05 | Roomate's Bestmates
Ga tau udah berapa lama aku ga mampir sama sekali ke Wattpad. Rasanya kangen bisa update-update bab. Berhubung lagi disibukkan beberapa hal di rl, jadinya ya begini... angin-anginan. Aku cuma pengen nyapa kalian lewat satu bab tambahan di Main Lead (bab 5-6 di KK). Sebenarnya tinggal 2 atau 3 bab lagi tamat di Karyakarsa, cuma belum ada mood buat nerusin finalnya.
Sejujurnya, aku ga ada mood sama sekali buat nulis. Kalau kemarin-kemarin aku sering kurang tidur karena kebanyakan nulis, sekarang tidurku justru berkualitas karena jarang menulis. Alhasil, banyak draft ga tuntas di laptop.
Akhir-akhir ini aku lagi ngumpulin fokus buat namatin Love+Prophecy, tapi malah nemu inspirasi buat bikin cerita baru. Jadi ya terpaksa ngikutin inspirasi itu dulu sambil ngasah kemampuan biar nggak terlalu kaku. Aku pengen cerita banyak tentang progress nulisku, mungkin lewat story IG nanti.
Sementara kalian nikmati bab ini dulu ya... Maaf sebanyak-banyaknya buat kalian yg kecewa karena Love+Prophecy belum diupdate. I will work on it soon. Sehat-sehat ya kalian semua!
Enjoy...
***
"Rex Silas, can I have a word with you?"
Setelah mendengar itu, akhirnya Rex mendongak. Aku yakin Rex menggumamkan sesuatu seperti 'dammit, I'm in trouble' karena aku menyebut nama tengahnya di depan para koleganya.
"Good evening, gentlemen." Senyuman tak hilang dari wajahku ketika berjalan cepat menyeberangi ruangan menuju kamar. Tak peduli betapa murka aku pada para tamu tak diundang ini, Raj dan Jordan tetaplah bosku dalam struktur organisasi perusahaan.
Kurasakan tatapan Noah mengikuti setiap gerak-gerikku. Pengendalian diriku cukup baik sehingga tak sedikit pun aku tergoda untuk melihat ke arahnya, atau menunjukkan ekspresi terkejut karena eksistensinya di rumah ini.
"And Jordan, would you please move his car to the garage?"
Jordan segera bangkit berdiri. "No problem."
Rex menyusulku tak lama kemudian.
Begitu pintu di belakangnya tertutup, aku berbalik dengan tangan berada di pinggang. "Explain!"
"Explain what?" Rex mengedikkan bahu pura-pura polos. "Raj, Jordan, dan aku lagi ngerjain proyek Penta-"
"Bukan mereka. Tamu yang satu lagi," potongku cepat. "Aku bisa maklumin kamu ngundang Raj dan Jordan ke rumah ini kapan pun kalian butuh ruang buat brainstorming walaupun aku nggak ngerti kenapa kalian memilih tempat sakralku buat itu. Tapi, bukan berarti kamu boleh ngundang tamu seenaknya di saat aku lagi nggak di rumah, Rex! It's a privacy violation!" Aku meninggikan suaraku. "It's still my house!"
"Tapi aku yang bayar sewanya," ujarnya pelan tanpa melihatku.
"Terus kamu bisa seenaknya mentang-mentang gitu?" protesku nyaring. "Kamu bahkan nggak jemput aku di bandara, padahal anak-anak di kantor bilang hari ini kamu pulang lebih awal buat jemput temenmu di sana." Sesuatu menyadarkanku. "Temen yang dimaksud itu dia?"
"Iya, aku memang jemput Abimana di bandara. Jordan sama Raj juga ikut. Aku nggak tahu kamu pulang hari ini," sanggahnya.
"Memangnya aku nggak bilang?" Tunggu sebentar! Di antara teman-teman terdekat Rex, memang hanya Abimana yang belum pernah kutemui. Nggak kusangka Abimana yang dimaksud adalah Noah. Kalau bukan karena aku melihat sendiri Noah di ruang tamuku bersama mereka, mungkin aku tak akan percaya apa yang kulihat.
Rex membuka ponselnya, mengetik sesuatu, menggulir sebentar, lalu menunjukkan layar padaku. Histori percakapan kami di group chat keluarga.
"Kamu bilang tanggal 28. Sekarang 27. Siapa yang salah?" Alisnya bertaut lengkap dengan ekspresi tak terima.
"Jadwalnya berubah di jam-jam terakhir." Aku lupa memberitahunya.
Bahu Rex merosot karena lelah. Hei, padahal yang lebih capek itu aku.
"Aku nawarin Abimana nginap selama dia di sini."
Mataku membelalak. "The hell you didn't!"
"Selama beberapa hari ini aku butuh mereka bertiga untuk menyelesaikan proyek Pentagon. Dia akan berada di sini selama seminggu sebelum dia pulang ke kampungnya."
"Maksudmu... kalian berempat tinggal di sini?" tanyaku tak percaya.
"Yep. Tentu aku punya solusi karena sempat mikir mungkin kamu nggak nyaman tinggal bareng kami. Jadi, kamu boleh pakai Amex-ku buat reservasi hotel di kamar terbaik. Nggak akan kuungkit." Rex menjelaskan dengan raut santai.
"Dan kenapa bukan kalian aja yang nginap di hotel?"
"Rumahmu punya aura magis yang membuka kunci inspirasi di otak kami. Raj mengakui, Jordan juga. Hotel termahal pun nggak punya keistimewaan kayak gitu. Jadi, kami harus tinggal di sini."
Sulit dipercaya. Aku baru saja diusir oleh orang yang numpang di rumahku sendiri. "Membiarkan orang asing tinggal di sini?"
"Ayolah, Noah Abimana bukan orang asing. Kami satu almamater," bujuk Rex.
Aku hampir tersedak ludah sendiri. Right. Rex dan teman-temannya terbiasa dengan panggilan nama belakang. Raj dari Vijayendra Raj. Jordan dari Phillips Jordan. Miller dari Rex Silas Miller. Dan sekarang Abimana dari Noah Abimana.
"Jadi, Noah lulusan MIT?" Tidak mungkin Noah si peternak sapi perah berteman dengan tiga pemuda culun anti sosial yang kebetulan jadi bos-bosku di Olympians. Dan apa alasan seorang lulusan MIT memilih karir sebagai seorang peternak?
Kecuali jika Noah berbohong padaku.
Rex mengangguk. "Satu tahun di bawah kami." Dia mengamatiku. Caranya memandangku membuatku yakin kalau dia menyimpan suatu kecurigaan. "Gimana Gregory?"
Pertanyaannya membangkitkan emosi yang kutahan-tahan sejak dari Kuala Lumpur. "Kamu memerasnya." Itu bukan pertanyaan. "Kamu melanggar privasi pengguna untuk memeras Gregory Adolf. Sebenarnya kalian ini terlibat apa?"
"Bukan hal yang perlu kamu tahu."
"Supaya aku bisa membereskan masalahmu, Rexy, aku harus tahu masalah apa yang sedang kita hadapi." Alisku bertaut. Dia memilih waktu yang salah untuk cari gara-gara denganku. "Atau aku perlu mengadakan meeting di sini? Raj dan Jordan bisa sekalian ikut. Kayaknya mereka lagi nganggur."
Keraguan pada ekspresi Rex membuatku tak sabar.
"Kalau masalah ini tercium media dan tersebar ke mana-mana, Olympians akan segera runtuh sebelum tahun ini berakhir," imbuhku. "Gimana kamu akan mempertanggung jawabkannya pada para investor?"
"Gregory terlibat dalam sindikat judi online."
"Yeah, so?" Bahuku merosot lelah. "Olympians terikat kontrak kerja sama untuk mengamankan sistem di perusahaan Gregory Adolf. Kita dibayar, Rex. Batas ikut campur kita sampai di situ."
"Kalau polisi mengendus keterlibatan kita dalam bisnis Gregory, menurutmu apa yang akan terjadi pada Olympians?" tantangnya.
"Itu bukan masalah yang mendesak saat ini. Biar itu jadi tanggung jawab departemen manajemen risiko dan departemenku." Aku membalikkan badan, mulai frustasi. "Kamu terlalu paranoid," ujarku. "Kamu nggak percaya timmu dan mutusin buat bertindak sendiri. Karena keputusanmu itu, Olympians yang akan kena akibatnya."
Keheningan di antara kami terasa cukup pekat.
"Kita bicarakan ini besok Senin," putusnya kemudian.
Aku mengangkat kepala. "Kita bicarakan di board meeting sekalian. Ini bukan masalah yang bisa kita selesaikan berdua."
Rex mengangguk kaku sebelum beranjak keluar dari kamar. Begitu yakin dapat mengendalikan diri, aku ikut menyusul keluar.
"Boys!" Bak kerbau dicucuk hidung, mereka berempat mengekorku menuju meja makan, satu-satunya meja besar di rumahku yang minimalis ini. "Di perusahaan, kalian bertiga adalah atasanku," ujarku dalam bahasa Inggris. Aku memandangi Rex, Jordan, dan Raj bergantian. "Tapi, di sini... hierarki berubah. Kalian cuma teman-teman Rex yang menginap di rumahku, jadi aku mengharap respek kalian selayaknya tamu pada pemilik rumah," sambungku. Kemudian aku menatap Noah yang balas menatapku dengan ekspresi tak terbaca. "Senang akhirnya kita ketemu, Abimana. Rex cerita banyak tentang kamu."
Noah mengangguk samar. Kedua tangannya dimasukkan ke saku belakang celana. Walau dia ingin terlihat rileks di depan kami, aku cukup mengenalnya untuk tahu kalau dia sebenarnya cukup tegang.
"Kudengar kalian akan tinggal di rumahku selama beberapa waktu." Aku berujar lagi. "Dengan begitu, kita jadi teman serumah selama periode kalian tinggal di sini."
Terserah lah kalau mereka ingin tinggal. Asal mereka nggak mengganggu aktivitas dan me-time ku selama di rumah. Aku punya satu kamar tamu dengan kasur busa super king yang muat untuk tiga orang dewasa. Hanya itu akomodasi yang dapat kutawarkan. Bagaimana pun, harus ada yang merawat tanaman-tanamanku. Aku nggak percaya siapa pun selain diriku sendiri untuk mengurus mereka.
Raut Rex berubah masam. Sebelum ia hendak membuka mulut untuk protes, aku mengirimkan pesan telepati lewat kernyitan dahi. Ekspresiku menunjukkan bahwa dia tidak punya hak suara di sini. Dia menangkap sinyalku dengan baik. Terbukti oleh dengkusan kasar yang ia keluarkan lewat mulut.
"Menginap di sini enggak akan dikenakan biaya. Sebagai gantinya, kalian harus mematuhi beberapa peraturan dasar yang wajib ditaati oleh semua, termasuk Rexy." Aku menghirup napas dalam-dalam. "Pertama, cuci peralatan masak dan makan yang habis kalian gunakan. Kedua, jangan pakai mesin cuci kecuali kepepet. Artinya, kalian harus cuci baju di penatu.
Ketiga, kebersihan rumah menjadi tanggung jawab bersama. Jadi, aku nggak mau ada sampah berserakan sewaktu aku pulang kerja. Jadwal piket bisa kalian rundingkan sendiri. Keempat, kalian yang belanja groceries. Dan yang terakhir..." Aku menunjuk kamarku. "Itu area off-limit. Kalian boleh berkeliaran ke mana pun kecuali kamar itu. Mengerti?"
Mereka berempat kompak mengangguk.
"Oke, bagus. Makasih pengertiannya." Aku membubarkan mereka dengan kibasan tangan.
"Terima kasih udah membiarkan kami menginap, Gianni." Raj mengusap lengannya tanpa berani menatap mataku. Sikapnya nggak jauh berbeda dengan Jordan. Kurasa mereka berdua sama-sama takut perempuan. Atau hanya aku. Entahlah.
"Panggil aku Gigi. Atau Ru."
"Gigi cuma buat kalangan keluarga." Rex menyahut.
"Oke, kalau begitu Ru aja." Raj setengah bergumam sebelum menggiring kedua temannya kembali ke ruang tamu.
"Kita harus bicara," ujarku pelan saat hanya tinggal aku dan Noah di ruangan itu. "Kafe. Sepuluh menit. Jangan ada yang tahu!" Tanpa menunggu respons, aku berjalan melewatinya.
***
Selama perjalanan dari rumah menuju kafe, aku berusaha menggali memori isi obrolanku dengan Rex yang menyangkut Abimana. Rex pernah bilang kalau Abimana merupakan salah satu orang terjenius yang pernah ia kenal. Selama libur Thanksgiving, dia nggak pernah pulang ke Indonesia karena dia yatim piatu. Bertahun-tahun kemudian, Abimana menolak tawaran untuk bergabung dengan Olympians karena masalah keluarga.
Apa lagi, ya?
"... Americano."
Aku memutar kepala ke arah counter, di mana Noah sedang memesan. Aku yakin dia punya pengaruh terhadapku. Setiap kali mendengar suaranya, tekanan darahku mendadak naik. Padahal bukan aku yang diajak bicara.
Selesai memesan, Noah menyusulku duduk di tempat biasa. Dia menarik kursi di sebelahku. Mungkin supaya percakapan kami nggak terlalu menarik perhatian pengunjung lain.
"Sejak kapan kamu tahu?" tanyaku tanpa basa-basi.
Noah nggak kelihatan sedang menutupi kebohongan. "Jadi, namamu Ruwika Miller?" Dia balas bertanya.
Aku mengangguk. "Ruwika Gianni Miller."
"Siapa yang satunya?"
"Ramon Adrian Miller. Ramon. Dia dokter bedah plastik. Tinggal di dekat sini juga." Aku mengusap telapak tanganku yang berkeringat di permukaan rok pensil yang kukenakan. "Apa Rex tahu tentang kita?"
Hidung Noah berkerut samar. "Aku bukan tipe orang yang kiss and tell to brag around. Apalagi ke teman-temanku. Lagipula, Mills bisa membunuhku kalau dia sampai tahu. Dia agak protective tentang hal-hal yang berhubungan denganmu."
"Let's keep it that way," cetusku. "Jangan sampai mereka tahu kalau kita saling kenal sebelumnya. Raj, Jordan, apalagi Rexy."
Noah nggak mengiakan atau menolak. Dia hanya memandangiku dengan ekspresi yang masih sulit kugambarkan.
"Apa?" Aku nggak bermaksud judes. Namun, sejak kemunculannya di rumahku, aku nggak bisa berhenti bersikap was-was. Akhirnya, nada judes lah yang keluar dari mulut.
Cowok itu menggeleng pelan. "Aku nggak dapat nomormu, tapi tahu-tahu kita serumah. Kebetulan macam apa ini?"
"Pertama, kita serumah karena aku terpaksa mengizinkanmu menginap, demi Rexy. Kedua, aku nggak percaya kebetulan. Mungkin aku melewatkan sesuatu... atau banyak hal sampai-sampai nggak menyadari kalau kamu dan Rexy berteman baik. Aku bahkan nggak pernah kepikiran buat ngecek media sosial kalian."
"Kami nggak punya media sosial, Ru."
Aku memijat pelipisku. "Ini benar-benar aneh, tahu, nggak?"
"Kamu yang bilang sendiri kalau seks cuma seks. You brushed me off like everything that happened between us was nothing. Kenapa sekarang kamu yang panik?"
"Pelankan suaramu!" bisikku kasar seraya mengecek sekeliling, kalau-kalau ada yang dengar. "Dan aku nggak panik, asal kamu tahu! Aku cuma ngerasa situasi ini buruk buat kita berdua. Kita udah bicarakan ini di pesawat, for the love of God!" Seandainya mungkin, aku ingin mengguncang badan Noah supaya kabel korslet di kepalanya tersambung lagi. "Sebaiknya kamu nginap di hotel aja, deh. Aku nggak sanggup bersikap biasa-biasa aja tanpa bikin yang lain curiga."
"Aku juga lagi mempertimbangkan hal yang sama," sahutnya lirih.
Caca datang ke meja kami untuk menurunkan pesanan. Fokusku tertuju pada Noah sepenuhnya hingga mengabaikan Caca. Untungnya, dia terlalu sibuk untuk menyadari aura nggak biasa di meja kami.
"Kamu bohong tentang peternakan?" tanyaku begitu Caca kembali ke counter.
"Enggak. Kenapa pula aku harus bohong?" Ekspresinya datar dan serius.
"Karena kamu kuliah di MIT! Lulusan MIT mana yang memutuskan buat jadi peternak sapi perah?" desisku nggak sabar.
"Memangnya ada apa dengan peternak sapi perah?" Dia terdengar agak defensif.
"Kalau kamu mau tahu, ambil contoh tiga temenmu yang lain. Lulus dari MIT, mereka merintis perusahaan berbasis keamanan cyber. Jalurnya selaras dengan minat, bakat, dan kemampuan."
Noah menghela napas berat, seolah seluruh beban dunia berada di pundaknya. "Nggak semua orang punya kebebasan untuk memilih, Ru," sahutnya muram.
Mendadak aku menyesal telah membandingkan mereka. Aku tahu alasan di balik keputusan Noah pasti berhubungan dengan keluarga. Namun, aku terus menyudutkannya karena aku terlalu kesal. Aku kesal karena menyesal telah meniduri kawan baik adikku. Seandainya waktu dapat diputar, aku nggak akan tunduk pada desakan hormon sampai nekat mengundang Noah ke rumah waktu itu.
"Kudengar itu termasuk privilese." Aku menimpali setengah bergumam. "Jadi, kamu Abimana yang sering dibicarakan Rexy. Dia pernah bilang kalau kamu adalah salah satu orang jenius yang udah menyia-nyiakan tawaran magang di Microsoft."
Noah mengangkat bahu. "Saat itu aku lebih tertarik dengan tawaran dari profesorku. Kami mengembangkan sebuah operating system baru yang kemudian dijual ke China. Selain itu, aku sibuk membangun sistem keamanan cyber berbasis AI. Intinya, nggak ada waktu buat magang di sana."
Penjelasannya nggak mengandung kesombongan atau pamer. Pencapaian yang ia raih di usia belia lebih besar daripada pencapaianku seumur hidup. Tampaknya, aku memang membutuhkan dorongan semangat dari cerita kesuksesan orang-orang di sekelilingku.
"Pernah merindukan saat-saat itu?"
"Enggak juga," jawabnya. "Maksudku, aku nggak sepenuhnya berhenti."
"Oh, betul juga. Kamu ikut mengembangkan Pentagon." Pentagon adalah sistem otentikasi biometrik menggunakan fitur pengenalan wajah, retina, dan sidik jari yang sedang dikembangkan oleh Olympians. Mereka menyempurnakan sistem-sistem termutakhir yang lebih dulu ada dengan tingkat akurasi 100% dalam waktu yang jauh lebih singkat. Fitur rekonstruksi wajah juga termasuk di dalamnya.
Noah mengangguk singkat sebelum meneguk kopinya.
Aku bangkit berdiri. "Kalau begitu, semoga beruntung," ujarku. "Pentagon merupakan salah satu proyek terpenting Olympians. Makasih udah bersedia membantu mereka."
"Kita bekerja sama untuk Pentagon, dan aku senang diajak terlibat."
Kuulurkan tangan kananku padanya. "Ayo mulai dari awal lagi," kataku. "Senang bertemu denganmu, Noah Abimana."
Noah memandang tanganku yang terulur sebelum ikut bangkit berdiri, lalu meraihnya. Genggaman tangan Noah terasa hangat menyelimutiku.
"Nice to meet you, Ruwika."
***
Rumah ini nggak terlalu kedap suara. Percakapan mirip dengungan mereka terdengar sampai ke kamar hingga aku terbangun sebelum alarm menyala. Ketika keluar kamar, aku setengah terkejut mendapati Rex dan Raj asyik main playstation di ruang tengah, padahal jam masih menunjukkan pukul setengah lima pagi. Jordan sibuk dengan laptop di pangkuan, entah mengerjakan apa. Kursi bean bag yang tahun lalu kubeli di IKEA dengan harga promo jadi tempat duduk favoritnya.
Aku yakin punggung mereka menyimpan semacam baterai cadangan yang memungkinkan mereka untuk nggak tidur selama berhari-hari. Selama ini, kukira cuma Rex yang punya kemampuan itu.
Noah nggak terlihat di mana pun. Kurasa dia memutuskan check-in ke hotel terdekat semalam.
"Dia bahkan nggak pamit," gumamku sedikit kecewa.
Usai mengurus tanaman, aku membuat sarapan dengan bahan-bahan sisa yang ada di lemari es. Berhubung aku menampung dua bule di rumah, kuputuskan untuk memanggang bierwurst, membuat scrambled egg, dan toast. Matahari menyingsing begitu aku selesai memasak dan menikmati kopi.
Samar-samar kudengar suara Noah dari pintu masuk. Sosoknya muncul di dapur beberapa saat kemudian. Kupandangi dia tanpa berkedip sambil setengah memeluk mug kopi di dada.
"Morning," sapanya dengan senyum cerah dan agak terengah.
Terjawab sudah. Noah bukannya menghilang. Dia hanya pergi joging pagi.
Aku menyangga siku di atas meja countertop tinggi sambil mengamatinya menuangkan segelas air secara terang-terangan. "Kukira kamu udah pergi."
"Semua hotel di dekat sini pada penuh. Hari ini akan kucari hotel lain."
Aku menyesap kopiku perlahan tanpa mengalihkan pandangan darinya.
"Hotel buat siapa?" Rex ikut nimbrung di meja makan. Raj dan Jordan menyusul.
Noah melirikku sebelum menjawab. "I think I should stay at the nearest hotel."
"Kenapa?" tanya Rex seraya mencomot sepotong bierwurst untuk dibawa ke mulut. "Ngapain nginep di hotel kalau di sini bisa?"
Aku beranjak ke sink untuk mencuci mug bekas kopi, menolak membantu Noah mengarang alasan. Rex dan teman-temannya kini duduk mengelilingi meja makan untuk sarapan. Dari obrolan di belakang, ketiganya berusaha membuat Noah mempertimbangkan keputusan untuk tinggal di hotel. Noah terdengar agak kewalahan menghadapi mereka.
"Mau ke mana?" Kini perhatian Rex beralih ketika aku berjalan melewati mereka.
"Ini Sabtu."
"Oh, right."
Aku mengacak rambutnya sekilas sebelum melanjutkan tujuanku ke kamar untuk bersiap-siap.
***
Satu-satunya hari dalam seminggu di mana aku bisa bersosialisasi adalah hari Sabtu di Elderly Nursing Jasmine, sebuah panti wreda tempat aku menjadi relawan selama kurang lebih lima tahun belakangan.
Bukan hanya aku. Vani dan suaminya, Haikal, serta Alexa dari perusahaan lamaku juga menjadi relawan di sini.
Hari ini kami merayakan ulang tahun Oma Hana yang ke sembilan puluh. Tiga tahun lalu, Jasmine menerima pendaftaran beliau. Pendaftaran yang dilakukan secara sadar dan mandiri karena beliau ingin menghabiskan masa tua tanpa merepotkan anak dan cucu. Setelah suaminya wafat, Oma Hana merasa amat kesepian dan bosan. Beliau mencari informasi tentang panti ini setelah mendapat rekomendasi dari teman-temannya.
Aku bertugas mengambil pesanan kue-kue muffin dari toko langganan para perawat. Sekarang aku sedang menyusunnya menjadi menara setinggi sembilan tingkat. Melambangkan setiap dekade usia Oma Hana.
"Aku udah dengar." Vani berdiri di sebelahku, mengambil sebuah piring untuk dilap sekali lagi. "Wira memang berengsek, jangan bilang aku nggak pernah memperingatkanmu."
"Dengar dari siapa?" tanyaku sambil lalu. Hubunganku dan Wira berada di bawah radar selama berbulan-bulan sebelum akhirnya kandas. Setengah tahun kemudian, tiba-tiba dibahas lagi. Bayangkan gimana perasaanku.
"Alexa." Vani mengedikkan dagu ke arah Alexa yang sedang bermain mahjong bersama para oma. "Ingat Imelda dari pemasaran?" tanyanya. "Wira pernah ngelamar dia. Aku nggak tahu detailnya, tapi Wira bercerita tentang kamu. Cewek yang ditolaknya mentah-mentah demi bisa ngedeketin Imelda. What a douche!"
Ketika aku nggak merespons, Vani beringsut mendekat. "Maaf aku nggak peka selama ini. Kukira kamu resign karena punya batu loncatan lain."
"Udah berlalu, Van."
Vani memeluk lenganku, menawarkan simpati. "You loved him?"
Aku meringis kecil. "Please," dengkusku.
"Right, you don't believe in love. What a meaningless life." Vani melepas pelukannya. Dia geleng-geleng kepala. "Cewek yang selama ini nggak pernah ambil pusing tentang jodoh atau memulai sebuah keluarga malah jatuh ke pesona cowok bernilai empat kayak Wira!" gerutunya.
"Empat?" Aku menahan geli. "Van, selama ini kamu memberi orang label secara diam-diam?"
Dia memutar bola mata. "Aku punya mama yang lumayan pemilih dalam urusan jodoh. Alam bawah sadarku meniru mekanisme penilaiannya."
"Kalau Wira bernilai empat, Haikal gimana?"
Haikal adalah mantan atasan Vani di kantor. Setelah melalui masa pengejaran yang tarik ulur selama kurang lebih tiga tahun, akhirnya Vani luluh dan menerima lamaran Haikal. Ketika mereka memutuskan ke jenjang lebih serius, Haikal mengundurkan dari perusahaan. Kini dia bekerja sebagai senior manager di sebuah perusahaan manufaktur. Pernikahan mereka langgeng sampai sekarang meski belum dikaruniai anak.
Seringaian kecilnya mengundang tawaku.
"Kamu udah ketemu Viktor Azkiel?"
Dahiku berkerut mendengar namanya. "Relawan baru?"
Vani mengangguk. "Mas Haikal yang ngajak dia ke sini. Kenalan keluarga kakaknya. Dosen sastra di salah satu universitas top five Indonesia. Kayaknya dia masih di ruangan sebelah, lagi baca puisi buat para opa." Dia menggembungkan pipi sekilas. "Opa Yono kayaknya naksir Oma Hana. Pernah minta saran ke Mas Haikal gimana caranya nulis puisi. Akhirnya Mas Haikal bawa ahlinya. Astaga, entah ini puber mereka yang ke berapa."
Aku melanjutkan pekerjaanku menyusun muffin.
Vani menyenggol rusukku pelan demi meraih perhatianku. "Dosen sastra. Bukannya kesukaan kalian sama?" Dia menaikkan alis, ekspresi penuh konspirasi. "Mas Haikal juga berpikir hal yang sama. Sejujurnya, kami sempat ngebahas kamu sebelum Viktor memutuskan datang hari ini."
Bahuku merosot, menggambarkan suasana hatiku saat ini. "Vani," erangku pelan.
"Apa salahnya sih dicoba dulu?" Vani nggak menyerah. "Latar belakang keluarganya bagus. Finansial oke. Tinggal teman hidup aja yang belum ada."
Haikal berdeham di belakang kami. "Ladies," sapanya. Dia nggak sendirian. Seseorang berdiri di sebelahnya, menunggu diperkenalkan. "Vik, ini Ruwika Gianni yang pernah kubicarakan. Ru, ini Viktor Azkiel."
Senyumku hampa saat memandangi mereka bergantian. Entah mengapa rasanya aku seperti barang dagangan yang siap dilelang.
"Nice to meet you." Aku mengangguk singkat ke arah Viktor karena tanganku kena krim. Viktor membalas sapaanku dengan sebuah anggukan kepala.
Menurut perkiraan kasar, usia Viktor mungkin sudah mendekati empat puluh. Penampilannya memancarkan pesona dosen paruh baya yang serius dan membosankan.
"Secantik yang saya bayangkan." Kalimat pertama Viktor tentangku. "Tapi, sekali lagi, kecantikan hanya menyenangkan mata, manisnya watak lah yang memikat jiwa."
"Beauty pleases the eyes only, sweetness of disposition charms the soul. Voltaire." Aku nggak percaya dia baru saja mengutip seorang filsuf Perancis untuk menekankan kalau rupa bukan hal yang penting. "Interesting," gumamku.
Vani bertukar senyum misterius dengan suaminya.
Viktor mengangguk samar, tampak puas ada yang mengenali kutipannya. "Kahlil Gibran juga berpendapat sama."
"Frekuensi kalian juga sama," sahut Haikal. "Ngomong-ngomong, Ru. Jangan terkecoh dengan penampilannya. Dia seumuran denganmu."
Aku nggak tahu harus menjawab apa, jadi kualihkan perhatianku pada ubin di bawah sepatu.
"Yang, tadi Oma Hana nyari kamu." Haikal memberi kode pada istrinya untuk meninggalkanku dan Viktor berdua. Untuk membahas cuaca, barangkali.
Begitu mereka pergi, aku berbalik pada kegiatan yang sempat tertunda. Menyusun muffin.
"Seorang wanita yang tersenyum dan ekspresinya senang memiliki semacam kecantikan, tidak peduli apa yang dia kenakan."
"Shakespeare?" tebakku asal-asalan.
"Anne Roiphe."
Aku nggak familier dengan nama itu, jadi aku diam saja.
"Saya dengar kamu pernah sekantor dengan Mas Haikal dan Mbak Vani." Dia kembali membuka obrolan.
"Iya."
"Sekarang bekerja di mana?"
"Perusahaan kecil milik keluarga. Lewat jalur nepotisme." Mulutku kembali menyahut asal.
"Zaman sekarang, cari kerja memang sulit. Banyak sarjana S1 yang masih nganggur karena ketersediaan lapangan pekerjaan tidak berbanding lurus dengan kebutuhan. Amat disayangkan." Dia menghela napas.
"Dosen sastra yang peka dengan isu sosial. Saya percaya generasi muda berada di tangan yang tepat." Ujung bibirku tertarik ke atas.
"Generasi muda berhak meraih mimpi mereka. Memilih karir yang akan menentukan kehidupan mereka di masa depan."
Mataku melebar tanpa sepengatahuannya. Aku yakin sebentar lagi dia akan membahas global warming.
"Bagaimana denganmu, Ru? Kamu punya mimpi?" tanya Viktor.
"Entahlah." Aku mengangkat bahu. "Mimpi saya sebagian besar tentang petualangan menjinakkan naga atau menghadapi gurita raksasa yang berusaha menyedot muka saya sampai rata. Terkadang diselingi pesta dansa dengan Hades di dunia bawah."
Kesunyian pekat yang mengelilingi kami menandakan kalau frekuensi kami telah terputus sejak aku menyebut naga.
"Istilah a dream is just a dream cocok untuk saya," sambungku kemudian.
Viktor menunjukkan senyum tipis yang amat dipaksakan. "Ada yang bisa saya bantu?"
Aku menunjuk sekeliling meja yang penuh makanan. "Kalau nggak keberatan, tolong bantu saya menata meja. Untuk dua puluh tiga orang. Mungkin kursinya kurang, kamu bisa ambil di gudang." Desakan untuk membuat interaksi kami seminim mungkin terasa begitu nyata.
"Kamu tertarik dengan sastra klasik?" tanyanya.
Ekspresiku menunjukkan betapa hah-heh-hoh isi kepalaku sekarang.
"Mas Haikal bilang kamu suka baca buku." Dia menjelaskan.
"Oh, saya terbuka dengan jenis bacaan lintas genre. Sering baca sastra klasik, tapi nggak sesuka saat saya baca cerita fantasi atau thriller."
Hidungnya berkerut samar. "Fantasi. The worst." Dia bergumam.
Atas komentarnya itu, aku menilai Viktor di angka dua. Lebih buruk dua angka daripada Wira yang nggak pernah menghakimi jenis bacaanku -lebih karena dia nggak peduli dengan hobiku, sih.
***
Perayaan ulang tahun Oma Hana berlangsung meriah. Beliau menangis penuh haru karena kami mau repot-repot merayakannya. Penampilan istimewa dipersembahkan oleh Opa Yono dengan pembacaan puisi cinta -yang ditulis dadakan di bawah arahan Viktor. Kami semua menikmati momen-momen tersebut dengan hati penuh kebahagiaan.
Para relawan satu per satu berpamitan begitu hari beranjak senja. Aku jadi salah satu yang pulang paling terakhir karena kebagian tugas bersih-bersih.
"Bawa kendaraan?" tanya Viktor ketika aku sedang membereskan barang bawaanku.
"Udah manggil taksi," jawabku singkat. "Gimana hari pertama?"
Viktor mengenakan jaketnya. "Menyenangkan. Sepertinya ini akan jadi agenda mingguan saya."
"Glad to hear. Kami memang lagi kekurangan tenaga," candaku.
Dia nggak tersenyum. "Kalau begitu, saya duluan ya, Ru?"
Aku mengangguk. "Hati-hati di jalan!"
Taksi yang kupesan tiba nggak lama setelahnya. Aku langsung naik ke kursi penumpang di belakang. Setelah bertegur sapa dengan supir, aku menyibukkan diri dengan ponsel di tangan, membalas pesan yang belum sempat kubuka seharian.
Mobil bergerak perlahan menjauhi area panti.
"Permisi, Mbak." Tangan si supir terulur untuk mengambil sesuatu di belakang kursinya. Padahal nggak ada apa-apa di sana. Kurasakan ujung jarinya menyentuh lututku. Nggak cuma sekali, melainkan tiga kali. Sesekali dia melihat ke arahku lewat kaca spion. Dia sengaja melakukannya.
Aku menyalakan kamera. Sebisa mungkin kuposisikan agar tingkah kurang ajar si supir terekam dengan jelas. Sepertinya dia mengira aku membiarkan perbuatannya, sehingga sikapnya jadi lebih berani. Jika tadi hanya ujung jari yang menyentuh kulitku, sekarang dia terang-terangan meletakkan telapak tangannya di tempat yang sama.
"Bapak tahu 'kan kalau tindakan Bapak ini bisa saya laporkan?" Aku berdeham pelan. "Aduan saya bisa bikin sumber penghasilan Bapak hilang."
Dia hanya terkekeh kecil. Tangannya meremas lututku pelan.
Napasku tercekat. Jantungku berdebar kencang. Ketakutan dan perasaan nggak berdaya menyergapku dari segala arah. Perasaan ini pernah kualami bertahun-tahun lalu. Perasaan yang menguasai alam bawah sadarku sejak-
Kugelengkan kepala kuat-kuat.
"Saya serius, Pak." Kupertahankan nada tegas dalam suaraku agar dia nggak berpikir kalau aku sebenarnya gentar, ingin menangis. "Turunkan saya di sini. Saya akan anggap ini nggak pernah terjadi." Aku menelan ludah. "SEKARANG!" jeritku.
Dadaku bergerak naik turun oleh ledakan amarah.
Kakiku sudah terbebas dari tangannya. Dia menurutiku. Kurang dari semenit kemudian, mobil berhenti. Aku hampir terjungkal ke aspal ketika melompat keluar dari mobil. Tubuhku yang awalnya gemetar dan sulit digerakkan perlahan rileks begitu mobil itu menjauh.
Aku berjongkok di pinggir jalan dengan penuh kelegaan.
Sebuah mobil menepi. Aku nggak berani mendongak atau membuka mata karena masih dalam upaya mengendalikan diri.
"Ru?" Suara Viktor.
Sontak aku membuka mata. Dia turun dari kursi pengemudi untuk menghampiriku. Aku bangkit berdiri setelah mengusap pipiku yang basah.
"Hei," sapaku.
"Kamu baik-baik aja?" Dia memperhatikan wajahku dengan alis bertaut.
"Yeah, I'm fine."
"Kenapa jongkok di pinggir jalan?"
Pandanganku mengedar ke sekeliling, memastikan mobil yang kutumpangi tadi sudah menghilang dan nggak akan kembali.
"Mukamu pucat sekali." Viktor menangkap kekalutanku. "Ayo, kuantar pulang! Dan tolong jangan menolak!"
***
.
.
.
.
Bab 7 sampai 19 bisa kalian nikmati di KK dengan harga terjangkau. Link ada di bio.
Sampai jumpa di update-an lapak lain!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top