Tangkap Menangkap
Bergemuruh hentakan-hentakan sepatu, pintu rapuh itu didobrak hancur. Dalam sekejap, beberapa pria berseragam serba hitam, berdiri berjajar dengan laras senjata mengintai. Di hadapannya Mahesa yang masih bersinglet putih, terdiam pasrah, duduk di kursi. Dia hanya sendiri, di belakang meja makan yang masih berhiaskan segelas penuh air putih. Tak lama, di arah dapur, pria berseragam lainnya pun hadir, turut mengancam.
Segelas air putih kembali diteguk, habis. Mata Mahesa melirik pada kerumunan berjajar, yang diam mematung. Dia tak tampak terkejut, pun tertekan, masih tenang tanpa takut. "Kalian dari Red Rose atau polisi?" tanya Mahesa dengan wajah tenang dan wajar.
Rambutnya putih cepak, berkulit hitam, pria tinggi itu muncul dari belakang barisan. Kacamata hitam itu menghiasi sangar, wajahnya yang tampak beringas. "Meski kita lama pernah bertemu. Saya pun merasa asing sama Mahesa yang bisa bercakap," ujarnya diakhiri dengan senyuman angkuh. Dia pimpinan gerombolan itu.
"Jeremiah? Sudah jelas sekarang," bisiknya. Pandangan Mahesa memaling perlahan, mengintai mereka yang berdiri di belakangnya.
"Padahal Saya ingin sekali menembak situ punya kepala. Ten Phanton sudah lama dihapuskan toh? Tapi sayang dia katanya ingin bertemu dengan situ hidup-hidup. Itu membuat saya marah."
"Oh si bangsat itu ya," geramya. Dia cepat berdiri, sontak pria-pria lainnya terkejut. "Sebaiknya kamu bunuh saya selagi sempat. Kawatirnya nanti tidak ada lagi kesempatan berikutnya."
Mereka tentu saja sudah tau sepak terjang Mahesa sebelumnya. Bagaimana ganasnya Ten Phantom mengobrak-abrik gerombolan musuhnya, beritanya tidak pernah lepas dari telinga para personil Red Rose. Yang paling menghentak adalah aksi mereka kala meratakan penjara bertembok tebal dan berpenjagaan ketat, San Tiago Rojas di Kazakstan. Nyatanya lusinan tenk dan puluhan personil tentara dengan persenjataan lengkap, tak mampu menghentikan mereka. Salah satunya yang terseram, puluhan orang tewas tercabik-cabik cakar tajak Mahesa.
Sejak dari lahir Jeremiah adalah sosok yang sombong. Orang-orang disekitarnya pun banyak yang tak sudak dengan gayanya yang petentang-petenteng. "Kamu terlalu besar cakap ya? Apa meremehkan saya punya kemampuan? Atau keduanya? Situ punya otak jangan lupa heh, sejak dulu Ten Phantom dibawah ketiak saya. Apa mau saya bikin jadi ayam rica-rica? Awas jangan buat saya menggila," Jeremiah berkelakar.
Dua kepalan tangannya menjulang kedepan. Gestur tampak menyerah untuk diikat borgol.
"Wow? Akhirnya kamu punya otak bisa berpikir. Betul itu, tak usah sudah melawan," kata Jeremiah, sumringah. "Anggota pun pasti senang, tak usah ada patah-patah tulang atau kepala melayang, toh?"
Jeremiah menggeleng, memberikan isyarat pada anggotanya. Dua orang berseragam hitam maju perlahan, penuh waspada. Salah satunya, sambil menggenggam borgol besi, bergelantung. Mereka sudah mendekat, tangan salah seorang berseragam itu, perlahan menjulurkan.
Kaki kanannya seketika mengibas, borgol itu terlempar. Dilanjutkan dengan jejakan yang membuat pria berseragam itu terdungkur. Pria di sampingnya akan mengacungkan senjata tapi Mahesa segera mencekik lehernya lalu melemparnya jauh.
Dia berlari kemudian melesatkan tinju kanannya. Tangan kanan Jeremiah sigap menghalau, siku kanannya akan di jejalkan ke wajah Mahesa. Tapi demikian juga Mahesa cepat menahan dengan tangan kirinya. Kedua tinjunya melejat bergantian, namun Jeremiah mampu menangkis. Hingga tangan kanannya berhasil mencengkeram kerah kananya Jeremiah. Dia menarik dan bermaksud memberinya dengan siku kiri tapi kembali bisa ditahan tangan kiri Jeremiah.
Tangan kanan Jeremiah mendorongnya. Berlanjut kaki kanannya menjejak, Mahesa terlempar, terjerembab ke lantai. Sesaat berikutnya moncong senjata sudah mengepungnya dan dia pun hanya bisa terdiam.
"Kamu punya pukulan sekarang lamban," kata Jeremiah, dengan cengir sombong. "Situ punya taring sepertinya sudah tumpul sekarang. Kalian borgol dia sekarang," perintahnya pada anak buahnya. "Awas, pastikan benar terikat."
***
Kegaduhan itu sebetulnya sudah lewat beberapa jam yang lalu. Namun Pak Abdullah masih terdiam takut, tengkurap di loteng rumah. Sesaat sebelum penggebegan itu, Mahesa untungnya segera menyuruhnya bersembunyi. Jadi selamatlah dia dari mereka. Namun demikian, meski sudah mendengar gemuruh boot itu menghilang, meninggalkan rumahnya, dia juga masih terlalu takut untuk keluar.
Hingga dari celah-celah itu, sinar terang matahari itu menerobos, menyapa Pak Abdullah. Dia terbangun, suara-suara panggilan itu pun demikian. Langitnya sudah terang sekarang dan tetangga sekitar sudah berkerumun di rumah Pak Abdullah karena melihat pintu rumah yang terdobrak. Sebenarnya satu, dua orang tetangga tahu kegadungan tadi subuh. Tapi mereka pun takut untuk keluar, setelah mendengar berlusin-lusin gemuruh hentakan sepatu.
"Saya di atas! Tolong!" teriak Pak Abdullah.
Mendengarnya, beberapa orang segera bergegas. Beberapa lainnya langsung berlarian ke arah lain, inisiatif untuk mencari sebuah tangga. Dan tak berselang lama pun, pria tua itu turun dari persembunyiannya dengan kusam dan nafas yang tersengal.
"Bapak ndak apa-apa?" tanya seorang pria muda berulit gelap.
"Ndak apa-apa. Saya selamat tapi mereka membawa Mahesa"
"Waduh? Mas Mahesa diculik Pak?" tanya pria berkopiah.
"Eh, kita musti lapor polisi itu," ucap lainnya.
Pak Abdullah melambai pada pria berkopiah. "Parjo tolong kamu antar saya ke Mabes Polri sekarang ya."
"Sekarang pak?Naik apa?"
"Naik mobil lah," Kata Pak Abdullah sambil menunjuk taksi biru yang terlihat di depan rumah.
"Tapi saya ga bisa nyupir Pak."
"Udah tenang, saya yang nyupir. Ayo berangkat," Pak Abdullah berdiri perlahan. "Eh tolong ambilkan segelas air dulu,saya haus."
Seorang pria lainnya segera melangkah ke dapur, mengambilkan yang diminta.
Pagi itu di televisi pun tak kalah heboh, berita tentang penyerangan iringan polisi di jalan. Hampir semua channel berita membahasnya, berikut para nara sumber di lokasi. Beberapa jasad polisi yang tewas di jalanan, sempat terpampang di layar TV dengan sensor blur, namun tetap membuat para pemirsa miris melihatnya.
Tak terkecuali rekaman-rekaman amatir saat kejadian pun diulas. Orang-orang dibuat terperangah oleh video dari bawah jalan tol yang berlatar rentetan tembakan, diikuti beberapa ledakan besar. Ya Allah! Allahuakbar! , teriak seorang pria di dalam rekaman, sesaat setelah suara ledakan, diikuti layar yang berguncang. Ono seng ceblok! Ono seng ceblok! Terdengar lagi teriakan, Rekaman bergerak, berguncang. Berikutnya layar menampilkan seorang pria yang terkulai di aspal dengan rambut gondrong yang terburai.
Kini para tetangga, Daniel, Bejo dan kenalan-kenalan Mahesa sesame supir taksi, telah melihatnya. Sosok Mahesa yang kuat dan masih hidup setelah terlempar dari jalan layang yang setinggi lebih dari sepuluh meter. Tentunya itu menimbulkan tanya di benak mereka karena di luar batas kewajaran seorang manusia biasa.
***
Mahesa perlahan membuka matanya. Yang pertama dilihatnya, sepasang sandal jepit bertali hijau, yang masih menempel di kakinya. Dia pun tersenyum.
Dia menebar pandang, melihat sekeliling ruangan luas yang kosong dan hanya ada dirinya yang terduduk di kursi. Di depannya, Jeremiah duduk di belakang meja sambil melihat Handphonenya. "Sudah sadar?" tanya Jeremiah. Matanya masih tak lepas dari layar benda persegi di tangannya.
"Ini dimana?" tanya Mahesa.
"Apa perlu situ tahu? Kayaknya situ tak perlu tahu ini dimana. Nanti juga tetap mati toh? Sudah diam saja, tunggu dia datang."
"Apa ini markas Red Rose?"
Jeremiah mendesar pelan dan meletakkan Handphonenya ke meja. Kini dia memberi pandangan ke Mahesa. "Tepatnya ini pabrik kosong yang kita sewa sementara sebagai markas sementara Red Rose. Harganya lumayan mahal untuk bangunan tua dan personil pun terpaksa harus kerja bakti, bersih-bersih, ngepel, sebelum menggunakannya karena Budget terbatas. Ini baru ditempati dua bulan lalu, khusus untuk mencarimu. Berkat rumor monster bercakar yang menakuti Jakarta tentu saja."
Mahesa menatap pria hitam di hadapannya. Sambil sesekali melirik, mengawasi sekeliling.
"Awalnya cukup sulit melacak situ punya tempat tinggal. Saya benar-benar pusing punya kepala. Sampai saya pikir, untuk memburu binatang, perlu seorang pemburu. Dan itu berhasil. Menyewa Alex Hunter lewat pihak ketiga adalah rencana tepat. Setidaknya GPS pada Ducati itu berhasil menuntun kita sampai ke kamu punya rumah. Saya hebat toh?"
Mahesa menunduk, rambut panjangnya menjutai, hampir menutupi seluruh wajahnya. Mulutnya perlahan tersenyum, entah apa yang dipikirnya sekarang.
"Oh iya kamu punya Handphone dan dompet sudah saya buang di jalanan. Setelah saya menidurkan situ punya kepala dengan tembak pembius, langsung saya geledah semua."
***
"Saya sangat menyesal pak, sunggu saya sangat egois. Tapi masih sempat pak. Saya masih bisa memperbaiki kesalahan saya," ucapnya pada Pak Abdulllah. Saat itu langit masih gelap, beberapa jam sebelum gerombolan Jeremiah menyatroni rumah kecil itu. Televisi di hadapannya mereka menyala, ramai memberitakan kegaduhan di jalan tol siang tadi. Hingga sampai pada rekaman yang menangkap wajah mahesa yang sedang terkulai. "Mereka pasti menemukan saya. Mereka pasti menemukan rumah ini. Saya akan menjadi umpan dan saya mohon bapak juga harus tegar, menjadi bagian dari rencana saya."
"Apa Maksudmu?" tanya Pak Abdullah singkat.
"Saya akan menangkap mereka pak, Red Rose. Maksud saya, polisi."
"Maksudmu, kamu akan membuat polisi mendatangi mereka dan menangkapnya, begitu juga dirimu?"
"Tidak masalah pak. Kalau itu memang harus."
"Meskipun sebenarnya kamu juga adalah korban?"
"Seperti bapak bilang. Nyawa orang yang tak bersalah lebih penting. Dengan menangkap mereka, mungkin akan banyak menyelamatkan nyawa orang lain."
Kini wajah Pak Abdullah penih keyakinan. Hatinya mantap akan bekerjasama dengan Mahesa, meski itu tergolong berbahaya. Merekapun berdialog serius, merencakan penangkapan gerombolan Red Rose.
Mahesa mendengarnya, inderanya yang peka, mengetahui gemuruh puluhan kaki manusia yang mendekat. Meski jaraknya kisaran sepuluh meter jauhnya. Dia memutar kepalanya ke kanan, ke kiri, ke segala arah.
"Ada apa?" tanya Pak Abdullah singkat
"Mereka datang lebih cepat dari perkiraan saya. Ayo bergegas pak!" serunya. "Pokonya bapak diam, itu saja dan tetap ikuti rencana!" Mereka segera menaiki meja lalu Mahesa mengangkat, membantu Pak Abdullah naik ke loteng.
Semua sudah siap. Mahesa tek perlu menyambut para tamu tak diundangnya dengan pakaian rapi. Cukup baju singlet bau dan sandal jepit di kaki. Dia kini duduk diam dan tenang, menanti kedatangan mereka.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top