Perempuan dibawah hujan

Gemuruh ombak berkecamuk. Bruas.. Bruas.. Gelombang laut itu menghempas bergantian. Langitnya gelap, sesekali berhias sekelebat kilat. Amukan air tak hanya dari lautan, langit pun turut menguji. Hujan turun dengan lebatnya, air-air tawar menghujam ribuan. Pada kapal kayu kecil yang sedang terombang-ambing, dipermainkan badai.

Mereka lima orang yang terpojok. Meringkuk diam, memanjat doa pada saat yang mencekam. Padahal siang tadi mereka penuh canda tawa. Teriak senang berkali terlontar, setiap kail mampu mengangkat ikan besar yang bergeliat. Namun semua berbalik semenjak bakda Isya. Dan sekaranglah nasibnya diambang petaka.

Pak Abdullah, pria dengan rambut yang mulai beruban, janggut yang panjang, sedang duduk bersilah, bersandar pada tiang kayu sambil berucap doa. Matanya memejam dan bibirnya tak berhenti berbisik, meminta selamat pada Yang Maha Kuasa. Bersama dengannya, empat orang lainnya pun demikian. Hatinya penuh gundah dan gelisah.

Akhirnya doanya terkabul. Lautan pun kembali berdamai sekarang. Tangis dan bahagia, berganti menerpa mereka, tak terkecuali dengan Pak Abdullah. Tangannya membasuh muka, bersamaan hatinya berucap syukur. Senang dirasakan, ketika Tuhan masih memberi kesempatan. Dan saat matanya kembali terbuka, dia yang sedang terlentang, terapung-apung di lautan, mengemuka. Sosok jasad gelap, yang tidak ditahu darimana rimbanya. Apakah masih bernyawa atau sudah tiada.

***

Dia memainkan kemudi taksinya sangat lihai dan tenang. Jalan masih sedikit lengang pagi itu sehingga mampu melaju mulus, bebas tak terhalang. Sesekali matanya melirik kaca spion, mencuri pandang sosok penumpanganya. Dia wanita tua keriput angkuh. Wajahnya suram seperti penyihir, sedang duduk cemberut tanpa senyum.

"Mas, kamu sudah lama jadi supir Taksi?" tiba - tiba wanita tua itu bertanya.

"Maaf? Gi.. Gimana Bu?" Jawab Mahesa terbata.

"Aku tanya, kamu sudah lama jadi supir taksi?" Dia mengulang tanaya dengan suara lebih nyaring. Dan wajah pucat itu tak hentinya meneror.

"Ah, belum lama kok bu." Merinding menaiki tengkuknya. Perasaan dingin bergidik mengusap punggung. Mahesa memberanikan mata melirik dan wanita itu masih tak memalingkan pandangannya dari jendela.

"Pantas," bibir berkerut itu berucap. "Kamu tau tidak yang membedakan taksi dan angkot?" Perempuan itu melanjutkan tanya.

"Kenyamanan Bu?" Jawab Mahesa dengan perasaan janggal. "Taksi lebih nyaman tentunya meski harga lebih mahal." dia melanjutkan sambil memaksakan menyengir, berusaha mengusir suasana kikuk.

Namun tiba-tiba wajahnya berpaling. Dia berubah melototi angkuh sosok Mahesa di kaca spion sambil melemparkan ujaran tajam. "Tapi sayangnya saya tidak mendapatkan kenyamanan dari taksi brengsek ini."

Mahesa pun segera tersentak. "I.. Ibu merasa tidak nyaman? Kurang dingin AC-nya?"

"Rambut gondrong dan penampilamu," sindir nyinyir meletup dari bibir yang berkeriput pucat. "Saya tidak nyaman melihatnya. Tampangmu itu lebih cocok menjadi preman pasar atau buruh bangunan." ketusnya.

Jleb, kalimat itu bak belati. Mahesa tak mampu menghindar. "Oh, maafkan saya kalau begitu. Saya tidak bermaksud membuat anda tidak nyaman." Semoga tidak melihatmu lagi, dasar nenek sihir, bisiknya dalam hati untuk mengobati dengki.

"Tidak perlu minta maaf, saya akan tetap membayarmu kok. Semoga kamu tidak sakit hati, saya orangnya selalu berterus terang. Dan saya harap tidak akan menaiki taksimu ini lagi."

Hening, Mahesa hanya terdiam setelahnya dan sepanjang perjalanan. Mukanya muram, jiwa sosialnya sudah tidak ingin menggubris sosok di belakangnya. Otaknya bergolak, rasanya ingin melemparnya ke tempat sampah.

***

Di ruanganan besar, seorang pria tua berkacamata, baru saja membubarkan kuliahnya. Satu persatu para mahasiswa berdiri lalu berhambur menuju pintu kebebasan. Setelah dua jam lamanya menahan penat, terkungkung dalam kuliah yang membosankan. Di sudut ruangan, seorang perempuan berambut panjang, sedang merapikan setumpuk buku. Matanya lentik, hidung mancung, dan berkulit kuning langsat, pantaslah dibilang cantik. Dia pun pergi membaur, menuju kerumunan yang berjejal. Dia turut serta dalam usaha, mencapai tempat yang lega, bersemilir.

"Irma!" panggilan itu terdengar, suara perempuan. Di sebelah tangga, perempuan yang tak kalah cantik melambaikan tangan. Gadis berambut seleher itu tampak akrab menyapa. Sambil bibir tipisnya merekah mempesona, berkali-kali memanggil, menyapa.

Waktu melangkah sesaat, dua wanita muda itu duduk bersantai di taman, sambil tertawa terpingkal–pingkal. Irma dan Inest adalah sahabat karib sudah lama. Mereka sudah saling kenal sejak masa sekolah mengah. Bahkan hubungnya mungkin sudah melebihi teman. Susah senang, selalu bertukar cerita, benar-benar dekat seperti saudara.

"Kamu ingat ga sama Joko?" tanya Inest.

"Joko?" jawab Irma penasaran.

"Passwordnya adalah kacamata besar dan selokan."

Irma membeku sebentar. Tak lama tertawanya terlontar. "Iya.. Iya Aku ingat," katanya. "Aku akan selalu ketawa kalau inget wajahnya. Tepatnya kejadian itu."

"Secara, gara – gara kamu tolak cintanya, kakinya sampai disemen selama enam bulan."

"Gips!"

"Terserah deh."

"Ih bukan salahku lagi? Sapa suruh nembak aku di pinggir selokan. Gak kuat mental dengar penolakan, goyahkan? Tersungkurlah dia ke dalam got," kata Irma diikutin tawa.

Mereka berdua terus bersenda gurau tak ada habisnya. Melewati waktu satu hari tanpa terasa. Maklum, tiga bulan sebelumnya mereka berpisah.

Dia berasal dari Surabaya, yang bisa dibilang untuk universitas dan pusat pendidikan, tidaklah tertinggal. Tapi Irma memutuskan pergi ke Jakarta, tinggal sendiri di rumah susun sederhana, bukanlah tanpa alasan. Baginya rumah nyaman adalah rusun tempatnya bernaung sekarang, sendiri, sepi dan tidak ada gaduh. Suasana yang lebih baik dari pada tempat yang berisik, penuh teriak dan benda berhamburan.

Kadang inginnya kembali ke masa lalu. Setidaknya ke masa-masa sekolah menengah dulu. Waktu itu, semuanya masih cerah dan damai. Cengir bahagia tak henti-henti menerpa dia dan sekeluarga.

***

"Hari ini sedikit penumpang Pak," kata Mahesa sambil menempelkan sebuah handphone di pipi kirinya. "Mungkin nanti saya akan pulang subuh atau tidak pulang karena harus kejar setoran. Jadi bapak tidur dulu saja, jangan tunggu saya. Jangan kuatirkan kesehatan saya, bapak taulah bagaimana stamina saya kan?" Tiba-tiba berguncang, roda kemudinya jadi berat dan liar. "Sudah dulu Pak! Sepertinya ada masalah dengan mobil." Dia segera melempar handphonenya. Sesaat kemudian taksi biru itu pun melambat lalu menepi.

Malam sudah larut. Dibawah lebatnya hujam malam yang dingin, dengan terpaksa Mahesa melangkah keluar dari kabinnya yang nyaman. Dia berjalan mengitarinya bersama dingin yang menggigil. Masalahnya ditemukan, satu roda belakang kempes. "Ya ampun. Ya Tuhan.. Sial sekali aku hari ini," keluhnya.

Sejak awal dia sudah merasa, pertemuannya dengan penyihir tua itu pasti akan membawa sial. Lebih dari satu jam lamanya Mahesa bekerja mengganti ban mobilnya dalam gerutu. Hujan yang tadi mengamuk lebat, kini tersisa gerimis–gerimis tipis. Perjungannya sebentar lagi selesai. Tinggal mengencangan dua buah baut lagi, memasukkan ban ke bagasi, lalu deritanya usai.

Suara decitan terdengar keras, diikuti suara gemuruh mendentang. Mahesa segera bangkit, dia memercingkan matanya. Tampak di kejauhan sana, sebuah mobil hitam sedang diam mencium tiang besi lampu penerangan.

Di selimuti gerimis, dengan kaki telanjang, perempuan itu berlari kebingungan. Irma, wajahnya tampak ketakutan, tergopoh-gopoh berlari sambil sesekali terjerembab. Di dalam mobil hitam yang celaka, seorang pria tersadar dari pingsannya. Dia mengusap pelipisnya yang berdarah lalu amarahnya meledak. Dipukulinya kemudi, dengan kesal sambil memaki. Ketika matanya menangkap sosok Irma, senyumnya seketika menyeruak.

Dengan tubuhnya yang lemah, Irma terus berusaha berlari. Sesekali harus merangkak melewati kubangan karena kakinya lemas terkulai tak mampu menyangga. Tendangan itu datang, Irma terjerembab, tubuhnya terpelanting ke tanah berlumpur. belum sempat berdiri, kaki kuat itu menginjak tangannya, Irma berteriak kesakitan.

"Tolong! Tolong!" teriak Irma namun semua sepi. Namun sepi, hanya ada Vian yang bengis dan sedang menghajarnya.

Plak! Plak! Tamparan itu mendarat ke pipi. Perempuan muda itu mengerang kesakitan. Bersamaan itu, mengalir darah di pipinya yang memerah.

"Dasar Sundal!" bentak Vian. "Kenapa Kamu ga diam saja? Turuti saja mauku, bukannya jadi liar begini! Lihat itu!" bentaknya sambil jarinya menunjuk mobilnya yang remuk. "Mampus kamu!" sumpahnya.

"Ampun Mas. Tolong lepaskan saya." Irma memelas. " Biarkan saya pulang."

Vian menjabak rambut Irma lalu mendekatkan mulutnya ke telinga Irma, "Kembalikan dulu uangku baru aku lepas," bisiknya. "Aku sudah bayar mahal buat kamu!" Dia mejambak kuat rambut Irma dan menarik paksa menuju mobilnya berada. Tak memperdulikan tangis kesakitan perempuan itu.

"Apa itu yang Ibumu ajarkan untuk menghormati seorang wanita?" Suara itu muncul di belakang Vian.

Dia berhenti dan melepaskan rambut Irma. Dia berbalik, sosok pria godrong itu menampak, berdiri tegap sambil tangannya mengepal.

"Siapa Kamu? Berani kamu sama aku?" hardiknya. "Kamu tidak tau siapa aku ini hah?"

Tiba - tiba pukulan itu mendarat. Vian tak sempat menghindar. Dia terjungkal, berguling–guling di atas kubangan. Darah mengalir di hidungnya disertai nyeri menyakitkan.

"Pergi dari sini jika tak ingin celaka," Mahesa memperingatkan. Dia mengacuhkan Vian, melangkah pergi, mendekati Irma yang terduduk diam.

Namun pria itu memang keras kepala. Dia berdiri perlahan lalu mengeluarkan sebuah pistol dari balik jas hitamnya. "Bangsat kamu!" bentak Vian dengan matanya yang nanar.

Pelatuknya akan ditarik tapi Mahesa bergerak sigap. Dia melesat, mengayunkan kakinya dengan kencang. Pistolnya terhentak, terlempar jatuh. Lalu giliran kaki kiri Mahesa nendang kencang dadanya, membuatnya terlempar mundur beberapa meter. Dia berguling-guling di tanah, meringis sakit. Kali ini sakit yang amat sangat, yang membuatnya tak mampu berdiri.

Mahesa masih belum puas, dia menghampirinya yang masih tersungkur. Dia menarik kerah bajunya lalu memukuli wajahnya berulang kali. Bak.. buk.. bak.. Dan Vian pun lemas sambil mengerang. Tangannya tak mampu melindungi. Akhirnya dia terlentang diam. Darah lebih deras mengucur dari mulut dan hidungnya. Wajahnya yang tadi tampak rupawan berubah merah, bengkak, berdarah.

Mahesa kembali mendekati Irma. Dia memegang rahangnya lalu melihat pipi kirinya yang memerah dan luka. "Ayo aku antar pulang," ajaknya.

"Terima kasih," ucap Irma lirih. Dia berdiri perlahan melawan lemas tubuhnya. Lalu berjalan pelan sambil bersandar di pelukan Mahesa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top