03 | Broken Hearted(?)
Masa sekarang...
Aku menahan isakan agar tangisku enggak tumpah.
Perdebatan tadi sudah berhasil membuatku jadi tontonan seisi kafe. Adegan ketika aku ditinggalkan juga mengundang raut kasihan. Kurang dramatis apalagi memangnya?
Ini bukan waktu dan tempat yang tepat untuk menangisi bajingan yang membuangku. Aku bersumpah ini penghinaan yang terakhir. Nggak akan ada lagi kesempatan untuknya, meski dia merangkak atau menyembah kakiku. Amarahku menggelegak sampai ingatan tentang masa-masa kebersamaan kami berkelebatan di depan mata.
Sial, sial! Apa aku yang terlalu menyukainya hingga alam bawah sadarku selalu meromantisasi setiap interaksi kami, padahal sebetulnya hanya aku yang merasa demikian?
Sebelum aku menyadari apa yang kulakukan, jariku sudah menggulir panggilan terakhir di ponsel dan menekan nomor Rex. Dia langsung terhubung setelah dering kedua.
"Rexy." Suaraku tercekat.
Dia nggak langsung menjawab. Sepertinya dia perlu waktu untuk menyadari bagaimana suasana hatiku saat meneleponnya.
"Di mana?" Singkat, padat, dan jelas.
Aku menyebutkan nama kafe tempatku dicampakkan.
"Lima menit lagi nyampe." Disusul suara pintu mobil ditutup terdengar samar.
Tadi siang dia sempat memberitahuku tentang rencananya malam ini untuk pergi ke Lancelot, klub malam eksklusif yang lokasinya nggak jauh dari kafe yang kudatangi. Tiba-tiba aku jadi merasa nggak enak karena mengganggu waktunya bermain. Rex selalu sibuk sepanjang hidupnya. Aku nggak mau merusak hari liburnya yang jarang-jarang ini dengan masalahku.
"Just wait for me."
Aku tidak sanggup menyahut lantaran khawatir air mataku tumpah kapan saja. Alhasil, aku hanya menggumamkan 'hmm' sebelum menutup telepon.
Segera saja kubereskan barang bawaanku dan membayar minuman yang nggak sempat kuminum, dan makanan yang nggak sempat kusentuh. Setelah itu aku beranjak keluar dari kafe untuk menunggu Rex datang.
Tepat lima menit kemudian, cahaya terang dari headlamp Aston Martin yang kukenal mengenaiku. Aku memalingkan wajah agar pengemudinya nggak langsung melihat bagaimana rupa kacauku malam ini.
Cowok berambut ikal yang tingginya hanya dua senti di atasku turun dari kursi pengemudi. Dia berdiri di sebelah mobil, menunggu. Sedangkan aku berdiri canggung selama beberapa waktu demi agar bisa menguasai diri. Tingkahku saat ini mirip seseorang yang tertangkap basah habis mencuri. Kuusap lenganku layaknya orang kedinginan, enggan menatapnya.
"Come here, sis."
Menjawab undangannya, aku berjalan cepat menuju lengan Rex yang terbuka lebar. Kusembunyikan wajah di bahunya, lalu isakanku berhasil lolos. Kurasakan dadanya bergerak saat ia menghela napas.
"Another brutal break-up?"
"It's inevitable," bisikku.
"Ayolah, bajingan itu enggak layak dapat air matamu," dumalnya seraya menepuk-nepuk punggungku. Bisa kubayangkan wajahnya yang mengernyit saat mengatakan itu.
"Just shut up, Rex." Tanganku melingkari tubuhnya. Rex membenci kontak fisik, meski dengan keluarga. Kalau bukan karena patah hati, dia pasti risi menyentuhku. Shame. Padahal aku suka memeluknya.
Aroma harum yang kuhirup dari baju Rex membuatku lebih tenang. Rex jarang pakai parfum. Dia menaruh kepercayaan pada Downy sebagai pengharum semua pakaiannya. Dari celana dalam sampai setelan jas, semuanya bau Downy. Sejak kecil, beginilah baunya. Mengingatkanku pada rumah.
"I'm definitely telling Ramon."
"Jangan!" Kulepaskan pelukanku darinya dengan raut horor.
"Too late!" Dia mengangkat ponsel yang layarnya menunjukkan pesan udah dikirim. "Ramon minta konfirmasi kalau kalian betulan putus. Eww!" Rex menarik ujung hoodienya untuk melihat noda basah yang kubuat. "Ini ingus?"
Aku menggeram kesal. Jika Ramon tahu, maka seluruh anggota keluarga juga akan tahu. Ada alasan mengapa aku menghubungi Rex daripada Ramon yang jelas-jelas lebih dewasa daripada kami. Rex jarang bicara, sedangkan Ramon mirip ember bocor. Di saat-saat aku butuh support begini, Rex malah memilih untuk mengabarkan perpisahanku dengan calon tunanganku pada si ember bocor.
"Harus banget ngasih tahu Abang?"
"Menghemat waktu. Lebih praktis." Rex bersungut-sungut karena masih mengira noda basah di bajunya ditinggalkan oleh ingusku. "Apa alasannya kali ini? Against childfree?" tanyanya seraya menyimpan ponsel ke kantong hoodie. Rex menyisir rambut ikalnya ke belakang dengan tangan. "Kamu terlalu liberal buat cowok Indonesia, sis."
"Menurutmu, aku harus nyari cowok bule?" Alisku terangkat. Kesedihan yang tadi kurasakan nggak terlalu terasa menyengat lagi.
"Well, I have some friends back in Massachusetts."
"Ugh, those nerds?" keluhku.
Rex mengangkat bahu. "Mereka alumni MIT. Separuh introvert, separuhnya lagi anti sosial. Dijamin enggak akan selingkuh atau suka anak-anak."
Tawa kecil lolos dari mulutku. Inilah yang kusukai dari Rex. Di saat-saat tertentu, dia bisa melontarkan lelucon kering yang menghibur, meski dia sendiri nggak berniat sama sekali untuk menghibur.
"Dan mereka lebih liberal daripada filsuf modern," sambung Rex. "Sekadar informasi, Raj, Jordan, dan Abimana nggak termasuk dalam bursa yang memenuhi syarat." Dia bergidik membayangkan teman-teman terdekatnya punya hubungan romantisme denganku.
"Mungkin maksudmu mereka enggak peduli apa pun selain bahasa pemrograman yang bisa mereka pake buat berkomunikasi dengan pacar robot atau Artificial Intelligence?" pancingku. Selain itu, aku punya peraturan tak tertulis untuk tidak mengencani siapa pun kenalan anggota keluarga. Alasannya sederhana. I don't want my dates hear shits about me, unless I tell them myself.
Alis Rex bertaut. "AI punya algoritma kompleks yang bertujuan untuk membantu umat manusia-"
"Yes, yes..." Aku segera memutari mobil dan masuk ke kursi penumpang sebelum Rex larut dalam khotbah tentang teknologi, bahasa pemrograman, cyber security, aplikasi, atau software-software buatannya yang tidak kumengerti.
Dia menyusulku masuk ke mobil. Tampangnya masih merengut. Sambil memasang sabuk pengaman, dia tetap menggerutu. "Suatu saat kamu bakal nangis terharu karena nyaksiin inovasiku meraih Turing Award di acara Nobel!"
Aku mengulum senyum. "Iya, Rexy. Kakak tunggu undangan kehormatannya."
Dia mendengkus, kemudian menyalakan mesin, perlahan melajukan Aston Martinnya meninggalkan area kafe. Kuperhatikan warna kuku-kukunya yang dicat matte grey dilapisi top coat memantulkan cahaya dari lampu jalan.
Adikku ini nyentrik sejak kecil. Dia nggak segan mengenakan apa pun yang menggelitik sisi maskulin laki-laki mana saja yang melihatnya. Dia suka pakai kuteks, lip balm (demi kesehatan bibir), serta nggak jarang pakai baju atau sepatu warna mencolok seperti merah muda atau kuning. Alisnya tebal, bulu matanya lentik, kulitnya lebih flawless dari cewek mana pun yang kukenal, dan dia suka aksesoris. Maksudku, sangat menyukai aksesoris.
Kuperhatikan penampilannya malam ini. Kombinasi hoodie merah muda, jeans, anting, kalung rantai, gelang, dan cincin yang kurang serasi. Kurasa dia asal pasang apa yang bisa diraihnya dari wadah koleksi.
Memang nggak salah aku minta dijemput oleh Rex. Perasaanku berangsur membaik dengan cepat.
"Tadi di Lancelot, 'kan?" tanyaku penasaran.
"Yep. Just about to go when you called me."
"Little early, eh?" Jam bahkan belum menunjukkan pukul sembilan.
"Being around crowds never be my first choice to spend the night."
"Kukira kamu diusir sama bouncer di sana."
Tanpa melirik pun, aku tahu dia sedang memutar bola mata. "Aku salah satu investornya, please."
Sulit menyembunyikan keterkejutanku. "Jadi, rencana investasi yang kamu maksud tahun lalu itu Lancelot?"
"Kamu punya memori yang bagus, sis. Obrolan tahun lalu pun masih diingat. And, yes. I asked your opinion, though."
"Memang, tapi kamu enggak bilang kalau itu buat Lancelot!" protesku.
"Tahu sekarang atau tahun lalu enggak ada bedanya." Dia mengetukkan ujung telunjuk di atas kemudi saat berhenti di lampu merah. Kurasakan tatapan para pengendara ke arah mobil Rex. Aston Martin bukan kendaraan yang setiap hari ditemukan lalu lalang di jalanan. Rex salah satu dari sedikit orang Indonesia yang memiliki jenis ini. Mobil pertamanya setelah berhasil menjual aplikasi sejenis GPS yang menggunakan navigasi dari satelit dan data dari penggunanya untuk melaporkan kondisi lalu lintas secara real time. Tiga perempat populasi dunia punya aplikasi itu di ponsel mereka, termasuk aku.
Sebenarnya adikku ini orang kaya yang diam-diam suka pamer.
"Tadi ada kumpul-kumpul sesama investor. Aku datang karena terpaksa. Terkadang mereka lebih persuasif darimu," lanjut Rex. "So, back at you."
Kubuang pandangan ke luar jendela saat Rex kembali melajukan mobil begitu lampu berubah hijau. "What about me?"
"Kalian enggak jadi tunangan. Kamu terlanjur resign. Mau tinggal di mana?"
Hal itu baru benar-benar terpikir olehku sekarang. Mau tinggal di mana? Bayar sewa pakai apa? Sedangkan aku udah terlanjur mengajukan resign dari kantor dan resmi jadi pengangguran minggu depan. Rencanaku berantakan semua.
Aku dan pacar -sekarang mantan, menjalin hubungan secara diam-diam selama kurang dari setahun dan kami sepakat sebaiknya aku aja yang resign. Jabatannya lebih tinggi dariku. Gajinya cukup untuk membiayai hidup kami berdua selagi aku mengurus rumah. Aku terbuai oleh bujukannya untuk jadi stay-at-home wife. Namun, gara-gara obrolan tentang anak, semuanya hampir buyar. Seperti sebelum-sebelumnya, pilihan antara punya atau tidak punya anak menjadi deal-breaker dalam hubungan kami. Kemudian terlontar pengakuan kalau ternyata aku bukan satu-satunya. Makin buyar lah semuanya. Aku nggak terima dijadikan wanita cadangan.
"I've been living in that house for years. I'm going to buy it someday." Bulan depan harga sewanya naik tepat di saat aku nggak punya pemasukan untuk diandalkan.
Tidak seperti Rex atau Ramon yang terkenal di kalangan keluarga besar sebagai prodigy sejak kecil, aku hanyalah anak kedua yang menjadi bayang-bayang kesuksesan mereka. Aku senang dengan pencapaian yang mereka raih. Bangga, bahkan. Namun, terkadang, aku resah setiap kali dibandingkan. Apalagi uang yang kudapat selama bekerja bagai butiran pasir jika dibandingkan dengan isi rekening mereka berdua.
"Apa aku pindah ke rumahmu aja, ya?" Pertanyaan itu terlalu tiba-tiba sehingga kepalaku menoleh secepat Usain Bolt berlari. "Kantor baruku lebih dekat dari rumahmu. Kalau bolak-balik apartemenku terlalu jauh." Dia menoleh. "Aku yang bayar sewa sementara kamu nyari kerjaan baru. Atau, lebih bagus kalau kamu kerja di tempatku, deh. Kami butuh orang kompeten buat mengurus perizinan, perjanjian bisnis, dan yang terpenting... ngasih advice tentang kebijakan perusahaan. Kami perusahaan baru, masih ijo banget sama regulasi Indonesia yang terkenal ribet."
Selama Rex bicara, mulutku nggak berhenti megap-megap.
"Masalah gaji nanti bisa diatur. Kami profesional, kok. What do you say, sis?"
"Terus kamu jadi bosku, gitu?" Aku balas bertanya dengan raut tak percaya. "No offense, Little One. Bisnis yang kena campur tangan saudara biasanya berumur pendek."
"Don't call me that!" desisnya menahan kesal. Dia paling benci dipanggil si kecil karena usianya hanya terpaut dua tahun dariku, dan tiga tahun di bawah Ramon. "Dan apa itu tadi? Kamu ngedoain perusahaanku cepet bangkrut padahal baru dapat investasi belasan juta dollar?" Nadanya meninggi.
Perdebatan kami diinterupsi oleh dering telepon dari ponsel Rex. Nama Ramon terpampang di layar.
"Mampus!" gumamku sambil mengipasi tangan di depan leher yang tiba-tiba berkeringat karena prospek diomeli panjang lebar.
"Hallo, Bang?" Selagi menyetir, Rex menyalakan loudspeaker karena tahu obrolan kali ini akan menghiburnya.
"Gianni sama kamu?"
"Iya, nih. Silakan digas, Bang!"
"Gi?"
Aku menggigit bagian dalam pipiku sebelum membalas. "Ya?"
"What the hell are you thinking? Abang kira kamu udah putus sejak family dinner tiga bulan lalu!"
Rex menyeringai di sebelahku.
"Baru sekarang putusnya. Doa Abang kejadian, nih." Kupertahankan nada riang dalam suaraku agar dia nggak makin ngamuk.
"Rexy bilang kamu nangis. Abang nyimpulin kalau kamu jadi pihak yang diputusin." Kemudian suaranya menggelegar. "Siapa dia berani-beraninya berbuat begitu?! Bajingan tengik macam dia bahkan nggak worthy buat kamu tangisin, Gi!"
"Sebenarnya Abang marah karena aku diputusin atau karena tahu kami masih jalan sampai tiga bulan kemudian?" tanyaku jengah.
"Both!" hardiknya.
Apalagi kalau Ramon tahu kami hampir bertunangan dan aku terlanjur mengundurkan diri dari kantor. Aku bergidik membayangkannya. Demi menghindari ledakan amarah yang lebih besar, kucubit paha Rex supaya dia tutup mulut. Terkadang ucapannya seperti percikan bensin dalam bara api.
Rex mengernyit kesakitan.
"Dia nggak sopan, daya juangnya rendah, nggak punya visi masa depan, plin-plan, Abang sampai heran apa yang kamu lihat dari dia! Rahangnya aja nggak simetris, tapi sok ganteng!" Di mata seorang dokter bedah plastik sepertinya, fitur wajah yang kurang seimbang menjadi hal yang amat mengganggu.
"He's nice. Was nice." Aku meringis karena jawabanku sendiri, seakan lupa kalau beberapa saat lalu aku diputusin secara sepihak gara-gara memilih childfree dan dia mengakui kalau aku cuma salah satu pilihan untuk dijadikan calon istri. Aku menghela napas pelan. "Abang lupa kalau usiaku ini udah bukan usia keemasan buat milih-milih jodoh?"
"Screw that! Nggak ada yang salah sama usiamu! Kamu berhak dapat laki-laki yang layak! Yang jauh lebih baik dari dia!" Kemudian terdengar samar-samar suara perempuan. Aku yakin itu suara perawat atau asisten di klinik kecantikan yang ia kelola. Mungkin hendak mengabarkan kalau sudah saatnya Ramon pulang karena klinik harus tutup. Ramon dan Rex berbagi hobi yang sama. Kerja terus sampai tipus.
"We're not done talking about this, Gianni. Abang ada pasien. Nanti Abang telepon lagi."
Tiba-tiba telepon ditutup. Dan aku amat bersyukur karenanya.
"Very lucky!" dengkus Rex. Aku merusak kebahagiannya, tentu saja.
"Very lucky indeed," cibirku.
"Kelihatannya kamu udah baik-baik aja sekarang."
Aku melipat tangan di depan dada. Entah apa maksudnya barusan.
"Tandanya kamu enggak beneran cinta dia, tuh," pungkas Rex.
"Jangan sok tahu, deh! Tahu apa kamu tentang cinta?"
Dia berdecak pelan. "Cinta itu perasaan semu bersifat delusional yang bikin orang-orang hidup dalam gelembung ekspektasi."
"Cih. Bahasamu ketinggian."
"You know what I'm talking about." Tak ada candaan dalam suara Rex. "None of us have been through that." Dia menyeringai kecil. "Makanya kita tetap waras."
"Belum cinta dia bukan berarti aku berharap enggak akan cinta dia. Selama hubungan kami berjalan, aku memupuk perasaan itu, Rex. Dengan harapan ketika menikah nanti, perasaan itu bisa berkembang dengan sendirinya."
"Lah, dikira padi kali, ya?" gerutunya. "Untung udah layu sebelum berkembang. Sekali lagi. Dia enggak layak."
"Begitu pun dengan semua cowok yang pernah kuajak ke rumah. Enggak kamu, enggak Ramon, ada aja komplainnya. Bagi kalian, nggak ada cowok yang layak! Kalau semuanya nggak layak, terus aku sama siapa? Kambing?"
"Soalnya seleramu payah. Selalu pecundang yang dibawa ke rumah. Kayak nggak ada cowok lain aja!"
"Kata si jomlo yang anti sosial," balasku setengah menggerutu pula. "Bodoh banget aku ini karena telat nyadar kalau aku cuma pilihan cadangan." Kali ini aku mengatakannya dengan lebih keras sambil mengepalkan tangan di atas pangkuan.
"Kalau lagi senggang dan bosan, biasanya aku bikin virus." Rex memecah kesunyian di mobil setelah beberapa saat.
Kernyitan di dahiku cukup dalam sampai aku bisa merasakan wajahku terlipat seperti kertas origami. Rex menoleh sekilas.
"Virusku bisa menjangkiti perangkat apa pun. Merusaknya dari dalam sampai bikin komputer tercanggih jadi puing metal nggak berguna." Ucapannya mengindikasikan sesuatu.
Sesuatu yang berbau ilegal berujung tindakan kriminal.
"One word from you, I would tear down the whole company and blame it to one person. Consider it a little favor."
Aku menghela napas dalam-dalam. Terkadang, sisi Rex yang ini membuatku kepikiran dia akan berakhir di penjara suatu saat.
"One word from me, and it is a no. Karma is a bitch, dear brother. It will backfire on us. Save your energy."
"Your loss, then." Dia mengedikkan bahu santai.
Otakku bekerja untuk menjauhkan ide itu dari kepala Rex, sehingga aku perlu topik lain. "Tentang tawaranmu tadi. Aku enggak mau kerja di Olympians. Hidup serumah sama kamu aja udah bikin sakit kepala, apalagi kalau kerja jadi bawahanmu!"
"Ambil positifnya. Kamu dapat gaji lebih tinggi, bisa bayar sewa, dan nggak perlu pindah. Bukannya kamu suka nongkrong di kafe dekat rumahmu itu?"
"Tetap enggak, Rexy!" Biasanya aku teguh pada pendirianku.
Namun, sepuluh menit kemudian, kami membicarakan bagaimana aku akan menghias ruangan baru yang akan kutempati di gedung Olympians.
Payah, memang.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top