Another Heart
"Sastra Indonesia?"
Lisa mengangguk-angguk dengan binar antusias di kedua matanya. "Aku udah terlalu cinta bahasa, sih!"
Syaima tak menggubris sedikitpun reaksi Lisa yang terlalu kepedean itu. "Biasanya, paradigma masyarakat soal mahasiswa sastra itu pasti enggak jauh-jauh dari introvert, kalem, kutu buku, pendiam namun pengamat yang baik. Kok ini ... cewek tengil, pecicilan, yang enggak ada adem-ademnya, ya?"
Tangan Lisa benar-benar tak tahan untuk menjitak mulut sahabat kecilnya itu. "Sialan! Sejak kapan seorang Syaima Wildatussalwa senang mendzolimi orang lain? Aku lapor Abi, baru tahu rasa!"
Lisa menghentikan gerakan tangannya yang sudah teracung untuk melayangkan tampolan penuh kasih sayang ketika teringat Abi karena ucapannya. Gadis aneh itu kini meninju kedua tangannya ke udara. Kegalauan merasuk hati yang sempat menghampirinya karena Abang Ganteng tidak terlihat selama kajian berlangsung, seketika sirna begitu saja.
"Abi pulang tadi malam 'kan, ya?"
Syaima mengangguk malas, mengerti ke mana aliran pembicaraan ini bermuara.
"Pulang dari toko buku, kita ke rumah Abi, ya!"
"Ingat melulu soal oleh-oleh. Tapi kalau sama tugas makalah, sering mendadak amnesia sampai deadline," sindir Syaima selaku korban. Karena perlu mencari banyak bahan riset, makalah punya deadline jangka waktu yang panjang, 'kan, ya. Entah kamus otaknya yang sudah tidak menyimpan kata 'makalah' atau memang sering mengalami amnesia dadakan, Lisa selalu saja mengabaikan tugas itu. Dan saat hari terakhir pengumpulan, grup chat kelasnya rusuh, Lisa baru 'ngeh' dan menjadikan Syaima yang tak berdosa itu sebagai tempat pilihan terakhirnya. Modusnya sih, 'Shodaqoh, Ma. Shodaqoh tuh masuk amalan jariyah yang enggak terputus meskipun udah masuk liang lahat, lho', yang bikin Syaima menyesal pernah menjelaskan hadits itu pada Lisa.
Orang yang disindir garis keras itu malah menampilkan cengiran lebarnya. Meskipun pendidikan Syaima hanya ditempuh di pondok pesantren yang memang membagi fokusnya 50 : 50 untuk ilmu dunia dan ilmu akhirat, pengetahuan duniawi Syaima cukup memadai, bahkan lebih luas dibandingkan Lisa yang punya kesempatan menimba ilmu tersebut lebih dalam di SMA Negeri. Salah sendiri punya otak encer, sih.
"Wiiih, novel Komet Minor akhirnya rilis!"
Entah Syaima yang berlebihan, atau malah orang sekitar yang terlalu individualisme sehingga tidak begitu menghiraukan pekikan menggelegar Lisa begitu menginjakkan kaki di toko buku, tempat sejuta kebahagiaannya. Dengan langkah tergesa, Lisa menghadap rak buku yang berisi deretan karya Tere Liye, penulis ternama di seluruh muka bumi Indonesia yang selalu menjadi favoritnya.
"Sudah berapa abad aku tidak mengunjungi toko buku, sampai baru tahu sampul buku Pulang sudah diganti jadi lebih cetar membahana begini? Oh, bahkan dia sudah punya adik yang judulnya Pergi!" celotehnya sambil tak henti melayangkan pandangan pada dua benda persegi di genggaman tangannya itu. "Aku sekudet itu, ya? Rasanya seperti pemuda ashabul kahfi yang baru saja keluar dari gua."
Syaima tertawa cekikikan. Meskipun niat awal Lisa berhijrah hanya karena seorang lelaki, Syaima lega begitu mendengar ungkapannya yang mencuil dari materi di pengajian tadi, tentang ashabul kahfi dan fitnah dajal. Setidaknya, itu menjadi bukti bahwa Lisa serius mendengarkan, bukan sekadar menumpang wajah di hadapan Je saja.
"Beberapa waktu lalu, kudengar buku keempat Kak Wirda akan segera terbit. Udah ada belum, ya?"
Mata Lisa yang liar dari rak satu ke rak yang lain membuat Syaima segera menepuk pundak sahabat kecilnya itu. "Ingat prioritas sama tujuan awal ke toko buku, Sa."
Liaa manyun. Memang awalnya, Lisa hanya bertujuan membeli novel Komet Minor saja. Tapi, kalau melihat barisan buku sebanyak ini mana bisa Lisa tahan? Toko buku itu memang benar-benar, ya ... bikin orang khilaf dan tahu-tahu kantong kering begitu saja. Apalagi buat makhluk bernama Lisa. Kalau sudah masuk toko buku itu seakan memasuki dimensi lain, tidak tahu dan tidak mau tahu portal jalan keluarnya. Kata Lisa, sih, 'Toko buku benar-benar mengalihkan duniaku!'
Allaahuakbar, allaahuakbar.
Dering suara adzan di ponsel Syaima mengalihkan perhatian gadis itu dari sosok tengil Lisa. Sekilas, Syaima melirik jam tangan di pergelangan tangannya, memastikan. "Eh, udah masuk adzan dzuhur, ayo cari masjid sekitar sini dulu."
Lisa susah-payah menelan ludah, melayangkan pandangan pada deretan novel di hadapannya dengan tatapan tidak rela meninggalkan. Kalau ini drama, mungkin Lisa akan berkata, 'Cukup, Roma. Sampai kapan di antara kita kembali terbentang jarak dan waktu?'
Gadis drama queen itu mendengus, membiarkan rasa keberatannya menguap ke permukaan, hingga hancur terpental lapisan ozon. Ya, bagaimana pun, hijrah butuh pengorbanan, 'kan?
Tidak begitu jauh untuk mencari masjid di sekitar toko buku mini di emperan jalan itu. Menyeberang jalan raya kemudian belok kiri di perempatan, sudah cukup untuk mencapai masjid tak terlalu besar dengan plang bertuliskan 'Masjid Baiturrahman' yang terpampang jelas di halaman depannya.
Lisa teringat perkataan Syaima di tempo hari. Rasakan dengan hati. Perlahan, Lisa merasakan cinta dan kasih sayang Allah seiring tersapunya wajah oleh basuhan air wudhu. Terus terang saja, sih. Kedamaian hati itu simpel. Dekat dengan Allah, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Bagaimana jiwa akan tenang, jika kita jauh dari Sang Maha Penenang Hati?
Sekali lagi, mencari kedamaian batin itu simpel. Contoh kecilnya adalah berwudhu. Hanya bilasan sekilas di anggota badan, tapi sejuknya sampai ke lubuk hati paling dalam. Kayak cinta Lisa untuk Je. Hanya tatapan sekilas di pengajian, tapi rasanya terus berdampak hingga menciptakan sebuah produk bernama rindu yang berkonspirasi bersama jarak dan waktu. Uhuy.
Jarum pendek jam dinding yang tergantung megah mengarah pada angka empat, ketika kedua sahabat kecil itu sibuk melipat alat sholatnya setelah digunakan.
"Ama, punya rekomendasi novel spiritual tentang jodoh, enggak?"
Syaima tertawa kecil. "Kau ini membahas jodoh melulu. Mending persiapkan amal buat menghadapi kematian. Kita tidak pernah tahu apakah di masa depan kelak seorang imam siap mengucapkan ijab qabul untuk kita, atau malah malaikat maut dahulu yang kita temui."
"Ama!" spontannya, menjerit kesal. "Kok Ama do'ain aku gitu, sih? Ama pengen aku cepat-cepat say hi sama malaikat maut, ya? Oh, atau Ama udah enggak mau lihat aku di atas permukaan bumi ini? Ih, Ama jahat!"
"Kita harus selalu ingat kematian lho, Sa. Itu tips terbaik agar kita selalu berhati-hati dalam bertindak. Bukan aku mendo'akanmu segera kembali ke pangkuan Ilahi. Kalau Allah berkehendak, tidak menutup kemungkinan aku yang lebih dahulu pergi. Siapa tahu, 'kan? Malaikat maut tidak bisa dinegosiasi. Itu pasti."
Lisa mendengus malas, bangkit berdiri untuk kembali mengunjungi tempat tujuannya: toko buku di emperan jalan. Lisa sebal pada Syaima yang sedikit-sedikit pasti membahas kematian, 'kan bikin ngeri. Tapi, ya ... perlu Lisa akui, perkataan Syaima memang ada benarnya.
Bibir Lisa masih cemberut ketika batok kepalanya menghantam sesuatu. "Aw, siapa sih, yang simpan tiang di sini? Gangguin orang lagi jalan aja!" Sambil mengaduh, gadis itu mengelus kepalanya tiada henti.
"Astagfirullah, maaf."
Demi mendengarnya, Lisa melebarkan mata. Meskipun otaknya agak geser, Lisa masih bisa membedakan suara. Apalagi ini suara yang selalu berpilin di otaknya, tak henti mencari jalan untuk memecahkan rindu berkepanjangan. "Abang Ganteng! Kita ketemu di luar kajian. Jodoh emang enggak ke mana!"
Lisa memandang sekeliling permukaan lantai teras masjid. Gadis itu baru saja kepikiran hendak terjatuh. Siapa tahu scene ala sinetron-sinetron FTV yang paling legendaris itu terjadi: sang tokoh wanita menabrak tokoh lelaki, kemudian terjatuh di pelukan sang lelaki. Modus sedikit enggak apa-apa lah, ya. Seperti terkena serangan tak terlihat, Lisa mendadak sudah menggelepar di lantai.
Sejenak, Lisa berusaha melirik reaksi Je. Nihil, pemuda itu malah sibuk mengecek ponsel hitamnya yang ikut terjatuh atas insiden kecil tadi. "Kok aku enggak ditolongin, sih?" protesnya sebal, mana ada film romantis begini. Di mana adegan yang bikin jiwa para jomblowan-jomblowati sejati bergetar hebat karena rasa iri dan baper tingkat master? Kalau alur kejadiannya semonoton ini, bisa-bisa sinetron tidak laku lagi di pertelevisian Indonesia.
Syaima geleng-geleng tak percaya. Gadis itu tak tahu lagi kapan Lisa warasnya. Rasanya, ingin ia bangunkan Lisa dari mimpi indahnya, sekaligus menjelaskan secara rinci mengenai realita versus ekspetasi. Terlalu jauh selisihnya, cuy.
Suara yang lain berdeham, membuat Lisa mau tak mau mengalihkan perhatiannya. Lagi-lagi cecunguk buluk menyebalkan itu. Dengan raut muka datarnya yang sungguh demi apa pun ingin Lisa tenggelamkan di laut lepas, Hafidz menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Sok sekali gayanya. Huh, ganggu orang yang sedang berbunga-bunga karena rindu terbalas saja!
"Refleksmu buruk. Spontanitas lambat. Berhentilah berakting sebagai aktris film murahan itu. Terlalu mencolok. Mudah diprediksi. Penonton akan kabur duluan begitu melihat wajah bulukmu untuk pertama kalinya."
Tuh, 'kan. Belum apa-apa, mulutnya sudah menuangkan bensin yang memancing luapan api besar dari ubun-ubun Lisa.
Daripada meladeni makhluk menyebalkan semacam Hafidz yang hanya menguras emosi tiada ujung, Lisa lebih memilih mengulas seuntai senyum lebarnya di hadapan Je. "Halo, masa depanku."
"Halo calon makmumku!" Mata Lisa membeliak, mencari sumber suara di balik punggung Je. Orang sekitar menepi, seakan memberi kesempatan pada makhluk satu itu untuk tersorot kamera lebih jelas. Sosok itu melangkah mendekat ke arah Lisa. "Akhirnya, kau mau mengakui bahwa akulah masa depanmu, Sayang."
"Najong! Mending aku nikah sama kambing dari pada sama makhluk tidak diketahui asal-usul planetnya macam kau ini!"
Dengan santainya, lelaki tak diundang itu malah melingkarkan tangannya di atas bahu kecil Lisa. "Tidak masalah. Aku selalu suka wanita sepertimu, Sayang. Tipikal wanita yang selalu menunjukkan cintanya dengan kejutekan. Sesuai banget sama kamu, 'kan, Sayang?"
Lisa seperti kesurupan makhluk halus ketika Arkan menampilkan cengiran lebarnya. "Lepasin, Bangsul! Lepasin, wey! Ini tangan, apa ceker gajah?!" Dengan kekuatan tak sebanding, Lisa meronta untuk melepaskan tangan Arkan dari bahunya. Si Arkan enggak punya pikiran banget, ya, tahu badan Lisa lemot, malah ditimpa tangan yang gedenya sama dengan kaki Lisa. Kan pengap, bro. Lisa sampai megap-megap nelangsa begitu biar bisa ambil napas.
Arkan malah tertawa lebar. "Gajah enggak ada cekernya, Sayang. Oh, atau itu kode, ya? Kamu mau ceker? Sini, aku beliin. Ceker ayam, ceker itik, atau ceker elang?"
"Ceker Arkan MulyaNajisun ada, enggak?"
"Eh, enggak boleh gitu, Sayang. Kok nama mertua sendiri dikasih embel-embel najisun. Durhaka, lho." Dengan lempengnya, lelaki satu itu malah menceramahi Lisa.
Syaima yang sedari tadi hanya terdiam, kini kembali angkat suara, "Eh, iya lho, Sa. Jangan begitu. Pak Mulyana bisa-bisa langsung coret kamu dari daftar menantunya."
"Ih, semuanya nyebelin! Dikasih azab sama Allah berupa jodoh yang bobrok dan masih dipertanyakan asal-muasalnya, baru tahu rasa kalian!"
◾◾◾
"Ujian SNMPTN, ya?" gumam Syaima, mengetuk-ngetuk dagunya. "Semangat. Aku ragu hasilnya, sih, tapi aku yakin kau akan berusaha memberikan yang terbaik. Ingat, ada orang-orang yang perlu kau banggakan di sini."
Lisa tersenyum manis. Tentu saja.
◾◾◾
Yeay, update di pagi-pagi begini! Ga telat lagi, ya, haha.
Cheers,
@dekadream
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top