Distance

Resah. Satu kata itu cukup untuk mewakili perasaan Ibu saat ini. Diam-diam, tanpa disadari Lisa yang asyik mengemasi pakaiannya, Ibu sudah memperhatikan dari balik pintu dengan hati kecilnya yang meronta-ronta. "Kau yakin mau berangkat saja, Sa?"

Lisa mendongakkan kepala sejenak dari tumpukan barang yang rempong dibawanya. "Tentu saja yakin, Bu. Lisa sudah menyiapkan penggelaran teater ini sejak empat bulan lamanya. Sayang sekali kalau persiapan sudah sematang ini, mendadak Lisa tak yakin berangkat."

Ada sedikit gurat kesedihan yang melintang dari wajah Ibu, namun segera dienyahkan. "Kau sudah pamitan pada keluarga Kiai Rais, belum? Terus terang saja, sejak lama Syaima sudah berkali-kali mengirimiku pesan untuk mencari waktu luangmu. Tapi ya ... Ibu lihat kamu akhir-akhir ini selalu menghabiskan waktu di kampus, perpustakaan, dengan tumpukan buku setinggi monas itu."

Bukannya  menanggapi dengan serius, Lisa justru tergelak kencang, sampai terhempas di kasur, menghentikan kegiatan packing-nya sejenak. Meskipun nama itu sempat berada pada list orang yang sempat menyakitinya, namun perasaan itu berlalu begitu saja. Mungkin lambat laun, rasa sakit itu perlahan memudar. Sepertinya Lisa sudah bisa menerima kenyataan pahit ini. "Ibu ada-ada saja. Aku tidak serajin yang Ibu pikirkan, kok."

"Dan ... yang tadi siang itu Arkan?"

Pipi Lisa menghangat, kedua buntalan tebal itu mendadak menciptakan semburat merah muda menggemaskan. Aktivitasnya terhenti sempurna. "Siapa? Yang disorakin emak-emak sekampung tadi?"

Ibu mendelik, malas menghadapi putrinya yang berakting seolah mengidap amnesia. "Iyalah. Kau pikir siapa lagi yang kau temui hari ini selain lelaki jangkung itu. Seriusan, itu Arkan anaknya Haji Mulyana yang dulunya sering kau olok-olok dengan panggilan akhir 'najis', 'kan? Arkan yang sering terang-terangan bilang suka ke kamu, sejak umur lima tahun itu, 'kan?"

"Heem. Tapi kenapa Ibu harus ingat bagian itunya, sih? Kan bikin malu!" Lisa menekuk wajah, memajukan bibir beberapa senti begitu mendengarnya. Menyebalkan. Pernyataan Ibu tiba-tiba membuatnya merasa tidak memiliki latar belakang menjalin hubungan asmara dengan Arkan. Yah, meskipun banyak koleksi novel remaja milik Lisa yang mengagung-agungkan kalimat 'cinta tak butuh alasan', sih. Cinta? Oh, Lisa bahkan masih ragu, apakah itu nama yang tepat untuk rasa yang tertanam dalam hati kepada lelaki tengil itu?

"Kau seriusan pacaran dengan anak itu, Sa?"

Tatapan Lisa segera berubah horor. Sebal mendapati ekspresi Ibu yang seolah bersusah payah menahan tawa jahilnya. "Ibu mau minta oleh-oleh apa dari Yogya nanti? Mau daster murah, tak? Biar Lisa carikan," kata Lisa, sukses mendarat mulus pada topik yang berbeda.

Ibu terlihat tak keberatan dan memutuskan berhenti menggoda Lisa yang mengalihkan pembicaraan. Tampang Ibu kembali serius, mengingat anaknya yang akan pergi ke kota nun jauh di sana pada esok pagi. "Ish, tak perlulah. Kau belikan saja bakpia dan makanan khas kota sana yang murah nan mantap teruntuk kerabat dan tetangga."

"Bereslah, Bu, kalau persoalan macam itu. Ibu lupa ya, Lisa ini masternya kuliner." Lebaynya, Lisa menepuk-nepuk dadanya penuh kebanggaan, mengelu-ngelukan dirinya yang berbesar hati. Oh, sepertinya, terlalu banyak mengikuti dan mencurahkan totalitas imajinasi saat rapat--apalagi teater akan diselenggarakan lusa--sampai-sampai Lisa mendadak sering mendramatisasi keadaan seperti ini. Yeah, anak sastra memang beda.

Ibu memutar kedua bola matanya ke atas, kemudian berbalik begitu merasa malas menanggapi kenarsisan Lisa yang memang benar adanya. "Kau banyak makan, tapi semakin cungkring saja macam tiang listrik depan gardu, Lisa! Masih mending kalau badanmu tinggi. Ini sih, tak lebih dari batang ketela pohon. Sudah tipis, pendek, pula!"

Lisa telah menyelesaikan aktivitasnya saat Ibu sudah tak terlihat dari pintu kamar, tampaknya lebih memilih untuk segera mengistirahatkan badan. Meski begitu, Lisa masih sebal dengan pernyataan menyakitkan Ibu. Sulit Lisa akui, tapi tubuhnya memang seakan berhenti tumbuh sejak kelas satu SMP.

Pukul sembilan malam. Terbilang belum larut malam, sebenarnya. Hanya saja, mengingat perjalanan panjang yang akan dilalui esok pagi, dalam hitungan detik saja, Lisa sudah tepar di atas kasur. Awalnya, sulit memejamkan mata karena otaknya masih ingin terus terjaga dan beroperasi seperti biasa. Banyak hal yang cukup mengganggunya. Tapi Lisa ingin mempersiapkan tenaga dan keadaan jiwa raga terbaik untuk esok hari. Itu cukup membantu untuk membuat matanya segera menutup, diiringi dengkuran halus dan aliran keran bocor di sudut bibir. Lisa mulai asyik terbuai mimpi.

◾◾◾

Rentetan pesan WhatsApp bergerombolan masuk notifikasi Lisa. Tumben sekali hapenya getar-getar begini. Pasti mereka heboh begitu melihat statusnya saat keberangkatan pukul delapan pagi tadi. Belasan kontak yang mendadak menghubunginya sekarang. Dengan pesan yang intinya sama; 'Sa, kamu ke Yogyakarta? Jangan lupa oleh-olehnya, ya!'.

Sebuah pesan baru berikutnya masuk, dari Arkan.

Wow! Kau ke Yogyakarta, Say? Kenapa tidak bilang sebelumnya, mungkin aku bisa mengantarmu ke stasiun. Aku juga belum sempat salam 'sampai jumpa' padamu. Lain kali, bilang padaku kalau hendak ke mana pun. Izin suami itu penting lho, Sa.

Haduh, suami? Bahaya. Arkan tidak pernah ragu-ragu untuk membahayakan ketenangan jantung Lisa.

Diiringi nyanyian suara kereta, Lisa mengetikkan balasan, mengakhiri obrolan. Sekali lagi, tujuan hatinya memutuskan ikut keluar kota adalah merentang jarak, mengambil celah untuk membebaskan dirinya dari kenyataan menyakitkan. Dalam rentang waktu ini saja, Lisa sedang tidak ingin berhubungan dengan siapa pun yang di Tasik sana. Kecuali Ibu, tentunya.

Berkisaran enam jam lamanya rombongan anak sastra menghabiskan waktunya dengan melakukan kegiatan masing-masing dalam gerbong kereta. Ada yang sibuk mengobrol ringan mengenai tempat yang akan mereka kunjungi di sela-sela liburan, baca buku tebal, streaming, update status sana-sini, menghubungi orang terdekat; keluarga, sahabat, gebetan, doi, dan selingkuhan. Semua terlihat sibuk. Bahkan Sarah--sang pencetus ide ini--pun terlihat serius membincangkan persiapan teknis dan segala macam pada Hilwa, koordinator divisi logistik yang dipilih saat rapat dulu.

Berbeda dengan yang lainnya, Lisa justru asyik mengembangkan alur imajinasi pada sebuah buku tulis bersampul kertas payung cokelat yang selalu Lisa bawa ke mana pun ia pergi. Sebenarnya, cukup sulit menulis secara manual dalam kereta yang berguncang halus. Tulisan Lisa menjadi tak pasti rupa, dan sulit untuk dibaca.

Meski teknologi sudah canggih dan dapat digunakan supaya lebih simpel, Lisa tetap tak terbiasa menggunakan fitur menulis pada ponselnya. Rasanya berbeda. Sejak kecil, Lisa sudah sangat mencintai cara pulpen menggoreskan tinta di atas permukaan kertas. Terus terang, hal itu cukup berpengaruh pada perasaannya untuk lebih menjiwai tulisannya.

Apalagi, motto Lisa yang sangat keren itu tertanam lekat di sukmanya: Kalau bisa ribet, kenapa harus pilih yang simpel?

"Majelis in Love," gumam Nahla mengeja dengan wajah polos layaknya anak TK yang baru saja belajar membaca. "Wow, ini project terbarumu?"

Bukannya menanggapi dengan antusias karena Nahla seolah tertarik pada kegiatannya, Lisa justru melayangkan tatapan tajam pada gadis di sebelahnya. Bukan apa-apa, anak sengklek itu dengan tidak tahu dirinya menarik paksa sampul buku yang sedang ditulisi Lisa, hanya untuk membaca judul tertera yang bisa ditanyakan pada Lisa sebelumnya. Lisa merebutnya kembali, dan matanya seolah benar-benar ingin keluar dari tempatnya begitu melihat coretan panjang melintang dari huruf terakhir tulisannya hingga ujung buku. Nahla. Gadis itu benar-benar minta dimakan! Apalagi Lisa sedang lapar-laparnya saat ini.

"Oh, aku mencoret buku milikmu, ya? Ups, moon maaf lahir dan batin," kata Nahla dengan santainya. Detik berikutnya, Nahla menjejalkan headseat miliknya ke telinga kanan Lisa. Sementara sebelahnya lagi disangkutkan telinganya sendiri. "Jangan putus asa, ya. Coba dengerin soundtrack opening Shingeki no Kyojin season dua ini, deh! Mantap, 'kan? Sasageyo, sasageyo!"

Flat. Lisa pasrah saja begitu musik jepang berenergik itu memasuki telinganya.

"Nah, nah. Supaya lebih menjiwai, letakkan kepalan tanganmu di depan dada. Ya, ya, seperti itu! Bagaimana? Bukankah kau ikut merasa jadi pahlawan yang mengabdikan diri pada negeri demi memusnahkan para titan-titan laknat itu? Sasageyo, sasageyo!"

Flat part dua. Lisa benar-benar ingin menenggelamkan Nahla yang sudah rempong menyuruhnya meletakkan kepalan tangan di depan dada layaknya pasukan pengintai pada anime tersebut. Dan lebih menjengkelkannya lagi, Nahla kembali menyenandungkan satu-satunya kata yang dapat ia cerna dari soundtrack tersebut: sasageyo, sasageyo! Sialan, lebih baik kalau itu adalah Lisa Blackpink yang teriak, 'Saranghaeyo, saranghaeyo, my twins!' pada dirinya selaku kembaran yang nyungsep di Indonesia.

"Sasageyo, sasage---"

"Shh!" tukas Lisa cepat, sebelum Nahla berhasil menuntaskan senandungan laknat itu lagi. Lisa mendengus, menarik headseat dan mengembalikannya pada sang empunya. "Aransemen musikmu terlalu bersemangat. Itu hanya membuatku semakin pusing dan sulit mengembangkan imajinasi kembali."

"Oh, gila, sih. Suamiku charming banget! Levy Ackerman, aku padamu!"

"Stop, Nahlun Wibu! Kau membuatku sulit berpikir!" seru Lisa tidak kalem, tangannya yang tak sabar lagi menahan diri, kini terulur untuk menggetok kepala Nahla.

Binar mata fangirling Nahla padam seketika. Nahla mengelus kepalanya sendiri yang terbalut jilbab pendek tersampir di atas dada. Masih dengan wajah meringis yang minta ditampol orang-orang sekampung. "Adu-duh, kasar amat, Mbak. Pelecehan! Lihat saja kalau sudah aku laporkan polisi atas kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Mampus, kau!"

Oh, monster kelabang dangdutan! Nahla benar-benar melenyapkan mood menulisnya seketika. Meskipun ide Lisa cukup mengalir lancar, tetap saja Lisa belum bisa mengatasi suasana hatinya yang selalu mudah berubah-ubah dalam rentang waktu relatif singkat. Dan Lisa benar-benar tak tahu harus melakukan apa di saat seperti ini.

Pada akhirnya, headseat yang sejak tadi bersembunyi di balik tas kecil itu menjejali kedua lubang telinga Lisa. Mungkin mendengarkan musik favoritnya dapat memperbaiki moodnya. Ayolah. Lisa harus bisa mengendalikannya, Lisa harus terus menulis. Belajar profesional. Lisa tak boleh terus mencampuradukkan minat menulis dengan suasana hatinya. Nulis, ya nulis. Lisa cinta mati dengan kegiatan satu itu. Dan ... tidak boleh ada satu pun yang boleh menghentikan imajinasinya melanglang buana. Oke, mungkin yang ia butuhkan saat ini hanyalah penjernihan sekejap.

Tepat sekali! Lagu-lagu Blackpink versi piano yang Lisa colong dari Youtube, mendadak membuat Lisa jauh lebih sensasional, mengaduk-aduk emosi, merasuki jiwa. Seolah mengalunkan melodi dari hati.

Lisa menghela napas, menopang dagu sambil mencermati pemandangan di jendela samping kirinya. Sudah ratusan kilometer Lisa lalui, ribuan tempat tinggal ia lewati. Matahari beranjak tinggi, tapi perasaannya masih saja sama.

Belum, masih belum.

Kereta mulai bergerak pelan. Mbak-mbak operator mulai sibuk memperingatkan para penumpang yang hendak turun di stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Nahla bergegas mengecek barangnya satu-persatu. Begitu pula Lisa. Ya, tak perlu banyak yang dirisaukan. Perjalanan, sudah menanti di depan mata.

◾◾◾

Ini bayaran buat hutang apdet kemarin, yak.

Cheers,
@dekadream

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top