Battle Inside
"Hadapi, jangan malah lari dari masa lalu."
"Berisik! Aku akan segera angkat kaki dari komunitas enggak jelas ini."
Hafidz menghela napas panjang. Dia kira, semuanya tidak akan serumit ini.
"Fidz, pemateri sudah sampai!"
Demi mendengarnya, Hafidz melangkahkan kaki ke arah backstage--belakang spanduk komunitas, maksudnya--arah sumber suara tadi. Lisa hanya menatap kepergian Hafidz dengan wajah mengenaskan. Sedetik kemudian, terbengong-bengong sendirian, hanya untuk menyadari bahwa ia menjadi pusat perhatian puluhan peserta yang duduk rapi di depannya. Tentu saja, dalam keadaan hati sekacau ini, Lisa masih bisa mengendalikan diri. Ia dapat mendengar, suara terpendam mereka pasti sekitar, 'Siapa anak SD tak tahu malu itu?'
Rasanya Lisa ingin menjerit sekeras-kerasnya. Tapi urung, karena barisan manusia di depannya itu bisa-bisa menambahkan label 'gila' pada dirinya. Lisa teringat sesuatu, ia bisa menggunakan kesempatan ini untuk kabur, meloloskan diri dari himpitan kenangan menyakitkan yang tak bosan menyesakkan dadanya. Tangan Lisa mengepal kuat. Ia bisa saja melakukannya, tapi hatinya berkata tidak.
Oh, ayolah, kaki. Bawa aku menjauh dari kenyataan pahit ini. Bawa aku menjauh, sebisa kau bisa membawaku pergi.
Sensasi aneh bergejolak dalam hatinya. Sebelum kakinya sempat melangkah semili pun, sebuah suara membuat niatnya kembali terhenti.
"Nak Lisa! Ya ampun, tak kusangka kau mengikuti komunitas kepenulisan macam ini. Ibu akan memastikan IPK-mu melebihi standar." Pak Dendi, dosen mata kuliah linguistik yang biasanya kejam tiada ampun itu, tak urung membuat Lisa membulatkan matanya, kaget. "Kukira anak pemalas yang pekerjaannya terlambat kelas tanpa sempat mandi macam kamu ini, tidak akan masuk komunitas begini."
Tidak ada lagi ekspresi untuk mewakili perasaan Lisa saat ini. Campur aduk. Ia merasa tersanjung atas perhatian Pak Dendi yang sampai tahu kelakuannya dengan tepat. Tapi tolong ya, bicaranya tidak perlu menggunakan mikrofon pula. Kalau begini, namanya pencemaran nama baik Lisa yang terdengar di setiap sudut kafe.
Demi sopan santun, Lisa menyalami dosennya itu patah-patah. Kemudian segera melarikan diri ke arah pintu keluar. "Hei, Nak Lisa. Kau mau ke mana? Di sebelah sini masih ada kursi kosong. Bergegaslah! Materinya akan segera dimulai."
Lisa mendengus keras, kembali ke arah barisan peserta, duduk di kursi kosong sebelah Nahla yang beberapa saat lalu melambaikan tangan pada Lisa, memintanya mendekat. Okelah. Demi IPK, tidak ada salahnya, mungkin?
Begitu Pak Dendi menyampaikan materi mengenai ide cerita, Lisa langsung melupakan kekesalannya seketika. Jiwa penulisnya keluar, menyerap ilmu dengan cepat. Meski otaknya terbilang sangat lemot untuk belajar Matematika, Fisika, Kimia, serta segudang pelajaran menghitung dan menganalisis, Lisa selalu unggul dalam dunia aksara seperti ini. Bahkan berkali-kali ia mengangkat tangan untuk bertanya.
Tanpa Lisa ketahui, di belakang spanduk komunitas yang menyisakan ruang bagi panitia, lelaki itu tersenyum sampai memperlihatkan lesung pipitnya.
Aku tahu kau tidak baik-baik saja. Aku tahu hatimu tengah remuk redam, karena itu aku tak akan membiarkannya lebih hancur lagi. Maaf, hanya ini satu-satunya cara agar aku bisa memastikan kondisimu lebih dekat. Tadi aku sok sekali menekankanmu untuk bersikap profesional, padahal komunitas ini pun ada hanya untuk kamu.
Anak fakultas kedokteran mendirikan komunitas kepenulisan? Itu aneh bagi sebagian besar orang, tapi aku tetap melakukannya. Sekali lagi, kau berhasil membuatku menembus batas keanehan itu. Dan alasan gila yang seringkali membuatku senyum-senyum sendiri, itu adalah kamu.
◾◾◾
Napas tak beraturan Lisa terdengar di antara jalanan yang mulai sepi. Hari beranjak petang. Dan Lisa tak sempat memasukkan makanan apa pun ke dalam perutnya. Sepedanya terhuyung ke sana kemari. Tenaganya benar-benar terkuras. Apalagi jalanan pulang cenderung menanjak, tidak seperti berangkatnya.
Polisi tidur menghadang jalannya, dan sontak saja sepedanya yang sudah oleng itu terjatuh, kehilangan keseimbangan. Suara gedebuk terdengar ketika keranjang sepedanya menghantam keras pagar warga di sisi jalan. Entah bagaimana, tubuh kerempeng Lisa sudah tengkurap di atas aspal. Ia mengangkat tangan yang sejak tadi dijadikan tumpuan. Kemudian patah-patah bangkit, hanya untuk mengeluh ketika melihat ban depan sepedanya masuk ke selokan. Nasib baik, tidak ada hujan akhir-akhir ini. Selokan itu kering, tanpa suatu hal menjijikkan yang melayang-layang dengan wangi semerbak sebagaimana yang dipikirkannya.
Huh, sudah lemas, terjatuh dari sepeda pula.
Masih dengan tubuh gemetar, Lisa mengangkat sepeda. Perhatiannya teralihkan pada suara seseorang di seberang kanan. Lisa meneguk ludah dengan susah payah, menatap gerbang di seberangnya dengan mata yang terlihat panik.
Pondok Pesantren Riyadhul' Huda.
Tidak. Di saat seperti ini, kenapa ia harus mendapati hal menyakitkan itu kembali terulang. Payah. Kenapa sepedanya harus terjatuh tepat di hadapan bangunan yang menyimpan sejuta harapan sekaligus rasa sakitnya?
Tubuhnya masih terpaku, bergeming. Terlihat dua buah keluarga yang tampaknya akan segera menjalin ikatan persaudaraan, melalui dua insan yang sudah siap melafalkan akad. Dan sosok itu .... Tanpa sadar, Lisa sudah mengepalkan kedua tangannya di atas setang sepeda, tak memedulikan rasa sakit akibat tergesek aspal yang masih membekas di sana. Tidak. Sakit di hatinya jauh lebih membekas. Hatinya ingin segera berpaling dari kenyataan pahit, tapi lagi dan lagi tubuhnya berkhianat, terus bersikeras mengamati pemandangan menyakitkan itu. Seakan-akan kedua tangannya menggenggam mata pisau paling tajam, dan ia masih bertahan di posisi itu.
"Selamat datang, saudaraku. Marilah kita memakan beberapa cemilan seadanya terlebih dahulu di rumah. Mari-mari."
"Ya, kita harus segera merencanakan tanggal akad pernikahan."
Percakapan itu terus terngiang-ngiang di benak Lisa. Sialan! Sungguh, benar-benar sial! Demi apa pun, Lisa lebih memilih rumus Matematika atau Fisika yang paling ia benci untuk terus bergema dalam indera pendengarannya, dari pada kalimat terakhir itu.
Lisa memandangi wajah-wajah riang itu. Hingga netranya menemukan Syaima. Suara tawa merdu meluncur dari bibirnya, yang bagi Lisa seolah menertawakan atas keterpurukannya. Ya, pada akhirnya, Lisa hanya bisa berdiam diri menyaksikan semuanya.
"Lisa!"
Merasa ada yang memperhatikan, Syaima sudah memanggil nama Lisa di seberang pesantren. Perasaan bersalah semakin menghujam hatinya. Dengan gerakan sesegera mungkin, Syaima berlarian menghampirinya, tak memedulikan calon keluarga besannya yang terheran-heran.
Melihat itu, Lisa segera menaiki sepeda dan menarik pedalnya, secepat yang ia mampu. Lagi-lagi melarikan diri dari kenyataan pahit yang tersaji di hadapannya itu. Meninggalkan sahabatnya yang tak mampu menahan rasa bersalah dan hanya bisa menatap sendu kepergiannya, kembali masuk ke kawasan pondok pesantren karena Abi sudah memanggilnya.
Unknown Number
Aku tidak akan pernah bosan menagihnya lho, Syaima.
Maka biarkan aku kembali mengeluarkan negosiasi untuk hari ini.
Syaima menghela napas lelah, mungkin ini memang langkah terbaik. Baiklah, ia serahkan sepenuhnya pada takdir, untuk masa depan sebagaimana suratan-Nya.
Send.
Raga Syaima kembali bergabung dengan dua keluarga yang asyik bercengkerama itu. Meski begitu, ujung jemarinya sibuk memilin gamis yang ia kenakan. Masih ada yang ia resahkan saat ini.
Andai saja hatimu bisa berdamai dengan waktu, beri aku sedetik saja untuk memperbaiki jalinan kisah kita yang sempat koyak hanya karena sebuah rasa.
◾◾◾
Napas tak beraturan Lisa tersembur ke udara. Begitu mendapati jembatan kayu melintangi danau di hadapannya, Lisa merubuhkan badan di atas rumput, membanting sepeda begitu saja. Lisa menghirup oksigen di atmosfer dengan borosnya, seolah-olah barang diskon yang akan segera berakhir dalam jangka lima detik.
Gemercik merdu air danau yang bermain dengan angin dan tiang jembatan kayu, tak berpengaruh sedikit pun pada batinnya yang berkecamuk hebat. Dengan tubuhnya yang terlentang macam polisi tidur, Lisa memandang jauh angkasa senja yang sekali lagi tidak pernah kehabisan megah keindahannya. Sangat kontras dengan hatinya yang diselimuti kabut frustasi, tak lupa kegelapan yang menguar dengan sejuta pekatnya.
Drrt, drrt!
Dua kali getaran itu menarik tangan Lisa untuk mengeluarkan ponselnya. Sebuah nomor tak dikenal.
Halo, LiSayangku.
Selamat petang!
Siapa?
Hoho, finally i found you, Dear!
Just tell me who you are.
Lisa mendengus kecil. Meski pun berkali-kali Lisa jatuh hati pada karakter fiksi yang punya aura misterius, tapi di dunia nyata, karakter macam itu sangat menyebalkan. Apalagi orang yang sedang menghubunginya ini. Sudah sok misterius, banyak basa-basi, pula. Ingin rasanya Lisa mengajarkan bahwa yang basi itu sudah dihinggapi bakteri dan semestinya dibuang. Kepalanya terangkat tinggi, sekarang. Bangga karena ia tahu penyebab makanan basi tidak boleh dimakan di saat orang lain sudah menguasai berbagai jenis zat kimia pada makanan, komplit dengan istilah-istilah latinnya.
Jangan ketawa dulu. Tak masalah dong, masih di Kawalu ketika orang lain sudah mencapai Kolumbia. Setidaknya enggak cuma lihat gapura Cibangun. Ada peningkatan meskipun terbilang lambat. Istilah kerennya: Walk slowly, but never walk backward. Udah wadaw belum, tuh?
I'm your lover.
Tell me or i will block and delete your absurd chat from my history life.
Okay, i'll give you some clue.
I'm alive, and loving you since 5th years old.
Rumus namaku: pelafalan huruf 'R' dalam bahasa Inggris + KAN.
Meski standar otaknya di bawah rata-rata, Lisa dapat segera mengetahuinya dalam jangka waktu kurang dari lima detik.
Too predictable.
Jemari Lisa segera kembali menari-nari di atas keyboard ponselnya setelah menyimpan nomor itu.
LiSayangku
Kenapa?
Balasan singkat dari Lisa membuat Arkan yang awalnya sudah keringat dingin, tegang akibat takut untuk rasa--eh, maksudnya pesan--yang tak berbalas, kini menampilkan senyuman cerahnya. Jangankan dibalas, chat WhatsApp-nya dilirik saja sudah cukup bagi Arkan untuk terlonjak-lonjak kegirangan tanpa sadar umur sudah menjelang dua puluh. Yah, cinta tak mengenal usia, 'kan? Makanya Arkan merasa cinta itu kekuatan terbesar, karena mampu mengalahkan sistematis bilangan matematika, bahkan akuratnya rumus fisika.
Ini lampu hijau ya, Sa?
Merasa kesempatan tidak akan bisa datang dua kali, Arkan mengetik balasan dengan cepat. Lelaki itu bolak-balik memasuki aplikasi google translate untuk memastikan tata bahasanya sudah benar. Meski banyak orang mengatakan otak Lisa sangat dangkal, kemampuan Bahasa Inggris gadis itu tidak dapat disangkal begitu saja. Tak mengapa jika Lisa menganggapnya sok-sokan berbahasa asing, setidaknya ia sudah mencoba memasuki dunia sang pemilik rindunya. Dan itu lebih dari cukup.
Arkan MulyaNajis
I don't wanna wait for any time.
Waktu hanya menambah candu pada senyummu, memupuk rindu pada tawamu, tanpa bisa menyembuhkannya semili pun.
Although missing you is a deep pain, it's be my favorite pain.
Because your brightness smile are the best medicinal i ever know.
Jadi, maukah kau menemaniku, bersama untuk terjatuh pada perasaan yang tiada ujungnya ini?
Senyuman Lisa mengembang. Reaksi yang pertama kalinya ia tunjukkan, ketika berkomunikasi dengan Arkan. Ya, lelaki yang sukses menerbitkan senyumnya di antara remuk redam hatinya. Pesan balasan darinya berhasil terkirim.
Sure, and i think you need to take your place beside me.
Jembatan kayu atas danau.
Waiting you may be my new favorite things that i'm do in this life.
Kekehan Lisa muncul begitu saja, meski sudut hatinya masih tak bisa berdamai dengan akal sehatnya. Oh, tidak. Tidak ada bedanya. Kau tidak pernah bisa memilih antara hati berselimut pekat, atau akal bergelayut kekecewaan.
Di antara kekacauan hatinya saat ini, lelaki itu seolah hadir untuk meyakinkan hatinya, bahwa: "You are never gonna be alone."
Now, or later.
◾◾◾
Tahu enggak, sih?
Faktanya, rumus kecewa itu: berharap pada makhluk.
Buat kamu, yang mungkin kabar hatinya lagi enggak baik-baik aja, camkan hal ini. Buat kamu yang lagi patah hati, jangan malah mencari orang baru yang hanya akan mematahkan hatimu kedua kalinya. Buat kamu yang mungkin lagi terbenam dalam rasa pahitnya kekecewaan, cukup gantungkan harapanmu pada Allah.
Karena manisnya iman dapat mengalahkan pahitnya kenyataan. Oke?
Haha, thanks for reading.
With love,
@dekadream
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top