Bit of Memories
"Syaima Wildatussalwa."
Gadis bermata teduh itu kini tak bisa menahan setiap getaran penuh ketakutan di sekujur badannya. Ia bisa merasakan jantungnya berpacu lebih cepat ketika lelaki di hadapannya membacakan nama yang tertera di name tag miliknya--salah satu hal yang paling penting dikenakan ketika kembali masuk sekolah di jenjang pendidikan berikutnya.
Syaima beristigfar berkali-kali dalam hati. Abinya bilang, ketika ada masalah, jangan pernah berhenti istigfar. Meskipun seuntai kalimat indah itu tidak dapat menyelesaikan masalah secara langsung, setidaknya istigfar mampu membuat kita lebih berkepala dingin dan berpola pikir secara dewasa dalam menyikapinya. Katanya, istigfar itu dapat memberikan peluang bagi kesabaran kita untuk berperan aktif.
"Kamu tahu apa kesalahanmu?"
Kerudung putih, seragam PSAS berwarna bendera Indonesia, dasi merah rapi melingkar, name tag dari karton berwarna merah, sabuk dengan logo Tut Wuri Handayani, kaus kaki putih, sepatu tali berwarna hitam mengkilap. Usahanya mempersiapkan semua ini sejak lama tidak sia-sia. Atributnya lengkap, tak ada kekurangan suatu apa pun. "Kesalahan saya banyak, Kak. Lagi pula setiap manusia tidak pernah luput dari kesalahan."
"Kamu terlambat datang pada hari pertama MPLS," tegasnya membuat Syaima sedikit terlonjak kaget.
Nasib baik, Syaima masuk kategori orang yang masih bisa berpikir rasional. Tidak seperti sahabat kecilnya yang kalau dalam situasi macam ini, pasti akan menyahut, 'Itu Kakak tahu, ngapain nanya?'
Lelaki itu membenamkan kedua tangannya pada saku jas abu-abu--yang menunjukkan bahwa ia berpangkat OSIS di SMPN Pelita Bangsa ini. Tatapan matanya tajam menusuk, dengan garis bibir yang datar sekali. Memang terlihat cool, tapi terkesan menyebalkan bagi Syaima yang harus menghadapi kakak kelas ini di hari pertamanya sekolah. Apalagi, ia berbuat kesalahan. Terlambat. Itu suatu hal yang cukup fatal dengan label 'anak baru' yang disandangnya.
"Kenapa bisa terlambat? Angkot ngetem, jalanan macet, bangun kesiangan, atau tidak bisa disiplin waktu?"
Syaima hanya bisa menatap nanar kakak kelas itu yang kini berjalan mondar-mandir di hadapannya, seakan berupaya mengintimidasi. "Saya kira masuk pukul delapan, Kak."
"Kamu bukan anak SD lagi," semburnya. "Semakin meningkatnya jenjang pendidikan, maka seseorang semakin dituntut untuk mampu bersikap disiplin. SMP ini butuh orang-orang yang bermoral, bukan seseorang dengan pola pikir kekanak-kanakkan yang hanya bermodalkan material semata."
Syaima melirik arloji di pergelangan tangannya sekilas. "Untuk seseorang yang mengira gerbang ditutup pukul delapan, saya termasuk kategori rajin lho, Kak. Masih pukul setengah delapan."
"Tidak ada kata 'masih' dalam terlambat. Entah itu telat satu jam, semenit, sedetik, terlambat ya terlambat!"
Syaima kembali beristigfar. Aduh, bagaimana bisa ia tertular sikap absurd sahabat kecilnya itu? Padahal selama ini, ia dikenal sebagai seorang penurut yang selalu cari aman. Syaima mendengus pendek, kalimat kakak kelas itu mengingatkannya pada kisah Alif di novel Negeri Lima Menara-nya Bang Ahmad Fuadi. Sepertinya dia tahu mengenai novel legendaris itu.
Melihat Syaima tak memberi perlawanan, lelaki itu menghampiri rekan dengan penampilan sama di dekat pintu gerbang. Mereka terlihat diskusi sekilas.
"Peraturannya, sekali terlambat, kau wajib membersihkan toilet laki-laki selama seminggu total."
Mata Syaima hampir meloncat keluar begitu mendnegarnya. Toilet cowok? Selain malu, bisa-bisa anak cowok--khususnya kelas sembilan yang merasa jadi raja di sekolah--akan menggodanya dengan berbagai rayuan menggelikan. Enggak mau!
"Kami akan membebaskanmu dari jerat hukuman apabila kamu berhasil mendapatkan tanda tangan seluruh pengurus OSIS sebelum berakhirnya masa MPLS," tambah lelaki itu segera ketika melihat Syaima sudah bercucuran keringat dingin mendengarnya.
Syaima teringat buku MPLS-nya. Di dalamnya terdapat kolom khusus tanda tangan setiap anggota OSIS. Dengan tergesa, Syaima mengeluarkan buku itu beserta pulpennya. "Kalau begitu ... " Syaima menyodorkan dua benda tersebut ke hadapan sang kakak kelas. "Minta tanda tangannya, Kak!"
Lelaki itu melipat kedua tangan di depan dada, mempertahankan wajah bengisnya. "Kau tidak pernah diajarkan sopan santun? Bilang permisi-permisi, kek."
Syaima memutar kedua bola matanya jengah. "Permisi, Kak. Boleh minta tanda tangannya?" Gadis itu berusaha memberikan senyuman terbaiknya, meskipun hatinya menggerutu habis-habisan.
"Sekarang kamu masuk kelas. Akan ada yang disampaikan pembimbing kelasmu. Kau bisa melaksanakan misimu ketika telah dapat intruksi dari pembimbing ataupun pengurus OSIS lainnya. Jangan harap kau lolos dari pengamatan apalagi jerat hukum. Semoga berhasil."
Dan, lelaki itu berlalu begitu saja. Syaima memandangi halaman yang menunjukkan bagian kolom tanda tangan anggota OSIS. Matanya berkeliaran ke sana ke mari, memastikan. Jumlah seluruh pengurus OSIS 50 orang. Karena terlambat dan setiap pengurus sudah sibuk pada tufoksi masing-masing, Syaima tidak mengenal satu pun wajahnya kecuali kakak kelas tadi. Dan ia harus mendapatkan 50 tanda tangan dari orang tak dikenal, dalam jangka waktu tiga hari. Yang benar saja?
◾◾◾
"Permisi, Kak. Boleh minta tanda tangannya?"
Setelah penat berkeliling seantero sekolah untuk mencari OSIS berjas abu-abu yang berkeliaran di sekitar, Syaima akhirnya menemukan kakak kelas tadi di ujung koridor. Meskipun jas OSIS sudah tak tersampir di badannya, Syaima masih mengingat wajah menyebalkan itu dengan jelas. "Di sebelah mana?"
"Di barisan nama Kakak," sahut Syaima polos.
"Mana namaku? Enggak kelihatan. Mataku rabun."
Syaima benar-benar geram dibuatnya. Dengar-dengar sih, semua anggota OSIS akan mendadak amnesia terhadap namanya sendiri. Katanya buat ngetes anak MPLS juga. Syaima melirik sekilas name tag di dada kakak kelas itu. Dasar payah. "Kak Fadhil, hm, sebentar." Gadis itu terpaksa menelan ludah begitu melihat satu-satunya nama berawalan Al-Fadhil di barisan ketua OSIS. "Di sini, Kak."
"Kamu enggak bisa baca?"
Syaima kembali mendongak, kakak kelas ini maunya apa? "Bisa, Kak."
"Nama saya Al-Fadhel, bukan Al-Fadhil."
Syaima menelisik sekitar name tag itu, dan mendapati huruf 'e' di huruf kedua paling belakang. "Eh, maksud saya Kak Fadhel."
"Kamu baru bisa mendapatkan tanda tangan saya ketika kolom ini sudah terisi minimal lima belas tanda tangan. Sampai jumpa."
Kalau memang tak berniat memberi tanda tangan, kenapa harus bertele-tele sejak awal? Suara bel tanda jam pelajaran berikutnya di mulai, menghentikan aksi Syaima yang hendak kembali memburu tanda tangan. Pembimbing kelasnya mengintruksikan untuk segera kembali masuk kelas, dan ia belum mendapatkan satu biji pun tanda tangan. Gawat!
◾◾◾
"Lu, tanda tanganmu sudah berapa?"
Gadis berkacamata minus dengan pipi sebesar bakpau itu menoleh sekilas, kemudian memberikan buku MPLS miliknya ke hadapan Syaima.
Dengan cepat, Syaima membuka kolom khusus tanda tangan dan mendapati matanya hampir keluar saking kagetnya. "Lulu! Kamu ... sebanyak ini?!" Mata Syaima mendadak liar mendapati berbagai kolom yang sudah penuh dengan coretan tinta hitam.
"Segitu mah kecillah. Siapa sih yang enggak bisa dilakukan oleh seorang selebgram superlucu kayak Lulu Sahidatun Umama," ucapnya sambil menjentikkan jemarinya, menyepelekan.
"Eh, masih ada yang kosong." Celetukan Syaima sukses membuat gadis yang tengah berbangga hati itu melirik bukunya. "Kak Fadhil?"
"Kak Fadhel, Sayang," koreksi Lulu yang kini menampilkan tampang serius. "Ketua OSIS keren itu, ya? Katanya sih, susah dideketin. Coba aja kalau aku bisa luluhin hati bekunya. Bisa-bisa judulnya jadi 'My Ketos My Boyfriend'."
Syaima memutar bola matanya jengah. Semenjak hadirnya Lisa, Syaima merasa hidupnya dikelilingi oleh orang-orang tengil dengan rasa percaya diri yang di atas rata-rata. "Kamu kok bisa dapatin semudah itu?" tanyanya, tak begitu mengacuhkan Lulu. Berkat Lisa, ia sudah tak begitu aneh lagi begitu melihat kegilaan teman-temannya yang lain.
"Sudah kubilang, 'kan? Selebgram lucu kayak aku mana mungkin ditolak, sih."
"Bantuin aku, ya!"
"Wani piro, toh?"
"Shodaqoh, Lu. Menyelamatkan aku dari jeratan marabahaya bisa berbuah pahala, lho. Nanti aku do'ain semua yang kamu mau," rayu Syaima.
Lulu terlihat berpikir sejenak, untuk kemudian menggeleng tegas. "Enggak, ah. Usaha sendiri aja, sana!" Menyebalkannya, gadis itu memeletkan lidahnya pada Syaima, terlihat mengolok-olok.
Syaima menghela napas, berusaha meyakinkan diri bahwa ini semua hanya mimpi buruk yang akan segera berlalu. Lulu, Fadhel, dan 50 kolom tanda tangan yang menunggu untuk diisi. Semuanya berpilin dalam benak Syaima, membuat kepalanya terasa ingin pecah saat itu juga. Gadis itu melirik buku MPLS-nya di atas meja sekilas. Semua ini akan sangat menyulitkan, apalagi jadwal Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah ini cukup padat, diperbolehkan memburu tanda tangan ketika istirahat pertama dan kedua saja. Sementara deadline waktunya hanya bersisa dua hari lagi setelah ini, dan ia belum mendapatkan satu pun.
Kalau tak ingat Allah, Syaima bisa saja menyontek tanda tangan di buku Lulu dan menjiplaknya seolah ia telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Tapi, Abi bilang, kita harus selalu berpegang teguh pada prinsip. Dan prinsipnya adalah: kejujuran yang menyakitkan itu lebih baik, daripada kebohongan yang menyenangkan. Hatinya sudah lebih lega sekarang. Namun, matanya menabrak kertas tamda tangannya yang masih mulus. Bagaimana pun, Syaima harus menuntaskan misinya. Kakak kelas sialan!
◾◾◾
Hari ketiga MPLS, hari terakhir penyiksaan lahir-batin seorang Syaima Wildatussalwa. Setelah berbagai macam ekstrakurikuler yang tak henti mempromosikan ke setiap kelas, ini merupakan saat terakhir memburu tanda tangan. Khusus untuk Syaima sang anak baru yang terlambat datang di hari pertamanya--begitu Fadhel melabelinya--pulang sekolah--yang berarti saat ini--harus menyetorkan hasil misinya pada ketua OSIS yang amat terhormat di seantero SMPN Pelita Bangsa.
Syaima menatap sedih buku MPLS di genggaman tangannya. Masih sedikit. Syaima mengendurkan otot lehernya, mempersiapkan mental untuk menerima umpatan, makian, atau bahkan mungkin hukuman membersihkan toilet putra selama seminggu berturut-turut. Oh, ia juga harus punya ketersediaan stok kesabaran yang ekstra.
"Kemarikan bukumu."
Syaima mendengus ketika mendengar kalimat dingin itu meluncur begitu saja. "Silakan," ketusnya dengan wajah superkesal. Memangnya dikira cuma dia yang bisa jadi sok dingin apa? Gadis itu mendumel dalam hati, merasa bahwa dia juga bisa balik bersikap dingin pada kakak kelas menyebalkan itu.
"Saya perintah anda untuk mengumpulkan tanda tangan seluruh pengurus OSIS. Bukan hanya segini."
Syaima berniat menyalakan musik pada ponsel yang telah terhubung dengan headseat di telinganya. Sejak awal, Syaima sudah dapat menduga bahwa kakak kelas itu akan keberatan, dan Syaima punya cara untuk mengatasinya. Dari pada sebal mendengarkan ocehan tak tahu diri itu, lebih baik telinganya dipakai untuk lagu-lagu terbaru Gus Azmi, 'kan? Mungkin Syaima bisa berhalusinasi ria tentang pemuda pelantun sholawat yang banyak digandrungi remaja masa kini, macam Lisa.
"Mission completed. Kau bebas hukuman, dan jangan sampai terlambat lagi."
Demi mendengarnya, Syaima hampir menjatuhkan ponsel berwarna putihnya. "Hah?"
"Meskipun kau hanya berhasil mendapatkan lima belas tanda tangan--ya, tidak sampai sepertiga dari yang seharusnya, sih. But, it's okay. Untuk tipikal orang introvert dan tidak menghadiri sesi pengenalan pengurus OSIS, ini lebih dari cukup." Syaima membeku sesaat ketika melihat lelaki itu menampilkan senyum tipis segarisnya. "Terima kasih atas usahanya."
Tidak dapat dimengerti.
Ya, dunia benar-benar sudah gila.
◾◾◾
Yeayy, janjiku hari ini lunas, ya. By the way, habis ini bakalan bahas yang manis-manis, haha. Eh, enggak juga, deng.
Fyi, sebenarnya pas awal bikin kerangka plus daftar plot MiL, aku enggak berniat ngadain kilas balik alias flashbacknya Ama di zaman masuk SMP. Tapi lama-lama aku mikir, berhubung quotes Ama sebelumnya menyangkutpautkan yang namanya masa lalu, kenapa enggak ditulis aja masa lalu Amanya, gitu.
Pas dapat ide soal bab ini, aku sempat kepikiran bikin sequel cerita Ama sama orang di masa lalunya ini (Al-Fadhel). Tapi enggak jadi dah. Jiwa psikopatku lagi keluar dan nafsu banget pengen nulis soal pembunuhan, haha. (Ini bocoran:v).
See ya,
@dekadream
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top