7. Dibiarkan Hidup Tanpa Mimpi

Bantu cerita ini 1k viewers yuk! 💚

•• ────── ••

Ada beberapa hal yang bisa mengungkapkan jauh lebih banyak tentang kepribadian seseorang daripada yang bisa diungkapkan oleh ucapan mereka sendiri. Kepribadian mereka dapat terungkap dari perangai, sikap, ekspresi yang melintas di wajah mereka dan, terutama, dari kedalaman tatapan mereka. Ini adalah pengungkapan jiwa. Pengenalan yang terjadi ketika kita akhirnya mengenali siapa sesungguhnya orang itu dan pada gilirannya memutuskan apakah sudah waktunya menjauh.

Sebagian besar pria yang kutemui masuk dalam kategori yang harus dijauhi. Bahkan, cara orang-orang itu bernafas saja sudah membuatku muak, karena aku tahu, dalam setiap napas yang mereka hirup, mereka dengan sengaja membatasi udara yang bisa dihirup orang lain. Munafik. Manipulatif. Mereka menodongkan sistem patriarki pada leher kami, perempuan-perempuan yang haus derajat kesetaraan.

“Gue mohon terima, ya, Wihel. Ini uang terakhir dari gue sebelum pulang kampung.”

Karin tentu termasuk dalam kategori perempuan yang mendambakan kebebasan utuh. Dia bilang padaku akan pulang kampung untuk memulai kehidupan baru bersama beberapa kerabat yang tersisa. Dia tak ingin terus terlibat dalam sindikat perdagangan wanita di Ibukota.

Karin bilang hutang-hutangnya pada Mami sudah lunas, dan dia sudah diizinkan untuk pergi meninggalkan asrama dengan segera. Aku bersyukur karena Mami mau membebaskannya. Aku sama sekali tidak marah pada Karin karena akan meninggalkanku, tapi aku kecewa karena dia ingin memberi sebagian besar uang tabungannya untukku.

“Jangan sebanyak itu juga. Kamu kan butuh buat di kampung. Aku enggak mau terima. Mending kamu bawa aja buat modal usaha di sana,” tolakku ke sekian kali padanya.

“Gue udah sisihin buat ongkos, dan modal usaha kecil-kecilan. Gue juga sempat beli lahan, semuanya udah lebih dari cukup. Ini sisa uangnya, Wihel.”

Aku menghela napas. “Lima juta kamu bilang cuma sisa?”

“Ini bantuan terakhir dari gue. Belum tentu nanti kita bisa ketemu lagi. Simpan aja uangnya buat tabungan sekolah, jaga-jaga kalau ada kebutuhan mendadak.” Karin menggenggam tanganku.

“Karin, kamu bukan siapa-siapa, tapi kenapa kamu sebegitu percayanya sama aku?”

“Lo udah gue anggap adik kandung sendiri, Wihel! Jangan ngomong seolah kita enggak punya hubungan apa-apa, please.”

“Kak—“

Karin sepertinya geram dengan penolakanku. Dia membuka risleting jaketku dan menyelipkan amplop coklat itu ke dalamnya. “Maaf kalau jumlahnya enggak seberapa. Gue juga enggak tau apa ini cukup atau kurang, tapi semoga uangnya bisa bantu-bantu sedikit.”

Aku menatapnya dalam. Genangan air mata tak terelakkan dari kedua mataku ketika melihat wajahnya yang begitu tulus menyayangiku. Ingin rasanya aku memakinya bodoh karena mau berkorban demi diriku yang bahkan belum bisa membanggakannya. Sesegera mungkin kupeluk tubuhnya dengan erat, menyembunyikan wajahku pada lehernya. Aku menyayanginya lebih dari apa pun, Karin adalah Kakak perempuan terhebat di dunia yang pernah kutemui.

Dimana pun dirinya berada nanti, apa pun pekerjaannya, bagaimana rupa tubuhnya, berapa pun usianya, aku akan tetap memanjatkan doa pada Tuhan agar memberinya kesempatan hidup selayaknya manusia dan diberkahi banyak limpahan kebahagiaan.

Karin merupakan saksi hidup tentang gelapnya sisi belakang kota metropolitan yang disorot dunia. Mungkin cerita tentang pertemuan kami dan hal-hal yang dia lewati selama merantau di sini akan tersimpan rapat-rapat dalam relung hati terdalam, juga dalam catatan penaku dengan perantara bait-bait aksara yang menggebu. Ini adalah realita sekaligus fase menyedihkan dalam kehidupan manusia.

•• ────── ••

Sekepergian Karin, aku tetap menjalani hari-hari seperti biasa. Aku masuk grup telegram calon peserta didik baru, memantau info-info terkini soal persyaratan masuk dan barang apa saja yang harus aku bawa saat kegiatan masa pengenalan lingkungan sekolah.

Aku juga membuat twibbon sekolah yang dibagikan, itu syarat keikutsertaanku sebagai calon siswi baru. Aku memakai foto yang sama seperti foto profil akun menulisku. Foto separuh wajah sambil mempoutkan bibirku ke bawah. Bisa dibilang memang ini adalah foto andalan karena aku jarang sekali mengambil potret sendiri. Dengan caption mecantumkan nama, serta di jurusan mana namaku terpampang lalu dibagikan ke Instagram.

Seingatku saat kegitan MPLS, tak ada banyak adegan berarti. Pada hari pertama kami semua dikumpulkan di lapangan utama dan diberitahu aturan-aturan sekolah serta penyambutan dari beberapa guru. Di hari kedua dan ketiga kami tetap memakai pakaian sekolah menengah dan disatukan pada ruang aula yang cukup besar untuk menampung sekitar 500 orang lebih. Kami juga diberikan materi-materi ringan sesuai jurusan yang kami tempuh.

Kepribadianku sebenarnya introvert, tapi aku bisa menyesuaikan diri dengan sekitar dan sering memulai perbincangan lebih dulu dengan orang asing. Sehingga mereka sering salah paham mengiraku seorang ekstrovert karena pembawaanku yang ramah terhadap siapa saja dan selalu mau mengobrol. Itu sebenarnya hanya kamuflase semata.

Aku punya banyak kepribadian sesuai di mana tempatku berpijak. Manusia itu memang terlahir dengan berbagai sifat, ini bukan munafik, tapi memang jenis upaya pertahan diri dari kejamnya seleksi alam.

Oleh karena itu, jangan heran, hanya dalam kurun waktu kurang dari seminggu aku sudah punya banyak teman yang tersebar di semua jurusan. Dibilang social butterfly sebenarnya tidak juga, aku tak suka berbaur dengan orang yang pemikirannya dangkal. Aku juga malas keluar rumah untuk nongkrong menghabiskan uang. Jika menemukan orang yang terlalu toxic, maka aku tak segan-segan memutus lingkaran komunikasi dengan orang itu. Sekedar memandang wajahnya saja enggan.

Bulan awal menjadi murid SMK diisi banyak drama picisan. Aku masih sering nyasar saat berjalan menuju kelas karena luasnya sekolah, juga perdebatan dari anak-anak yang merasa salah jurusan. Temanku Sekar dan Mutia contohnya.

Sekar adalah korban Ibunya yang salah pencet ketika mengisi formulir pendaftaran. Seharusnya dia masuk jurusan kuliner di sekolah ini, tapi malah berujung di perhotelan.

Mutia itu anak bungsu dari tiga bersaudara. Dia ingin masuk tata kelola perkantoran, tapi karena namanya terlempar dan opsi terakhir yang dia tulis adalah sekolah ini, akhirnya dia diterima di jurusan perhotelan dan berada satu kelas denganku bersama Sekar.

Lucunya, sekitar satu bulan kami bersekolah, ada satu anak kelas yang keluar dengan alasan terkena bullying. Padahal dia yang mencari gara-gara dengan mengejek kelasnya sendiri sebagai kelas buangan di grup angkatan, dan ketika ditegur seolah berperan sebagai orang yang paling tersakiti. Aku tak mengerti sistem pemikiran orang-orang seperti itu. Apa mereka tidak lelah terus-terusan membohongi diri sendiri?

Dengan waktu singkat, aku benar-benar merasa menemukan jiwaku. Aku bersyukur memilih menjadi hotelier dan masuk ke jurusan ini. Aku banyak belajar soal tata kelola, tugas-tugas dasar, teori, bahkan praktek langsung terjun ke lapangan dengan tamu sungguhan di hotel.

Aku diajarkan menjadi resepsionis atau porter yang menjadi bagian front office, teknik benar dalam membersihkan kamar (housekeeping), juga mencuci dan menggosok pakaian di laundry. Semuanya terasa menyenangkan juga melelahkan. Aku berniat untuk mendaftar les bahasa Inggris di rumah supaya nanti saat lulus sekolah aku bisa bekerja dan disalurkan ke hotel-hotel bintang lima terbaik di Indonesia atau bahkan dunia.

Setelah lama terjebak dan dibiarkan hidup tanpa mimpi, akhirnya aku menemukan satu tujuan sederhana namun membutuhkan perjuangan dalam menggapainya. Menjadi siswi perhotelan ternyata tak seburuk yang diperbincangkan orang-orang. Terkadang kita memang harus berani mendobrak zona nyaman agar menemukan ketenangan yang sesungguhnya.

Mulai detik ini, aku tak akan takut lagi bermimpi.

•• ────── ••

a/n:

Padahal kita tau siklus dalam setiap pertemuan akan diakhiri perpisahan, tapi bodohnya kita enggak pernah bersiap untuk kehilangan :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top