Because Allah

Raih Juara Pertama Sayembara Lomba Sketsa Sekota Tasikmalaya, Syaima Wildatussalwa, Torehkan Prestasi Kebanggan bagi SMPN Pelita Bangsa.

Judul kepala berita terbaru di majalah dinding itu sukses menyedot banyak perhatian siswa. Sejak pagi, mading mendadak dipenuhi lautan manusia. Anak di sana-sini juga tiada henti membincangkan trending topic di seantero SMPN Pelita Bangsa ini.

"Syaima!"

Lulu, gadis tengil kedua yang pernah ditemuinya selain Lisa itu malah menghantam keras tubuh Syaima. Kalau tidak berpegangan pada pagar gerbang utama, bisa-bisa Syaima terjungkal. Dengan refleks Lulu yang lambat, gadis itu malah terpental akibat dua tekanan saling berlawanan, dan ia harus merelakan pantatnya mencium pijakan.

"Innalillaahi, Lulu. Ceroboh banget, sih," gerutunya, menarik tangan Lulu untuk membantunya kembali menegakkan badan. Syaima hanya bisa geleng-geleng ketika gadis di hadapannya itu sembarang menepuk-nepuk bagian belakang bajunya yang kotor terkena tanah.

"Ma, kamu juara lomba sketsa tingkat kota itu, ya? Kok enggak ngasih tahu?!"

Syaima menggunakan ujung jilbabnya untuk mengelap pipi yang terkena percikan ludah Lulu--saking hebohnya anak itu. "Enggak usah hujan juga bisa, 'kan?"

"Tega ya, kamu. Aku sering curhat soal Celvin, lho. Kok kamu enggak pernah mau buka hati buat aku? Sebenarnya, kamu nganggap aku sahabat bukan, sih?" semburnya.

Hanya kerutan di alis yang menjadi reaksi Syaima. Sejak kapan dunianya dikelilingi orang-orang lebay begini? Ayolah, semua orang tahu. Syaima bukan seseorang yang mudah mengekspos curahan hatinya. Bukan bermaksud tidak adil. Syaima memang sering dijadikan tempat curhat teman lainnya, itu pun kemauan mereka sendiri, bukan atas dasar paksaan Syaima.

Selama ini, Syaima tidak pernah meminta mereka bercerita. Syaima hanya mendengar, dan kalau bisa, memberi beberapa saran yang dapat membantu. Lantas, kenapa harus Lulu yang sewot ketika dirinya tidak berniat menceritakan hal yang menurutnya bersifat privasi dan tidak ada kepentingan mendesak untuk diceritakan? Lagi pula, tidak pernah ada kesepakatan untuk mesti melakukan hal timbal-balik yang tak pernah Syaima tahu apa manfaatnya itu, bukan?

Belakangan ini, Syaima mulai memahami suatu hal. Orang-orang di luar sana tak perlu tahu apa yang sedang terjadi pada hidupnya. Meski sering menyebarkan perhatian pada orang lain, Syaima cukup tahu bahwa tidak ada yang benar-benar peduli padanya di dunia ini. Syaima belajar untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Tak perlu ada yang tahu, tak perlu ada yang terlibat, serta tak perlu ada yang diam-diam malah memperkeruh keadaan.

"Ih, Syaima jahat! Jadi juara dapat reward apa?"

"Pulsa, e-sertifikat, e-book gratis, dan voucher Gramedia. Oh, sama alat sketsa juga."

"Enggak ada makanannya, gitu?" Tanpa malunya, Lulu menampilkan wajah berharap berlebih dengan dua bola mata berkaca-kaca.

"Makan melulu yang ada di pikiranmu," celoteh Syaima, mulai melangkahkan kaki ke arah kelasnya di lantai dua, mengabaikan Lulu dalam kealayan mode on-nya.

"Syaima, ih, tunggu!" Lulu memberengut kesal, ia memajukan bibirnya beberapa senti. "Demen banget sih, ninggalin selebgram Tasik hitz ini." Lulu memilih belok kiri, berlawanan arah dengan perginya Syaima. Tujuan Lulu hanya satu: kantin. Ya, perutnya sudah dangdutan sejak tadi.

"Heh, ini Syaima-Syaima yang lagi deket sama Fadhel bukan, sih?"

"Oh, iya juga. Beberapa waktu lalu, aku lihat Fadhel posting snapgram foto aib dia. O-em-jih, hello gitu, lho. Seorang Fadhel yang jangankan bikin postingan, buka Instagram aja jarang, tiba-tiba bikin snap untuk pertama kali dan isinya cewek?"

"Dibajak, kali. Tuh ceweknya keganjenan."

"Haha, iya. Mana mau Fadhel sama cewek kayak gitu. Selera Babang Fadhel 'kan tinggi. Minimal kayak akulah."

"Betewe, pamannya Fadhel ikut andil dalam pelaksanaan lomba itu, 'kan? Gimana kalau ternyata, si Syaima ini deketin Fadhel cuma buat melancarkan 'suapan' secara halus, biar karyanya juara, gitu."

"Lah, iya juga. Cewek sialan, ya. Beraninya main sama orang dalam. Minta dihajar apa gimana, sih?"

"Cih, karya murahan."

Langkah kaki Syaima terhenti sejenak di koridor kelas begitu melewati mading. Tangannya mengepal kuat pada tali ransel. Tidak ada lagi pandangan menarik baginya selain pijakan lantai. Perlahan tapi pasti, ia merasakan sembilu pada ulu hatinya. Rasanya seperti ada yang menusuk. Masih lebih baik jika tusukan itu tepat langsung mengenai jantung, mungkin Syaima bisa segera mati dari segala permasalahan hidupnya. Tapi rasa sakit ini bermuara pada hati. Sakit yang tidak ada obatnya, sekaligus mengekang Syaima untuk terus berkubang pada lembah penuh air mata tanpa ujung.

Bagaimana bisa kabarnya meraih juara diperbincangkan seisi sekolah?

Syaima mempercepat langkah, berlarian di tengah koridor kelas yang agak sepi karena sebagian siswa memilih untuk tetap berada di kelas, kantin, atau bahkan mencari informasi terbaru di mading.

Ya, mading. Mungkin itu kunci utamanya.

Tanpa merasa perlu memerhatikan sekitar, Syaima menaiki anak tangga menuju atap sekolah. Dengar-dengar, tempat itu sering luput dari kontrol pihak sekolah karena tangganya yang cukup curam. Awalnya akan dibangun kembali menjadi lantai empat, namun karena keterbatasan segi finansial sekaligus fasilitas yang sudah cukup memadai, akhirnya pihak sekolah menghentikan pekerjaan itu. Hingga sampai saat ini, tempat itu bisa dibilang terbengkalai. Bahkan lantainya masih berupa semen, belum menggunakan keramik.

Untuk kali ini saja, Syaima tak memedulikan pelajaran, juga gelar 'anak teladan'-nya yang selalu rajin, dan tidak pernah membolos sekali pun sebelumnya. Biarlah ia mencoreng label itu untuk pertama kalinya. Biarlah guru-guru mencarinya, mencari 'sang anak kebanggaan' mereka. Untuk kali ini saja, biarkan Syaima sendiri dalam kesedihannya.

"Butuh sandaran?"

Syaima semakin kuat mengepalkan tangannya begitu mendengar nada suara yang sudah tak asing lagi di telinganya. Suara yang selalu mengisi harinya akhir-akhir ini. Dan tanpa ia ketahui apa penyebabnya, suara itu kini menjelma jadi suara yang selalu ia nantikan sepanjang hari.

"Kau ...." Bergetar, suara gadis itu bergetar karena berusaha menahan isak tangisnya agar tidak muncul ke permukaan. "Kau sengaja melakukannya, ya?"

Fadhel terdiam sejenak, memberi kesempatan pada gadis di sampingnya untuk menyegarkan pikiran. Syaima dapat mendengar dengan jelas ketika lelaki itu menghembuskan napasnya lelah. "Tentang cemoohan itu, ya?"

"Berhenti." Syaima ikut menarik napas dalam, berusaha menunjukkan ketegasannya. Ia tidak mau Fadhel dapat mendengar kerapuhan hatinya. Syaima tidak ingin memberi kesempatan pada perasaannya untuk mencuri celah dan membiarkannya terlarut dalam rasa yang tak seharusnya ada pada lelaki sialan itu. Lelaki yang telah mengecewakannya. "Aku bukan perempuan yang bisa kau permalukan semudah itu."

Fadhel masih berusaha bersikap tenang. Meskipun Syaima yang menggunakan 'kau-aku' tanpa embel-embel kata 'Kak' merupakan sebuah hal langka yang menunjukkan betapa marahnya ia, Fadhel masih bisa-bisanya saja menghadirkan rasa kagum di hatinya. Lelaki itu tersenyum tipis. Namanya Syaima, wanita paling lembut yang pernah ia temui. Dari sosoknya, Fadhel tahu bahwa tak semua wanita senang menyalurkan emosi dengan umpatan diiringi nada tinggi. Dari sosoknya, Fadhel bisa menyingkap kabut tipis misteri yang selama ini menghantuinya. Ya, dari gadis itu.

"Aku tidak pernah melakukan hal rendahan semacam itu."

"Maling mana mau ngaku, sih," sahut Syaima masih tak terima.

"Ya sudah, itu terserah. Kau memiliki hak untuk percaya atau tidak." Syaima hanya terdiam ketika akhirnya Fadhel kembali angkat suara, "Jangan pernah pedulikan apa kata orang. Ini hidupmu. Kamu yang memegang kendalinya. Mereka tidak pantas mengaturmu sesuka hati. Jangan pernah biarkan komentar orang-orang yang bahkan tidak mengenalmu dengan baik itu menghentikan langkahmu."

"Cukup. Aku tidak terhibur dengan bualan omong kosongmu itu."

Fadhel mencengkram erat bahu Syaima. "Tatap mataku." Tangan kanannya mengangkat dagu Syaima sehingga kedua pasang manik mata itu saling bertemu, mengirimkan perasaan hangat yang menyenangkan. "Apa kau melihat sebuah keraguan atau bahkan omong kosong belaka?"

Angin pagi membelai kerudung Syaima, seolah membekukan waktu untuk sesaat. Anehnya, kesejukan itu berasal dari mata, yang merambat masuk memenuhi setiap sudut hatinya. Dan efeknya sampai hingga ke jantung yang berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Degupan berirama yang menggelitik bibirnya untuk mengulas sebuah senyum kebahagiaan.

"Jadikan semua itu motivasimu. Jadikan semua itu sebagai batu loncatan bagimu untuk mempersembahkan karya yang lebih baik lagi. Aku yakin suatu saat nanti, kau bisa membungkam mereka dengan kesuksesan sesungguhnya yang kau raih. Suatu saat nanti."

Kekehan kecil meluncur mulus dari mulut Syaima. "Kau sudah gila karena meyakini mimpi di siang bolong itu."

"Ya, aku gila. Jadi ... maukah kau melengkapi kepingan hati yang telah lama hilang, untuk gila-gilaan bersamaku?"

"Sinting!" serunya, menutupi rona kemerahan yang merekah subur di pipinya.

"Aku sinting karenamu."

"Cukup, Kak Fadhil. Itu menggelikan," komentar Syaima yang merasa aneh dengan tingkah Fadhel hari ini. Sungguh, mungkin Syaima harus menandai hari bersejarah ini. "Enggak usah sok jadi Dilan, deh."

"Awal pertama Pidi Baiq rilis Dilan yang pertama, aku sudah berharap akulah Dilan, dan kamu Milea-nya. Tapi enggak jadi, soalnya di Dilan kedua, kamu enggak jadi milikku." Fadhel mengangkat kedua bahunya. "Jadi, bersamaku, maukah engkau menjadi Satsuki-nya Tetsuya, Hinata-nya Naruto, Uraraka-nya Deku, Mei-nya Bujang, dan Yaoyorozu-nya Shouto untuk pertama dan terakhir kalinya dalam hidupku?"

Apa?

Seketika, dunia Syaima mendadak kehabisan oksigen.

◾◾◾

"Ama pernah pacaran?! Seriusan!"

Syaima mengusap telinganya sekilas, merasa terkejut dengan pekikan Lisa yang jarang melihat situasi itu. "Begitulah. Aku belum selesai bercerita. Kau selalu memotong seenaknya," protes Syaima keberatan.

Lisa manyun, tidak mau disalahkan. Hingga langit-langit kamar itu kembali terdengar sebuah kisah di masa lampau.

◾◾◾

Benar apa kata orang. Ketika didera kebahagiaan, waktu terasa semakin cepat bergulir. Satu tahun sudah kebahagiaan terus menghampiri Syaima dengan adanya kehadiran Fadhel. Namun sekali lagi, roda kehidupan tak pernah berhenti berputar.

"Tidak ada kata 'pacar' di antara kita."

"Hah?" gumam Syaima, menatap lekat sosok lelaki di sampingnya yang terlihat mengesankan dengan jas hitam, rambut klimis, serta medali bertuliskan 'Alumni SMPN Pelita Bangsa' tergantung pada lehernya. "Maksudmu ... putus?"

"Kita terlalu jauh melangkah, Ma. Sampai cinta melalaikan kita dari cinta sesungguhnya, cinta Sang Maha Cinta."

Syaima masih terdiam, berusaha mencerna setiap kata yang terlontar dari mulut Fadhel. "Tapi, bukankah kau pernah mengatakan bahwa akulah yang pertama dan terakhir dalam hidupmu?"

"Ya. Aku memang tidak berniat mencari penggantimu. Walaupun kita memang tidak ditakdirkan bersama, cukuplah ini terakhir kalinya aku mengagungkan nama cinta dengan cara yang salah. Aku minta maaf ... aku telah banyak membuatmu berdosa," lirihnya yang entah mengapa, membuat air mata Syaima luluh begitu saja.

"Hari ini, aku harus berpisah denganmu, sahabat dekatku, sekaligus memori yang tak pernah luput tercatat di setiap penjuru bangunan sekolah ini. Dan hari ini pula ... aku ingin berpisah dengan kemaksiatan," lanjutnya. "Maaf. Kita harus berpisah. Meski begitu, angkasa raya akan menjadi saksi. Bahwa kaulah yang selalu kulangitkan dalam untaian do'aku."

Untuk setiap detik yang mereka lalui bersama,

Semenyakitkan inikah perpisahan?

Dan lelaki itu pergi. Meninggalkan jutaan tanya tiada ujung di benak Syaima.

◾◾◾

Yeah, kurasa, kita akhiri saja kilas balik ke masa lalu Ama. Sengaja kupercepat alurnya. Lagian, terlarut dalam lautan pahit masa lalu itu tanda orang-orang depresi. Wkwk.

By the way, aku prihatin sama keadaan Bumi Pertiwi yang lagi enggak baik-baik aja. Bagaimana tanggapanmu soal demostrasi mahasiswa serta pelajar STM beberapa hari lalu? (Aku tahu ini telat banget, haha).

Salam Damai,
@dekadream

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top