Bit of Memories [2]

MPLS sudah berakhir, dan anak kelas satu dipersilakan mengenakan seragam putih-biru, seragam yang amat Syaima bangga-banggakan sejak beberapa minggu sebelumnya. Seluruh siswa mulai melaksanakan kegiatan belajar mengajar sebagaimana mestinya, setelah sekian lama hanya tidur di rumah karena libur panjang Idul Fitri.

Hari telah berganti, bersamaan dengan terbitnya asa yang perlahan meninggi. Meski jantungnya seakan hendak meledak saking antusiasnya masuk sekolah, tapi Syaima merasa ragu ketika melangkah menjemput mimpi. Gadis itu mendengus, kesal karena sejak sehari yang lalu, wajah kakak kelas menyebalkan itu terus mengisi benaknya sepanjang hari.

"Kak Fadhil?" Secara refleks, Syaima mundur tiga langkah begitu tangannya hampir meraih buku yang sama dengan lelaki itu. Spontanitas.

"Fadhel," koreksinya, masih berekspresi datar. Bahkan setelah berani-beraninya membuat aliran darah Syaima memacu lebih cepat dari pada biasanya, Fadhel dengan polosnya malah sibuk meraih banyak buku incaran Syaima di rak, merasa tak berdosa.

Itu novel yang kupingin semua, batin Syaima dengan wajah mupengnya. Merasa tidak mau kembali terlibat masalah dengan ketua OSIS yang katanya pujaan seluruh rakyat itu, Syaima lebih memiih mengalah. Perlahan namun pasti, gadis itu memperbesar jarak di antara keduanya. Mungkin ia bisa membacanya setelah Fadhel, atau bahkan mungkin saja perpustakaan ini punya lebih dari satu eksampel untuk buku yang Syaima dambakan. Ya, tidak ada salahnya. Itu pilihan yang jauh lebih baik dengan tingkat resiko paling rendah.

Masih dengan posisi duduk santai di kursi perpustakaan, tangan Fadhel tiba-tiba menggenggam erat pergelangan tangan Syaima. Sontak saja, gadis itu menghentikan langkah, menoleh penuh tanya.

Sialan, kukira dia akan merebut novel kesukaannya dariku, gerutu Fadhel begitu melihat reaksi Syaima tidak sesuai dengan prediksinya. Meskipun Syaima seorang pemalu, jika untuk hal yang amat diinginkannya, ia tidak pernah ragu.

Sebelum Syaima angkat suara untuk bertanya, Fadhel bangkit dari duduknya dan menumpuk buku yang pura-pura ia baca di atas meja. Tangannya bergerak menggeser buku itu mendekat ke arah Syaima. "Ambillah. Kau butuh buku itu, 'kan?"

"Eh," spontannya kaget. "Kan sedang Kakak baca."

"Ambil. Ini perintah mutlak."

Syaima memajukan bibirnya beberapa senti ketika kakak kelas itu dengan santainya melenggang pergi keluar ruang perpustakaan. Kalau dari awal sudah tahu buku itu yang diincar Syaima, kenapa harus diambil? Dan ketika Syaima hendak mencari buku lain, kenapa harus mencegahnya untuk pergi?

Dasar tukang tarik-ulur perasaan anak orang!

◾◾◾

Goresan tinta hitam menghias kertas sketsa Syaima. Semenjak kehadiran Fadhel, hatinya tidak pernah tenang. Rasanya, Fadhel benar-benar menjungkir balikkan kehidupannya.

"Saking rindunya sama yang ganteng, sampai mau repot-repot gambarin wajahnya biar bisa dipandang setiap saat, ya?"

"Astaghfirullah!" pekik Syaima sampai hampir merusak karyanya. Ia memperbaiki posisi duduknya di atas kursi perpustakaan, kemudian mendongak untuk menatap sang pembuat kerusuhan. Begitu sadar Fadhel mengamati gambarnya, Syaima segera membaliknya, sambil berharap-harap cemas bahwa Fadhel tak melihatnya dengan jelas.

Pandangan Syaima hanya bisa mengikuti sosok Fadhel yang menghempaskan badan pada kursi di hadapannya dan hanya terpisah oleh satu meja besar. "Mau aku berpose? Mungkin kau bisa punya gambaran lebih baik."

Sial! Semuanya terlambat. Fadhel sudah terlanjur menyadarinya. Oh, ayolah. Syaima sudah tak tahu lagi seberapa besar kepala Fadhel sekarang. Syaima benar-benar merasa telah dipercundangi. "Maaf ya, Kak. Aku tidak sudi menggambar Kakak. Ini gambar Kuroko," elaknya tanpa pikir panjang.

"Kebohonganmu terlalu jelas terlihat. Kuroko tidak memakai kaca mata. Kau pikir aku tidak mengetahuinya? Belajarlah menaturalkan kebohongan. Seorang bocah SD yang maling rambutan tetangga pun jauh lebih meyakinkan daripada kamu. Berbohong itu ada seninya."

"Eh, aku salah sebut. Ini gambar Hyuuga Junpei," ralatnya. Gawat, bagaimana bisa kakak kelas itu tahu?

"Untuk ukuran seseorang yang senang menggambar sepertimu, kau seharusnya bisa membedakan satu karakter dengan karakter yang lain. Kau berbohong lagi," simpulnya.

Syaima menghela napas. "Iya, ini Kuroko. Apa salahnya sih, menggambar Kuroko yang menggunakan kaca mata? Lebih lucu, tahu."

"Kuroko tidak pernah tersenyum sebengis itu."

"Akhirnya kau sadar bahwa senyumanmu selalu terlihat bengis sepanjang waktu," gumam Syaima, merasa sedikit lega begitu mengetahui Fadhel masih mempunyai sisi kemanusiaan.

"Akhirnya kau mengaku bahwa kau tengah menggambar wajah rupawanku."

"Ih, enggak!" sahut Syaima dengan ganasnya.

"Lalu tadi maksud perkataanmu apa?"

"Terserah, terserah!" Syaima cemberut, merasa kalah. Ia memang tidak pernah bisa menang apabila berhadapan dengan kakak kelas yang songongnya naudzubillah ini.

"Gambarmu bagus untuk ukuran seseorang yang belum pernah mengenyam pendidikan khusus seni," komentar Fadhel yang entah sejak kapan sudah asyik membalik halaman demi halaman buku sketsa milik Syaima. Gadis itu meredakan shock beratnya. Bagaimana bisa buku sketsanya berpindah tangan tanpa ia sadari?

"Kembalikan!"

"Tidak. Kau tenang saja. Akan kuikutkan sayembara lomba tingkat kota yang sudah dipajang di mading sejak beberapa minggu lalu. Kau punya potensi besar untuk memenangkannya."

"Kak Fadhil!"

"Fadhel," koreksinya untuk kesekian kalinya, masih dengan nada datar khasnya. "Seingatku, hari ini terakhir pengumpulan karyanya. Aku akan bergegas. Kau tunggu hasilnya saja."

"Kak Fadhil, tidak semudah itu!" Syaima benar-benar sudah was-was. Keringat dingin mengalir deras di keningnya. Oh, ayolah. Kakak kelas asing yang tiba-tiba mengetahui hobi menggambarnya saja sudah sangat mengganjal di hati Syaima, apalagi didaftarkan pada sayembara lomba tingkat kota. Apa yang harus ia lakukan?

Syaima berusaha mengejar langkah panjang Fadhel hingga koridor depan perpustakaan. Namun, langkah itu menghilang begitu saja. Tidak ada jejak, tidak ada petunjuk. Sepertinya keaslian Fadhel perlu diverifikasi. Pasalnya, ia sudah sering sekali menghilang dan muncul ke permukaan bumi secara mengejutkan, tanpa basa-basi. Sudah macam Jailangkung saja.

Tidak. Syaima harus mencari tahu informasi mengenai sayembara lomba tersebut. Bergegas, Syaima mengunjungi majalah dinding yang berjarak cukup jauh dari posisi awalnya. Matanya liar bergerak ke sana-ke mari, mencari hal yang ia cari. Hingga selebaran itu menyita banyak perhatiannya.

Sayembara Lomba Sketsa se-Tasikmalaya
Tema: Generasi Millenial untuk Bangsa
Ukuran kertas: menyesuaikan

Cara Pengiriman Sketsa
Posting sketsa buatanmu di Instagram dengan menggunakan tag dan follow @tasikseni serta cantumkan hashtag #lombasketsatasikseni. Akun tidak boleh diprivat untuk memudahkan penilaian. Pengumuman juara akan diunggah pada akun @tasikseni. Stay tune!

Tanggal Penting
Deadline: 25 Juli 2013, pukul 00.00
Pengumuman: 26 Juli 2013, pukul 22.00
Selamat mencoba dan semoga berhasil!

Syaima menghembuskan napas. Meskipun ia tak bisa menghentikan aksi Fadhel, setidaknya lelaki itu tidak punya akun Syaima. Kalaupun diposting, palingan menggunakan akun Fadhel.

"Jangan berani-beraninya berpikir bahwa aku tidak bisa mengirim sketsa buatanmu hanya karena aku tidak punya password akun Instagram milikmu. Tidak ada yang bisa menghentikanku, ingat?"

Syaima menoleh ke sumber suara dan semakin kebakaran jenggot ketika melihat Fadhel dengan santainya tengah menggulirkan layar ponsel milik Syaima. Sejak kapan lelaki itu mengambil alih ponselnya? "Kak Fadhil, aku bisa melaporkan Kakak ke jalur hukum atas tindakan pencurian barang berharga, lho."

"Aku tidak mencuri. Aku hanya meminjam barangmu."

"Meminjam itu harus minta izin dulu!"

"Iya, aku meminjam ponselmu sebentar. Hanya saja permisinya belakangan, oke?"

"Enggak mau! Kembalikan ponsel dan buku sketsa milikku!" Syaima melompat-lompat, berusaha meraih barangnya di genggaman Fadhel yang memang tingginya luar biasa itu.

"Sudah kuposting," lapor Fadhel untuk kemudian mengembalikan apa yang Syaima minta.

Dengan kegirangan, Syaima segera mengambil alih ponsel dan membuka Instagram. Anehnya, ia harus log in kembali. Meski begitu, Syaima mengetikkan alamat e-mail beserta kata sandinya tanpa bicara apa pun lagi.

Kata sandi salah.

Apa?!

Syaima kembali mengetikkan password yang sama, dengan perhatian ekstra pada setiap karakternya.

Kata sandi salah.

"Apa yang kau lakukan pada akun Instagramku, Kak Fadhil?!" sembur Syaima, tak bisa lagi mengendalikan wajah sangarnya.

Fadhel mengangkat bahu, berjalan menjauh sambil melambaikan tangan dengan posisi membelakangi. "Aku hanya mengganti passwordmu. Setelah pengumuman juaranya nanti, aku akan memberitahumu."

Mengganti sandi akun Instagram orang lain tanpa izin?! "Bagaimana bisa kau mengetahui password lamaku?!"

"Simpel. Cewek itu mudah ditebak. Kata sandi akun Instagrammu sama persis dengan sandi hotspotmu. Mudah saja bagiku. Untuk kembali mendapatkan akunmu, kau hanya perlu menunggu dua puluh lima jam lagi. Bersabarlah. Sampai jumpa."

Anak ini berniat membantu atau malah menyengsarakan Syaima, sih?

◾◾◾

Hari berikutnya telah tiba. Waktu bergulir dengan lambat. Syaima hanya bisa menatap pasrah ponsel di genggamam tangannya. Rasanya sangat membosankan ketika ia tak bisa mengunjungi akun Instagramnya. Apalagi yang lebih menyesakkannya lagi, Syaima tidak bisa stalking Gus Azmi, Syakir Daulay, Bang Muzammil Hasballah, Hawariyyun, Ceng Zam-Zam, dan sederet pemilik hatinya.

Ini semua gara-gara kakak kelas tidak tahu diri itu.

Syaima melentangkan badan menatap langit-langit kamar. Seingatnya, pengumuman kejuaraan lomba sketsa itu malam ini pukul sepuluh. Gadis itu melirik jam dinding yang tergantung di dinding kamar. Satu menit lagi.

Kalau boleh berterus terang, biasanya Syaima sudah terlelap sejak pukul sembilan malam. Tapi lelaki itu benar-benar sukses mencuri jam tidurnya. Kalau saja Fadhel tidak mengganti password akun Instagram miliknya, mungkin sekarang ia sudah terbuai dalam mimpi. Bagaimana pun juga, Syaima paling tidak bisa tidur kalau belum melihat sederet wajah teduh calon imam di masa depannya, hehe.

Drrtt, drrtt!
Ponselnya bergetar, menandakan sebuah notifikasi masuk. Syaima mendapati sebuah pesan WhatsApp dari nomor tak dikenal di layar pemberitahuannya. Nomor tak dikenal yang dapat segera ia prediksi siapa pemiliknya.

Pengumuman juara lomba sketsa udah keluar.
+628XXXXXXXXXX send a picture
Apa kubilang? Kau pasti menang.
Bilang apa padaku?

Password akun Instagramku apa?

Bilang 'makasih' dulu susah banget, sih.

Iya, makasih.

Yang ikhlas.

Ini udah ikhlas.

Ikhlas itu enggak dibilang-bilang.

Terserah Kak Fadhil aja. Mana password akun Instagramku?

Ngebet banget sih, Mbak.

Ish, cepetan.
By the way, Kak Fadhil dapet nomor aku dari mana?

Enggak usah meragukanku. Aku tahu segalanya.

Songong amat, Mbak. Mana passwordnya?

Males ngasih, ah:p

Syaima tertegun sejenak membaca balasan chat dari Fadhel. Ini seriusan Kak Fadhil? Rasanya sangat aneh ketika melihat kakak kelas terlaknat yang hobinya ngejahilin dengan muka datar minta ditabok itu, kini memberi kesan hangat. Syaima menggelengkan kepala berkali-kali. Sekali menyebalkan, tetap menyebalkan. Sambil memikirkan balasan yang tepat, Syaima menambahkan Fadhel pada daftar kontaknya.

Kakak Kelas Terlaknat

Kak Fadhil ... aku serius.


Fadhel

Eh, iya. Kak Fadhel. Tolong, ya.

Aku lupa passwordnya.

APA?!

Syaima tidak bisa menahan hatinya untuk mengumpat dan menyumpahi lelaki bernama Fadhel habis-habisan. Rasanya tidak mungkin kalau ia harus ganti akun. Di akun lamanya sudah dapat follback dari akun fansbase resmi Gus Azmi dan Alwi Assegaf, 'kan sayang.

Kakak Kelas Terlaknat
Bercanda doang :p
Aku bakalan ngasih passwordnya asal kamu mau bilang 'Fadhel cowok paling ganteng segalaksi Bima Sakti'

Syaima mengernyit membacanya. Bukannya kesal, ia malah teringat novel Matahari karya Bang Tere Liye.

Kakak Kelas Terlaknat

Kak Fadhil suka baca novel, ya?
Mulai dari Bang Ahmad Fuadi sampai Bang Tere Liye?

Aku sukanya kamu.

Hah? Suka kamu? Ceritanya, Kak Fadhil nembak aku atau gimana? Seriusan, ini? Pantas saja tingkahnya ....

Eh, typo.
Maksudku, aku sukanya kamus.

Syaima menghembuskan napas berat. Oke, Syaima Wildatussalwa, kembalilah berpijak di atas muka bumi.

Oh.
KAK FADHIL, MANA PASSWORDNYA?!

Bilang dulu yang tadi, sana.

Oke. Kak Fadhil cowok paling ganteng segalaksi Bima Sakti.

Iya. Kamu cewek paling buluk yang pernah kutemui.

Kak Fadhil ....

Sori, sori. Sebelum dapetin passwordnya, kamu harus janji, ya.

Janji?

Janji bahwa kamu enggak akan pernah malu memublikasikan karyamu. Kamu punya banyak potensi. Maksimalkan.

Iya, Bang Mario Teguh. Jadi, passwordnya?

Passwordnya: fadhilwildatussalwa

Hah?

◾◾◾

Yeah, its already 12.32 AM right now, Gengs. Anybody still melek? Hoho XO. Happy reading!

With Piece,
@dekadream

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top