Target
Benar saja, Sersan Angga menjalankan sumpahnya. Puluhan personil kepolisian benar-benar dihadirkan untuk menjaga Prita. Tidak hanya rumah dan pekarangan, bahkan polisi-polisi itu tersebar hingga radius seratus meter jauhnya. Hampir mencakup satu RT.
Sedangkan di dalam rumahnya tidak kalah ramai. Rumah keluarga Surya Praja memang besar dan megah. Namun kini menjadi sesak oleh puluhan polisi yang hilir mudik. Di ruang tamu, ruang makan, loteng, garasi, kamar mandi, hampir di semua tempat terisi oleh polisi jaga. Dan yang merana tentu saja Prita. Entah, apakah Si Om masih menjalankan kontrakanya, dia tak pernah sekalipun tertampak.
Berguling ke kanan, berguling ke kiri. Gadis itu berguling-guling ke sana ke mari seperti guling. mukanya cemberut diam, kepalanya bosan, penat, terlalu sering melihat wajah-wajah berambut cepat yang berseliweran dan tampak serupa. Dan yang teringin saat ini, bermain di pantai, menimpuk puas muka Om gondrong, teman barunya. Dia juga penyelamatnya.
Pintu kamarnya terbuka, sontak Prita terkejut, beringkat. "Ah Mama, bikin kaget saja!" pekiknya.
"Habisnya, dipanggil-panggil ga nyahut?" balas Ibunya.
"Ah masak? Ga denger ih?"
Ibunya mendekati tempat tidur, tempat Prita masih merinkuk. "Ayo makan? Nanti keburu dingin."
"Ah males, ga nafsu. Apa enaknya makan sambil di depan, belakang, kanan, kiri, ada pak polisi berdiri?" katanya sambil menangkupkan kuling ke matanya, menyisakan sedikir mulut menyembul.
"Ya sudah mama ambilin ya ke sini."
"Gagagagak! ga udah. Lagi ga nafsu."
"Eh awas loh sakit ntar."
"Ga ma, nanti deh kalo laper ambil sendiri ke dapur. Ah kayak ga tau aja biasanya."
Jglek, pintu kamarnya tertutup. Prita kembali sendirian sambil memandangi monitor Laptop dengan bosan. Tok.. Tok.. Prita terkujut lagi, arahnya dari kaca jendela. Dia berdiri, melangkah lalu membuka kaca jendela perlahan. Di samping pintu jendela, tergantung sebuah bungkusan putih. Tangannya meraih, Prita pun sudah duduk kembali di pembaringan. Asap putih itu mengepul, sebuah martabak telor hangat muncul dengan ajaib. Dan gadis itu menerimanya dengan tersenyum. Dia tau siapa yang memberinya. Suasana hatinya berubah lebih ceria, begitu juga nafsu makannya.
Setelah penyerangan terakhir di Bogor, Prita mulai dikerubungi pria-pria berseragam. Hidupnya yang dulu terkekang, kini lebih terkekang lagi. Seakan udara sekelilingnya penuh mata, dinding penuh telinga, serasa terawasi tindak-tanduknya. Dia tak mungkin lagi bisa melarikan diri seperti sebelumnya. Jerat nestapa ini telah berlangsung kira-kira sebulan lamanya. Sedangkan Sersan Angga masih belum bilang kapan akan berakhir.
Hari itu tiba, hari yang dinanti-nantikan. Tepatnya seminggu sesudah peristiwa penyerangan do Bogor. Di ruang pengadilan yang besar dan ramai itu, Surya Praja, melaksanakan janjinya. Tumpukan kertas tebal diserahkan lewat pengacaranya pada pihak kejaksaan. Itu setumpuk data transaksi keuangan illegal di perusahaannya, yang mencakup perihal uang haram beberapa Politikus. Dan sebagian besar milik Big Bos Robert Koi, tentunya.
Asal tau, uang gelap hasil dari tindakan ilegal akan sulit disimpan dalam bentuk rekening. Kenapa? Bank sekarang canggih, mereka detail menelisik dulu dari mana dana itu berasal. Salah langkah, bisa-bisa polisi turun tangan. Akhirnya mereka lebih memilih menanamkan uangnya dalam aset, yang abal-abal tentunya. Seperti dalam bentuk saham untuk diolah dalam suatu perusahaan. Menjadikan yang tadinya ilegal menjadi legal.
Sedangkan Justice Collaborator adalah pelaku tindak pidana yang bersedia menjadi saksi dalam pengungkapan kejahatan lainnya. Dengan ini, diharapkan, dalam persidangan akan mendapatkan pengurangan hukuman atau penangguhan penahanan. Selain tuntutan hati nurani, itulah mengapa Surya Praja berinisiatif, bekerjasama dengan kejaksaan. Selain keuntungan hukum tersebut, hatinya pun menyesal dan bersalah karena telah memberikan uang haram pada keluarganya selama ini. Harapnya sekarang, segera bisa berkumpul kembali dan memulai kembali merajut bahagia yang sesungguhnya bersama mereka.
Dan hasil dari persidangan itu, semuanya terbakar hangus, semuanya terbuka. Borok-borok korupsi beberapa pejabat dan uang haram Robert Koi terkuak. Selama ini memang kesulitan polisi untuk menangkapnya atas transaksi jual-beli narkoba karena minim bukti. Dengan mudah para pengacaranya membebaskan Rebert Koi dari borgol hukum dan menampar balik polisi dengan ucapan, Terus uangnya dimana? Tapi sekarang beda, dia diam tak berkutik, dia telah kalah. Singgasana harta haramnya telah ditemukan, bersemayam di dalam modal bisnis Perusahaan milik Surya Praja.
***
Masih tak seperti hari biasanya, dia duduk diam di dalam SUV hitam beramaikan suara sirine sepulang sekolah. Dua unit polisi bermotor di tempat terdepan dan sebuah sedan kepolisian, mengekor dibelakangnya, di depan mobil tempat Prita berada. Di belakangnya, masih ada lagi sebuah SUV beserta para polisi, para Bodyguard sementaranya. Mereka melaju lancar, membelah kemacetan Jakarta. Dibanjiri lirikan para warga yang merasa dianiaya.
Jangan tanya gambaran dunia sekolahnya yang sekarang. Lebih suram dari sebelumnya tentu. Kalau dulu, di dalam kelas Prita diapit oleh dua orang polisi. Kini hampir seluruh teman sekelasnya berganti oleh para pria-pria tegap dan beberapa perempuan berambut pendek, mereka semua polisi tentunya. Namun Prita tau mau tau, keman teman-teman sekelasnya dibuang. Karena baginya, ada maupun tidak ada mereka, semuanya sama.
Tapi dibalik itu, yang menguntungkan pun ada. Kimia? Apa itu? Sebuah kata yang masuk dalam koleksi kata-kata alergi di otaknya. Di tambah lagi dengan Pak Djojon, guru pengajar yang bermuka kriminil, suara sumbang dan omelannya yang tak henti sampai satu jam serta bonus serpihan liur wallet menerpa, siapa doyan? Jika ada muridnya yang lalai dalam tugas, bersiap menjadi sarang wallet dan mengalami syok telinga.
Beda dulu, beda sekarang. Bapak itu kini bermuka kalem dan bertutur manis. Sejak Sersan Angga membentaknya balik, sehabis menghardik habis Prita yang gagal melukis rumus kimia. Memang sersan Angga rada lebai sih, terlalu over protektif. Mungkin ini tidak lain karena sebelumnya dia sudah pernah kecolongan. Dan hari ini Pak Djojon hanya tersenyum saat tau Prita tak mengerjakan tugas rumahnya. Lumayan, untuk yang ini cukup membantu, hahahaha... urai isi hatinya.
Seharian sudah terlewat tanpa terasa. Mereka berbelok kekanan dari persimpangan padat lalu memasuki jalan Tol. itu sudah siang, mereka kembali menuju kediaman Surya Praja. Rombongan polisi penjaga Prita kini mampu melaju lebih cepat. Jalan yang sepi membuatnya leluasa. Maklum, kini Jakarta sudah tak seperti dulu. Jalan tol benar-benar bebas hambatan sekarang. Pembatasan populasi kendaraan, peningkatan transportasi umum dan semakin menjalarnya jalan-jalan layang baru, telah berhasil mengurai masalah kemacetan.
Brrruuuumm... Wuuussh... Raungan itu terdengar semakin nyaring. Sebuah Lamborgini merah melesat, berkelak-kelok, melewati mobil-mobil para penguna Jalan tol. Salah seorang pria di dalam mobil Prita terdengar berbicara pada komunikasi radio, melaporkan tindakan ugal-ugalan yang sedang terjadi pada satuan polisi lalu-lintas. Jelas tindakan mobil itu sudah sangat melewati batas kecepatan dan membahayakan para pengendara lainnya.
Wuuussh.. Cepat Lamborgini itu pun telah melewati rombongan iring-iringan. Seorang polisi bermotor sempat terdengar beberapa kali membunyikan klaksonnya. Bermaksud memberi teguran. Di kejauhan sana, terlihat sebuah tas ransel hitam , dijulurkan keluar dari pintu kanan Lamborgini merah. Puluhan benda bulat-bulat kecil tampak berceceran, mereka melompat-lompat, menyebar ke jalanan. Lalu, Blar! Blar! Duar! Duar! Jalan itu dipenuhi dengan ledakan membabi-buta. "Itu adalah granat!" teriak salah seorang polisi di dalam mobil.
Jedar! Duar! Duar! Bentak bising itu tiada henti. Duar! Tepat di sampingnya, seorang polisi bermotor terlempar bersama tunggangannya. Dia jatuh dari jalan layang tinggi, tubuhnya menimpa sebuah mobil pickup, hancur. Sedang motornya yang terbakar menumbuk aspal, berjungkal-jungkal.
SUV hitam, dimana Prita sedang mendekam, meliuk-liuk, mencoba menghindari ledakan acak. Duar! Terjadi di dekat roda belakang kirinya, mobil itu terjungkal, meluncur miring di aspal bersama percik bunga api. Duar! Duar! Kini mobil sedan polisi meledak, tak selamat beserta beberapa pria dan wanita di dalamnya. Dan sisa satu lagi SUV, segera berhenti melintang. Dia membentu benteng lindung pada SUV lainnya yang terbaring. Pintunya terbuka, Sersan Angga segera bergegas, sambil tangan kanannya berjaga dengan sebuah revolver perak.
***
Mereka berdua sedang duduk berhadapan. Di ruangan yang ramai, para pria berbaju tahanan sedang bertemu jumpa dengan sanak keluarga. Dan beberapa petugah berseragam, berjaga mengitari dengan mata yang mengintai. Alex Hunter menampakkan kembali wajahnya di hadapan Robert Koi, setelah kemunculan terakhirnya yang meninggalkan kekacauan.
Alex melirik, memandangi sekelilingnya. "Apa anda nyaman di sini? Tentunya tidak ada makanan enak seperti tempat anda sebelumnya kan?" ucapnya.
Robert Koi memandangnya sinis. Terlihat tersinggung dengan sindiran pria di depannya. "Aku tidak memanggilmu mahal ke sini hanya untuk menyindirku."
"Oh, maaf kala begitu. Saya hanya ingin tau reaksi anda."
"Menurutmu?"
"Meskipun dalam kemarahan, anda cukup tenang juga."
Robert sedikit tersenyum. "Dan kamu payah dalam membuat lelucon."
Alex tertawa sesaat, tek lama kemudian diam kembali. "Jadi apa sudah mantap kali ini? Anda punya sasaran yang sesuai profesi saya?"
Berganti, kini Robert Koi sedikit tersenyum. "Yah, sangat mantap. Sangat disesalkan tidak memutuskannya sedari awal. Aku terlalu lambat memutuskan musuhku."
"Tarif seperti sebelumnya, USD 500.000 untuk satu target. Pria maupun wanita, tidak ada beda. Dan tidak ada biaya tambahan atas nyawa selain target yang terbunuh dalam operasi."
Dia mendekatkan wajahnya. "Aku baru saja memberimu 5 juta," bisiknya. "Apa kamu mampu melakukannya?"
Mata Alex memercing, bercampur rasa terkejut sedikit.
***
Dua hari setelah pembunuhan dua polisi, Kapten Indra berdiri di tengah ruangan resto yang hancur berantakan karena bom semalam. Bersamanya, belasan polisi mondar-mandir mencari bukti. Beberapa diantaranya, sedang memfoto sebuah benda, sisa koper yang terkoyak, yang disinyalir merupakan sumber awal ledakan. Pikiran Kapten Indra menjelajah, Hotel besar dengan ratusan kamera keamanan berjajar namun kebetulan tidak merekam detik-detik saat kejadian peledakan. Namun saat menuruni tangga, di depan pintu keluar Lobby, matanya menangkap harapan, sebuah kamera Traffic Light di persimpangan jalan.
Malam harinya, bersama Sersan Angga, Kapten Indra bekerja hingga larut. Dari kamera itu, dia mendapatkan gambar mobil sedan perak yang berjalan sesaat setelah terjadi ledakan. Mereka terus mengamati kemana sedan perak pergi dengan memutar ulang semua kamera publik di jalanan. Hingga berhenti di parkiran mini market. Darinya sosok pria itu muncul dan saat itu juga mereka akhirnya tau bahwa rekannya telah dibunuh oleh seorang pembunuh bayaran internasional, yang disebut Sang Ahli. Yang bahkan mampu membunuh seorang Jenderal Militer di rumahnya, beserta 20 puluh pengawalnya.
***
Suasana hening sesaat, setelah sebelumnya riuh dengan lusinan ledakan. Sersan Angga berlari sambil merunduk menuju mobil yang terguling. Dia bersusah payah mengeluarkan orang-orang dari dalam. Mereka empat orang pria dan seorang gadis, dia Prita. Sayang diantaranya, dua orang polisi terdiam tak sadar. Kepalanya terbentur parah dan penuh dengan darah.
Sersan Angga mendekap Prita yang sempoyongan. "Gimana keadaanmu?" Tanyanya.
Prita berwajah meringis. Tangannya berusaha memegang pelipisnya yang berdarah tapi ditahan oleh Sersan Angga. "Aduh, perih," keluhnya.
"Cepat buka pintu. kita bawa.."
Belum sempat Sersan Angga selesai berujar, Blar! Blar! Ledakan beruntun kembali terdengar. Seketika membuat orang-orang tengkurap. Di sisi belakang ternyata ledakan itu berasal, mengakibatkan bagian jalan layang runtuh. Sekarang sudah tidak ada jalan kembali. Mereka tidak bisa berbalik arah karena jalan tol telah terpotong empat meter jauhnya.
"Jok! Laporkan situasi!" serunya pada salah satu anggota yang berkulit hitam, arab. Dia masih berjongkok di aspal, sambil menahan tubuh Prita.
"Bantuan segera datang 15 menit lagi," teriaknya. Sedangkan mobil merah itu, masih terdiam. Tidak ad tanda-tanda pergerakan."
"Sial, itu terlalu lama," keluhnya. "Ok Kita diam juga, kita bertahan sebentar. Semoga bantuan cepat datang."
Mobil merah itu terdiam melintang. Pintu sisi kirinya menghadap ke arah Prita dan para polisi berada. Di balik kemudi Lamborgini merah, Alex Hunter diam mengamati. Matanya memandang dengan angkuh para polisi yang terpojok di sana sambil sedikit senyum itu tergurat.
Dia adalah Sang Ahli dan itu bukan hanya sekedar julukan. Dia mampu menggunakan hampir semua jenis senjata api, juga bahan peledak. Dengan pamor yang dia punya, jangan mengira dia seorang jago menembak seperti Film Cowboy lawas? Ahli menembak dengan mata tertutup? Atau menembak lebih cepat dari bayangan? Tentu saja semuanya tidak. Yang membuatnya mematikan adalah insting dan strategi membunuhnya.
Termasuk yang telah dilakukannya sejauh ini, itu bukanlah kebetulan. Itu sudah merupakan hasil dari perhitungannya. Kapan granat itu harus ditabur? Dimana sasarannya akan terhenti? Di sisi mana C4 ditempatkan di jalan tol? Semua sudah direncanakan. Dan kapan intimidari tahap kedua di mulai? Sekarang saatnya.
Dash! Ledakan kecil meletup dari sekeliling pintu mobilnya. Pintu kiri Lamborgini terlepas, terlontar. Moncong besi itu menjula, menghadap pada SUV Hitam Polisi.
"Mechine Gun!" teriak salah satu Polisi.
https://youtu.be/VdruTK0Xpik
Dor! Dor! Dor! Machine Gun M2 50 Caliber memuntahkan peluru bertubi-tubi dari moncongnya. Bunga api semarak di badan mobil polisi dan mereka yang di belakangnya meringkuk dan menempel aspal, berharap butiran peluru itu tidak bersarang. Namun akhirnya hanya mampu berdoa karena mobil itu tak mampu melindungi. Peluru-peluru itu terlalu tangguh dan mudah menembus mobil hingga terkoyak. Aaaaaaarrrg! Teriak Prita, dipelukan Sersan Angga.
Brrrruuuum! Suara mesin Ducati itu meraung kencang. Prita tersadar, perasaannya peka terhadapnya. Dia yang memberikan motor itu, karenanya tentu saja dia tau siapa si penunggang. Dia bercelana hitam, berjaket kulit krem dan helm full face hitam, tegar tak mengenal takut.
Ducati itu melaju kencang menuju jalan yang terputus. Kecepatannya semakin dipacu lalu melesat, terbang melewati jalan yang tiada. Alex Hunter melirik, firasatnya merasakan ancaman pada si penunggang kuda besi. Target berubah, moncong M2 diarahkan padanya. Dor! Dor! Dor! Peluru itu kembali beterbangan dan Ducati pun meliak-liuk, mencoba menghindar. Tidak ada rasa takut, dia terus maju menghampiri Alex.
Terus dan terus dipacu, kecepatannya semakin menjadi. Si penunggang menaikkan kakinya ke atas jok. Bukan tanpa cela, pahanya pun berdarah akibat hujan peluru itu, juga bahu kirinya tapi tak dihiraukan. Rem digenggam mendadak, motor itu terjungkal, begitu juga dengannya. Orang itu terlempar ke udara, melesat lewat di atas Lamborgini merah. Cakarnya mencuat, cepat menghujam atap mobil merah lalu tepat mendarat di samping kanan mobil Alex yang sedang terparkir. Tangan kanannya segera menghujam kaca, mencengkeram leher Alex kemudian menariknya dan melemparnya keluar dari mobil. Alex terguling-guling di aspal, pipi kanannya sedikit terluka gores karenannya. Seketikan itu ancaman terhenti, senyap.
Para polisi tersisa yang terjebak, berakhir selamat, begitu juga Prita. Sedangkan di ujung sana, Alex yang tadi tersungkur, perlahan berdiri dari aspal. Wajahnya tersenyum seperti tak waras, tidak terlihat ketakutan ataupun tertekan. Dan pria bertopeng itu pun masih berdiri diam sambil pandangannya pada Alex yang masih terlihat berani dan perkasa.
"Kamu Dia kan?" tanya Alex tiba-tiba.
Orang itu hanya diam.
Alex memutar wajah, melirik pada cakar perak dan lancip di tanganya. "Ternyata memang benar ya?"
Kali ini Dia bergerak. Dia melepas helm hitamnya dan benar topeng itu pun muncul. "Kamu sudah keterlaluan. Biadab!" bentak Mahesa.
Kepalanya menengok, matanya melirik sesaat ke belakang Mahesa. "Itu sempurna," kata Alex sambil menyeringai. "Dan aku tidak bodoh, Aku tahu tentangmu jauh sebelumnya. Kalian bersepuluh lebih biadap lagi kan daripada aku," ujarnya berlanjut tertawa.
Mahesa hanya terdiam. Seakan mulutnya tercekat sejenak.
"Tak bisa berkata ya?" lanjutnya sambil menyeringai. "Oh iya, Kamu tau tentang detonator?"
***
Alex meraih saku celananya. Kini tangannya menggenggam sebuah Hendphone lalu melihat layarnya. Tak lama memasukkannya kembali. "Bukankah ini terlalu berlebihan hanya untuk seorang gadis? Anda terlalu dibutakan amarah tuan."
"Gadis?" Robert Koi terkekeh sebentar kemudian kembali menatap tajam Alex. "Kamu benar-benar tidak mengenalku. Aku sudah terkurung sekarang, mengurusi seekor tikus kecil, tidak akan membuatku menjadi singa karena aku memang adalah singa sejak awal. Tapi yang aku perdulikan adalah orang itu, si bangsat, penyebab utama kenapa aku di sini. Seharusnya Aku sudah ke singapura sebelumnya, kalau saja si cakar aneh itu tidak menghalauku."
"Orang itu?" tanya Alex menyengir tipis dan sedikit keningnya melekuk.
"Si sosok bertopeng yang sedang ramai dibicarakan. Dia adalah murkaku sekarang," gerutunya dengan muka memerah. "Yang aku dengar, kamu tidak pernah gagal bukan? Dan benar-benar seorang profesional, akan melakukan perkerjaan sesulit apapun. Aku telah membayarmu, aku ingin lihat apa kau sehebat cerita orang-orang?" tantang Robert Koi.
Alex diam, memandang Robert Koi yang kesal. Dia menarik nafas lalu berdiri dari duduknya. Tanpa bicara, dia pergi meninggalnya. Dan Robert Koi pun terlihat puas pada pertemuannya. Bagianya, siapapun yang mati, mereka berdua tetap musuhnya.
***
"Kamu tau tentang detonator?" tanya Alex, wajahnya tak henti tersenyum. Dia menunjukkan tangan kanannya. Sebuah benda hitam kecil terapit diantara jempol kanan dan jari telunjuk. "Menyita sedikit waktumu cukup mudah ya, untuk aku menyalakan benda ini." Dia mengangkat tangannya, memperlihatkan benda kotak kecil di tangannya. "Aku hanya perlu melepasnya..."
Pip.. Pip.. Bunyi itu muncul bersama berkelip-kelip merah lampu kecil, menempel pada langit-langit, di bawah mesin. Mahesa masih terdiam, sesekali tampak keraguan menghinggap dari kepalanya yang tampak sedikit goyang. Mahesa tersadar. Dia melirik Lamborgini merah di belakangnya tapi sudah terlambat.
Alex melepaskan jarinya dari detonator dan sesaat berikutnya, Blaaar!! Mobil itu meledak besar. Dia pun sempat terlempar, terjungkal-jungkal sekitar tujuh meter jauhnya karena kuatnya ledakan. Sedangkan Prita menjerit histeris melihatnya sambil dipegang erat Sersan Angga. Mahesa lah yang paling dekat dengan pusat ledakan, sangat besar, membumbung tinggi bola api.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top