkan karyamu. Simpel, 'kan?"

Mata Lisa membulat seketika. Diterbitkan? Tidak! Lisa tak pernah punya niat sejauh itu. Yang ia ketahui dengan pasti, Lisa sangat mencintai bahasa. Tapi bukan berarti harus punya cita-cita menjadi penulis, 'kan? Lisa hanya mencintainya. Mencintai segala kepelikan, dan proses melaluinya. Yap, sesederhana itu. "Big no! Apa-apaan, sih, syaratmu itu? Memangnya, ada untungnya buatmu?"

Hafidz berdecak, memutar kedua bola matanya dengan jengah. "Nah, sudah tahu tidak ada untungnya sedikit pun bagiku, kenapa kau tidak mengikutinya saja? Ini justru sangat menguntungkan bagimu! Anggap saja simbiosis komensalisme, dan aku bukan pihak yang untung ataupun dirugikan."

"Hei, kau tidak berhak mengatur hidupku. Cukup. Kemarikan buku itu, cecunguk buluk! Enggak usah merecokiku dengan syarat-syarat yang stupid itu. Sudah ada yang mudah, kenapa harus dipersulit? Kau ini benar-benar senang memperumit hidup orang lain, ya!"

Hafidz memicingkan mata, mengintimidasi lewat tatapan tajamnya yang mendekat ke arah Lisa. "Kaulah yang memperumit dirimu sendiri, Bodoh. Tinggal ikuti saja apa yang kukatakan, dan buku ini akan kuserahkan."

Tatapan Hafidz sempat menusuk hati Lisa, kemudian dengan cepat, menyebarkan sensasi aneh yang tak dikenal namanya. Secepat kilat, Lisa memalingkan mukanya ke arah dinding kaca kafe yang menunjukkan kesibukan jalanan di sore hari. "Tundukkan pandanganmu. Kau pernah bilang, itu adalah zina mata, 'kan? Mata dapat berzina, yaitu ketika memandang yang bukan mahramnya. Aku yang salah dengar, atau kau yang mendadak amnesia?" sarkas Lisa, kesal mati-matian. Sekaligus lega karena merasa dapat membalikkan situasi jadi menyudutkan lelaki sok cool itu.

"Astaghfirullah." Hafidz sontak beristigfar, menekuri lantai bersih yang ia pijak saat ini. Rasa bersalah kepada Allah, serta-merta menyeruak dari balik setiap penjuru hatinya. Benar-benar skakmat. Tentu saja Hafidz masih ingat, itu adalah kalimatnya saat menegur Lisa yang kedapatan curi-curi pandang pada Je. Ya Allah, apakah niatnya mengingatkan Lisa saat itu, hanya karena didasari oleh rasa cemburu yang tak seharusnya tumbuh subur di hatinya? Hafidz malu sendiri mengingatnya. Meski begitu, ada rasa syukur begitu mendapati kenyataan bahwa Lisa selalu mendengar sekaligus mencermati apa yang ia katakan.

Hafidz benar-benar kehabisan kata-kata. Seluruh ingatan mendadak merangsek masuk dalam benaknya. Adegan di mana Hafidz berulangkali menegur Lisa dengan kasar dan sarkas, tak lupa kalimat-kalimat sok-nya yang seolah-olah menyatakan bahwa ia adalah satu-satunya makhluk tanpa cela. Astaghfirullaah ... padahal hanya Allah semata Yang Maha Sempurna. Siapa dia, sampai berani-beraninya melampaui batas terhadap Zat Yang Maha Kuasa?

Munafik. Hafidz merasa semakin ketar-ketir ketakutan. Hatinya campur-aduk. Mengingat surga penuh oleh orang-orang bejat yang bertaubat, di saat neraka penuh oleh ustadz juga alim-ulama yang lalai dan riya' terhadap segala ilmu yang dimilikinya.

Fasik. Hafidz tidak ingin gelar itu diperolehnya.

Lisa menyemburkan napas berat, begitu melihat lawan bicaranya yang tak berkutik dan hanya bisa menatap lantai lamat-lamat. "Sudahlah, Hafidz."

Lelaki jangkung itu kembali menegakkan tubuhnya, memperbaiki posisi duduknya begitu mendengar Lisa yang menggemakan namanya untuk pertama kali di sepanjang sejarah hidupnya. Jutaan tahun sejak umat manusia mulai berkembang biak di muka bumi, dan baru kali ini Lisa benar-benar memanggil namanya. Bukan cecunguk buluk, pantat panci menyebalkan, atau julukan 'keren' lainnya yang menunjukkan betapa tak sukanya Lisa pada Hafidz.

"Aku pamit, assalamu'alaikum," cetusnya tanpa tedeng aling-aling. Dengan memanfaatkan cengkeraman Hafidz yang mulai melemah karena berhasil dibuat tercenung oleh kalimatnya, Lisa menyambar buku proyeknya tanpa merasa perlu berkata apa pun lagi. Kakinya melangkah, meninggalkan Hafidz yang tak bereaksi apa-apa.

Binar di wajah, serta cahaya di kedua sorot matanya benar-benar padam. Lenyap, tak bersisa. Lidahnya tercekat. Tak bergeming, meskipun sadar betul, bahwa lawan bicaranya sudah pergi, meninggalkan kehampaan pada jiwanya. "Wa'alaikumussalaam."

◾◾◾

Di part ini, Lisa kebanyak mengumpat, kayaknya. Jangan ditiru, ya.

"Kecelakaanlah bagi orang-orang yang mengumpat." (Q.S. Al-Humazah:1)

Biarin aja Lisa seorang yang celaka, kamu jangan. HAHA.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top