Penyergapan dan Perlawanan
Matanya melotot, dia terkejut pada teriakan Gusti, memanggil namanya. Jeremiah melangkah, mendekat. kini pria gelap berkribo putih itu, sudah berdiri hampir di samping pimpinannya berada. "A... Ada apa Bos teriak, panggil-panggil saya punya nama?" tanyanya terbata. Sesaat ini dia tak mampu bertindak normal karena panik. Tubuhnya menyadari, sebuah amarah telah meletup dari pertanda yang baru saja terdengar.
Telunjuknya menjulur, mengacung ke bawah, tepat pada sepasang kaki Mahesa berada. "Apa itu?" tanya Gusti, suaranya pelan.
"Kakinya? Se... Sendal Bos?"
Ruangan itu sementara senyap. Semua orang turut merinding. Aura amarah Gusti sungguh-sungguh menyihir. Tangan itu menepuk pelan pundak Jeremiah. Sempat membuatnya tersentak seketika. "Ambil itu," Gusti memerintahnya sambil telunjuknya masih menjulur.
Pria gelap berkribo putih itu, perlahan melangkah, melangkah berhati-hati. Tubuhnya mulai berjongkok lalu menarik lepas sebuah sandal jepit di kaki tawanan yang bergelang borgol berantai, tampak diam tak berdaya. Kedua kaki Mahesa terkait kuat pada rantai yang melilit di kaki-kaki kursi besi yang di dudukinya.
"Ambil keduanya, berikan pada ku."
Dia melirik sebentar pada Gusti yang tanpa senyum. Kedua sandal swallow hijau itu sudah terlepas kemudian diserahkan, mengikuti perintah.
Dibolak-balik, matanya menjelajahi dua bilah sandal karet kusam. Tak lama kemudian, yang mencurigakan pun didapat. Dia menjatuhkan sebelah sandalnya ke lantai. Lalu seketika menamparkannya sebelah lainnya ke wajah Jeremiah hingga dia mengerang. Sesaat tamparan itu terdengar namun ruangan itu sunyi. "Kamu tau prosedur standar penangkapan kan?" sindir Gusti.
Pria itu mengangguk kaku dan ketakutan, sambil memegang pipi. Mulutnya tak bisa bersuara karena teramat gagap.
Dari pinggang Jeremiah, belati kecil itu diambil. Itu sebuah goresan yang sudah tertutup lem pada sandal jepit Mahesa. Tangannya lihai membedah. Ujung belati itu menusuk, mencongkel sehingga benda kecil itu muncul keluar. "Kamu lalai." Gusti melempar benda itu ke wajah Jeremiah, sebuah sirkuit elektrik kecil, alat pelacak.
Tiba-tiba tangan Gusti menerkam. Jeremiah melotot dan kedua tangannya menggenggam pergelangan tangan gusti yang kuat, mencoba mengenyahkan dari lehernya yang tercekik. Pria itu kian menggeliat, tersengal tak bisa bernafas.
"Aku muak dengan ketololanmu," Gusti menghardiknya. Kemudian tangan itu diayun kuat, jeremiah terbang, terlempar beberapa meter jauhnya ke arah pintu masuk. Dia masih selamat, Gusti masih memberinya ijin bernafas. "Bergegaslah, kita harus segera pergi."
Namun belum sempat Jeremiah berdiri, suara gemuruh berisik itu muncul, suara mesin Helicopter. Tak lama suara ledakan keras menyusul. Kemudian suara rentetan desing senjata, mengikuti.
Crang! Segera Mahesa mencakar rantai borgol yang mengikat tangannya. Dia berdiri kemudian melompat tinggi, membawa serta kursi yang masih terikat ke udara. Tubuhnya berguling dan kursi besi itu pun turut terayun. Bruak! Hancur seketika saat menumbuk keras tubuh Gusti. Nmun dia masih tegar berdiri. Benda itu hanya menghantam kedua tangannya yang menyilang.
Dia lanjut menebas kakinya, Gusti mengerang dan roboh berlutut. Cepat dihujamkan lagi cakar kirinya, menusuk pinggang lawannya. Kembali Gusti meraung kesakitan.
Tangan kanannya mencengkeram tangan kiri Mahesa yang masih menghujam untuk menarik kuku yang menancap. Kemudian gilirang tangan kirinya mencekik leher Mahesa. Cengkramannya kuat, Mahesa pun terdesak. Perlahan, sisik-sisik perak itu muncul, membungkus kulit tubuh Gusti sembari dia tersenyum. "Tidak hanya kamu yang memiliki kelebihan," ujar Gusti angkuh.
Mahesa sudah menebas tangan kirinya tapi sisik-sisik perak itu tak tertembus. Gusti tak bergeming, masih mencekik kuat. Buak! Tinju kanan dilancarkan ke wajahnya dan Gusti tak terpengaruh. Buak! Tinju kedua, ketiga dan seterusnya, berkali dilancarkan. Kepala Gusti tempak mulai goyang kemudian berganti kaki kanan menjejak kuat, mengenai dadanya dan cengkraman Gusti terlepas. Mahesa melompat, berputar keudara kemudian kembali melontarkan kaki kanannya, Duag! Berhasil, Gusti terlontar beberapa meter kebelakang.
Rentetan peluru itu tiba-tiba meletup, Dododor! Melesat ke arah Mahesa. Membuat riuh ruangan. Dia sigap menghindar, berlari kemudian melompat tinggi. Dia menerjang, menghujamkan lututnya pada Jeremiah yang masih berdiri. Duag! Dia tersungkur sambil mengerang. Rasa nyeri hebat hinggap di dadanya. Lalu, Duag! Tindu kanan itu mengenai rahangnya. Hantamannya sangat kuat dan Jeremiah seketika terkapas diam. "Itu pembalasanku," gumam Mahesa.
Benda bulat itu terlihat, terkait di tubuh Jeremiah. Buk! Tiba-tiba tendangan itu hadir, tepat mengena wajah Mahesa, membuatnya terlontar, berguling di lantai. Sempat pandangannya meremang sesaat tapi sebuah granat ternyata sudah teraih di tangannya. Segera Mahesa melemparnya, Duar!
Suara melengking masih memekakkan telingan. Ledakannya sangat dahsyat. Ruangan itu seketika dipenuhi abu dan para pasukan itu bergelimpangan, melantai, bersama hamburan puing-puing sisa ledakan.
***
"Kita sudah mendekati sasaran!" teriak Indra. "Persiapkan persenjataan!"
https://youtu.be/0PNCSRhdtec
Para prajurit penjaga, antek-antek Red Rose sedang hilir mudik. Harusnya malam itu sepi senyap seperti sebelumnya. Maklum tempat itu berada di pinggiran. Tapi gemuruh berisik itu menyeruak, diikuti sorot-sorot penerangan.
Pria-pria itu segera bersiaga, membidik sasaran dan kembang api itu pun melesat, Blar! Tembok pembatas hancur, roboh dan beberapa tentara Red Rose terdampar diam. "Ada musuh! Tembak!" seru salah seorang prajuri.
https://youtu.be/W3HbxIRvAjw
Pertempuran dimulai. Helicopter polisi beberapa kali melesatkan roket. Sasarannya adalah tembok pembatas dan ledakan pun bertubi-tubi, menggelegar. Kini area pergudangan tua itu menjadi ramai dan terang oleh kobaran api.
Satu persatu pasukan kepolisian meluncur turun dari Heli dengan seutas tali. Sesampainya di darat, mereka segera bergerak, menerjang medan persawahan sambil membidik dan menembak.
Beberapa prajurit Red Rose pun demikian, bergerak menuju tombok yang telah roboh lalu segera mencari dan membidik musuhnya. Beberapa lainnya sedang menembaki helicopter yang sedang terbang bereliweran berlatarkan langit gelap.
Dor! Dor! Seorang prajurit polisi tersengal-sengal sambil menembak-nembak. Dua orang baru saja dijatuh oleh pelurunya. Dia kembali melangkah, menerabas rimbut persawahan, berjalan berjajar bersama rekan-rekannya, perlahan dan waspada. Lalu, Duar! Suara desingan senjata menggelegar. Dia pun terjatuh, terkapar. Sebuah peluru baru saja menembus helm di kepalannya. Dio! Suara panggilan itu terdengar, memanggil namanya lalu semuanya menjadi gelap dan sunyi.
"Sniper! Sniper!" teriak seorang prajurit sambil bersembunyi dibalik rimbun tanaman padi.
Wulan bersembunyi di balik pohon yang menjulang. Sesekali peluru nyasal meledakkan batang pohon itu. Nafasnya tersengal, sesekali dia bergeser dan membidik pistol, turut serta dalam keramaian. Namun pada dasarnya ini bukanlah kali pertama bagi Wulan di medan perang. "Indra!" dia memanggil partnernya dengan alat komunikasi radio di tangan. "Mana bala bantuan kita!" suara desingan, rentetan peluru masih setia menghiasi. Sesekali ledakan granat pun turun serta.
"Mereka segera tiba!" balas Indra dari balik Hendy talkie di tangan Wulan. "Bertahanlah!"
Helikopter itu meraung, melaju sambil menembaki atap-atap gedung. Tampak sosok misterius yang bersembunyi berlarian menghindar. Aaaargh! Salah seorang diantaranya terhujani peluru dan terjatuh ke tanah.
Dua orang pria berlarian sambil terengah-engah, memasuki gudang kosong. Dia cepat menarik jatuh sebuah kotak lalu membukanya. Pria satunya cepat menyibak tumpukan jerami di dalamnya. Sebuah benda besar, panjang tertampak, membuat mereka berdua tertegun sesaat. Mereka saling mengangguk lalu salah seorang diantara mengambil dan membopongnya berlari keluar ruangan.
Pria itu lihai memainkan tongkat kemudi. Dari ketinggian, hampir semua penjahat-penjahat itu terlihat. Lalu cepat saja tombol ditekan dan sebuah laras di bawah kokpit helicopter akan berdesing, melesatkan puluhan butih peluru, menghujani mereka yang terlihat di muka bumi. Kemudian peringatan itu terdengar dari alat komunikasi di telinganya. "Awas RPG!"
Mereka berdua berlari dan saat sudah berada di pinggir jendela di lantai dua, cepat-cepat benda berujung lancip itu dipasang. Selanjutnya seorang pria memanggulnya, membidik sasaran pada sebuah Helikopter yang sedang melayang-layang, menembaki rekannya. Klik! Benda itu melesat dan, Jeduar! Terjadi ledakan di udara. Sebuah helikopter terbakar dan terhempar ke tanah. Seketika itu disambut teriakan senang oleh beberapa orang. Begitu juga dengan dua orang penyerang itu, tak kalah gembira atas keberhasilannya.
"Sutu Super Puma jatuh! Itu Heli 04!" ujar salah seorang prajurit kepolisian, mengabarkan di komunikasi radio.
"Sial," gumam Indra setelah mendengan kabar yang menghenyak, atas gugurnya seorang pilot. "Heli 01, 02, 03 harap waspada! Saya ulangi harap waspada! Menjauh! Terbang menjauh! Tetap melakukan pemantauan medan dari jarak aman. Dan informasikan segera posisi..." Duar! Indra terhenyak saat suara senapan sniper itu kembali menggelegar. Bantuan belum datang dan saat ini pasukan kepolisian, teman-temannya terdesak, itu perkiraannya saat ini. "Cari lokasi Sniper!" lanjutnya. "Siapapun jika ada yang mengetahuinya, Laporkan! Prioritas cari lokasi RPG Launcher dan Siper!"
"Sniper di atap gedung!" jawab salah seorang priajurit lewat komunikasi radio. "Di daerah paling utara, atap gedung paling utara, dekat menara!"
Indra segera menggunakan teropong Night Vision. Ditemukan, bukan sosok sang sniper tapi atap gedung, perkiraan tempat keberadaan sang sniper. Indra memerinsa SS2 di tangannya dan empat buah Smoke Granade terikat, dikalungkan di leher.
"Wulan sementara pimpin Operasi! Komunikasi dengan bala bantuan, dimana posisi mereka!"
"Kamu mau kemana?"
"Aku akan menjatuhkan seseorang. Jika tidak anggota kita bisa habis." Indra mematikan komunikasinya.
"Hei! Indra!" panggilnya tak terjawab.
Dia berlari, terus berlari, melewati beberapa prajurit yang sedang tiarap berlindung sambil matanya melirik atap gedung. Membawa sebuah laras panjang, berlari di medan berlumpur, sungguh menguras stamina. Tak salah, Indra begitu tersiksa pada jogingnya malam ini. Dia kembali melirik, gedung itu terlihat tapi belum cukup dekat.
Dia melempar sebuah Smoke Granade, Duash! Asap putih mengepul dan Indra bergegas memasukinya. Dia berdiam sejenak, berlindung dibalik tembok asap sambil mengatur nafas. Dia sangat kelelahan. Night Vision Monocular digunakan, matanya menyibak gelap, mencari keberadaan si penembak jarak jauh. Duar! Bersamaan suara menggelegar, lumpur yang tak jauh darinya Indra berada, meletup. Sang Sniper rupanya mengetahui pergerakan Indra. Indra saat ini diincar oleh lawan tak terlihat. Tapi tembakannya itu tentu saja mengharap peruntungan karena sosok Indra sendiri tak tertampak, tersembunyi dalam benteng kabut putih.
Kabutnya mulai menipis, Indra harus kembali bergerak, berlari mendekat, sedekat mungkin dengan sang sniper berada. Berlari satu-satunya cara agar dirinya tidak terbidik. Sedetik saja terdiam maka kepalanya bisa berlubang. Tapi sayangnya sosok lawannya masih belum tertangkap matanya. Indra harus terus bergerak sampai sosok sang sniper tertangkap. Smoke Granade kembali dilempar dan dia kembali bersembunyi sambil mengatur nafas.
Dia merayap, mengendap-endap sambil pandangannya tak lepas dari teropong senapan. Matanya berusaha mengunci calon mangsa yang sedang berpetak-umpet di sana. Asap putih itu terlihat lagi dan sosok si tikus buruannya, begitu licin bersembunyi. Tungkai besi ditarik, selongsong peluru pun terlontar. Dia membidik kembali pada kepulan asap putih. Tentu saja masih sama, ini bidikan tebak-tebakan. Dia hanya bermodal harapan, semoga kali ini pelurunya berhasil menembus tikus itu. Duar! Suara kembali memecah malam. Asapnya mulai menipis dan sosok sasarannya keluar dari persembunyian, kembali bergerak. "Bangsat," gerutunya sambil menahan sebal.
Terasa hangat, darah itu mengalir perlahan, membasahi jemarinya. Sangat sial, tembakan terakhir sang sniper ternyata tak sepenuhnya meleset. Lengan kiri Indra terkena, meski hanya terserempet peluru tapi sakitnya bukan kepalang. Dan dia harus kembali berlari sambil menggendong laras panjang di tangan. Kakinya kini semakin berat, sudah sangat letih dan sosok penembak itu masih belum terlihat juga olehnya. Smoke Granade kembali dilempar dan hal yang sama terulang, Indra kembali bersembunyi sambil melepas lelah.
Duar! Tembakan peruntungan kembali meletup dan sang sniper menanti was-was apakah kali ini jecpot didapat. Dia cepat kembali membidik lalu, Duar! Perlahan kabut putih itu mulai menipis dan lenyap sepenuhnya. Terlihat, itu sosok buruannya sudah terkulai, diam tak bergerak diantara juntaian batang padi. Tidak salah lagi, itu adalah sosok Indra yang sudah menggelepar mencium lumpur.
"AKP Indra tertembak!" kabar itu berteriak di sambungan radio dan Wulan pun terkejut mendengarnya.
*SS2 Subsonic - Senapan Serbu - Pindad
*Monocular Night Vision
*Super Puma
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top