Pertolongan Tak Terduga

Tempat itu terombang ambil pelan. Pak Abdullah duduk diam melantai di dalam ruangan sempit. Matanya diam memandangan suasana pelabuhan di luar sambil bersandar pada dinding kayu. Dia diam tanpa teman bicara, menikmati semilir angin sejuk sendirian. Sedang di sampingnya, pria yang baru ditemukannya kemarin lusa masih tetap terdiam pulas. Kadang-kadang pria itu meracau tak jelas dalam tidur namun tidak untuk kali ini.

Suara berkerosak itu terdengar. Pak Abdullah sontak memutar pandangannya. Pria itu telah membuka mata meski tampak raut kebingung di wajahnya, bercampur rona keletihan.

"Oh kamu sudah sadar ya," Pak Abdullah menyapa lalu bergegas membantu pria asing itu bangung untuk bersandar. "Kamu sudah tiga hari pingsan," lanjutnya sambil tangannya meraih segelas air dan pria itu pun langsung meneguknya. "Kamu pasti lapar. Ini makanlah." Rantang loreng hijau itu pun di serahkan.

Seonggok nasi dan beberapa potong tempe goreng sungguh menggugah selera. Dia segera meraih dan melahapnya. Pria itu makan bak kesetanan. Mulutnya disumpal maksimal dengan makanan sederhana. Dan bapak tua baik hati itu pun tersenyum senang melihatnya sambil geleng kepala.

"Maaf saat tidak bisa membawamu ke Rumah Sakit. Hanya bisa memberikan sekantong infus selama kamu tak sadar," ujar Pak Abdullah. "Kata Pak Mantri juga tidak ada cedera parah ataupun luka di tubuhmu. Hanya memar-memar saja sedikit. Jadi saya pun tenang."

Pria itu hanya hanya mengangguk sambil tetap mengunyah, menanggapinya.

"Kalau boleh tau apa yang terjadi padamu? Kenapa kamu bisa hanyut di lautan?"

Rantang kosong itu diletakkan perlahan. Makanan di mulutnya juga mulai lenyap. Dia susah payah menelan segera untuk balas berucap. "Terima kasih pak untuk makanannya," kalimat tulus itu terucap, ditutup dengan seteguk air putih. "Pesawat yang saya naiki terjatuh," jawabnya sambil membalas pandang.

Sontak Bapak tua itu terkejut. Tersirat dari senyumnya yang lenyap, berganti pandangan melotot dan alir yang berkerut. "Jadi kamu korban kecelakaan pesawat? Ya Tuhan," ucapnya mengiba. "Jadi dimana tempat tinggalmu? Apa kamu punya keluarga yang bisa dihubungi?"

Hening sejenak. Pandangannya menjadi kosong. Pemuda itu hanya diam memandangi pintu. "Entahlah, saya tidak ingat." Ujarnya terbata-bata. "Rumah.. Keluarga.. Ah tunggu, saya punya rumah. Tapi sepertinya bukan. Itu seperti penjara." Dia seakan berbicara pada diri sendiri.

Raut penasaran itu belumlah reda. "Siapa namamu? Apa kamu ingat?" Pak Abdullah pun masih menghujam tanya padanya.

"Mahesa.. Ya, mereka memanggil saya Mahesa."

"Mereka? Siapa mereka? Keluargamu?"

"Keluarga? Sepertinya bukan. Tapi sekarang mereka juga sudah menghilang."

Pak Abdullah menyilangkan tangannya di dada. Sambil matanya memandangi pemuda itu, dia dilanda kebingungan. Pikirannya berputar, apa yang harus dilakukan. "Mahesa?" nama itu dipanggil dan pemuda itu pun menoleh. "Kamu orang jahat atau orang baik?"

Sesaat Mahesa terkunci. "Saya.. Saya bukan orang jahat." Dia menjawab dalam bimbang lalu hening sebentar. Mereka berdua pun saling berpandangan. "Tolong ijinkan saya tinggal pak. saya sudah tidak punya tempat tinggal dan tidak punya siapa-siapa." pintanya tiba-tiba.

Pak Abdullah berfikir keras. Dia orang asing tanpa asal-usul. Permintaan itu sungguh berat untuknya. "Sungguh saya belum sepenuhnya yakin, sejujurnya. Tapi saya sudah menyampaikan tentangmu pada pos polisi terdekat." Kembali mulut Pak Abdullah hening. Keyakinan hatinya sungguh susah di dapat. "Sementara kamu tinggal dulu di perahu ini. Itu saat ini yang bisa saya lakukan. Besok saya akan datang lagi membawakan makanan. Jangan kuwatir, anggap tempat ini rumah sendiri. Ini perahu milik teman saya. Beberapa hari ini dia tidak akan melaut karena cuaca buruk."

Pria tua itu merapikan rantang yang kosong. Dia sudah bangkit dari duduknya dan berniat pergi. Kakinya akan melangkah keluar cari kabin namun tiba-tiba terhanti dan kembali menoleh. "Kalau kamu bilang demikian maka saya akan percaya bahwa kamu orang baik. Jangan kecewakan kepercayaan saya ya."

***

Bruak!!

Pintu gerbang berjeruji besi itu terpental, dihantam oleh truk yang menerjang. Dan dia terus berlari gila menuju kerumunan beberapa orang berjas hitam dan polisi yang berjaga. Bruak! Truk itu pun terhenti setelah moncongnya menghantam tembok. Beruntung para petugas sempat menghindar dari lintasannya.

Duar! Tak terduga, ledakan itu menggelegar, menggetarkan tanah radius beberapa meter. Api pun membumbung tinggu dan berselimut asap. Truk rongsok itu hancur berantakan dan berkobar. Ledakan itu memakan korban yang tak sedikit jumlahnya. Semua yang di dekatnya luluh lantah. Banyak para agen Inteligen dan polisi yang gugur. Hanya segelintir saja yang berhasil selamat dan luka ringan. "Kita diserang! Lapor kita diser.." Dash! polisi itu jatuh setelah sebuah peluru menembus lehernya.

Bergerombol mereka, sosok berseragam hitam, berlarian menuju markas Badan Intelijen sambil menebarkan peluru berapi-api. Para penjaga tersisa yang masih sempoyongan pun tak kuasa selamat. Mereka tak siap, terdesak dan korban kembali berjatuhan dari pihat aparat. Dor! Dor! Baku tembak terjadi. Malam itu kembali mencekam antara gerombolan teroris melawan gabungan aparat polisi dan Agen Intelejen. Pertempuran ganas pecah bersama rintihan dan darah.

Mile berlari dengan waspada dan gesit. M16 di tangan rajin berteriak, menebarkan pelor-pelor ke udara. Satu, dua.. korbannya mulai bertumbangan. Penyerangan yang dilakukan para kelompok Red Rose malam itu sungguh taktis dan seketika. Para penjaga di garis depan gedung Intelijen yang berjumlah puluhan orang jatuh bertubi-tubi, dibuatnya.

"Serangan mendadak! Aaaarrgh!" teriak seorang pria di sambungan komunikasi radio.

"Kita diserang! Waspada!" seru seorangg pria berdasi di dalam ruangan.

Seorang wanita mencoba mengintip ke jendela, melihat kondisi.

"Awas! Menjauh!" teriak Wulan.

Duar! Kaca itu tertembus hingga ke kepalanya. Wulan terlambat, perempuan itu tergelepar. Sontak teriakan histeris pecah, membuat seisi ruangan menjadi tambah gaduh. Wulan pun tak kuasa untuk kesal, sedih, berbaur emosi.

Thomas, pria tampan, berkulit putih, berambut ikal itu, berusaha tegar sambil berseru memberikan instruksi. "Semuanya tenang! Mohon tenang! Dengar!" Perlahan gaduh pun mulai mereda. "Sekarang yang perlu dilakukan, siapkan senjata masing-masing. Ambil juga semua amunisi di gudang persenjataan. Selanjutnya semua ikut saya, kita akan menghadang mereka di tangga."

"Thomas, jumlah kita sekarang hanya belasan." Wulan berujar lantang, merangsek, mendekati Thomas. "Di luar gedung ada lebih dari lima puluh orang yang sudah mereka jatuhkan. Kamu yakin?"

"Ini bukan taktik untuk menyerang tapi bertahan sampai bantuan datang. Tangga adalah medan yang menguntungkan saat ini. Pokoknya kita berusaha untuk menahan mereka. Syukur bisa memukul mundur. Cukup ikuti aba-abaku dan jika kondisi terdesak kita akan segera mundur."

"Baiklah aku percaya padamu. Ayo kita lakukan."

Dia menebar pandang dan terkunci pada sosok pria berkulit cokelat, berkumis tipis. "Dan kamu ambil ini." Dia memberikan sebuah tas hitam.

"Apa ini Pak?" tanya Agen muda itu sambil terbata.

"Tugasmu pergi dan ledakkan lift. Tas itu berisi beberapa granat. Kita pastikan akses mereka hanya tangga. Sekarang persiapkan senjata kalian. Maksimalkan juga amunisi dan persenjataan di gudang senjata. Kita mulai setrategi satu menit lagi."

Mereka yang berada di ruangan ini bergegas menyiapkan senjata di tangan. Beberapa lainnya berlarian menghampiri ruang persenjataan. Sungguh takut dan cemas seketika menerkam orang-orang malam itu. Gedung Badan Intelijen kini telah menjadi medan pertaruhan hidup dan mati.

***

"Hei! Keluarkan saya! Hei kalian!" Jeremiah dilanda kalut. Dari dalam sel dia pun mendengar dentuman ledakan dan desingan peluru itu. Dia sadar, dia dan Mahesalah targetnya. Red Rose tidak pernah meninggalkan saksi dan bukti atas keberadaan mereka.

Sedangkan di ruangan lain, Mahesa hanya diam menunggu. Tentu dia saat ini tidak bisa berbuat banyak dengan tangan dan kaki yang terpasung baja. Kalaupun harus mati malam ini, biarlah, pikir Mahesa. Meski akan miris jadinya jika mati dalam kesia-siaan.

Wajah itu menampak hanya sekelebat dalam gelap pandangan Mahesa yang sedang terpejam. Itu sosok Pak Abdullah. Tidak, bukan seperti ini. Ini belum usai. Dia membuka matanya lalu mengamati benda yang mencengkeram kaki dan tangannya. Sekuat tenaga menekan, berusaha melepaskan benda itu namun sungguh tak berguna. Benda itu amat kokoh. Sedangkan cakar-cakar Mahesa juga tak mampu menjangkaunya.

Mahesa mengamati sekeliling dan otaknya berputar mencari cara. Tapi sayang, tak kunjung ada jalan keluar. "Wulan!" dia berseru lantang dalam keterbatasan. Cara apapun harus dia lakukan agar bisa keluar dari tempat ini.

***

Para anggota Intel sudah berkerumun di depan tangga dan terdengar pula keramaian para teroris telah sampai di lantai tiga. Mereka bersiap untuk menjalan taktik Thomas sebelumnya. "Segera tembak setelah ada aba-aba dan hemat amunisi. Misi kita hanya bertahan sampai bantuan datang. Tidak untuk menyerang balik mereka atau menghabisi mereka."

Blaaar! Ledakan itu terdengar. "Kami berhasil meledakkan elevator pak!" teriak laporan seorang pria di sambungan radio. Taktik pertama Thomas telah dijalankan. Selanjutnya melakukan strategi berikutnya.

Peluh keringat bercucuran membanjir. Detak jantung juga semakin kencang bersama kecemasan. Sungguh nyawa para petugas itu kini sedang terancam. Tapi tidak ada jalan lari untuk mereka. Pilihannya hanya melawan dan bertahan.

Nyatanya raut ketakutan itu menopengi para agen Intelijen saat ini. Manusiawi, Thomas pun demikian. Detik-detik waktu terasa lama, bersama dengan semakin mendekatnya suara ramai hentakan sepatu dari arah bawah tangga.

Mereka datang, orang-orang yang berseragam hitam. "Tembak!" seru Thomas. Segera Wulan dan para agen lainnya menembak bertubi-tubi, Dor! Dor! Anggota teroris tersentak. Mereka mencoba membidik tapi kalah cepat. Hening telah menjadi gaduh. Letupan api dan bising moncong senjata membentak bersahutan. Saling tembak jarak dekat sesaat terjadi tapi akhirnya para teroris memutuskan mundur. Taktik Thomas berhasil tapi seorang agen harus terkulai dengan luka tembak di perut. Namun di sisi lain, tangga kini dipenuhi belasan sosok Red Rose yang terkapar berdarah.

Kondisi telah berbalik, para teroris kini yang tersergap dan tercerai berai. Kini mereka berkerumun diam di lantai tiga, menunggu siasat untuk maju.

"Apa yang terjadi?" Tanya Mile pada anggotanya yang ngos-ngosan.

"Mereka menyergap kita Boz," jawab salah seorang anggotanya.

Bibir Mile justru tersungging. "Menarik. Mereka mencoba menahan kita. Ini diluar perkiraan dan waktu kita sempit." Matanya berpaling, menagkap sosok anggotanya yang lain. "Hei kamu pergi ambil benda itu."

Di saat para teroris berfikir, benda-benda itu berjatuhan. Lima buah berdecik, melompat-lompat menuruni anak tangga, menuju pada para teroris yang terdiam.

"Granat!" Duar! Duar!

Gemuruh ledakan ramai bertubi-tubi, di lantai bawah, tempat para teroris kini berada. Mile menghindar dengan tepat. Dia masih beruntung. Namun tidak dengan beberapa anggotanya.

Thomas menjalankan strategi keduanya dan berbuah manis. Suara teriakan itu sudah cukup memberitahunya. Taktiknya kembali berhasil memukul mundur teroris.

"Kita berhasil!" ucap salah seorang agen.

"Belum. Masih belum," jawab Thomas dengan mata yang masih memercing ke arah tangga.

"Mereka pasti sekarang sedang panik, apa tidak sebaiknya giliran kita yang maju?"

"Tidak. Tetap jalankan rencana awal kita, bertahan."

Suasana diam sesaat setelah ledakan granat Thomas. Lalu Dor! Dor! tembakan bersahut-sahutan, melontarkan benda-benda berasap ke arah kelompok para Agen Intel berada. Itu adalah bom asap dan dalam hitungan beberapa detik, sudah mengepul, membuat Wulan dan rekan-rekannya balik terpojok. Mereka terbatuk-batuk dan pergi berhamburan.

"Mundur!" seru Thomas sambil bergegas.

Selagi mereka menghindari kepulan asap yang sesak dan pedih di mata, para teroris kembali merangsek. Kini mereka telah berhasil memasuki lantai empat. Para penjahat itu serempak memberondong ke arah kelompol Intelijen yang tersisa dan masih kerepotan. Baku tembak pun kembali pecah. Meja, lemari, benda-benda sekitar tak luput dari sasaran. Naas, beberapa Agen Intel pun jatuh tertembak.

Wulan berlindung dibalik loker, dari lesatan-lesatan peluru. Namun dia masih mampu membidik, memberikan perlawanan. Sedangkan Thomas berlindung di balik pintu, tak jauh darinya berada.

"Berapa lama lagi bantuan datang!" Teriak Wulan.

"Perkiraan dua puluh menit lagi," jawab Thomas

Kita tidak akan bisa bertahan selama itu. Harus memikirkan cara lain.

"Iya aku tahu. Aku pun sedang berusaha."

Dor! Dor! Raut Wulan belum mengatakan kekalahan. Keberaniannya masih meradang sambil terus menerus menarik pelatuk pistilnya.

Tiba-tiba dia tertegun sesaat, dia mendengarnya. Di antara berisik senapan, Wulan mendengar panggilan itu. "Thomas lindungi aku!"

"Kamu mau apa?" tanya Thomas.

Perempuan itu mengganti magazine pistolnya. Dia berdiri membelakangi, siap kembali membidik. "Aku akan mencari bantun!"

"Bantuan?"

"Sekarang giliranmu percaya padaku."

Thomas berpikir sesaat. "Kalian dengar?" teriaknya. "Lakukan tembakan serentak setelah aba-aba! Lindungi Wulan!" Mereka menunggu beberapa saat. Ketika letupan-letupan senjata musuh terdengar mereda. "Sekarang!" Serunya.

Mereka serentak menembak bersamaan. Suasana kembali menjadi sangat gaduh. Serpihan kayu dan debu pun beterbangan mengotori pandangan. Dan para teroris pun teralihkan. Lalu Wulan bergegas sambil sesekali turut menembak.

Tempatnya tak jauh dari pertempuran yang saat ini sedang berlangsung. Sambil tersengal-sengal, tak lama, Wulan sampai di depan pintu jeruji. "Pak Daud!" panggilnya dan sesaat kemudian pria penjaga pun hadir.

"Iya Mbak Wulan? Bisa dibantu?"

"Tolong buka gerbangnya."

"Suratnya Mbak?"

"Bapak tau kan kondisi kita sekarang? Cepat buka! Ini penting!"

"Ba.. Baik Mbak!" Dia menarik tuas dan jeruji besi pun terbuka.

"Beri saya kunci penjara. Kita harus melepaskan tahanan itu."

"Tapi Mbak.."

Wulan seketika mengacungkan pistolnya, tepat ke arah kepala Daud. "Tolong Pak bergegas."

***

Dia sudah berdiri di depan jeruji penjara. Di hadapannya Mahesa diam berdiri menunggu sambil menatap balik. Tanpa kata, kartu tansparan itu di gesekkan pada benda elektronik di samping jeruji. Dia lalu memasukkan kode password dan menarik tuas. Penjara Mahesa pun terbuka secara otomatis.

Perlahan dia melangkah maju, memasuki ruang penjara. Tak lama, mereka sudah berhadapan. Ini kali pertama Wulan berhadapan sedekat ini. Hatinya sedikit cemas. Wajar karena alam bawah sadarnya masih menganggap Mahesa pembunuh bengis.

"Aku akan melepaskanmu. Dan aku butuh bantuan." kata Wulan.

"Saya akan pergi dan tak akan kembali lagi ke tempat ini."

"Aku tak perduli. Lakukan saja yang kamu anggap benar."

"Maaf, Saya sudah tak bisa percaya pada kalian lagi."

"Aku mengerti. Tapi kamu tak harus dan tak bisa berjuang sendirian. Pikirkan juga itu."

Benda yang mencengkeram tangan Mahesa sangatlah kokoh. Kartu itu digesekkan lalu setelah lampu di benda itu menjadi hijau, klik, benda itu lepas dan tangan Mahesa pun bebas. Kemudian mereka berdua bergegas keluar ruang tahan.

"Hei bagaimana dengan saya?" tiba-tiba suara itu muncul dan mereka pun sontak terhenti.

Wulan melirik Jeremiah yang memelas di dalam penjara. "Kenapa aku harus melepaskanmu?" ucapnya.

"Tapi situ sudah melepas Mahesa toh?"

"Berdoa saja mereka tidak sampai ke tempat ini." Mereka berdua pun lanjut bergegas, menuju tempat pertempuran yang sedang sengit.

Semakin menipisnya waktu bagi Thomas dan para Agen lainnya. Mereka semakin tersudut karena mulai kehabisan peluru sementara para penyerang itu perlahan terus merangsek, mendekati mereka. Dan tak tampak juga mereka kekurangan amunisi.

Thomas kembali mengarahkan shotgun, Dor!, hanya mengenai tembok. Kemudian lawan pun merespon, memberikan tembakan membabi-buta. Dia segera berlindung dari terjangan peluru. Tembok di sampingnya meletup, terhempas, tercerai-berai. Setelah mengokang senapan, dia berbalik kembali untuk membidik tapi tiba-tiba, Dor!, senapan Thomas terlempar. Darah merembes di lengan kanannya. Thomas pun merintih menahan sakit.

"Pak Thomas tertembak!" ujar salah satu rekannya.

"Saya kehabisan amunisi! Kita akan terkepung," ujar yang lainnya.

Dari sisi para Agen, hingar binger letupan senapan mulai mereda. Para penjahat tau, mereka sudah mencapai batasnya. Dari jauh Mile memberi aba-aba dan para teroris pun mendekat semakin cepat sambil terus memberondong.

Dor! Aaaaargh! Teriak salah seorang agen, baru saja bahunya tertembus peluru. Seorang lainnya berdiri, bermaksud mundur, menjauh. Bruag, dia pun terjerembab seletah peluru menerobos punggungnya. Mereka terjatuh satu demi satu. Perlawanan semakin tak berimbang.

Thomas sudah tak bisa bergerak sambil memegangi lengan kananya yang memerah. Seorang Teroris telah berdiri di sampingnya. Dia mengarahkan moncong senapan ke kepalanya. Kini batas hidup pria itu dalam hitungan detik.

"Bos situasi sekarang sudah dibawah kendali. Musuh sudah kita pojokkan." Salah seorang teroris melaporkan kondisi pada Mile.

"Habisi segera lalu lanjutkan ke target utama kita."

Dia akan menarik pelatuknya. Thomas pun sudah memejam pasrah. Dor! Dia terjatuh ke lantai dengan dadanya berlubang dan Thomas selamat. Wulan kembali di saat yang tepat.

Prang! Dari arah belakang, Mahesa menerjang jendela. Parateroris terkejut dan segera berbalik. Langkahnya cepat berayun, melaju, menujupada kerumunan penjahat. "Mahesa!" teriak salah seorang peneror dan Slap! gedung seketika gelap. Dor!Dor! Dor! Termakan kecemasanpara teroris bergegas melesatkan peluru.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top