Pemburu Bandit
Pria itu wajahnya penuh memar, terlentang diam dan kedua tangannya terikat. Saat itu malam sepi, segerobol Pria mengerubunginya. Mereka melempar cemooh, caci maki pada Pria malang yang lemas. Seorang Pria gemuk datang, kerumunan itu pun memberi jalan. Kepul asap tak henti–hentinya meluap dari mulutnya. Sorot mata bengis itu, dengan beberapa keriput, tampak jahat dan ganas.
"Dua tahun lamanya Aku tertipu. Kamu benar–benar lihai Dian," katanya bersama asap putih, mengibas. "Ternyata Kamu anjing polisi yang selama ini menggigitku diam–diam."
Jari telunjuknya meliuk, memberi isyarat. Seorang Pria berbadan besar, bersinglet, dengan rambut Mohawk datang. Dia mengguyur Pria malang di tanah, bau bensin menyengat, berkeliaran. Pria itu menggeliat sadar, tapi memar parah di sekujur tubuhnya tak memberinya tenaga. Gang sempit, gelap dan sunyi itu, menjadi saksi bisu ketidakberdayaan Pria mengenaskan itu.
"Aku sanjung jiwa patriotmu. Kamu Polisi hebat yang tak pandang bahaya. Mungkin Kamu pikir, walau nyawa melayang, Surga akan datang untuk seorang Pahlawan. Dan neraka hanya untuk orang–orang kotor seperti Aku? Begitu? Jangan senang dulu." Seringai keji menampak. Pria tambun itu bak diselimuti hawa kekejaman. "Aku akan berbagi Neraka untukmu. Rasakan panasnya sebelum mati."
Dia menghisap cerutunya dalam–dalam. Asap putih tebal meluap berjubel dari mulutnya. Bruak! Pria tambun terhuyung, lalu terjungkal kebelakang. Puntung cerutunya hilang entah kemana dan kelegaan hinggap di hati Pria malang di tanah.
Gerombolan penjahat itu terkejut, bergegas menghampiri, "Bos!" teriaknya bersahut – sahutan.
"Kampret! Bajingan! Siapa, siapa yang melakukan?!" teriaknya sambil memegangi kepalanya yang lebam. Bongkahan batu yang tadi menghantam kepalanya, tergeletak di tanah. Beruntung, entah karena mengenai topinya, kepala Pria tambun itu hanya lebam. "Apa yang kalian tunggu, cari Dia! Bunuh!"
Bergegas para penjahat itu membidikan bermacam – macam senjata di tangannya. Mereka kompak tertuju ke ujung gang gelap, tempat lemparan batu ini berasal. "Woi! Siapa Kamu! Keluar atau berondong ya?!" ancam salah satu Pria bersenjata. Mereka ada sepuluh orang berjajar sambil menodong, sebelas termasuk Pria tambun, Bos Mereka.
Sepasang mata perak itu menatap di tengah gelap. Gerombolan Pria bersenjata itu tersentak, makhluk apa itu yang di sana? pikirnya. Sosok itu terlihat berlari mendekat. Para berandal yang terkejut bercampur takut, kompak memberondongkan senjata. Suara desingan mesiu memekak bertubi–tubi, memecah malam yang tadi sunyi.
Lusinan peluru melesat, menerjang apapun di sana. Suasana gaduh menghentak. Ledakan moncong senjata, berkelebat bergantian, menerangi gang sempit yang tadinya gelap. Lalu tembakan-tembakan itu pun berakhir. Lusinan selongsing peluru membanjir di kaki para Pria yang ketakutan.
"Gimana? Sudah mati gak?" tanya salah seorang diantaranya.
"Emangnya Kita nembakin apa sih?" kata yang lainnya.
"Entahlah," kata Pria berambut Mohawk. "Tapi aku yakin ada seseorang tadi di sana. Men!" panggilnya pada Emen. Pria kurus, hitam dengan rambut ikal cepak yang penakut. "Coba Kamu lihat ke sana!" perintahnya pada Emen. Pada kondisi – kondisi seperti ini, mereka memang sering menjadikan Emen pancingan.
"A.. Aku Bon?" jawab Emen gemetaran. "Masak Aku lagi? Kemaren waktu di kuburan, Aku juga Kamu suruh maju?"
"Loh, Ayo maju, lihat sana!" bentak Bono. "Bawa senter, dicek, nanti Aku tembak dari sini kalau ada apa – apa."
"Iya, tapi awas kena kepalaku.." Emen mulai pergi, mengikuti perintah. Samar–samar terdengan suara ketawa yang tertahan dari anggota yang lain. "Wes.. Ga kuat.. Besok tobat wes Aku.." gerutunya.
Kaki Emen terantuk, "Asu!" teriaknya.
"Kenapa Men?" tanya Bono.
"Ah ga.. Ini kaki nyenggol si Dian."
Emen kembali melangkah. Dia menyorot senternya, menerangi sudut–sudut gang.
"Gimana Men?" teriak Bono.
"Ga ada kok! Ga ada apa–apa!"
Gerombolan berandal itu saling bertukar pandang. Raut kebingungan terlukis di wajah masing–masing. Tak terkecuali Bono yang bertubuh gempal dan perkasa.
"Gimana Bon?" Tanya Digto, sang Bos Penjahat.
"Ga ada Bos kata Si Emen. Tapi tadi Saya jelas liat ada orang kok."
"Terus siapa yang membuat palaku benjol kalau di sana tidak ada siapa–siapa?" gerutu Digto.
Aaaarrggh! Seorang penjahat terjungkal setelah kepalanya ditempeleng dengan gagang senjatanya sendiri. Anggota lainnya, termasuk Bono dan Digto pun terkejut, matanya mencari teriakan berada.
Dia melompat, melayangkan tinjunya., Buak! seketika seorang Pria tersungkur diam. Cakarnya menebas, Aaaaargh! tangan Pria itu terkoyak lalu siku mendarat di mukanya. Dua orang membidiknya, Mahesa melompat, berguling kemudian menebas kaki mereka. Tinju kanannya mengenai perut, seorang lagi terjatuh. Dan satu lagi dicekik lehernya, didorong jauh, menghantam seorang temannya. Buak! sebuah tendang diwajah, Buak! sebuah injakan diperut, dua orang lagi terkapar.
Gesit dan cakarnya sangat cepat menebas. Kakinya pun lincah, melompat kesana-kemari sambil menendang tak henti–henti. Tujuh orang berandal telah bertumbangan. Dor! Senapan Bono berdesing tapi moncongnya terangkat ke angkas oleh Mahesa. Cakarnya ditarik, senapan terjatuh ketanah bersama ibu jari Bono. Dia meraung kesakitan, memegangi tangan kanannya yang berdarah. Pukulan Mahesa ke rahang kirinya, membuat Bono terjerembab dan pingsan. Pria gempal itu tampak lembek tak berguna di tangan Mahesa.
Bos Digto terduduk ketakutan di aspal, di samping mobilnya. "Mau berapa? Akan Aku bayar Kamu, tolong jangan bunuh Aku!" pintanya. Dia berbaju hitam, belang – belang emas, berdiri dihadapannya. Mata perak Mahesa, melihat diam Pria lemah di bawah kakinya.
"Panggil Polisi!" perintahnya pada Digto.
"Tobat!" teriak Emen di ujung gang. Dia lari, melesat sambil ketakutan, meninggalkan teman – temannya dan membuang pistol yang tadi tergenggam.
"B.. Baik Aku panggil Polisi," kata Digto menurut.
Dian selamat. Polisi itu tak jadi meregang nyawa berkat Mahesa yang datang di saat yang tepat.
Polisi datang berbondong–bondong. Mereka langsung mengamankan Digto dan gerombolannya, terkecuali Emen yang sudah kabur. Dian yang terkulai juga cepat diberikan tindakan medis. Dan Mahesa mengamati keramaian itu dari puncak bangunan, jauh tak terlihat.
***
Mahesa berdiri sendiri di depan batu nisan, makam Irma. Itu siang hari, di jam istirahatnya. Hampir setiap hari, Dia selalu menyempatkan dirinya mengunjungi pusara Irma.
Sudah tiga bulan berlalu sejak kematian Irma. Para pelakunya juga sudah di hukum setimpal. Tapi hati Mahesa masih belum merasakan damai. Sesalnya masih tiada henti. Selamatkan, bisikan itu terus dan terus berkumandang di kepalanya. Tidak siang, tidak malam, membuat hari – harinya berlalu tanpa tenang. Siang hari, Dia berkeliling kota dengan Taxinya mencari nafkah. Di kala Malam, Dia berlari, melompati gedung – gedung pencakar, mencari mangsa. Mangsanya adalah Mereka para berandal dan penjahat.
Sudah sebulan terakhir jakarta geger pada kemunculan sosok misterius bercakar, berkeliaran. Desas – desus semarak di kalangan warga. Ada yang menyebutnya Manusia Harimau, ada juga yang bilang Pahlawan bertopeng, merujuk pada kegemarannya memburu preman atau bandit. Namun tak sedikit pula yang bilang, pelaku pesugihan atau tukang santet.
Polisi mulai menanggapi kegaduhan yang melanda. Patroli pun lebih diperketat. Sisi baiknya, sebulan terakhir angka kejahtan menurun di jalanan. Apakah karena Orang itu? Yang jelas hidup masyarakat pun lebih tenang karenanya.
***
"Mending begini, lebih enak daripada berurusan dengan kasus manusia jadi–jadian toh?" kata seorang berkacamata hitam.
"Manusia jadi–jadian apa?" tanya temannya yang bertopi.
"Itu.. Kan sedang marak sekarang, yang katanya Manusia macan, keluyuran di jakarta? Sampai-sampai kepolisian pun membentuk satuan patroli khusus buat menangkapnya."
"Oh itu.. Lebih tepatnya, Manusia berbaju macan."
"Ya wes terserah."
"Saya juga sempat sih diajak, untung ga jadi. Apa urusannya kita, Polisi, sama orang gila kayak itu?"
"Kok gila? Itu pastiorang pesugihan."
"Ga tau lah.. Itu juga karena media, terlalu gembar–gembor. Mungkin juga ini isu pengalihan Elit Politik, kan biasanya gitu.."
"Oh.. Gitu ya? "
"Mungkin?"
Tok.. Tok.. bunyi kaca pintu mobil, diketuk dari luar. Pria berkacamata, yang berada di belakang kemudi langsung bepaling, dan...
***
Pagi hari yang cerah. Seperti biasanya, gerombolan berbaju biru itu, mengerumuni warung mpok atik, mengisi perut yang masih kosong. Suguhan sederhana, sepiring pisang goreng, singkong goreng, kerupuk, nasi bungkus, menjadi menu istimewa di mata para pencari kenyang. Bergiliran Mereka menyeruput kopinya dan salah satu, diantaranya Mahesa yang berwajah kucel. Sudah bisa dipastikan, mandi pagi kembali dilewati.
"Ngelembur lagi Kamu ya?" tanya Daniel pada Mahesa. Yang duduk bersebelahan.
"Iya," jawabnya singkat.
"Edan Kamu, hampir tiap hari ngalong. Kuat bener badanmu ya Sa?"
Mahesa mengunyah sambil melirik pada Daniel. "Aku memang beda sama Kamu. Fisikku sudah ditempa, beda sama kamu yang dari kecil di kasih makan roti sama keju, trus minumnya susu."
"Lah apa hubungannya?"
"Kamu yang hidup di rumah mentereng, pasti paling berat, mikul kotak roti. Kemaren saja Aku tau waktu ban Taksimu kempe. Kamu panggil satpam rumahmu untuk mmemperbaiki kan?"
"Hahahaha.. Bener itu Sa? Dasar cah gedong. sok coba hidup miskin, eh ngepir?" kelakar bejo.
"Loh.. Loh.. kok jadinya ngeledek Aku seh?" gerutu Daniel.
"Ga ngeledek Dan, cuma penasaran. Kok bisa kamu yang sudah mapan, malah jadi supir Taksi? Gitu kan Sa?"
Mahesa hanya mengangguk, menyikapi perkataan Bejo.
"Ya terserah Aku lah. Hidup ya hidupku. Kan ga urusan sama Kalian?" ujar Daniel, marah. "Wes lah, Aku pergi.." Dia melangkah pergi setelah meninggalkan selembar uang untuk mpok Atik.
"Yah gitu ae ngambek.." sindir Bejo sambil terbahak–bahak.
Dan Mahesa membuka senyum sambil melirik Bejo. "Ya sudah, Aku berangkat juga ya."
"Lah kok Kamu juga?"
"Iya, sudah waktunya ngejob."
Dia segera memasuki Taksinya. Sekarang Taksi Mahesa sudah mulus kembali setelah kecelakaan fatal sebelumnya. Cepat juga, hanya sebulan masa perbaikan tapi tentunya dengan biaya berlipat. Karenanya, berikutnya dia harus bekerja membabi buta untuk mengganti uang yang terkuras.
***
Siang hari, kemarau dan panas. Ana–anak sekolah berjubel keluar, membanjir menuju arah pulang masing–masing. Siang ini Mahesa mendapat order, menjemput seorang Siswa sekolahan. Sekitar sepuluh menit lamanya menanti dan sepertinya waktu tunggunya akan berakhir.
Seorang gadis berseragam tampak celingak–celinguk di pinggir jalan. Sesekali dia melihat jam tangannya. Sebuah Van biru kusam berhenti mendadak di depannya. Beberapa Pria cepat kerluar dan memaksa gadis itu masuk ke dalamnya.
Toloong! teriaknya. Tapi orang – orang hanya diam ketakutan. Dia sudah masuk ke dalam mobil dan pintu pun ditutup. Sang sopir segera bergegas, akan menginjak gas tapi sebuah tinju menembus kaca dan menghantam rahangnya, kuat. Cengkeraman pada lehernya, menarik keluar kepalanya dan Duagh, siku Mahesa menumbuk, darah mengucur di hidung dan kepalanya yang terluka.
"Woi, kenapa!" teriak temannya di belakang. Tiba–tiba pintu Van terbuka. Tangan Mahesa cepat menarik dan melemparnya keluar. Mukanya menghantam sebuah angkot yang lewat. Dua orang penculik pun gugur.
Dor.. Dor.. Dor.. moncong pistol meletup. Mahesa cepat menghindar. Dia melompat, merguling di atas atap Van kemudian mendarat di sisi kiri Van. Dia membuka pintu mobil dan orang bersenjata itu terkejut. Pukulan dihantamkan dan menarik dia keluar hingga Pria itu terlempar, wajahnya menghantam tembok pagar.
Seorang Pria turun dari pintu depan. Mahesa cepat menerjang. Lututnya menghantam keras dan Pria itu terlempar, menerabas pintu mobil hingga patah, terjungkal ke tanah. Habis, empat Pria penculik itu terkapar. Dan sorot pandang semua orang, tertuju padanya.
Perlahan gadis itu keluar. Matanya memandangi sosok penolongnya yang terdiam. "Makasih Om.." katanya.
"Iya," jawab Mahesa singkat. Dia cepat menghindar dan segera Taksinya melaju, menghilang.
Namun ketenangan itu hanya sesaat. Teriakan histeris seorang wanita, menggemparkan. Sebuah mobil sedan yang tak jauh berada, ditemukan bersama dua jasad pria dengan kepala berlubang. Orang–orang segera berkerumun. Prita, gadis pelajar yang baru saja selamat, mematung dan terkejut. Mobil naas itu, yang mengantarnya tadi pagi dan seharusnya menjemputnya pula siang itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top