Diary of Tear

"Sa, Lisa," panggil Syaima dengan mata yang tiada lelah menelusuri setiap penjuru jalan yang ia lalui. "Lisa."

Ayolah, jangan membuat bayangan yang menghantui ini semakin pekat.

Gadis yang dicarinya itu mengundurkan diri dari ruang tamu dua menit lalu, bilang permisi hendak ke belakang. Dengan ulasan senyuman yang hanya menyisakan garis tipis di bibirnya. Senyuman manis yang tiada artinya dengan kehampaan terpancar jelas pada sorot matanya. Tak perlu waktu lama untuk Syaima melihatnya. Melihat dengan yakin bahwa sosok di hadapannya bukanlah Lisa. Gadis yang tersenyum itu adalah orang lain.

Syaima menghembuskan napas berat, berusaha membiarkan ketenangan merasuki jiwanya seiring dengan tarikan oksigen memasok paru-paru. Satu hal paling mempengaruhi benaknya saat ini: Lisa tidak baik-baik saja, tentu. Jika menjadi dirinya, orang buta, anak kecil, atau bahkan orang tolol sekalipun akan menyadarinya sejak awal. Oh, tidak. Dirinyalah orang tolol itu, setolol-tololnya orang tolol yang menjadi penghancur di kehidupan sahabatnya sendiri.

"Lisa." Setiap senti ruangan kamarnya tak luput dari pemindaian mata Syaima. Lima sampah bungkus es krim dengan rasa berbeda, empat toples bening yang menyisakan setengah sampai seperempat dari isinya, tempat tidur yang sudah berantakan sejak dirinya pulang dari masjid. Novel bersampul pastel yang beberapa saat lalu masih tergeletak habis dibaca di atas tempat tidur, kini sudah lenyap. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Lisa di sini.

Sembari tak henti memanggil nama sahabat kecilnya diiringi pacuan jantung yang kian menggila, Syaima tergesa menghampiri bingkai jendela yang terbuka lebar. "Lisa, tunggu!"

Sorot cahaya remang-remang dari halaman samping rumah Syaima dan lingkungan pondok pesantren yang memang selalu punya intensitas cahaya memadai, membuat mata Syaima dapat menangkap bayangan gadis berperawakan mungil di luar sana. Dengan lihai, Syaima melompati jendela kamarnya, mengejar bayangan yang terlihat semakin cepat menjauh begitu mendengar suaranya.

"Lisa, cukup." Syaima berhasil mengimbangi langkah kecil Lisa, dan menghadangnya begitu hampir mencapai gerbang utama pondok pesantren.

Merasa kemungkinannya melarikan diri sangatlah kecil, Lisa yang masih merasa terpukul keras itu menatap sahabat kecilnya dengan nyalang. Dalam keadaan remang begini, Syaima dapat melihat dengan jelas bara api emosi yang membakar mata Lisa. "Apa? Kamu sadar enggak, sih? Harusnya aku yang memgatakan itu!"

"Lisa, jangan membuatku khawatir."

"Persetan dengan semua bualanmu! Persetan dengan semua omong kosongmu!" Lisa benar-benar tak mampu lagi menahan semuanya. Suara napasnya yang memburu seiring dengan rasa menyesakkan yang terus menghimpit setiap sudut hatinya hingga pecah tak berbentuk. "Aku sudah tahu semuanya. Masa lalu itu--"

"Lisa, Lisa. Tolong tenangkan dirimu," cicit Syaima yang sudah berada di penghujung ketakutannya, suaranya yang tercekat semakin menambah aura mencekam pada jiwanya.

"Cukup. Tak bisakah kau berhenti merebut segalanya dariku?" Nada kalimat Lisa yang mendadak lirih itu menusuk ulu hati Syaima tanpa ampun. "Nilai, cita-cita, impian, bahkan cinta saja semuanya kau renggut dari kehidupanku. Oke. Fine. Semua itu yang kau inginkan, bukan? Silakan. Tak masalah. Itulah gunanya persahabatan, 'kan? Berbagi masalah bersama, memakai topeng baik hati, kemudian mengklaim segalanya milik sendiri. Haha, aku sangat terkesan."

Syaima tak mampu lagi angkat bicara, ada hal menyakitkan yang terus berupaya membuat kelopak matanya tak mampu lagi menahan tetesan air keluar.

"Hakikatnya, SAHABAT tetaplah yang beruSAHA BerkhianAT. Yeah, pada akhirnya, persabatan sejati tanpa perkhianatan hanyalah omong kosong di dunia fiksi. Kau tahu? B-u-l-l-s-h-i-t."

Setelah merasa memberi tekanan yang cukup, Lisa melewati tubuh Syaima yang sudah tak dapat bereaksi layaknya patung. Langkahnya yang menjauh, tidak ikut membawa pergi luka mendalam di hati Syaima.

Dengan langkah gontai, Syaima kembali memasuki kamar lewat jendela yang masih terbuka lebar. Dinginnya angin malam yang menerobos masuk sukses membekukan tubuh Syaima. Bergeming. Berbanding terbalik dengan daun jendela yang ramai berderak mengikuti ritme tiupan angin. Aliran darah di tubuhnya terasa berhenti. Bersamaan dengan kehidupannya yang perlahan-lahan retak, dan hancur berkeping-keping.

Ya. Lagi-lagi yang bisa ia lakukan hanyalah menyakiti orang-orang di sekitarnya.

Kalimat istigfar tak henti didengungkan jiwanya. Setelah mengunci jendela dan menutup gorden, mata Syaima menangkap bayangan sebuah buku bersampul kulit yang terbuka di atas bantal, menampilkan halaman kertas dengan rangkaian kata dari tinta hitam saling berdesakan di sana. Tidak ada yang ganjil. Selain tetesan deras air mata di atas permukaan kertas yang masih terasa hangat.

Senin, 25 Juli 2013

Tanggal istimewa bagi Syaima yang terpampang di baris paling atas segera membuatnya memahami situasi.

Kau ... sudah mengetahui semuanya, ya?

◾◾◾

"Katanya mau menginap, kenapa balik lagi? Ibu sudah sujud syukur karena persediaan makanan tidak akan cepat habis," cerocos Ibu begitu melihat sosok anaknya yang mendadak muncul dari balik pintu depan. Lisa tak merespon, berlalu secepat yang kakinya bisa menuju kamar. Melihat gelagat aneh, Ibu mengikuti langkahnya. "Kau ini kenapa? Ada masalah dengan sobat karibmu itu?"

Lisa tak berniat sedikitpun untuk menghentikan kakinya.

"Ibu sedang bicara padamu, Melisa Andriani."

Brak!
Pintu kamar Lisa menutup tepat di hadapan Ibu yang kini sibuk mengetuk-ngetuk pintu dengan tidak kalemnya. Tak lama, secarik kertas sobekan meluncur dari celah tipis di bawah pintu. Secara impulsif, Ibu meraih dan membaca goresan tinta yang terlihat bergetar di sana.

Aku sedang malas berinteraksi dengan siapapun. Just leave me, please.

Ibu menghela napas sejenak, kemudian tergesa meraih ponsel Nokia model zaman dahulu yang hanya bisa dipakai untuk memanggil, mengirim pesan, serta bermain game ular yang akan mati apabila menggigit ekornya sendiri--game kesukaan Lisa waktu kecil, sampai pernah mencoba menggigit kulitnya sendiri hanya untuk memastikan apakah  ia akan mati seperti ular itu. Semenjak tahu jawabannya, Lisa langsung berhenti memainkannya, sambil tak henti menyumpahi sebagai game penipuan.

Ibu menekan tombol OK untuk membuka daftar kontak, mencari satu nama yang bisa memberikan informasi baginya. Terlambat, nama itu menelepon Ibu lebih dahulu.

Syaima (Kiai Rais) memanggil...

"Assalamu'alaikum, Bu?"

"Wa'alaikumussalaam, Nak Syaima." Ibu sedikit mempertimbangkan untuk segera menanyai Syaima atau membiarkan gadis itu menjelaskan maksudnya melakukan panggilan telepon. Hingga akhirnya, Ibu memilih menunggu Syaima angkat suara terlebih dahulu.

"Lisa tidak apa-apa, Bu? Ia sudah pulang ke rumah, 'kan?"

"Iya, Lisa ... mengurung diri di kamar sejak pulang. Ada apa?"

Terdengar helaan napas berat di seberang telepon sana. "Hanya sedikit ... penentangan hati. Ia sedang tidak baik-baik saja, Bu. Biarkan Lisa menjernihkan kepala. Besok, keadaannya pasti sudah membaik. Ibu tidak perlu khawatir."

"Oh, baiklah," lirih Ibu.

Setelah pamit undur diri beserta salam penutup, Syaima memutuskan jaringan telepon lebih dulu. Ibu menyimpan ponsel di atas meja kamarnya. Wanita di penghujung usia empat puluhan itu membaringkan tubuh di tempat tidur, sementara jendela kamarnya terbuka lebar. Tak peduli angin malam menusuk tulang, Ibu menatap taburan gemintang di atas sana--suatu aktivitas yang selalu ia biasakan ketika sedang ingin mengenang almarhum suaminya. Saat itu pula, wajah yang paling dirindukannya terlukis di antara angkasa raya. Terlihat tersenyum padanya sambil mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

◾◾◾

"Dengan segenap kemauan untuk menyempurnakan separuh agama sebagaimana mestinya, saya berniat untuk mengkhitbah putri Kiai Rais yang bernama Syaima Wildatussalwa."

Rasanya, untaian kalimat itu tak bosan-bosan terus bergema di benak Lisa. Gadis itu membenamkan wajahnya pada lipatan tangan di atas tekukan lututnya. Lisa ingin membenturkan kepalanya sekuat tenaga pada dinding kamar, berharap rasa sakit itu akan terenyahkan bersamaan dengan lumpuhnya memori di otaknya.

Nihil. Rasa sakit itu benar-benar bebal. Dengan egoisnya, memori Lisa kembali mengingat saat-saat itu. Saat hati Lisa bergejolak ingin memilih pergi dari hadapan rasa sakitnya, tapi telinganya berkhianat, terus mendengarkan rasa sesak yang kian menghimpit dada. Lisa memang tolol. Haha. Ia ingin sekali menertawakan dirinya sendiri. Dirinya yang masih saja bertahan mendengarkan sesuatu yang hanya menorehkan luka di sudut hatinya.

Lisa menarik napas dalam-dalam, berharap pasokan oksigen dapat membantunya menahan isakan yang meronta ingin keluar. Penyesalan.

Papa, Lisa ingin kembali dan bereinkarnasi menjadi orang lain saja. Atau bahkan menjadi seekor burung, yang terbang tinggi di angkasa tanpa beban. Lisa ingin kembali.

Memorinya berputar dengan cepat. Buku bersampul cokelat yang tanpa sengaja ia jatuhkan saat merangsek masuk kamar Syaima untuk menghindari kenyataan, kembali memenuhi pikiran. Kebingungan sekaligus rasa sesak yang mendera saat itu, membuatnya refleks memungut buku harian itu untuk mencari petunjuk. Ya, sangat payah. Mencari jawaban dari pertanyaan yang hanya akan membuat hatinya tertusuk lebih dalam lagi. Hingga ia sampai pada halaman yang terus terekam pada kepingan memorinya.

Senin, 25 Juli 2013

Dear, Diary...

Kurasa, aku telah menemukan kepingan hatiku yang telah lama tertinggal di dasar lautan. Namanya Al-Fadhil Muhammad Syakir Jaelani. Oh, ralat. Al-Fadhel. Aku selalu melupakannya. Habisnya, lidahku lebih senang menggumamkan nama Fadhil, sih.

Meskipun awalnya, dia hanya kakak kelas nyebelin yang sering berekspresi datar minta ditampol itu, tahukah engkau, Diary? Saat aku salah melafalkan namanya sebagaimana biasanya, hari ini ia menyahut, "Tidak mengapa. Aku selalu suka setiap panggilan apa pun yang digunakan orang yang kusuka." Dia tak pernah berhenti membuatku tersenyum seorang diri. Oh, bahkan aku tidak sadar sudah mulai menjadi sosok yang lebay.

Hm, menulis lebay, mengingatkanku pada Lisa. Gadis periang itu sudah seminggu ini tidak mau diajak bertemu. Pekerjaannya hanya mengurung diri di kamar. Aku benar-benar sudah kehabisan akal bagaimana untuk membujuknya kembali.

Dada Lisa semakin terasa sesak begitu mengingat paragraf terakhir itu. Gadis periang, ya? Haha. Tolol. Meskipun ia gadis periang, Lisa juga manusia. Meskipun ia terkenal dengan cengiran selebar Sabang sampai Merauke, Lisa juga punya hati. Bukan robot yang bisa diseting untuk terus mempertahankan ekspresi cerahnya.

Begitu habis membaca buku harian Syaima itu, Lisa kehilangan kendali sampai menjatuhkannya dari genggaman tangan. Air matanya sudah mengalir deras tanpa ia pedulikan akan bermuara di mana. Yang ia pikirkan hanya satu, pergi. Lari sekencang-kencangnya dari hantaman kenyataan yang baru saja dihadapinya. Merasa tak peduli untuk menutup kembali jendela kamar yang baru saja ia lompati.

Tersandung akar pohon di samping rumah Syaima yang cukup besar dan keras di atas permukaan tanah, Lisa terperosok. Kedua telapak tangannya menahan laju terjatuhnya dengan menggesekkan pada pijakan yang dipenuhi kerikil. Perih. Sekilas, Lisa mendongak untuk menatap angkasa raya. Lihatlah. Bintang-gemintang bahkan menertawakan kehancurannya.

Lisa segera bangkit, kembali berlari sebisa kakinya membawanya pergi, begitu panggilan namanya terdengar dari ruangan kamar yang baru beberapa saat lalu ia tinggalkan.

Waktu, kumohon kembalikan aku pada saat itu. Aku lebih memilih tidak mengenalnya sama sekali, dari pada harus terluka sedalam ini.

◾◾◾

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top