Tim Siliwangi

Lama saya tidak update cerita ini.. maaf karena mood menulis yang lagi jelek dan kesibukan yang lumayan :D

Untuk merefresh... Flash back...

....Dia adalah Sang Ahli dan itu bukan hanya sekedar julukan. Dia mampu menggunakan hampir semua jenis senjata api, juga bahan peledak. Namun yang membuatnya mematikan adalah insting dan strategi membunuhnya.

"Mechine Gun!" teriak salah satu Polisi.

Dor! Dor! Dododododor!! Dodor! MachineGun M2 50 Caliber memuntahkan peluru bertubi-tubi dari moncongnya. Bunga api semarak di badan mobil polisi dan mereka yang di belakangnya meringkuk, menempel aspal, berharap butiran peluru itu tidak bersarang. Namun akhirnya hanya mampu berdoa karena mobil mobil itu tak mampu melindungi. Peluru-peluru itu terlalu tangguh dan mudah menembus badan mobil hingga terkoyak. Aaaaaaarrrg! Teriak Prita, dipelukan Sersan Angga.

Brrrruuuum! Suara mesin Ducati itu meraung kencang.

Ducati itu melaju, menuju jalan yang terputus. Kecepatannya semakin dipacu dan dia melesat, terbang melewati jalan yang tiada.

"Kamu tau tentang detonator?" tanya Alex

DUAR!!

***

Bergemuruhhentakan-hentakan sepatu, pintu rapuh itu didobrak hancur. Dalam sekejap, beberapapria berseragam serba hitam, berdiri berjajar dengan laras senjata mengintai

"PadahalSaya ingin sekali menembak situ punya kepala. Ten Phanton sudah lama dihapuskantoh? Tapi sayang dia katanya ingin bertemu dengan situ hidup-hidup. Itu membuatsaya marah."

Jeremiahmenggeleng, memberikan isyarat pada anggotanya. Dua orang berseragam hitam majuperlahan, penuh waspada. Salah satunya, sambil menggenggam borgol besi,bergelantung....

***

Suasana Polda Metro cukup ramai siang itu. Mereka yang berseragam coklat lalu-lalang di seantero gedung yang lumayan luas. Beberapa orang tampak sedang sibuk mengetik dan di depannya beberapa sipil berantai besi, duduk berjajar dengan wajah tertunduk. Sedang di pojok, dekat tangga naik berkeramik putih, beberapa petugas pria terlihat terbahak-bahak, sedang bersenda gurau. Harap maklum, polisi pun manusia, yang tetap butuh relaksasi dari kepenatan tugas. Dan tak kalah ramai, di dekat pintu masuk, di depan meja pusat informasi, terdengar nyaring celoteh yang justru sedang menghardik petugas. Dia seorang tante berambut keriting yang berbicara meledak-ledak, tak terima anaknya digelandang polisi karena dituduh maling ayam. Namun kisah utamanya tertuju pada salah satu ruang meeting, dimana beberapa orang sedang tampak serius berdiskusi.

Dia yang cantik berkuncir kuda, sedang berdiri di hadapan lusinan sosok berseragam. Mereka dari kalangan perwira hingga jajaran Jenderal polisi menyimak diam pada sosok jelita yang sedang berujar, memaparkan laporan di layar yang bersinar. Wulan terlihat tegas, lugas dan percaya diri, menjelaskan informasi intelijen terbaru dihadapan mereka. Tentu saja itu, bukan hal baru buatnya. Bahkan dia sudah pernah berkoar di hadapan majelis setingkat menteri dan pemimpin negara sebelumnya, meski hanya sekali.

Di muka layar yang sedang tersorot, tergambar sebuah bagan dan tulisan 'RED ROSE' berada di kotak paling puncak. "Jadi bisa dibilang Red Rose merupakan kelompok teroris yang sedang menanjak eksistensinya dalam beberapa tahun terakhir ini. Yang tadinya tak setenar berita kelompok Al Qaida maupun kelompok Baret Hitam di Rusia namun sekarang terbalik. Banyak dinas intelijen negara-negara lain yang mulai mengawasi mereka. Berdasarkan beberapa informasi intelijen, saya tidak perlu menyampaikan dari mana sumbernya, merekalah kuasa besar di balik beberapa gerakan kelompok teroris dan kekacauan stabilitas keamanan di beberapa negara. Tak hanya itu, RED ROSE pun disinyalir,turut andil dalam perang dunia kedua."

Samar-samar suara bisik-bisik bergemuruh. Wulan hanya diam sejenak, memperhatikan para pendengarnya. Tombol itu ditekan dan tampilan pun berubah. Sekarang wajah-wajah terpampang di layar. Gambar wajah pria berjanggut dan berkacamata hitam, lengkap dengan baret, sedang tersorot setitik sinar merah.

"Dia bernama Fayyah Fatrinoia," kata Wulan. Gambar di layar berganti dengan sebuah artikel berbahasa asing, lengkap dengan foto-foto tentara bersejata. "Merupakan seorang jenderal atau tepatnya mantan jenderal sebelum dinyatakan bersalah dan terbukti turut serta atas gerakan pemberontakan di Albania. Tapi setelah gerakan itu berhasil digagalkan, Fayyah sendiri hingga kini tak pernah ditemukan. Dan kabar terbarunya adalah dia merupakan pimpinan kelompok Ten Phantom."

Layar kembali memunculkan gambar wajah-wajah sebelumnya. "Mereka sepuluh orang anggota Ten Phantom, tentara bayaran juga merupakan tim aksi dari kelompok Red Rose. Banyak diantaranya yang masih tak teridentifikasi karena gerakan mereka sangat tertutup. Sedang untuk nama-nama mereka pun, diperkirakan sebatas nama samaran atau nama operasi. Rumor mengatakan kemampuan mereka melebihi batas manusia normal. Dan yang membuat saya tertarik saat ini adalah salah satu anggotanya yang berjuluk Mahesa." Wulan menyorotkan pointer ke layar, tepat pada dahi wajah sosok bertopeng. "Mengingatkan saya pada rumor di Jakarta akhir-akhir ini tentang manusia harimau atau manusia bercakar. Karenanya diputuskan agar dilakukan penyelidikan terhadap rumor itu dan lakukan penangkapan jika terbukti ada. Terima kasih saya untuk AKP. Indra Prasetya karena telah menjalankan operasi tersebut sejak dua minggu lalu."

Indra yang duduk di bangku baris terdepan, berhadapan tepat dengan Wulan. Hanya terdiam, seakan tak menanggapi ucapan wanita itu. Nyatanya meskipun operasi yang diminta sudah dijalankan tapi masih tanpa hasil.

"Ten Phantom? Jujur logika saya masih susah menerimanya." Irjen. Suparyono berargumen sambil mengusap-usap dagunya. "Manusia harimau atau mirip harimau? Pasukan bayaran sepuluh orang yang berkekuatan.. super?" dia mengernyitkan dahi.

"Sama halnya orang primitif yang akan mengira pesawat adalah Tuhan pak. Nyatanya sekarang dunia telah maju, teknologi sudah berkembang pesat. Lagi pula kesaksian puluhan orang yang pernah melihatnya tidak bisa kita abaikan, meskipun kebanyakan adalah kriminal. Dan bagi saya, seaneh apapun itu, jika mempertaruhkan keamanan Negara, patut untuk dicoba."

Pada akhirnya Suparyono hanya bisa menggut-manggut diam. Jawaban perempuan muda itu cukup mengena ke nalarnya. Bagaimanapun keselamatan masyarakat memang tak boleh terabaikan.

"Operasi pengkapan, patroli rutin sudah dijalankan," tiba-tiba Indra berujar sambil menatap Wulan yang masih berdiri. "Saya sudah mengerahkan sekitar sepuluh tim patroli siang dan malam. Hanya saja sementara masih nihil. Beberapa kali saat tim patroli mendapat panggilan atas kemunculannya namun hanya menyisakan oknum kriminal yang tersungkur tanpa menyisakan apapun. Rekaman video kegiatan operasi dan laporan tertulis akan saya serahkan segera sebagai evaluasi. Maksud saya, dia seperti hantu dan tugas ini masih terlalu berat bagi segelintir divisi Reskrim untuk melacak di jakarta yang sangat besar dan luas."

"Terima kasih lagi Pak Indra," jawab Wulan. "Apapun itu laporan anda, sangat saya apresiasi. Saya masih tetap mengharap semangat dan bantuannya. Benar begitu Pak Yono?"

"Ya tentu saja," kata Suparyono. "Dan bertepatan dengan kesulitan yang baru disamaikan AKP. Indra, sekalian saya sampaikan bahwa sudah disetujui oleh bapak Kapolda atas pembentukan tim khusus penyelidik terorisme dengan nama Tim Siliwangi atau Operasi Siliwangi. Kedepannya tim khusus ini, akan melibatkan semua divisi. Jadi tidak hanya dari Reskrim tapi divisi Lantas, Narkoba, semuanya akan turut serta, tentunya dengan kwalifikasi khusus. Selain itu AKP. Indra sebagai pimpinan operasi. Begitu juga dengan Bu Wulan akan menjadi bagian tim ini jadi mohon sinerginya."

"Tentu saja pak, saya siap menjalankan." Katanya dengan tegas.

***

Pagi hari dia sudah menelusuri gedung kepolisian Metro Jaya. Kakinya melangkah, menjelajah koridor sepi sendirian, bermaksud menghampiri ruang Kadiv Reskrim, ruang kerja Indra Prasetya. Itu adalah sehari setelah penyerangan yang melibatkan sersan Angga dan dua bulan setelah rapat pembentukan tim operasi penyelidikan rumor manusia harimau. Namun ternyata Wulan hanya berdiri di depan pintu, ruangan itu kosong. Dia kemudian celinguk kanan kiri, "Pak!?" panggilnya pada pria berkumis berseragam, yang kebetulan lewat sambil menggendong sebuah map hitam besar.

"Panggil saya mbak?" jawabnya sambil mendekati Wulan.

"Maaf, pak Indra dimana ya?"

"Oh komandan Indra? Sepertinya dia masih di rumah sakit mbak."

Wulan tertegun sejenak. Tentu saja dia tau tragedi itu, kemaren dia sudah meninjau lokasi kejadian hingga larut malam. Kondisinya sangat hancur, itu serangan yang sangat merusak meskipun hanya dilakukan oleh perorangan. Dan di sana dia menemukannya, topeng Mahesa yang rusak, terbakar. Dengan adanya topeng itu dan rekaman amatir kejadian yang sedang viral, dia semakin yakin bahwa pria yang terlempar itu adalah Mahesa. Menurutnya sungguhlah mustahil manusia biasa mampu berdiri setelah terlempar dan terjatuh dari ketinggian itu. Dan hanya seorang Ten Phantom yang mampu menyibak kemustahilan.

Sambil melangkah pergi, menjauhi ruang Kadiv Reskrim, pikiran Wulan pun masih bergejolak. Jika bukan karena Mahesa, semua orang, sersan muda itu pasti terbunuh. Kenapa Ten Phantom menyelamatkan polisi? Kenapa dia menerkam kriminal-kriminal jalanan? Wulan tak menemukan jawaban, logikanya tak berkutik.

Hingga sampai langkah kakinya menuruni anak tangga satu-persatu, seruan nyaring itu sampai ke telinganya. Dia melihat, di depan meja petugas pusat informasi, sekelompok pria berkoar-koar, terdengar minta tolong. Salah seorang di antaranya, pria tua berjanggut putih yang tampil lusuh, compang-camping.

***

Tanpa sempat membersihkan diri, pagi itu Pak Abdullah segera memasuki taksinya. Parjo menemaninya dan bejo, yang kebetulan baru saja hadir, juga turut serta, duduk di belakang kemudi. Perlahan mereka menembus kerumunan warga, melaju di atas aspal dengan kecepatan tinggi.

"Jo hati-hati ya," ucap Pak Abdullah. Dia duduk di kursi belakang dan Parjo duduk di samping Bejo yang sedang membalap.

"Tenang Pak De. Saya akan hati-hati. Jalanan emang rada padat, tapi percoyo saja."

"Awas loh ya, bukanya sampai tujuan malah ditilang polisi mangko. Sekarang polisi jakarta sudah lebih tegas. Tidak ada lagi istilah damai di jalanan dan kita ini darurat."

Baru saja mulut Pak Abdullah tertutup, segera semua orang di dalam taksi tersentak kaget. Taksi biru pun sejenak meliuk-liuk liar. Porsche merah itu tiba-tiba saja menyalip kencang dari sisi kiri, saat bejo baru saja mendahului sebuah truk. Juga tanpa klakson, memberi aba-aba.

"Dasar wong edan!" gerutu Bejo.

"Ya Allah," ucap Pak Abdullah sambil mengatur nafas. Sedangkan Parjo hanya terdiam di sebelah Bejo. Dan Porsche merah itu terus melaju, meliuk-liuk, menghilang dari pandangan.

Jalanan lumayan ramai, cenderung padat. Sesekali Bejo harus melaju pelan karenanya. Membuat perjalanan menjadi lebih lama tentunya dari waktu normal. Jarak 20 km yang biasanya bisa ditempuh dalam 45 menit, bisa menjadi 1 sampai 2 jam dalam kondisi begini. Alhasil Pak Abdullah pun semakin tak karuan. Keinginannya kini harus segera meminta tolong polisi untuk menolong Mahesa.

"Pak De saya sudah melihat berita penyerangan teroris kemarin," Bejo berbicara pada Pak Abdullah. "Orang yang kelempar itu, saya yakin Mahesa meski gak tampak jelas. Dan polisi juga sedang mencarinya."

Namun Pak Abdullah hanya terdiam. Matanya sedang memandang jendela seakan tak mendengar perkataan Bejo.

"Jujur maksud saya datang pagi-pagi ke rumah ingin menanyakannya."

"Apa yang mau kamu tanyakan Jo?"

"Benar Mahesa teroris? Benar dia anaknya Pak De?"

"Benar dia anakku. Tepatnya anak angkat. Terus apakah dia teroris? Menurutmu bagaimana?"

"Saya dan Daniel kenal baik sama Mahesa. Keyakinan saya dia tidak mungkin membunuh. Jadi dia pasti bukan teroris. Pasti ini ada kesalahan."

"Terima kasih atas penilaianmu. Jika Mahesa mendengarnya dia pasti senang. Berprasangka baik itu memang lebih mulia dari pada berprasangka buruk. Tapi kebenarannya, dia memang mantan pembunuh."

Mereka berdua seketika terbelalak setelah mendengarnya, terutama Bejo yang terpukul. Terbayang saat-saat dia dan Daniel bersenda gurau di warung. Saat saling menghardik dan saling usil. Benar-benar jawaban Pak Abdullah tak pernah terbayangkan di benak Bejo. Mahesa yang bersahabat itu bisa membunuh?

"Itu masa lalunya," Pak Abdullah melanjutkan. "Percayalah, persahabatannya, gembiranya, kebaikannya, bukanlah topeng. Semuanya tulus untuk mencari penilaian seperti yang kamu katakana tadi. Sedangkan untuk kejadian kemarin, karena alasan kemanusia, dia berada di sana. Tidak ada yang lain. Mahesa yang sekarang yakinlah, benar seperti apa yang kamu pikirkan. Dan dia sekarang sangat butuh bantuan kita."

Seketika kelegaan itu muncul, senyumnya mencuat. "Iya Pak De. Ayo kita tolongi Mahesa."

"Mas, Mas Jo itu mobil seng tadi!" seru Parjo tiba-tiba, sambil telunjuknya menjulur ke luar. Terlihat Porsche merah itu menepi diam, di dampingi seorang polisi.

"Kapok kon ditilang polisi. Dasar wong sugeh, ugal-ugalan!" gerutu Bejo sambil nyengir. Taksinya sengaja diperlambat, penasaran dengan sosok arogan, dibalik kemudi Porsche.

"Asem mas, seng nyupiri ternyata wong wedok. Ayu pisan."

"Kampret iyo eh. Beneran cah ayu. Doh Gusti moga saja diberi jodoh kayak gitu."

"Amin," sahut Parjo.

"Woi Jo!" bentak Pak Abdullah, sambil menepuk bahu Bejo. "Ayo cepetan, kita ini terburu-buru."

"Eh, iya Pak." Jawab Bejo dan taksi biru pun kembali tancap gas.

***

"Maaf bapak-bapak, silahkan anda sekalian mengisi dulu formulir pelaporan." Petugas polisi wanita itu memberikan selembar kertas pada mereka. kemudian mempersilahkan mereka ke ruang tunggu.

"Tapi Bu, ini kondisi darurat!" bentak Pal Abdullah. "Ini berhubungan dengan terorisme. Saya ga sempat kalau garus menunggu. Tolong pertemukan dengan pimpinan polisi saja. Ini penting!"

"Maaf Pak. Tapi bapak liat, beliau-beliau itu juga sama, menuggu," jawabnya sambil menunjuk pada orang-orang yang sedang duduk di area tunggu. "Maaf, bapak harus mengikuti aturan. Semua petugas juga harus mengerjakan satu-persatu."

Bejo mendekati polisi wanita itu. "Bu tolong ini kasus gawat loh, terorisme." Bejo berkata lebih pelan. "Ibu polisi tau tau kan yang kejadian teroris kemarin? Ini menyangkut itu juga loh."

"Iya bapak, saya mengerti. Tapi semua juga sama, semua bilang penting."

"Mbak polisi, anda pernah dengar Red Rose kan?" Pak Abdullah kembali berujar. "Itu kelompok teroris internasional. Anak saya sekarang sedang ditangkap mereka sekarang. Polisi harus segera menolongnya."

"Hei Pak!" tiba-tiba seorang polisi pria datang menghampiri. "Bapak-bapak ini saya lihat sejak tadi teriak terus. Ini kantor polisi loh pak, tolong tertib."

"Maaf pak polisi. Saya hanya ingin melaporkan informasi tentang teroris. Ini menyangkut nyawa."

"Pak yang menentukan itu tentang teror atau tidak, itu polisi nanti. Pokoknya bapak tenang, ikut saja aturannya dan tunggu. Nanti pasti kami bantu."

"Tapi pak kita ga bisa menunggu. Ini darurat!"

"Iya Pak, semua juga bilang darurat!"

"Maaf permisi sebentar Pak." Tiba-tiba Wulan muncul, berdiri di hadapan pak Abdullah. "Maaf bapak tadi bilang Red Rose?" dia lanjut bertanya dengan wajah ingin tahu.

"Maaf ini ibu yang dari Badan Intelijen ya?" petugas polisi itu menyapa Wulan.

"Benar Pak," jawabnya. "Saya adalah Wulan Windrajaya. Dan bapak-bapak ini biar saya yang mengani atas nama Tim Siliwangi."

"Baiklah kalau begitu. Silahkan Bu."

"Terima kasih." balas perempuan itu sambil tersenyum.

akhirnya petugas itu melenggang, menjauh, memberikan ruang pada Wulan dan Pak Abdullah.Tak lama, Pak Abdullah dan kerebat pun melangkah, mengekor di belakangnya. Mereka berjalan menuju tangga, bermaksud menuju lntai tiga.

Ruangan kerja Tim Siliwangi tak terlalu besar. Namun cukup untuk menampung tiga puluh orang petugas. Mereka sudah sampai dan sudah memasukinya. Wulan mempersilahkan mereka duduk di sebuah soba berwarna krem yang nyaman. Saat itu di sana hanya ada sekitar sepuluh orang petugas, anggota Tim Siliwangi termasuk Wulan. Beberapa petugas tentu berada di Tol Sudirman Raya, tempat penyerangan kemarin, untuk melakukan observasi lanjutan. Dan beberapa lainnya melakukan tugas lapangan entah dimana.

"Jadi informasi apa yang akan bapak sampaikan kepada kami," tanya gadis cantik itu. Dan Bejo sungguh terkesima pada mbak petugas, berkali-kali dia mencuri pandang, menikmati yang indah.

Pak Abdullah menyerahkan sebuah buku catatan kecil ke hadapannya. Raut wajah perempuan itu pun penasaran. Dia segera meraihnya lalu membuka buku itu perlahan. Matanya menyipit dan dahinya berkerut, tak mampu menyembunyikan penasaran yang meluap.

"Kata Mahesa, itu buku catatan yang berisi semua misi yang dia jalankan selama dia menjadi anggota Ten Phantom. Pokoknya segala informasi tentang Red Rose, sebatas yang dia tahu. Dan katanya, Ten Phantom sudah tidak ada dan dia adalah yang terakhir."

Wulan dengan wajah yang terkejut, memandang pada Pak Abdullah. "Bisa bapak ceritakan perihal hubungan bapak dengan Mahesa?" pintanya.

"Saya menemukannya kira-kira kebih dari setahun silam saat sedang memancing bersama beberapa rekan di kepulauan seribu. Dia terapung-apung ditengah lautan berbadai dan ajaibnya masih hidup. Dia terbaring tak sadar selama tiga hari dan tiga malam sejak saya temukan. Dan setelah tersadar, dia tiba-tiba menangis, air matanya meluap. Katanya dia bahagia karena kini tubuhnya telah kembali. Saya sendiri tak mengerti maksudnya tapi tangisannya itu tulus. Seketika hati saya berbisik, dia adalah orang baik. "

"Jadi anda tidak melaporkan ke polisi setelah menemukannya?"

"Sudah saya sampaikan pada polsek terdekat. Mereka pun sudah mencatat tapi memang untuk selanjutnya tidak ada kabar. Sebulan setelahnya saya sakit-sakitan, sejak saat itu Mahesa menggantikan saya menjalankan taksi. Dia yang gigih membanting tulang, menghidupi saya dan keluarga saya di kampung. Sejak hari itu bagi saya Mahesa sudah saya anggap anak dan mempersilahkannya tinggal di rumah saya. Tidak ada balasan dari kepolisian pun tak masalah."

Wulan diam sebentar sambil membaca buku kecil di tangan. "Dijadikan boneka pembunuh? Sungguh kejam," ucapnya sambil matanya tak lepas dari buku catatan kecil.

Dia memanggil seorang petugas kemudian mereka bercakap-cakap pelan sambil memberikan buku catatan padanya.

"Baiklah pak, perihal Mahesa, apa yang bapak inginkan dari polisi?" lanjutnya.

"Mahesa ingin agar polisi melakukan penyergapan." PakAbdullah menjulurkan tangannya. Secari kecil kertas diletakkan di atas meja,bertuliskan beberapa digit angka. "Katanyapolisi bisa melacak keberadaannya dengan itu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top