Saya Sang Ahli
Hari ini adalah siang yang riuh. Para warga, wartawan, polisi, semua tumpah ruah memadati jalanan aspal. Sedan merah itu menjadi kiblatnya, geger pembunuhan dua orang pria bersimbah darah, telah tersebar. Penasaran segenap warga pun meluap.
Puluhan polisi teguh berbaris menjadi pagar hidup, menahan geliat animo masyarakat yang meradang. Pita kuning bergaris, ditebar melingkar ke sekitar mobil kejadian. Tampak beberapa petugas berseragam sibuk menyisir di tempat itu. Ada yang mengambil foto, mencari sidik jari dan mengumpulkan barang bukti, guna mencari jejak.
Empat orang penculik, sudah diamankan. Mereka sudah diborgol dan dibawa beberapa saat lalu ke kantor polisi. Cemaslah wajah – wajah mereka, menanti hukuman yang akan tiba. Sedangkan Prita masih duduk sendiri di dalam salah satu sedan polisi, beserta beberapa petugas yang berjaga.
Pria berkumis tipis, berkemeja putih, lengkap dengan kacamata hitam, datang membelah kerumunan. Dengan dibantu beberapa petugas berseragam, menembus tembok gerombolan masa. Dia adalah Kapten Indra Susilo, seorang polisi senior yang selalu berpenampilan gagah dan keren, dibalut dengan pembawaan yang gentleman. Sarung tangan dipasang, Kapten Indra langsung membaur dengan para petugas forensik. Dia pun turut berkeliling dan mengamati tempat kejadian perkara.
Dari arah belakang seorang polisi muda, Angga, datang menghampiri. Dia datang bermaksud mendampingi Kapten Indra tanpa diminta, karena itu sudah seharusnya.
"Jadi Mereka anggota kita ya?" tanya Kapten Indra tanpa melihat, seakan sudah mengetahui keberadaan Angga dibelakangnya.
"Iya benar pak," jawabnya. "Saya menugaskan mereka untuk mengawal putri tuan Surya Praja, yang sedang terlibat kasus pidana."
"Oh jadi seharusnya misi perlindunga saksi untuk kasus yang menyangkut Robert Koi ya?"
"Begitulah pak. Ini diluar perkiraan saya. Kedua anggota yang gugur adalah para polisi Senior dan berpengalaman. Mereka anggota terbaik terpilih, yang saya percayakan untuk misi perlindungan. Namun seseorang sepertinya berkemampuan jauh di atas rata – rata. Mereka dieksekusi dengan cepat dan seketika, tanpa sempat melawan."
Kapten Indra masih belum beranjak. Begitu pula pandangannya saat mendengarkan laporan. "Lalu diwaktu yang hampir sama, empat orang muncul dan berusaha menculik gadis di mobil itu tapi berhasil dilumpuhkan oleh seorang supir taksi, begitu kan?" katanya sambil melihat Prita di kejauhan.
"I.. Iya Pak, Seorang supir taksi. Itu menurut kesaksian beberapa orang."
"Bagaimana menurutmu?" Kapten Indar berputar, melihat kepada Angga dengan tegas.
"Saya sulit percaya pak ada supir taksi yang seperti itu." Jawabnya. "Apa lagi para penculik juga bukan level rendahan. Beberapa diantaranya malah berlatar belakang militer."
"Kesaksian mereka tidak bisa dikesampingkan. Apa lagi ada lebih dari satu orang yang bersaksi. Kita harus percaya, meski sulit di terima. Apakah Dia hanya supir taksi atau lebih dari itu? Aku tugaskan Kamu untuk mencaritahu siapa dia. Walau tidak ada sangkut paut dengan kasus ini, sepertinya itu tetap penting."
"Siap Pak," jawab Angga, sigap.
"Lalu untuk eksekutor dua polisi, siapa menurutmu diantara mereka berempat?"
"Entahlah pak tapi sepertinya bukan salah seorang dari mereka."
"Bagaimana kamu bisa yakin?"
"Pada dasarnya ini adalah misi penculikan. Tapi Mereka tau keberadaan dua polisi berpengalaman itu, maka dilakukan strategi dengan dua tim. Yang terdiri dari tim pembunuh Polisi dan tim penculik.
"Ok, itu analisa yang bagus, terus?"
"Mereka tau tentang dua polisi penjaga dan kemampuannya. Karenanya untuk mengeliminasi mereka dengan cepat dan sempurna, maka akan dibutuhkan seorang eksekutor yang ahli juga, yang profesional. Hasilnya seperti yang kita tau, pembunuhan yang bisa dibilang excellent."
Raut wajah Kapten Indra semakin tertarik. Kerut di antara kedua alisnya menggambarkan penasaran yang memburu.
"Mereka berempat bersenjata api. Namun yang sempat melepaskan tembakan, hanya seorang saja. Itupun tampak hanya tembakan yang membabi – buta. Maka itu tidak masuk dalam kriteria seorang pembunuh ahli yang saya maksud."
Tergambar kelegaan diwajahnya. Senyum menyeruak di bibir Kaptem Indra setelah mendengar penjelasan dari Angga. "Ok. Analisamu masuk akal. Selanjutnya tinggal Kita lakukan akurasi fakta. Cari tahu tentang supir taksi dan si pembunuh. Itu tidak mudah memang tapi berusahalah."
"Baik. Akan saya kerjakan pak."
"Lalu blokade area radius sepuluh meter dari tempat kejadian, tetap diberlakukan sampai sebulan ke depan atau sampai penyelidikan benar – benar usai. Kerahkan semua anggota, kumpulkan bukti sebanyak mungkin di lapangan. Ambil semuanya walau sampah sekalipun." Kapten Indra melangkah pergi meninggalkan Angga. Kemudian dia berhenti, "Oh iya, bagaimanapun kasus Robert Koi adalah prioritas. Karenanya kamu pastikan keselamatan gadis itu!"
"Siap Pak!" jawab Angga, berdiri tegap sambil memberi hormat.
***
Mobil Sedan perak, melaju kencang di jalanan kota. Langit sudah gelap namun belum terlalu larut. Kendaraan masih cukup ramai lalu lalang. Dan puluhan orang juga masih padat beraktifitas di trotoar jalan. Sedan perak itu berkelok – kelok, mendahului para pengendara lainnya. Dia berlari tak tau aturan, melesat tanpa memperdulikan keselamatan orang lainnya. Sudah dua traffic light dia terabas, salah satunya hampir membuat sebuah truck kontainer menghantamnya.
Gedung itu berhiaskan lampu warna – warni, beserta tulisan besar menyala, Mocco Hotel & Resto. Satu persatu mobil – mobil silih berganti menepi di hadapannya. Dan pada saatnya giliran sedan perak itu juga turut menghampiri.
Seorang pria tegap, bersetelan jas hitam, melangkah menaiki anak tangga, sambil menenteng koper hitam di tangan kirinya. Tak lupa, dia melempar kunci mobilnya pada petugas parkir.
Pintu kaca terbuka, pria itu berjalan tenang memasuki ruangan besar dan ramai. Ruangan makan itu tampak glamor dan elegan. Lukisan besar dan berseni menempel di hampir setiap sudut tembok. Hiasan dari perak dan kristal tak lupa menghiasi di hampir di semua sisi. Tentunya lengkap dengan lampur kristal besar menjuntai, berkerlip – kerlip, menempel di langit – langit. Semuanya Jelas sudah menggambarkan kasta para tamu. Para bangsawan tentunya.
Dia berjalan membelah keramaian, melewati berjajar meja – meja berpenghuni, yang penuh dengan hidangan menggugah. Belasan pelayan berseragam putih, berlalu – lalang mengitari ruangan, pelayani para pelanggan yang kadang arogan. Dia bermaksud menghampiri pintu di ujung ruangan, yang berhiaskan beberapa orang penjaga bertampang beringas.
Sepotong daging setengah matang memasuki ruang mulut. Pria tua paruh baya, berperawakan putih, sipit, mengunyah dengan nikmat. Sambil sesekali meneguk anggur dari gelas kaca yang tergenggam di tangan kirinya..
"Bos, dia datang," bisik salah seorang pengawal.
Dia mengusap bibirnya dengan kain putih sambil telunjuknya mengayun ke arah pintu di hadapannya. Pintu dibuka, dari baliknya muncul sosok pria muda, tampan, berkaca mata. Pria itu segera melangkah maju lalu langsung meduduki kursi kosong tanpa permisi. Wajahnya berhadapan dengan pria tambun, Robert Koi, sSang penguasa dunia hitam Jakarta, dengan jumawa.
"Kamu gagal," kata Robert Koi tanpa basa – basi. "Empat orang anggotaku tertangkap karenamu. Dan kamu masih berani mendatangiku?" katanya lalu memasukkan lagi sepotong daging ke mulutnya.
Pria itu tersenyum sejenak, Dia masih tersenyum tak tampak takut atas ancaman yang terdengar. "Saya adalah sang ahli, pembunuh profesional. Dan saya tidak gagal. Target sudah dilumpuhkan, sesuai kesepakatan kita. Jika Anda mempunyai anggota yang terlalu bodoh, itu bukan salah saya."
Seketika itu semua penjaga di dalam ruangan mengacungkan moncong pistol kepada tamu Rober Koi. Namun pria itu diam mengacuhkannya.
"Kamu sepertinya tidak mengerti posisimu nak. Sejak awal berani datang kemari, jelas kamu mencari ajal." Robert Koi perlahan berdiri dari kursinya. "setelah aku pergi, habisi Dia." Secara bersamaan para pengawal memasang peredam di pistolnya masing – masing, sambil tetap menodong kepala pria di kursi.
"Tidak jauh beda dengan gerombolan preman lainya. Berdasi atau tidak, sama saja, semuanya brengsek," geramnya. "Sebelum anda beranjak, apa anda mencium bau Potassium Nitra?"
Semua terperanjat, tak terkecuali Robert Koi. "Apa maksudmu?"
"Saya, Alex Hunter, ingat itu. Saya tidak hanya mahir dengan pistol dan senapan. Meracik Potassium Nitrat pun saya ahlinya. Lihat ini!" serunya sambil mengangkat tangan kanannya. Sebuah benda hitam kecil, berkedip tergencet di jarinya. "Yup! Ini namanya remote detonator, ada yang baru pernah melihatnya? Dan kejutannya ada dibawah kaki anda semua. Tepat dimana mobil saya yang berisi sekitar dua ratus kilo bahan peledak aktif, sedang terparkir. Itu lebih dari cukup untuk membuat semua yang di ruangan ini berterbangan, menjadi debu. Dan meruntuhkan bangunan ini tentunya."
"Kamu hanya membual," sanggah Robert. Raut wajahnya yang tenang dan angkuh, sekarang sedikit risau. Begitu juga dengan para pengawalnya. Moncong – moncong pistol itu tambah sedikit bergetar.
"Anda tau bagaimana membuktikan ucapan saya kan?"
Keadaan berbalik, giliran Robert Koi tertekan. Sesekali matanya melirik, melihat raut muka para pengawalnya yang tampak berkeringat. Namun tidak dengan tamunya. Sorot matanya tajam penuh percaya diri, masih sama seperti saat awal datang.
Alex memandang sekelilingnya. Dia tersenyum, menikmati semua raut wajah yang bergetar, panik. "Kalian menyebut diri kalian pemberani, tapi nyatanya tak lebih hanya banci. Memalukan, Anda dikerumuni oleh para pecundang Tuan Robert, Anda tau itu? Termasuk diri anda sendiri."
Alex berdiri, dia melangkah mendekati Robert Koi. Segelas anggur merah sisa di mejanya, diraih lalu meneguknya. "Saya akan sedikit cerita tentang keluarga saya," katanya sambil mengunyah daging steik. "Dulu ayah saya adalah seorang pembunuh. Selama menjadi seorang inteligent belasan tahun, sudah ratusan nyawa dia renggut sebagai tugas negara. Dia adalah Sang Ahli di bidangnya. Dan menurutnya, tahta itu tak boleh runtuh. Sang Ahli harus abadi, meski dengan jiwa raga baru."
Masih hening, belasan pria itu mematung, merinding. Otaknya masih membeku, tersihir pada ancaman Alex yang menakutkan.
"Saat ulang tahun saya ke sepuluh," lanjutnya. "Browning Caliber 9 mm, diberikan sebagai hadiah. Anda tau? Itu adalah kunci pintu neraka yang mulai dibuka. Dari situ, hari – hari yang keras pun menerpa. Dan puncaknya saat usia saya dua puluh lima. Hari ujian terakhir." Alex melangkah, mendekati salah seorang pengawal Robert yang sedang mengacungkan pistol padanya. "Di ruang tamu, dia dan saya duduk berhadapan, beserta Browning Caliber 9 mm tergeletak di antara Kami. Saat itu dia berkata, jika kau berani membunuh maka harus berani pada kematian. Jika kamu takut mati, janganlah jadi pembunuh, mati saja. Setelahnya kami berdua diam sejenak." Alex menatap tajam pria di hadapannya, dia yang berjenggot dan kepala mengkilap. "Lalu pistol itu pun saya raih," tangan kiri Alex meraih tangan seorang pengawal yang menggenggam pistol. "Saya mengacungkan pistolnya tepat ke kepala ayah," dia menempelkan dahinya ke moncong pistol pengawal. "Saya menatap mata ayah, begitu juga dia menatap mata saya, sangat berani. Saya bertanya padanya, apa ayah takut pada kematian? Dia pun menjawab tidak! dengan tegas dan lantang. Berikutnya saya mulai menarik pemicunya perlahan," jempol tangannya menekan jari telunjuk sang pengawal. Seisi ruangan gelisah bercucur keringat, bersamaan dengan picu pistol yang bergeser mundur. "Saya kembali bertanya, apa ayah takut pada kematian?" katanya dengan suara meninggi. "Dia menjawab..."
Craat! Pria itu terjerembab ke lantai bersama pistol di genggamannya. Kepalanya berlubang, ditembus peluru oleh rekan di sebelahnya. Kepala Alex sekarang terjauhkan dari moncong pistol. Kepanikan di ruangan itu pun mereda.
"Tidak," lanjut Alex sambil memandang pria yang terbujur. Bibirnya menggores senyum. "Dan pada akhirnya peluru menembus kepalanya. Ayah meninggal oleh Browning Caliber 9 mm, di tangan saya."
Robert Koi mengusap peluh keringat di wajahnya. Dia mengedip sejenak sambil menarik nafas lalu duduk kembali ke kursinya. "Tuan Hendra," panggilnya pria kurus, botak, yang berdiri tak jauh.
"I.. Iya Tuan?" jawab Hendra, sekretaris pribadi Robert Koi, terbata - bata.
"Tolong Kamu transfer ke rekeningnya sekarang."
"Ba.. Baik tuan," Hendra segera mengeluarkan handphonenya. Melihatnya, Alex tersenyum.
"Tuan Hunter, seperti sebelumnya, bayaran sepuluh kali lipat untuk menculik gadis itu? Saya sangat mengharap jasa Anda."
Dia mengeluarkan handphonenya dari saku celana kirinya. Raut sumringah terpancar di wajahnya. "Dan seperti sebelumnya, saya menolak. Kembali Saya katakan, Saya pembunuh dan pekerjaan Saya adalah membunuh, itu saja."
"Benar – benar sulit untuk mengubah prinsip anda, saya menyerah."
Alex hanya tersenyum menanggapinya. "Baiklah sepertinya demikian saja hari ini," ucapnya sambil menebar senyum. "Terima kasih dananya sudah diterima. Sangat menyenangkan berbisnis dengan anda. Selanjutnya saya ijin undur diri."
Alex berjalan meninggalkan ruangan, melewati gorombolan pria berpistol dengan jumawa. Tentu saja mereka masih berwajah panik. Dia berjalan santai menyusuri ruang makan restoran yang besar. Tangan kirinya memasukkan kembali handphonenya dan tangan kanannya tetap menggenggam remote kecil.
Ruangan restoran itu sepi, tak seramai sebelumya. Yang terlihat hanya meja – meja kosong dan beberapa pelayan yang sedang berbenah. Tak jauh di depannya, pintu kaca besar mulai menghampiri. Terlihat dibalik pintu kaca transparan, sedan peraknya sudah terdiam, menunggu di depan Lobby.
"Bos! Mobil pria itu sudah di Lobby!" kata salah seorang pengawal.
"Pergi! Bunuh Dia!" bentak Robert Koi. Kemudian dia bergegas pergi menuju pintu belakang.
Suara hentakan – hentakan kaki bergemuruh, dari arah belakang. Suara yang tadi hening lenyap. Para pramusaji terkejut, berlarian. Prang, pintu kaca di depan Alex pecah, berlubang. Sepersekian detik kepalanya sudah mengetahui penyebabnya, peluru. Beruntunglah pengawal Robert Koi bukan penembak yang handal. Tiba - tiba, BLAARR!! Ledakan besar terjadi di ruang makan. Para pengawal Robert Koi terlempar berhamburan. Debu dan asap mengepul, memenuhi ruangan, beserta teriakan – teriakan kesakitan.
Dia sempak menyengir sinis. Alex berjalan tenang meninggalkan gedung yang porak – poranda. Detonator kecilnya dilempar tepat ke dalam tempat sampah. Lalu bergegas, dia memacu sedan peraknya, meninggalkan kekacauan di belakang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top