Best Medicinal Treatment

Adzan isya sudah berkumandang sejak tadi. Suara lantunan sholawat beserta ayat suci Al-Qur'an dari beberapa masjid terdekat, terus mengisi sunyinya malam. Memberikan ketenangan tersendiri pada hati Lisa yang menarik pedal sepeda membelah jalanan sambil was-was melihat sekitar.

Pepohonan di sisi kanan jalan menjulang dengan gagahnya. Rembulan perlahan naik, cahayanya menerobos rimbun dedaunan, memberikan kesan tenang tapi mencekam. Oh, Lisa benar-benar merasa seperti berada di film horor murahan, di mana jalanan sepi dan pemandangan mengerikan berkonspirasi untuk memompa adrenalin sang tokoh utama.

Angin malam berhembus kencang. Lapisan jaket hitam kesayangannya benar-benar tidak mempan melawan rasa dingin yang menusuk tulang. Meski pun Lisa sudah berulang kali melewati jalan ini, di malam hari, auranya dua kali lebih menyeramkan.

Dalam hati, Lisa merutuk tiada henti. Kalau saja rumah Lisa punya basecamp nyaman seperti Kayla, tentu bisa diusulkan untuk menjadi markas besar anak-anak Sastra Indonesia Persatas tahun ini. Dan Lisa tak perlu melewati jalan sunyi macam di acara uji nyali begini.

Suara dari toa masjid semakin mengecil, membuat hatinya bertambah ketar-ketir. Oh, ia bisa mendengarkan lagu dari ponselnya untuk mengisi suasana. Tangan kanannya melepas setang sepeda, meraba saku jaket hitamnya. Headset ada, kebetulan yang menyenangkan!

Memutuskan berhenti sejenak, Lisa menekan tombol power di pinggir ponsel. Tidak ada reaksi. Layar itu hanya menampilkan hitam, samar-samar memantulkan bayangan wajah tegang Lisa di antara gelapnya malam. Battery low! Pasti karena ia terlalu asyik berselfie ria kemudian mengirim postingan di semua jejaring sosialnya, menunjukkan pada dunia mengenai daily activity-nya hari ini. Ditambah tadi ia streaming kembarannya terus-terusan. Habisnya, jaringan wi-fi di rumah Kayla kencengnya kebangetan. Rasanya sayang kalau tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Lisa hanya punya dua alternatif jalan menuju rumah: jalanan horor ini, atau memutar lewat pusat kota yang dua kali lipat lebih jauh. Dan Lisa lebih memilih menghadapi rasa takutnya agar segera keluar dari zona tak menyenangkan ini.

Jujur saja, Lisa tak pernah suka berada di luar rumah saat malam tiba. Karena selama ini, Lisa merasa malam hari adalah waktu yang tepat untuk tiduran, membaca novel, menyesap kopi dan melahap cemilan. Meski sok gaul, Lisa tidak pernah sok kelayapan di malam Minggu biar dikira punya gandengan. Toh, bagi seorang jomblowati sejati macam dirinya, semua malam sama saja, nongkrong di luar tidak ada bandingannya kalau harus dibayar kenikmatan tadi.

Let's finish it fastly, Dude. Tumpukan novel baper dengan musik mellow di ponselnya sudah menunggu.

Namun, Lisa melupakan satu hal. Kehidupan Lisa selalu punya plot twist, dan seringnya berupa hal yang merugikan dirinya sendiri. Alih-alih lautan aksara ditambah hangatnya secangkir kopi, Lisa lebih dahulu ditunggu oleh sekumpulan pria liar penguasa jalan ini.

"Halo, gadis cantik. Malam-malam gini, masih keluyuran aja di luar rumah. Mending menetap di hati Abang aja, kuy."

Seketika, Lisa menghentikan laju sepedanya sebelum semakin masuk jeratan pria tak dikenal itu. Kepalanya segera menoleh, mengamati sekeliling, mencari celah untuk kabur. Tapi tidak, sejumlah pria berikutnya mengepung Lisa dari belakang. Gadis itu meneguk ludahnya susah-payah. Ia pernah mendengar rumor mengenai preman sekitar sini yang bobrok-bobrok semua. Tapi Lisa tak pernah menyangka akan menghadapinya secara live seperti ini.

"Ayolah, gadis cantik. Kita akan melewati malam panjang ini dengan penuh cinta. Cukup serahkan dirimu."

Mata Lisa masih liar menganalisa sekitar. Bau alkohol tercium pekat dari kumpulan pria yang semakin mendekat ke arahnya, berjalan terhuyung dengan mata merah menatapnya nyalang. Dalam kondisi mabuk seperti itu, rasanya kecil kemungkinan mereka bisa berjalan jauh. Pasti mereka minum-minum di sekitar sini.

Berpikirlah, ayo. Kali ini saja kumohon, otak. Berfungsilah sebagaimana mestinya.

Ya, jika begitu pasti ada jejak. Ada yang bisa ia gunakan untuk senjata perlindungan diri.

Adrenalinnya terpompa cepat. Lisa mendengus, mengepalkan tangan pada setang sepeda lebih erat lagi, berusaha mengubah ketakutan menjadi kekuatan. Tanpa ragu, Lisa melajukan sepeda secepat yang ia bisa, menabrak salah satu pria yang langsung terbanting ke tanah, membuka satu jalan baginya.

"Oh, kau memilih melawan ya, Gadis Cantik? Baiklah, akan kami ladeni dengan senang hati."

Lisa sudah berniat kabur. Tapi sesuai dugaannya, dengan jumlah sebanyak itu, mereka bisa menahan jok boncengan sepeda. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Lisa benar-benar menyesali telah membeli sepeda bermodel seperti itu.

Tapi tak apa. Ia segera turun dari sepeda, menarik setang dari depan, dan membiarkan sepeda kesayangannya terlempar ke tanah bersamaan dengan robohnya dua orang pria terkena ban belakang sepeda. Lisa kembali mendengus, timbul rasa bangga di dadanya. Pandangannya seolah mengatakan meski pun sepedanya terlihat sangat girly, tapi tetap kuat.

Namun, tak ada waktu untuk merayakan kemenangan sesaatnya itu. Lisa melayangkan pandangan di antara temaramnya malam. Lari kurang efektif untuk dijadikan alternatif. Apalagi Lisa sudah berikrar tidak akan pernah meninggalkan sepedanya sendiri. Senjata itu, pasti ada di dekat sini.

Cahaya rembulan yang kian meninggi kembali menerobos lewat dedaunan, membuat sudut matanya silau oleh pantulan. Pasti itu! Dalam dua langkah, Lisa segera mendapati yang ia inginkan: botol kaca bekas minuman keras yang terhampar di pinggir jalan.

Sekuat tenaga, Lisa mengangkatnya tinggi-tinggi dan mengayunkannya tepat pada wajah pria terdekat. Seperempat bagian bawah botol pecah begitu menabrak tulang dahi pria itu, seiring dengan mengucurnya darah, merembes pada kaus yang dikenakan. Meski sedikit jeri, Lisa tak menghentikan aksinya begitu saja. Kepala-kepala berikutnya menjadi sasaran empuk hantaman botol kaca dari Lisa.

Salah sendiri minum minuman enggak bermutu kayak gini. Kena impasnya, 'kan?

Di tengah situasi genting saat ini, Lisa masih sempat-sempatnya nyengir atas pemikiran yang sempat terlintas di benaknya. Oh, Lisa sekarang mulai merasa berada di film action, sebagai tokoh utama yang tak segan memberi pelajaran pada kejahatan.

Sedikit lengah, pecahan kaca salah sasaran sukses mengenai pipi tirusnya, menyabetkan luka. Ada sedikit rasa perih menjalar. Usaha Lisa tidak cukup. Meski beberapa sudah tergeletak tak berdaya, masih banyak lagi kawanannya, bahu-membahu menyerbu Lisa.

Lisa bersiap mengambil botol kaca berikutnya. Kosong. Tak ada lagi yang bisa ia jadikan perisai diri. Sementara itu, tanpa aba-aba, sekumpulan preman sudah membentuk formasi, mengepung Lisa dari berbagai arah, tak menyisakan celah sedikit pun.

Sialan. Mabuk begitu masih bisa berpikir cepat.

Dan menyebalkannya, Lisa kalah cepat. Otaknya kembali macet, korslet. Ketakutan kembali menyeruak ke permukaan. Lisa tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan.

Lisa mencoba melayangkan tinju pada pria yang berada di jangkauannya. Tidak mempan. Tangan kerempengnya justru dipelintir di belakang punggung. Pria lainnya datang mengeluarkan tendangan. Telak mengenai perutnya. Mulut Lisa memuntahkan darah. Dengan refleks seburuk ini, ia memang tidak akan pernah bisa memenangkan pertandingan dengan tangan kosong, apalagi disergap begini, walau penyerangnya orang mabuk sekali pun.

Gila, Lisa jadi teringat tokoh utama di salah satu reading list-nya yang merupakan bad boy sekolah dengan hobi tawuran dan cari masalah. Lisa berontak, berusaha sekuat tenaga untuk lepas dari intimidasi sang lawan. Meski begitu, tak dapat dipungkiri, tubuhnya sudah lemas. Energinya sudah terkuras habis setelah diforsir sejak pagi--ditambah gejolak hatinya yang tak kunjung mereda.

Bruk!
Cengkeraman di lengannya terlepas, membuatnya luluh seketika di atas jalanan. Lututnya tak kuat lagi menopang tubuh. Meski begitu, Lisa masih bisa memaksakan bangkit. Suara gedebuk terjadi berulang kali. Bukannya kawanan preman, yang mata Lisa tangkap pertama kali adalah punggung kokoh yang dengan gagahnya menumpas setiap kali pria mabuk mendekat.

Kedua tangan penyelamat itu terentang, memperlihatkan posisi defensif pada Lisa. "Segera pergi ke belokan jalan di depan sana. Sepedamu biar aku yang urus." Sosoknya menoleh sekilas, memberi tatapan meyakinkan. Dan dalam sedetik kemudian, sudah kembali beraksi meladeni serangan preman liar.

Bukannya beranjak untuk memenuhi instruksi penyelamatnya, Lisa malah membeku di tempat.

Je. Sang pencampur aduk suasana hatinya, yang meski pun tak dapat Lisa hindari, masih menjadi penguasa kerinduan di hatinya. Nama yang harus Lisa akui, masih bergema hebat di setiap sudut sukma, menggetarkan rasa, melahirkan asa yang selalu menetap di angkasa benaknya.

Di saat Lisa berusaha melupakan, kenapa sosok itu kembali hadir, dan berengseknya, malah menyiram harapan itu untuk kembali tumbuh membuahkan luka?

Pukulan tinju Je telak mengenai dada musuh. Secepat mungkin, Je mengambil sepeda dan meneriaki Lisa untuk ikut berlari sesuai perintahnya tadi yang hanya dianggap Lisa sebagai angin lalu, sebagaimana kisah mereka.

Tak disangka, di belokan jalan Lisa menemukan sosok Hafidz dengan sepeda motornya. Mereka terus melarikan diri ke arah keramaian di pusat kota.

◾◾◾

"Seorang wanita lebih baik di rumah, bukan kelayapan enggak jelas malam-malam begini." Hafidz angkat suara, mengatasi kecanggungan. Ia semakin menekan obat merah pada telapak tangan Lisa yang luka saat terjatuh di depan ponpes tadi sore.

"Aw! Cukup, hentikan! Kau ini calon dokter, 'kan? Belajarlah bersimpati pada pasien. Sadis begini, kudo'akan tak ada yang mau berobat padamu, baru tahu rasa!" Lisa menjerit-jerit kesakitan. Meski pecicilannya keluar lagi, Lisa menguatkan hati untuk tak melirik pada sosok berjarak dua meter di sebelah kanannya. Dengan telaten, Je memperbaiki sepeda kesayangan Lisa yang cukup rusak parah. Tadi saking semangatnya Lisa menyerang preman, sampai tak memperhatikan komplikasi pada sepedanya. Keranjang penyot tak berbentuk, jok memutar, dinamo rusak dan tentunya jangan lupakan hiasan cantik yang gugus dan terkelupas.

Hafidz menutup kotak P3K, luka di pipi dan tepalak tangan Lisa sudah selesai diobati. "Lebih sadis mana dengan seorang gadis kerempeng yang tanpa segan menghantam tajamnya pecahan kaca pada dahi seseorang?"

Pertanyaan retoris Hafidz justru mengingatkan Lisa akan suatu hal. "Kau berada di TKP, 'kan?" Pertanyaan sedingin angin malam itu membuat Hafidz tertegun sesaat. "Kau ada di sana juga, 'kan? Tapi ... kenapa kau membiarkan orang itu yang menyelamatkanku?"

Hafidz bergeming, percakapan beberapa saat lalu kembali menggantung di benaknya.

"Itu Lisa! Je, cepat tolong dia!"

"Fidz, kau punya penguasaan bela diri lebih luas. Kenapa tidak kau saja?"

"Al-Fadhel Syakir Jaelani, sejak kapan kau ragu untuk berbuat kebaikan?"

"Sepedanya sudah berhasil kuperbaiki." Interupsi Je membuat Hafidz kembali pada dunia yang dipijaknya.

Hafidz mendengus. "Segeralah pulang. Aku tak ingin menyia-nyiakan waktu hanya untuk mengurusi hidupmu."

Lisa pergi tanpa kata, menarik pedal tanpa menoleh, melanjutkan rute pusat kota bersama air mata meleleh. Meninggalkan Hafidz dengan segala keresahannya.

Diselamatkan Je yang tiba-tiba datang layaknya superhero adalah keinginanmu, 'kan? Aku harap itu bisa jadi obat terbaik untukmu.

Tanpa sadar, Hafidz sudah mengambil tindakan yang menyakiti Lisa dan dirinya sendiri. Je, yang ia harapkan menjadi penyembuhan terbaik bagi Lisa, justru hanya menyayat luka gadis itu lebih dalam.

◾◾◾

Aku paling enjoy nulis di part ini, sih, wkwk. Mungkin karena ada dikit bumbu-bumbu aksinya kali, ya. Haha.

With love,
@dekadream

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top