Teman


"Kalian gimana sih? Dua kali kelolosan? Itu parah loh. Itu menyangkut Kredibilitas Kepolisian!" ujar AKP. Indra berceramah. "Minggu depan Ayahnya akan mengajukan kesaksian. Saya terpaksa meminta kepada Kepala Lapas untuk mengisolir Surya Praja sementara dari informasi. Mereka juga saya suruh tolak kedatangan pengacaranya. Dan itu ilegal, asal tau saja." Indra bermuka garang. Dia berkotbah habais-habisan pada delapan orang polisi yang sedang duduk menunduk. Diantaranya ada sersan Angga. "Hari ini gadis itu harus ketemu. Besok sudah tidak memungkinkan. Kita tidak akan bisa mengkondisikan lagi."

Satu jam lamanya curhatan AKP. Indra tertumpah pada mereka. Malu dan marah bercampur aduk di hati mereka. Terutama Angga yang sangat sesak di dada karenanya, selaku ketua operasi perlindungan. Seharian dia dan beberapa anggotanya sibuk berputar-putar Jakarta. Menyebar foto gadis itu, mencari informasi pada para masyarakat yang lalu-lalang.

Hingga malam tiba. Hingga lelah telah menjalar, para polisi itu kini sudah kepayahan mencari keberadaannya. Mereka sudah berdiam di Markas kepolisian untuk istirahat dan berpikir. Tubuhnya malas beranjak karena masih penuh gerah di dada.

Sedangkan Angga hanya diam melamun, meratapi rasa sesalnya. Hatinya selalu teriris perih kala ingatannya mengulang rekaman kotbah AKP. Indra siang tadi. Dan kini sudah tengah malam, sudah mencapai batas waktunya. Prita masih tidak diketahui keberadaannnya. Besok dia dan anggotanya harus tetap memasang topeng gagah meski akan dianggap tim gagal.

Dan akhirnya telepon itu berdering. Para Polisi itu pun kembali sigap, bersemangat ketika kabar itu di dapat.

***

Prita duduk diam di atas pembaringan. Kakeknya yang tadi di ajak berbincang, baru saja terlelap. Sementara dia masih tertegun memandangi wajah kakeknya yang keriput, pucat dan tirus. Wajahnya berbeda dengan tiga tahun lalu, waktu itu sedikit berisi di pipinya.

Dia berdiri, perlahan mengangkat tubuhnya dari pembaringan. Berkerosak dibelakang, tangan itu tiba-tiba mencengkeram lengannya. Pria brewok, berambut ikal, menariknya kasar. Aaaaaarhh! Prita meronta, tangan kirinya berpegang kuat pada sisi tempat tidur. Kakinya menjejak ke tanah, berusaha bertahan. Kakeknya pun terbangun karenanya. Tangannya terangkat berat, bergetar, bermaksud menolong cucunya. Bruk, kakeknya mampu bergerak namun terjerembab dari tempat tidur. Inginnya berlari menolong cucunya tapi apa daya terkurung dalam tubuhnya yang lemah.

"Kakek! Tolong!" teriak Prita. Tak lama, seorang pria lainnya datang dan segera melepas tangan kiri prita dari gagang kayu pembaringan. Mereka berhasil menyeret Prita keluar kamar, menuju gerombolannya yang berkumpul di lantai dasar. Dua orang satpam, dua orang pembantu dan neneknya, sudah dikumpulkan, meringkuk di tengah ruang tamu. Empat orang pria berdiri di sekeliling mereka sambil menggenggam sepucuk pistol di tangan masing-masing.

"Prita! Lepaskan dia!" bentak neneknya. Dia berdiri, bermaksud menghampiri cucunya yang terseret sambil menggeliat. Duak!

"Nenek!" teriak Prita.

Neneknya tersungkur, pingsan ke lantai, dahinya berdarah. Dua orang pembantunya, Bik Sum dan Bik Asih, cepat merangkul majikannya.

"Makanya saya bilang diam! Diam!" bentak seorang pria berompi coklat. Rambutnya cepak dan badannya gempal. Dia yang telah menembak Pak Min tadi. "Mo! Cepat!" ucapnya pada seorang anggotanya.

"Iya Bang, ini lagi berusaha. Nih cewek kuat juga," keluh pria berambul ikal. Dia dan seorang rekannya sedang menyeret Prita, perlahan menuruni tangga.

Gerbang depan pelataran ruman terbuka lebar. Seorang pria berlalu lalang di pinggi jalan, mengamati ujung jalan yang sepi. Dan satu orang lainnya berjaga di sebelah mobil. Sedang tubuh Pak Min masih tergelak di samping pos satpam. Mereka berdua yang bertugas mengawasi kedatangan polisi. Instruksinya, begitu terlihat lamput sirine langsung tembak, buat Polisi sibuk dan tertahan kemudian segera melapor. Lalu seorang lainnya akan berlari ke belakang kemudi untuk mempersiapkan kendaraan. Dan mereka pun segera kabur sambil membawa Prita bersamanya. Rencana sudah matang, sepertinya gerombolan itu akan berhasil menjalankan misinya.

Muncul dari kegelapan, sosok hitam bertopeng, berlari gesit dan cepat. Pria yang berjaga di luar gerbang terlambat menyadari. sosok itu melompat jauh dan tinggi, mendaratkan kedua kakinya pada tubuh pria penjahat, Bruak! Pria itu terkapar. Seorang lainnya tersentak, mengacungkan pistolnya, Dor! Dor! Dor!! Mahesa melompat, berguling ke tanah lalu meluncur, jrreeb! "Aaaaarrrgh!" Pria berteriak saat cakar tajam menghujam pahanya. Dia cepat mencengkeram tangannya yang berpistol lalu memberi dua kali tinju. Buak! Buak!

Mereka yang di dalam rumah terperanjat setelah terdengar tembakan. Tidak ada laporan radio dari ihsan tentang polisi, itu yang membuat Dino si pemimpin, berpikir. Sedangkan Prita saat ini hanya terdiam dengan tangan terikat dan mulut tertutup.

"Ayo cepat kita pergi dan bawa dia!" seru Dino sambil jarinya menunjuk pada Prita. Mereka bergegas keluar, menuju pintu besar. Orang penghuni rumah lainnya, ditinggal, terikat di ruang tamu dan mulutnya disumpal. Sedangkan neneknya masih terdiam di lantai bersimbah darah.

Baru saja keluar dari pintu rumah, langkah mereka terhenti. Lampu-lampu dihalaman dan sekitarnya padam, keadaannya kini cenderung gelap. "Ihsan! Kiwil!" panggil Dino. Namun tidak ada balas dari anggotanya yang tadi berjaga diluar. Dino si pemimpin, sedikit panik namun tetap berusaha tenang. Matanya menebar pandangan, mencari sosok teman atau lawan. Apa ini perbuatan polisi? Tapi tak mungkin mereka secepat itu sampai, pikirnya. "Mo lihat ke sebelah mobil," bisiknya. Mereka melangkah menuruni tangga beton. Kemudia berhenti sejenak, menunggu Momo yang sedang mengendap-endap, memeriksa.

Momo sudah disamping Van, perlahan melirik sisi samping Van, "aman!" katanya sambil memberi isyarat.

Gerombolan Dino yang tersisa 6 orang, bergeras menuju pintu van hitam yang sudah dibuka Momo sesaat lalu. Mereka sudah akan sampai, hingga salah seorang anggotanya menemukan sosok gelap berjongkok di atap pos satpan. "Macan!" teriaknya.

Mahesa melompat ke atap Van hitam, Brak! Kemudian dia berjungkir, berguling di tanah, Buak! Momo tertunduk karena perutnya terhantam tinju. Tangannya dicengkeram dan dilempar ke arah gerombolan Dino, mereka pun buyar.

Dia berlari cepat lalu menerkamnya. Aaaarrgh! Teriak kesakitan terdengar, kedua bahunya berlumur darah. Dor! Dor! Pistol-pistol itu meletup bersahutan tapi di dalam gelap akurasi susah didapat. Mahesa menangkap tangan pria yang bersenjata, mengarahkannya, Dor! Kaki rekannya tertembus peluru. Buak! Sikut Mahesa menghantam tengkuknya dua kali, pria itu jatuh. Buak! tendangannya menghantam wajah pria yang sedang meringis kesakitan karena berlubang kakinya, dia pun jatuh.

Dor! "Aaaarrgh!" bahu seorang penculik, berlubang tertembus peluru oleh tembakan Mahesa. Dia mendatanginya lalu, buak, mukanya ditendang. Pria ke tujuh pun terkapar.

Dor! Dino melepas tembakan namun Mahesa sigap salto, mengelak, tembakannya meleset. "Diaaam!" bentaknya. "Atau kepala gadis ini kutembak!" Dia menyilangkan tangan kirinya ke leher Prita dan moncong pistolnya mencium pelipis gadis itu. Prita tak henti-hentinya menangis sesenggukan. Mahesa akhirnya mengalah, melepaskan pistol dari genggamannya.

Hanya berjarak sekitar tiga meter, antara mereka berdua. Jarak ideal untuk menembak Mahesa tepat sasaran dari posisi Dino sekarang. Dia lebih unggul karena menjadikan Prita perisai. Dan Mahesa merugi, harus berdiam menuruti ancamannya beberapa detik lalu. Moncong pistolnya masih tertuju pada Mahesa. Dor! Dor! Bruk, tubuhnya terkulai. Prita terlepas dan langsung terduduk lemas.

Mahesa bergegas mendatanginya, melepas ikatan dan penutup mulutnya. Mata Prita masih berlinang sesenggukan. Dia masih terbawa panik. Dibelakangnya, neneknya pun terduduk lemas. Di tangannya tergenggam sebuah revolver kusam dengan moncong yang masih panas. Tak diperhitungkan, kemampuan menembak neneknya, yang mantan KOWAD, akhirnya menjadi penolong di saat kritis.

"Kakek!" Prita tersentak, teringat akan kakeknya yang tadi terjerembab. Dia segera berlari dan Mahesa mengikutinya. Neneknya pun ingin mengejar. Namun tubuhnya lemas tak mampu. Dia terduduk melantai di sebelah pekerjanya yang terikat.

Dia sampai di kamar, berjongkok lalu menggugah Kakeknya yang tengkurap. "Kakek," Prita memanggil berulang kali sambil matanya lembab.

"Minggir. Prita tolong minggir." Kata Mahesa. Dia membalik tubuh Kakek Prita lalu mengangkatnya ke tempat tidur. Wajah kakeknya lemas, matanya pun tertutup sayu.

"Kakek? Kakek?" panggilnya lagi. Dan panggilan itu terdengar. Kakeknya membuka mata, bibirnya bergetar seakan ingin berkata. Tangan kanannya mulai goyang dan Prita segera memegang tangan Kakeknya lalu menempekannya ke pipinya. "Tenang Kek, Prita tidak apa-apa," katanya menenangkan.

Mahesa segera berbalik. Urusannya sudah usai dan bermaksud menghilang. Aaadadaadaaah! Tidak terbaca, tangan Prita mencengkeram belakang kepalanya. Tentunya Mahesa berteriak karena rambutnya yang panjang terjambak. Aneh, tembakan pistol bisa dia menghindar tapi terkaman tangan itu..

Mahesa berputar lalu menggenggam tangan gadis itu yang masih menempel di kepalanya. Prita mengangkat kakinya, diletakkan di bahu Mahesa. "Hiiaaaat!" dia berteriak sambil kakinya menjejak, menambah momentum, bermaksud menarik lepas topeng itu. Namun keseimbangannya goyah, dia akan jatuh dan Mahesa mengalah untuk menahan tubuhnya. Prita berhasil tertangkap di tangannya namun topeng itu berhasil terenggut di tangan Prita. Mereka terdiam sesaat berpandangan...

"Om ngapain pake topeng segala?" Prita bertanya. suaranya keras, cempreng seperti siang sebelumnya. Padahal baru beberapa saat tadi dia sesenggukan.

Mahesa hanya terdiam, mengacuhkan gadis itu. Matanya tak mau memandang dan tangannya meliak-liuk lemas, mencoba meraih topengnya.

"Eh jawab dulu Om!" ucapnya sambil tangannya berusaha mengamankan topeng di belakang punggungnya.

Mahesa menghela nafas. "Ya untuk menolongmu lah. Karena itu aku harus menggunakannya."

"Om memang pahlawanku," katanya sambil bermuka merah dan cengengesan.

"Sudah! Sini kembalikan." Mahesa meminta pada Prita sambil menjulurkan dan menengadahkan tangannya. "Kembalikan topengku."

"Terus habis itu, Om mau kemana?"

"Pulang," ucapnya dengan wajah datar.

"Terus habis itu?"

"Ya pulang kerumah," katanya. Nadanya sedikit meninggi dan kesal. "Udah sini balikin. Aku harus cepat pergi."

Prita mengalah. Wajahnya merengut. Dia menyerahkannya tanpa perlawanan. "Sebenarnya sejak awal juga aku ga berniat kok ngelaporin om. Aku pengen deh om jagain aku lagi. Sampe kasus papa usai?"

Mahesa cuek sambil memasang kembali topengnya. "Sebentar lagi polisi mungkin akan segera datang. Selanjutnya mereka yang akan menjagamu," jawabnya ketus.

"Terus sekarang om mau pergi, gitu?"

Mahesa diam. Dia sudah tidak mau menanggapinya.

"Ya sudah. Terima kasih om. Aku ga akan nyusain om lagi deh. Maaf kalo seharian ini aku nyusain dan bawel banget. Tapi sebenarnya ga sengaja kok, bawaan naluri," Prita berkata sambil memandanginya. Mahesa berpaling, tidak memperdulikannya dan Prita pun layu "Aku cuma butuh teman kok," katanya pelan.

Mahesa terdiam mematung beberapa lama. Prita pun masih tertunduk, berharap. "Uangmu terpaksa Aku pake. Maaf Aku kepepet sama rentenir. Aku akan menggantinya nanti."

Muka Prita terangkat. "Bukanya om bohong?"

"Tentang apa?"

"Rentenir?"

"Itu betulan. Aku memang lagi kelilit."

"Mana bisa. Kan tinggal om hajar saja mereka, beres?"

"Sudah. Masih butuh lindunganku ga? Kalau sudah ga butuh, minta waktu, Aku ganti nanti uangmu."

"Hehehe.. Tapi sekalian jadi teman ku juga om ya" katanya sambil tersenyum.

Dan Mahesa menatapnya diam dari balik topeng.

"Iiirrggh..." terdengar suara lirih Kakeknya.

"Kakek?" teriaknya. Ini pertama kalinya sejak tiga tahun lalu mulut Kakeknya mampu bersuara. Tentu gadis itu terkejut dan senang. Dan Mehesa masih berdiri memandangnya. "Kakek? Ayo bilang lagi."

"Iiirrghh.. wan.."

Prita berusaha mendengarkan Kakeknya. Dia melihat, pandangan Kakeknya yang melotot namun kali ini tidak menatapnya. Namun pada Mahesa yang mematung. "Irr.. Apa Kek?"

"Iirrg.. wan.. ssaa"

Prita memandang Mahesa. Jelas sudah kali ini memang pandangan kakeknya yang biasanya selalu padanya, kini berpaling ke Mahesa. "Irwansa?" ucapnya sambil memindah pandang dari kakeknya ke Mahesa di sana.

"Irwansyah.. Irwansyah.. Irwansyah! Kapten Iswansyah!" Teriak sosok pria muda tak dikenal berambut cepak itu sambil tersenyum, tersirat di kepalanya. Suara desingan peluru, gelegar ledakan memenuhi kepalanya. "Hormaaaaat Geraak!" Sosok pria mirip Kakek Prita yang sedikit lebih muda, berkelebat sekilas. Aaaarrgh! Mahesa mengerang pelan. Tangan kanannya memegangi kepalanya.

"Om? Om baik-baik saja?"

Suara sirine terdengar di kejauhan. Mahesa berpaling. Dia sekejap berlari, melewati Prita, menembus jendela, Bruuaak! Prita terbangun lalu menghampiri jendela yang telah berlubang. Dia tak melihat apapun, selain gelap pekarangan.

Tidak tanggung, selusin Polisi, dengan diketuai Sersan Angga tiba di rumah Kakek Prita. Dan rencananya akan didatangkan satu peleton lagi untuk anggota tambahan, yang akan berjaga hingga radius sepuluh meter dari tempat Prita. Tentunya operasi pertama adalah, mobilisasi Prita ke Jakarta, ke rumah orang tuanya.

Sedangkan delapan orang penjahat sudah ditangkap oleh kepolisian. Sempat satu orang pergi namun berhasil tertangkap karena luka parah di pundaknya.

Yang menyedihkan adalah harus ada korban jiwa dalam penyerangan malam itu. Dia adalah satpam penjaga rumah kakek Prita, Pak Min. Keluarga prita pun bersimpati. Kini tanggung jawab keluarga yang ditinggalkan Pak Min, diambil alih oleh nenek Prita. Itu sebagai bentuk terima kasih atas pengorbanan pak Min.

Kini Prita tertegun, kepalanya berpikir. Dia sudah diberitahu penjagaannya berikutnya, akan super ketat. Dengan penjagaan seperti itu, bagaimana bisa bertemu lagi dengan si supir taksi? Selain itu, penasarannya juga berkecamuk pada kelakuan Mahesa sesaat sebelum pergi. "Irwansa?" gumamnya pelan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top