Beginning
"Lisa?"
Gadis itu menampilkan cengiran lebar sampai gigi kelincinya menyembul. Lisa membiarkan payung ungunya tergeletak di halaman depan rumah Syaima. Kalau masih basah begini ditutup, katanya bisa gampang patah tulang-tulang penyangga payungnya. Lisa menepuk-nepuk bagian pundaknya yang sempat terkena serangan hujan. Tanpa permisi, anak itu nyelonong masuk rumah. Tujuan utamanya tentu saja, apa lagi kalau bukan kamar Syaima.
"Tumben cepet banget ke sininya, padahal baru aja ngabarin. Enggak lewatin kobong ikhwan dulu, ya?" tebak Syaima.
Lisa menggeleng, masih dengan cengiran khasnya. "Enggak. Aku enggak perlu lagi keliling santri cowok. Tugasku tinggal jaga hati aja. Soalnya hati aku udah diklaim Bang Je seorang, sih."
"Lho, jaket kamu ke mana?" Syaima tidak menanggapi perkataan penuh percaya diri Lisa, ia justru lebih tertarik pada kejanggalan lainnya dalam gadis absurd itu hari ini. "Katanya, bukan Lisa kalau enggak pake jaket hitam. Mottonya udah berubah kah?"
Gadis aneh yang kini santai menjatuhkan diri di atas tempat tidur Syaima itu malah terkekeh cekikikan. "Tadi aku kehujanan, jaketnya basah. Masih ada sih, tapi punya orang nyebelin," ucapnya, merujuk pada Hafidz. Iya, siapa lagi kalau bukan si cecunguk buluk yang menyebalkan itu?
Syaima hanya manggut-manggut, malas melanjutkan perbincangan. Gadis itu memilih untuk membuka dan serius membaca sebuah kitab tebal yang Lisa tak tahu apa namanya di meja belajar. Syaima sudah terbiasa dengan kehadiran anak tak tahu malu itu. Tanpa ada kepentingan pun, Lisa sering keluar-masuk rumah Syaima, santai sekali. Kalimat 'anggap rumah sendiri' dari sang tuan rumah pada tamu seperti di film-film FTV sudah tidak perlu lagi Lisa dapatkan.
"Rajin amat sih, Mbak," celetuk Lisa, memilih bangkit dari tempat tidur dan menyembul di celah pundak Syaima, sedikit mengintip apa yang sahabatnya baca meskipun tetap saja tak ia mengerti.
"Besok, Abi mau ke luar kota. Berhari-hari. Aku jadi mendapat banyak tugas untuk menggantikan beliau di sini," sahut Syaima tanpa berniat menoleh sedikitpun pada sang penanya. Matanya masih fokus menelusuri kitab di hadapannya.
"Ke luar kota?" ulang Lisa dengan mata berbinar. Tanpa basa-basi lagi, anak itu segera berlarian di koridor rumah sederhana Syaima.
Di ruangan dapur, Lisa berpapasan dengan Kiai Rais, seorang pria gagah dengan sorban melintang di pundaknya. "Abi, kebetulan sekali! Abi mau ke luar kota? Kapan pulang ke Tasik?"
Abi terkekeh sejenak, mengerti arah pembicaraan sahabat dari putrinya yang satu ini. "Iya, sekitar satu minggu. Lisa mau minta oleh-oleh?" tanya Abi ramah sambil menepuk-nepuk kepala berbalut jilbab Lisa, sudah tak kaget lagi melihat penampakan Lisa di rumahnya yang tiba-tiba muncul tanpa permisi.
Tanpa tahu malu, gadis itu mengangguk berkali-kali yang dibalas tawa Abi.
"In syaa Allah, nanti Abi bawain."
"Yeayy!" pekik Lisa kegirangan sampai berlonjak-lonjak di hadapan pemilik pondok pesantren Riyadhul' Huda itu. "Abi memang terbaik! Lisa do'ain semoga Abi selamat di perjalanan." Dasar, mendo'akan ketika ada maunya saja. "Lisa sayang Abi!"
Abi hanya geleng-geleng memandangi kepergian Lisa yang sudah berlarian kembali masuk ke kamar Syaima. "Habis nemuin Abi?" tebaknya begitu Lisa sudah menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur, persis sama seperti beberapa detik yang lalu.
"Iya, Ama ada es krim, enggak? Tasik panas, nih. Berasa lihat Bang Je sama cewek lain aja." Lisa menghampus bulir keringat yang mengalir deras di pelipisnya sambil sesekali mengipas dengan kedua tangan, tidak guna sekali, sebenarnya.
"Enggak. Aku belum beli stok." Meskipun bukan seseorang yang sangat 'menggilai' es krim, Syaima sering menyimpan stok di kulkas. Yang biasanya lebih banyak dihabiskan Lisa. Syaima seakan sudah terbiasa membeli sekeresek penuh es krim sebagai persediaan bagi Lisa yang tak pernah luput mengunjungi rumahnya.
Lisa memajukan bibir beberapa senti, menggerutu dalam hati. Tingkah gabut berupa tiduran di atas tempat tidur dengan angan melayang tak tentu arah, malah membuatnya teringat pada kalimat-kalimat itu.
"Mbak tuh ngaca sana. Udah pake pakaian sok suci, tapi tingkah laku masih kayak preman. Perbaiki dulu hatinya tuh, Mbak. Jangan sampe ngebusuk."
"Yoi, Bro. Biasanya sih, tipikal cewek enggak laku yang nyari sensasi di kalangan akhi-akhi ganteng."
"Enggak usah diperumit lagi. Gue cuma mau nanya aja, jawab dari hati nurani lu. Gue enggak ngasih batasan waktu buat jawab. Bukan pilihan ganda, lu jawab sebisanya aja. Pertanyaannya, lu serius hijrah enggak, sih?"
"Palingan tuh anak hijrah gegayaan doang buat caper sama cowok alim. Sejak awal, si Lisa emang seneng cari muka gitu ama cowok. Sok kecantikan banget, sih, muka di bawah standar gitu. Hijrah palsu, dasar."
"Ma." Lisa angkat suara, berusaha mengalihkan dunianya dari suara-suara menyakitkan itu. "Menurutmu, apa hijrahku terlihat palsu?"
Untuk sejenak, Syaima mematung. Ia menutup kitab yang sedari tadi ditekuninya, kemudian duduk di pinggir tempat tidur, merasa tertarik dengan topik pembicaraan Lisa. Syaima menatap lekat kedua bola mata cokelat terang Lisa, mencari maksud dari pertanyaannya. "Hijrah palsu? Kenapa kau bilang begitu?"
"Kau jawab saja pertanyaanku." Lisa mengangkat bahu, malas menanggapi.
Syaima menggenggam kedua tangan mungil Lisa erat-erat, seakan tengah melindungi adik kandungnya sendiri. "Aku tahu ada yang mengganjal hatimu. Katakan saja, aku akan mendengarkan."
Lisa mengalihkan pandangan ke arah samping, berusaha keras agar tidak melakukan kontak mata dengan Syaima. Sahabat kecilnya itu memang selalu langsung mendapat 'notifikasi' apabila ada yang tidak beres dengan Lisa. Gadis itu meniup udara ke atas, memainkan kerudungnya sekilas. Tidak ada gunanya berkelit dari Syaima, ia akan segera mengetahuinya. "Ada orang mengatakan hijrahku hijrah palsu. Apa perubahanku terlalu mencolok, ya? Lagian, tingkahku masih jauh dari sholihah. Tapi aku sudah sok pakai pakaian syar'i."
"Lisa, menggunakan pakaian sesuai syari'at itu kewajiban bagi setiap wanita yang mengaku muslimah, bukan sekadar pilihan. Ini wajib. Al-Qur'an dan Sunnah banyak menjelaskannya, tidak dapat diragukan lagi. Akhlak bisa kita perbaiki sama-sama, seiring berjalannya waktu."
"Tapi, Ma." Lisa terlihat ragu-ragu melanjutkan perkataannya, "Banyak orang yang bilang lebih baik penampilan dengan perilaku berbanding lurus dalam keburukan, dari pada terlihat baik yang sekadar sampul tetapi hati busuk."
"Kamu merasa tersindir, itu artinya kamu punya niatan untuk benar-benar melakukan perubahan, bukan sekadar topeng. Selama kamu punya niatan itu, aku yakin kamu bisa menjadi muslimah yang jauh lebih baik lagi dari hari ini. Begitulah sejatinya hidup, Sa. Ketika kamu memutuskan berhijrah dan berpakaian syar'i sebagaimana mestinya, akan ada batu kerikil yang berusaha menghambat jalanmu. Sejatinya, muslimah berjilbab itu menanggung beban moral yang cukup berat. Di mana satu kesalahan mampu mengalihkan perhatian dunia dari pada ribuan kebaikannya. Tapi aku yakin kau mampu melaluinya, Sa." Syaima menggenggam bahu Lisa, berusaha meyakinkan. "Hijrah memang tidak mudah, Sa. Maka, jadilah sahabat hijrahku."
"Sahabat hijrah?" ulang Lisa mengerjap-ngerjap kebingungan.
Syaima terkekeh sekilas, untuk kemudian menampilkan senyuman manisnya. "Ya, sahabat hijrah. Semua akan terasa lebih ringan ketika kita bersama. Tolong tegur aku ketika berbuat salah. Jadilah salah satu alasanku untuk tetap bertahan di jalan Allah. Kita harus saling mengingatkan, kalau kata Ustadz Adi Hidayat: karena surga terlalu luas untuk sendirian."
Untuk sesaat, mata Lisa berkaca-kaca. Entah kenapa, rasanya melegakan. Ya, sangat melegakan ketika kau tahu bahwa kau tak sendiri. Lisa menghisap ingus, mencegahnya meluncur mulus dari lubang hidung yang menimbulkan bunyi menjijikkan. "Ama ... makasih!"
Syaima sedikit terjengkang ke belakang begitu tubuh mungil Lisa menyeruduk di pelukannya. Syaima membiarkan Lisa menumpahkan perasaannya lewat pelukan. Meskipun air mata yang bersatu padu dengan ingus telah membasahi pundak Syaima.
"Makasih ... makasih karena mau-maunya punya sahabat secantik Lisa. Makasih karena Ama tetap bertahan di sisi Lisa ketika semesta menjauh. Padahal begitu tahu Lisa hijrah, sahabat Lisa di sekolah saja mulai memudar, perlahan pergi dengan caci-maki dan tatapan menghakimi itu. Makasih karena Ama selalu percaya Lisa. Di bidang agama, Lisa sering kalah saing dengan Ama. Perbedaan ilmunya terlalu jauh. Lisa sadar itu. Lisa pikir, dengan ilmu Ama yang semakin tinggi, suatu saat Ama akan meninggalkan Lisa. Tapi ... Ama selalu di sini. Bersama Lisa, menemani langkah Lisa."
Syaima tak bisa menahan tawa mendengarnya. Entahlah, rasanya sangat menggemaskan ketika mendengar Lisa memanggil namanya sendiri. "Kenapa aku harus menjauhimu? Setinggi apa pun ilmu, tidak akan pernah cukup menjadi alasan bagi seseorang untuk menyombongkan diri. Apalagi aku yang fakir ilmu, apa yang bisa kusombongkan sementara semua yang kupunya di dunia ini sejatinya milik Allah?"
Mendengar itu, isakan Lisa semakin mengencang. "Iya, Syaima Wildatussalwa memang yang terbaik!"
Syaima segera melepaskan pelukan, menghapus kedua air mata Lisa yang tak kunjung berhenti. Ah, sial. Hari ini ia emosional sekali. "Udah jam lima, lho. Masih mau di sini? Nanti kamu pulang kemaghriban," tegur Syaima sambil melirik jam dinding.
Lisa berusaha memperbaiki penampilan, terutama hidungnya yang terlihat sangat merah dengan produksi selaput lendir yang semakin meningkat. "Tapi tolong ajarin aku hijrah dari nol, ya."
"Iya, kita usaha hijrah sama-sama. Ayo, kuantar sampai depan gerbang ponpes."
Lisa menurut saja, bersama menikmati suasana senja di pondok pesantren dengan kedua tangan bergenggaman, saling menguatkan. Mereka berpisah di gerbang.
Setelah adegan saling melambai dan Syaima yang mencibir wajah amburadul Lisa, akhirnya gadis itu berjalan perlahan menuju rumahnya yang tidak begitu jauh. Tak lupa dengan payung lipat berwarna ungu tadi yang kini tengah ia ayun-ayunkan sesuai dengan gerakan kaki melangkah.
Hujan sudah reda sejak tadi, menyisakan senja dengan sejuta keindahannya. Semburat mega jingga itu terlihat mengesankan dipadu dengan gelap malam yang semakin matang. Sedikit lagi, matahari sempurna lenyap dari muka bumi. Memberi kesempatan pada purnama memancarkan sinarnya, untuk kemudian kembali terbit keesokan harinya. Ya, kembali terbit dengan harapan baru yang tak akan pernah padam.
Lisa merasakan angin petang memainkan jilbabnya lembut. Suara desau angin, suara gemerisik daun, suara kicauan burung yang baru kembali setelah berkelana mencari nafkah seharian. Semuanya terdengar menggemakan satu kalimat menggetarkan jiwa: Allaahu akbar.
Seulas senyuman terbit di sudut bibir Lisa. Ia akan kembali mencoba. Hijrah dari nol. Hijrah yang sesungguhnya. Inilah saatnya. Tidak ada alasan untuk berkelit lagi.
Start ... from the beginning.
◾◾◾
I'm feel so insecure (ga guna banget curhat gini, sumpah. Terlalu mendalami karakter Lisa, jadi hobi caper begindang, haha. Don't mind).
See ya soon!
@dekadream
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top