02 | Phone Number
Ini ide yang sangat buruk.
Berbagai skenario dan monolog bermunculan di kepalaku. Kebanyakan isinya tentang sumpah serapah dan mengomeli diri sendiri karena membiarkan orang asing tahu tempat tinggalku. Bagaimana kalau dia pembunuh berantai? Bagaimana kalau dia perampok? Bagaimana kalau dia punya kepribadian ganda seperti Billy Milligan?
Atau bagaimana jika tujuannya hanya bersenang-senang denganku?
Bukannya keinginan kami mutual?
Aku mendesah pelan. Tentu saja otak mesumku lebih dominan.
Ini hari ulang tahunku. Orgasme sampai melihat bintang-bintang bisa jadi hadiah untuk diriku sendiri. Itu pun kalau dia sejago yang kubayangkan.
Kami berjalan bersisian tanpa ada yang bicara. Dia sibuk dengan pikirannya. Aku sibuk dengan dilemaku. Untungnya rumahku enggak jauh dari kafe. Cuma lima menit jalan kaki. Aku menyuruhnya parkir kendaraan di kafe aja supaya tetangga enggak ada yang curiga ada cowok bertamu ke rumahku malam-malam. Kan enggak lucu kalau kami digrebek pas lagi seru-serunya bercocok tanam.
"Ruwi?"
Aku menoleh ketika mendengar namaku dipanggil.
"Van?" Kurasa radar Vani sebagai pemeran utama berfungsi dengan baik. Biar kutebak. Cowok di sebelahku akan jatuh cinta pada pandangan pertama padanya. Kehadiranku sebagai penggerak plot pertemuan mereka akan tersisihkan begitu saja.
Kurasakan Noah bergerak. Dia mendekatkan wajahnya ke telingaku, lalu berbisik. "Aku mau pergi ke minimarket sebentar. Ada yang harus dibeli."
Bisikan Noah barusan bukan hanya menggerakkan bulu-bulu di tengkukku, melainkan juga pusaran gairah di bawah perutku. Damn, sepertinya aku benar-benar horny malam ini. Akan kusalahkan masa ovulasi bulan ini.
Tunggu dulu. Memangnya dia enggak tertarik kenalan sama Jenaya Vanilla Hadid yang jelas-jelas jauh lebih segalanya dariku? Dia itu bodoh atau apa?
"See ya!"
Kurasakan puncak kepalaku disentuh oleh Noah sebelum dia pergi ke minimarket yang hanya tutup saat bangkrut. Lokasinya di seberang jalan. Dia bisa melihatku dari sana.
Di saat yang sama, Vani berjalan menghampiriku. Tatapannya enggak lepas dari sosok Noah. Bukan salahnya. Noah memang se-good looking itu. Dan dia akan jadi hadiahku malam ini.
"Ada apa, Van?" tanyaku tanpa basa-basi. "Enggak biasanya datang jauh-jauh tanpa ngabarin."
"Aku udah kirim pesan ke kamu, tapi centang satu."
Kurogoh tanganku ke dalam tas jinjing untuk memeriksa ponsel yang mati total. "Sorry, baterainya abis. Jadi, ada apa?" Bibirku menyunggingkan senyum penyesalan.
"Aku lupa tadi siang mau ngasih ini." Dia memberikan sebuah paper bag berlogo fashion store terkenal. "Pak Haikal ngasih buku itu buat kubaca."
Buku bersampul keras dengan judul Set Boundaries, Find Peace kukeluarkan dari paper bag. Ini buku keluaran tahun 2021. Udah masuk ke wish list-ku, tapi belum sempat kubeli. Selalu ada buku fantasi baru yang harus dikoleksi.
"Terus kenapa?" tanyaku bingung.
"Aku tahu kamu suka baca buku. Bacakan buatku, ya?" Vani menghela napas berat. "Aku enggak enak kalau nolak pemberiannya. Dia pasti pengen tahu aku udah baca atau belum. Terus nanya isinya apa."
"Jadi, kamu mau aku bikin review singkat, gitu?" Untuk topik obrolan mereka.
Vani mengangguk. "Mau, ya?"
Aku menggaruk pelipis. "Ya... boleh-boleh aja, sih."
"Kalau kamu suka, ambil aja bukunya. Aku cuma butuh review dari kamu. Kalau bisa secepatnya. Nerdy kayak kamu pasti cepet 'kan baca buku tebel begini?"
"Hmm." Kepalaku mengangguk, enggak terlalu fokus padanya.
"Kamu emang paling bisa diandalkan." Vani tersenyum lebar. "Cowok tadi siapa? Pacar?" Akhirnya, radarnya terusik. "Kok enggak dikenalin?"
"Dia temen dari kuliah. Mau ngambil barang yang ketinggalan di rumah." Lisanku berbohong dengan lancar. Ya, kali aku ngomong jujur. Bisa dicap cewek murahan. Walau pun enggak salah juga.
"Temen kuliah atau gebetan?" goda Vani.
Aku hanya meringis kecil. "Nanti kukabari kalau dia ngajak pacaran," timpalku sambil lalu. "Cuma bercanda, Van. Kami cuma temen," ralatku kemudian.
"Kalau memang teman, boleh dong dikenalin? Aku hopeless cari jodoh, nih."
Lagi-lagi aku menggaruk kepala. Bingung mau jawab apa.
"Baby?" Suara Noah terdengar diikuti dengan sentuhan di punggung yang perlahan turun ke bawah sampai ke pinggang. "Belum selesai?" tanyanya lagi. Aku menangkap kesan kalau dia sedang berpura-pura jadi pacarku. Entah apa tujuannya.
"Hai, aku Vanilla." Vani mengulurkan tangannya lebih dulu. "Temen kantornya Ruwika."
Noah membalas jabat tangan itu dengan singkat. "Noah."
"Ru bilang kalian temen kuliah."
Noah kembali menatapku. Kali ini lengkap dengan alis terangkat satu. "Temen kuliah, ya?" Ada kilat jenaka pada sorot matanya.
"Ini aja 'kan, Van?" Keinginan untuk mengusir Vani belum pernah terasa sebesar ini. "Udah malam. Kami duluan, ya?"
"Ah, oke. Makasih bantuannya, ya, Ru?" Syukurlah, dia mengerti kodeku. "Noah, nice to meet you."
Noah mengangguk samar.
"Hati-hati di jalan!" Aku melambai.
Akhirnya dia berbalik pergi. Setelah punggungnya menghilang di belokan, aku mendesah lega. Noah masih melihatku dengan kilat geli di matanya.
"What?" tanyaku.
"Nothing, Ma'am."
***
"Welcome."
Kuletakkan kunci ke dalam mangkuk di atas kabinet foyer. Dapat kulihat apresiasi dari raut Noah ketika ia melihat sekeliling. Aku bangga dengan rumah minimalis bergaya Skandinavia ini. Statusnya masih rumah sewaan, tapi aku berniat membelinya suatu saat. Rumah ini milik sahabat baik mamaku yang lama tinggal di luar negeri. Aku merawatnya sepenuh hati seperti sangkar milik sendiri.
Noah ikut melepas sepatu setelah melihatku menyimpan heels di rak dan menggantinya dengan sandal rumah yang biasa dipakai Rex.
"Beautiful house," pujinya.
"Thank's," sahutku.
"Nggak ada foto?"
"Not fond of pictures." Aku berkata jujur. Foto atau pun gambar enggak pernah jadi pilihanku untuk memperindah ruangan. Biasanya aku fokus pada tanaman hias. "Nggak biasanya aku nerima orang asing masuk ke rumahku. Tapi, malam ini pengecualian. Ini satu-satunya hari di mana aku membiarkan penjagaanku lengah dengan mengundang orang asing yang mungkin adalah Billy Milligan abad ke-21."
Noah memasukkan kedua tangannya ke saku belakang celana.
"Don't worry, Ma'am. I'm not Billy Milligan wannabe, I promise."
"Glad to hear," gumamku.
"Bukannya mau mengeluh, tapi setahuku di sekitar sini ada hotel."
"Aku mau merayakannya di rumah."
"Merayakan?" Alisnya terangkat satu.
"It's my birthday."
Noah tampak terkejut. "Oh, I don't know what to say."
Aku mengibaskan tangan. "Boleh aku mandi sebentar? Aku baru pulang kerja. Gerah. Kamu bisa menunggu sambil nonton TV atau baca buku. Enggak akan lama." Aku menunjuk rak dinding yang berisi buku-buku koleksi pribadiku.
"Tiga puluh menitnya dimulai sejak kapan?" Noah bertanya dengan nada polos.
Aku enggak tahan buat enggak ketawa. "You'll know when to start," jawabku. "Sebagai informasi aja, penampilanku enggak akan secantik ini setelah mandi nanti." Maksudku, tanpa make up, aku sehambar tempe mentah. Aku ragu dia tetap tertarik padaku, meski aku harum semerbak sabun mandi.
"Biar aku yang nilai sendiri nanti. May I?" Dia minta izin untuk mengambil salah satu buku dari rak. Aku mengangguk mempersilakan.
Kuhabiskan tiga puluh menit untuk luluran, mandi, keramas, bercukur, memilih wewangian, dan baju yang bisa meningkatkan rasa percaya diriku. Semuanya serba cepat. Dadaku penuh oleh antisipasi. Cukup lama aku mematut diri di depan cermin kamar mandi sambil mengeringkan rambut sebelum memutuskan keluar dengan hanya berbalut bathrobe. Ternyata hanya itu yang paling praktis.
Noah mengangkat kepala dari buku yang dibacanya begitu mendengar pintu kamar mandi terbuka. Senyum puas tersungging di bibirnya ketika melihatku.
"Just as beautiful as always."
Aku tersipu. Dia mengatakannya seperti orang yang udah sering melihatku saja.
Kepercayaan diri yang susah payah kubangun malah mencair di bawah kakiku, membentuk kubangan yang mencegah kakiku bergerak ke mana-mana. Alhasil, Noah lah yang mendatangiku. Sorot matanya menggelap setiap kali melangkah ke arahku.
"Good reading, Noah?" tanyaku.
"Was having my moment before you walked in."
Dia mengulurkan tangannya ragu-ragu. Aku mengangguk untuk memberi izin. Sentuhannya bagai sengatan kecil di kulitku yang lembab. Tangan yang lain melingkari pinggangku. Dia berdiri amat dekat sampai aku bisa mencium aroma campuran seperti citrus, rempah, dan tembakau menguar dari tubuhnya. Aromanya sangat subtil saat membelai hidungku. Aku belum pernah mencium wewangian ini di mana pun. Hanya Noah.
Payudaraku menekan dadanya yang keras dan padat. Entah aku berhalusinasi atau enggak saat melihat nadi di lehernya berdenyut. Tubuhku memancarkan panas. Begitu pun dengan Noah.
"On the bed?" Nadanya rendah dan serak. Udara di sekeliling kami pekat oleh gairah. Kupejamkan mataku untuk meresapinya. "I'll take your silence as a yes." Bisikan Noah nyaring di telingaku.
Noah menggunakan bahunya untuk mendorong pintu yang setengah terbuka di belakang kami. Selama periode itu, sentuhannya enggak pernah lepas dariku. Kami melangkah dengan sembrono memasuki kamar gelap.
Ketika bibir kami bertemu, hal aneh terjadi. Gelombang panas yang sejak tadi berdenyut dengan cepat menyebar di dalam diriku. Dimulai dari bibir yang entah kapan jadi sensitif, kemudian menggelitik ujung payudaraku sebelum bergerak kian rendah lagi.
Napas Noah beraroma kayu manis, espresso, dan mint. Kombinasi yang memabukkan. Bibirku bergerak sedikit terbuka. Semuanya terasa alamiah. Noah menyambutnya dengan menyusupkan lidahnya ke dalam. Saat lidah kami bersentuhan, Noah mengeluarkan suara seperti geraman kecil yang membawa getaran ke sekujur tubuhku. Desahan tertahan di tenggorokanku. Noah melepas ciuman kami. Tak lama. Dia menggunakan momen itu untuk memiringkan kepalanya demi mendapatkan sudut yang ia inginkan untuk memperdalam ciuman kami.
Kaki-kakiku menjelma jadi jeli seketika. Noah menggunakan satu lengannya yang kuat untuk menahanku tak merosot ke lantai. Tangan yang lain mengurai simpul bathrobe-ku dalam kecepatan mengagumkan.
Sentuhan dari telapak tangannya yang kasar di permukaan kulit perutku menambah intensitas kenikmatan yang sudah kurasakan sejak tadi. Ujung jarinya bergerak ke atas, membelai sisi permukaan payudaraku yang bulat. Aku merinding di mana-mana.
Bibirnya meninggalkan bibirku dalam kehampaan. Tak lama kemudian, kurasakan jejak panas yang ditinggalkan mulutnya di sekitar rahangku, turun ke leher, dada, sampai ia membungkukkan kepala untuk mengulum puting payudaraku yang berdiri tegak. Sekujur tubuhku gemetar dalam kuasanya. Ini bahkan lebih panas dari ekspektasiku. Aku menjerit tertahan ketika ia mengisap putingku secara tiba-tiba. I see stars, gleaming everywhere.
"Noah."
"Hmm?"
Di saat bersamaan, bathrobe meluncur turun membentuk gumpalan di sekitar kakiku. Lidah Noah sibuk menjelajahi setiap jengkal kulit payudaraku secara bergantian. Kerakusannya membuatku tersenyum.
"Not fair. Let me undress you."
Jari-jariku menarik ujung kausnya ke atas sampai lepas. Aku terkesiap oleh pemandangan di depanku. Jemariku bergerak mengapresiasi setiap jengkal kulit yang melapisi otot-otot liat. Hadiahku tahun ini ternyata paket sempurna.
"Don't stop touching me," ujarnya pelan seraya membawa tanganku dan meletakkannya tepat di atas tonjolan keras di antara kami. Tanganku bergerak secara naluriah untuk mengusapnya. Dia menghadiahiku sebuah geraman lain, lalu tangannya mencekalku, menahanku untuk bergerak lebih jauh. "Fuck. Bad idea, Baby."
Aku tertawa kecil. "Ada yang enggak mau selesai cepat."
"Setengah jam yang enggak akan kusia-siakan," timpal Noah setengah menggerutu. Ia mendorongku pelan sampai jatuh telentang di atas ranjang. Tangannya cekatan melepas ikat pinggang dan menurunkan celana.
Selain mantan pacar yang terakhir kutiduri lima tahun lalu, aku enggak punya pembanding untuk ukurannya yang... menakjubkan. Aku memuji diriku sendiri dalam hati karena menjadi penyebab dia berdiri setegak itu.
"Umm... Noah?"
"Yes, Ma'am?"
Aku membasahi bibirku yang kering, memaksa mataku naik dari pemandangan yang terpampang di depanku.
"Aku enggak punya kondom," ujarku.
"Aku punya. Isi tiga." Dia merogoh saku celana untuk menunjukkannya. "Tadi kubeli di minimarket."
"Well prepared, aren't you?"
"Not really. Aku enggak berencana tidur denganmu di pertemuan ke dua. Ternyata yang terjadi malah di atas ekspektasiku." Ia menyeringai kecil. "Sekarang, buka kakimu untukku."
Aku menurut. Sorot lapar Noah terpaku di antara kakiku.
"Sweet Jesus, you're unbelievably beautiful." Bisikannya nyaring di kamar sunyi ini. "Permission to proceed, Ma'am?"
Kepalaku mengangguk penuh antisipasi. Tanpa sadar aku menggigit bibirku sendiri. Melihatnya merangkak di antara kakiku cukup membuat gairahku makin mendidih. Bibirnya yang basah meninggalkan kecupan ringan di masing-masing kulit betisku, bergerak naik ke atas sampai ke paha bagian dalam.
Kudengar dia terus menggumamkan apreasiasinya pada tubuhku. Mataku berkaca-kaca karena haru. Belum pernah ada yang menghargai tubuhku seperti Noah. Bahkan terkadang aku benci tubuhku sendiri karena ketidak sempurnaannya.
Ujung kakiku melengkung ketika Noah menggigit ringan paha bagian dalamku menggunakan bibirnya.
"Is this okay?"
Tanpa aba-aba, jilatan lidahnya pada lipatanku membuat punggungku melengkung ke atas. Sentuhannya bagai arus listrik yang membuatku mendesah nyaring. Napasku tercekat. Bagian dalamku berdenyut.
"So sensitive," gumam Noah penuh persetujuan.
Ketika ibu jarinya mengusap klit-ku ke atas dan ke bawah, gelombang orgasme pertama menerjangku sampai aku harus menggigit bibir supaya enggak menjerit. Noah enggak memberiku jeda karena pada saat berikutnya, bibirnya membungkus klit-ku selagi satu jarinya masuk ke dalam.
"Shit, so fucking tight. And so ready for me."
Tanganku bergerak ke bawah untuk menyentuh kepalanya, menyisir rambutnya yang halus di antara jari-jariku. Menahannya tetap di tempat.
"Noah," desahku.
"Yes, Baby. Come for me again. Scream for my name."
Dia membangun kenikmatanku secara perlahan, bergerak tanpa buru-buru, yang justru membuatku gila. Orgasme berikutnya datang menerjangku. Pandanganku kabur oleh air mata. Aku terengah oleh kenikmatan yang membutakan.
Noah merangkak ke atas. Memagut bibirku sehingga aku merasakan diriku sendiri. Tabu, tapi aku menyukainya.
"Kamu cewek terseksi yang pernah kutemui," bisiknya di depan bibirku.
Aku gagal mencerna perkataannya karena kabut orgasme belum sepenuhnya netral dari kepalaku.
Kudengar suara robekan kertas pembungkus. Tak lama setelah itu, Noah memasukiku. Kenikmatannya sulit kugambarkan dengan kata-kata. Yang pasti, Noah mendesis ketika kuku-kukuku menekan kulit punggungnya yang bidang.
"Sweet Baby Jesus!" Aku enggak tahu dia mengumpat atau merapal doa. "I almost thought you're a virgin 'cause you're tighter than-"
"Noah!" Aku enggak sanggup mendengar ucapan joroknya.
Dia menahan geraman. Tubuhnya enggak bergerak. Mendadak lebih kaku dari balok kayu. Aku membutuhkan friksi, sehingga dengan penuh kesadaran kugerakkan pinggulku untuk memotivasinya.
"Baby, please... give me a second to adjust." Dia terdengar amat tersiksa.
Aku mengerang putus asa. Bagian dalamku mencengkeramnya ketat sehingga dia ikut mengerang frustasi.
"Fuck, do that again and we finish sooner!"
Noah memejamkan matanya. Bulir keringat di dahinya berjatuhan mengenai wajahku. Napas kami menderu bersamaan. Selama beberapa detik, kami diam enggak bergerak.
"Good girl," puji Noah ketika ia membuka mata, lalu tersenyum. Dia menundukkan kepalanya untuk melumat bibirku. Tangannya menahan pinggulku di tempat selagi ia bergerak dalam tempo cepat. Saat dia menghujam G-Spotku, aku melenguh tak terkendali.
"Baby, I'm close."
Dia membiarkanku sampai lebih dulu dengan menekan klit-ku menggunakan ibu jarinya yang terulur di antara kami. Aku merintih kecil setiap kali ia mengusapnya dengan lembut. Rasanya berkali-kali lipat lebih intens.
Begitu aku meraih bintang-bintang, dia menyusulku tak lama kemudian.
Noah menjatuhkan tubuhnya di sebelahku. Dada kami bergerak naik turun untuk mengatur napas. Bulir air mata jatuh di setiap ujung mataku. Noah menghapusnya. Gestur yang membuat dadaku terhimpit karena perasaan melankolis.
"I don't know why you're crying, but... happy birthday, Ru." Dia mengecup kelopak mataku yang lembap.
Aku mengangguk, masih berusaha mengusir kabut putih yang menyelubungi kesadaranku. Saat sistemku kembali netral, baru lah kurasakan semua sendiku pegal. Terutama bagian paha. Tapi, aku enggak akan protes.
Noah melepas kondom dan membersihkan diri di kamar mandi. Tak lama, dia kembali ke kamar dengan membawa handuk yang sudah dibasahi air hangat. Dia membersihkanku dengan telaten. Selagi dia melakukannya, aku sibuk menahan air mata. Malam ini resmi jadi malam ulang tahun terbaikku.
Usai membersihkanku, dia naik ke tempat tidur. Aku menggeser punggungku untuk bergerak mendekatinya. Noah enggak protes. Malah, dia membuka lengannya lebar-lebar untuk memelukku.
"Gimana tiga puluh menitnya?" tanya Noah.
Kami sama-sama tahu kalau pergumulan kami berlangsung lebih dari tiga puluh menit. "Not bad." Aku menyeringai di atas dadanya, mendengarkan ritme jantungnya yang berdegup teratur.
Kami jatuh tertidur dalam posisi berpelukan. Aneh, tapi nyaman.
Entah berapa lama aku tertidur. Rasanya baru sedetik berjalan tanpa mimpi. Tiba-tiba kurasakan bahuku ditepuk pelan berkali-kali. Namaku dipanggil seseorang.
"Ru?"
Aku mengerjap dan mengangkat kepala dari posisi tengkurap. "Yeah?" Aku masih belum sadar siapa yang mengajakku bicara.
"Maaf, aku harus pergi."
"Don't go!" tanganku terulur untuk menahan pergelangan tangannya yang besar dan keras. "Kamu siapa, ya?"
"Noah. I really gotta go now."
Padahal matahari belum menyingsing. "Masih gelap!" rengekku.
"You promised me your phone number."
Aku mengerjap sekali lagi. Ada orang asing di kamarku. Yang mengherankan, aku enggak merasakan adanya bahaya. Setelah penglihatanku beradaptasi pada kegelapan kamar, akhirnya aku bisa melihat dengan jelas siapa orang asing yang mengajakku bicara. Sekarang, aku ingat semuanya.
Noah berlutut di sebelah ranjang dengan baju lengkap, siap pergi. Tatapannya setengah memohon.
"My phone number?" ulangku dengan suara lebih jernih.
Noah mengangguk. Ia mengeluarkan ponselnya untuk diserahkan padaku, tapi aku membiarkan ulurannya tertahan di udara.
"Hell, no!" sambungku kemudian.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top