4. Malam Diguyur Hujan

•• ────── ••

Netra mataku menatap lurus dalam layar monitor warnet yang kusewa selama dua jam. Sibuk mencari-cari hingga berhasil mengumpulkan beberapa opsi. Pilihanku akhirnya rampung pada tiga sekolah perhotelan yang letaknya tersebar di sekitaran Jakarta.

Jariku tanpa ragu mengisi lembar penerimaan peserta didik baru dan memasukkan tiga sekolah itu sebagai tujuan akhir, ketiganya aku tulis untuk jurusan perhotelan. Sama sekali tak mengindahkan bahwa terdapat banyak jurusan lain seperti busana, kuliner, kecantikan, atau bahkan pariwisata. Padahal aku sempat terbesit menjadi seorang tour guide, atau translater.

“Bang, sama ngeprint nambah berapa?” Aku bertanya setengah berteriak.

“Kalo berwarna seribuan, hitam-putih gope,” jawab Bang Farul masih sembari matanya fokus memainkan game.

Setelah yakin aku mengisi formulir dengan benar, akhirnya aku menyelesaikan tahap satu. Dua kertas print berukuran A4 aku pegang erat-erat sebagai bukti keteguhan hatiku. Di dalamnya sudah tercetak namaku, token pendaftaran, nilai-nilai semasa SMP, dan persentase akumulasi rapor ataupun non-akademis milikku yang lumayan berguna.

“Duluan, ya, Bang. Duitnya di meja.”

•• ────── ••

Jakarta sedang diguyur hujan, sejak tadi siang tak mau reda. Mungkin Jibril sedang tak rela. Malam harinya sudah lumayan mengecil, hanya tertinggal gerimis-gerimis tipis yang terlihat dari balik sorot lampu jalanan. Ada senang yang menunggu namun resah sedikit menganggu.

Karena hawa yang cenderung dingin membuatku betah berlama-lama menatap langit-langit kamar dari atas ranjang. Aku melirik jam sekali lagi, sudah pukul tujuh malam. Rasanya aku ingin keluar tuk sekedar menikmati cipratan air hujan. Merasakan angin dingin yang berhembus menembus jaket, lalu melompati kubangan air di jalan. Pikiran itu membuatku resah, akhirnya aku bangkit dan mewujudkan ide kekanak-kanakan barusan dengan semangat.

Aku mengantongi uang lima belas ribu sebagai cadangan bila melihat jajanan hangat yang cocok dimakan saat hujan-hujan begini. Langkah demi langkah aku telusuri sembari menghirup napas panjang nan dalam, teringin menenangkan jiwaku yang gundah menunggu kepastian hasil PPDB tadi siang. Apa benar aku sanggup?

Dari keluarga Ibuku, hanya Tanteku si akuntan lah yang berhasil mengangkat derajat keluarga. Dia juga satu-satu anggota yang mampu masuk kejuruan negeri dan lulus dengan nilai sempurna.

Sedangkan dari keluarga Ayah ... seingatku tak ada yang berhasil masuk seleksi negeri. Rata-rata semuanya berakhir swasta, baik jenjang SMA atau SMK. Mereka memang tergolong mampu membiayai uang pangkal dan SPP setiap bulan. Sering kulihat postingan sosial media mereka saat berlibur ke luar kota. Barang-barang branded juga menjadi makanan sehari-hari sepupuku di sana. Kesenjangan ekonomi itu memang benar adanya.

“Otak-otaknya empat aja, Wihel?”

“Sosisnya dua, sama kaki naga tiga.”

Jajanan hangat yang sempat kusebut di atas ialah goreng-gorengan seperti sosis dan teman-teman sebayanya. Jarak antara rumahku ke sini hanya terpaut satu gang. Beruntungnya Kak Reni belum menutup warungnya saat aku tiba. Dia masih sibuk menggoreng martabak lumpia pesanan anak-anak yang mangkal saat gelap datang.

“Tunggu dulu, ya, Hel. Masih agak lama soalnya.”

“Iya, santai aja, Kak.”

Aku memilih duduk pada bangku kayu reot yang disediakan dekat warung. Memandangi sekeliling dengan raut yang takkan bisa diartikan siapapun. Ada begitu banyak perasaan yang menggelora dan berguncang dalam jiwaku.

Aku lantas sibuk menatap deretan alat-alat elektronik yang sudah tak terpakai lagi. Mulai dari mesin cuci yang terbuka, televisi yang hancur layarnya, kulkas yang hilang pintunya, sampai barisan kipas angin bekas. Semuanya seperti ornamen khas daerah tersudut yang haus akan aksi kriminalitas. Jakarta gemilang apanya? Kota metropolitan jenis apa?

“Sendirian aja, neng? Beli apa tuh?”

Aku menghela napas dengan berat. Ada sesuatu yang mengganjal dan membuatku merasa jengah dengan hal-hal yang aku tidak tahu apa, tapi aku tak ingin untuk menjadi tahu akan hal itu.

Di saat seperti ini enggan rasanya harus berhadapan dengan orang lain. Memasang mimik muka penuh bahagia serta senyum yang bisa saja hanya sebuah kepalsuan, mengingat isi kepalaku memang sedang tidak baik.

“Kalau punya mata dipake,” jawabku pada akhirnya membuat lelaki tadi memasang raut sinis.

“Jadi perawan kok judes, nanti enggak laku,” cibirnya.

Memangnya aku peduli? Itu hanya lontaran kalimat kosong dari laki-laki yang begitu inginnya mendapat perhatian. Karena sadar akan raut wajahku yang tidak bersahabat, Kak Reni membantu dengan mengusir lelaki tadi pergi setelah memberi pesanan martabaknya.

“Cowok di sini emang begitu, suka godain. Kamu juga jangan judes-judes.”

Aku memasang wajah malas mendengar penuturannya yang kuno. “Biarin deh. Lagian juga aku enggak bakal cari jodoh orang sini.”

Kak Reni hanya terkekeh kecil mendengar jawabanku. Hari ini dia memakai daster tanpa lengan, aku bertanya-tanya apa dia tidak kedinginan di tengah suhu dingin Jakarta malam ini? Kulihat tangannya yang begitu telaten membalik potongan-potongan sosis sampai matang seutuhnya. Rambutnya dicepol ke atas menyisakan beberapa anak rambut di sekitaran leher dan telinga. Di bawah cahaya lampu rumah, Kak Reni lebih terlihat seperti remaja seumuranku dibanding Ibu beranak dua.

Ya, Reni punya dua anak. Satu lelaki, dan yang paling kecil perempuan. Si sulung umurnya sudah enam tahun, bungsu baru dua tahun lebih sekian bulan. Meski hidup dalam kekurangan dan keterbatasan biaya, kuakui Kak Reni mampu mendidik anak-anaknya. Si sulung sudah diajarkan alfabet dan angka. Sebentar lagi masuk taman kanak-kanak.

Meski dirinya sendiri hanya sampai sekolah menengah pertama, tapi Reni punya tekad menyekolahkan anaknya hingga SMA sederajat. Tak pernah kulihat bekas main tangan di tubuh anak-anaknya, Reni selalu menasehati kesalahan mereka dengan cara yang benar dan dewasa.

Berbeda dengan satu tetangga rumahku yang juga masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Nenekku, sebut saja namanya Putri, aku memanggilnya Kak Putri karena umurnya menginjak dua puluh tiga tahun. Di usianya itu, dia sudah punya empat anak. Bungsu baru lahir dua bulan lalu dan diberi nama Adiba. Sulung namanya Putra, seharusnya sudah kelas dua sekolah dasar, tapi putus sekolah karena alasan biaya. Saat kutanya apa dia tidak kasihan anaknya diejek tidak sekolah, jawabannya malah membuatku kesal.

“Mau gimana lagi? Yang penting dia udah bisa baca sama nulis, udah ngerti itung-itungan juga.”

Bagaimana bisa ada orang tua yang berpikiran seperti itu? Apa mereka tidak memikirkan masa depan anaknya? Misal: mau cari kerja apa nanti, mau makan apa kalau tidak mengenyam bangku sekolah? Sekedar baca tulis saja masih kurang untuk persaingan kerja di masa datang. Masa iya mau dicap sampah masyarakat karena terus bergantung dengan orang lain?

Putri hamil anak pertama saat baru berumur enam belas tahun. Dari cerita nenekku, katanya dia korban pemerkosaan. Aku mewajari tingkahnya yang kekanakan karena aku tahu, pasti sulit menjadi Ibu empat anak di usia semuda itu. Tapi, aku tak bisa mentolerir saat melihatnya bermain kasar dengan anaknya yang masih terlampau kecil.

Aku seperti melihat bayangan diriku saat Ayah memukulku habis-habisan dulu. Karena itu aku takut. Laki-laki sudah membangun stigma begitu buruk dalam pemikiranku. Mereka hanya bisa merenggut, mengambil, dan membuang wanita sesuka hati. Melayangkan tamparan dan hinaan ketika bosan, dan menjadikan kami objek pemuas nafsu semata pada gelapnya malam.

Aku terbelenggu dalam kubangan keraguan ketika ada lelaki menyatakan perasaan padaku, aku takut mereka hanya akan menyakitiku seperti Ayah. Hidupku sudah dipenuhi berbagai masalah, aku tak ingin dekat dengan lelaki mana pun terlebih lagi untuk menjalin asmara.

•• ────── ••

a/n:

Jangan pernah kepikiran menyerah, atau bahkan berhenti bermimpi. Dunia sebenarnya beruntung punya kamu. Cuma omongan manusia aja yang terlalu jahat. Miris. Padahal kita sama-sama dibuat dari tanah. Bedanya ya, mereka tanahnya longsor/tanah kuburan 🤏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top