Pasca Teror Badan Intelijen

Prita duduk sendiri di atas kursi sambil menatap bintang dari teras kecil di depan kamar tempatnya dirawat. Tangannya masih terperban tentunya, tergantung lemas di dadanya dan selang infus pun demikian masih mengurat di tangan satunya. Disayangkan keinginannya bertemu Mahesa belum terlaksana hingga kini. Hatinya pun masih kalut akan keberadaan supir taxi kenalannya itu.

Seharusnya gadis itu sudah merencanakan untuk pergi ke kantor polisi guna menemui Mahesa. Ijin pun sudah didapatkan baik dari dokter maupun orang tuanyanya. Sempat Ibunya penasaran dan bertanya siapa om yang ingin ditemuinya dan kenapa. Dan Prita dengan cerdas berkilah, ingin melihat seorang polisi yang dulu pernah menolongnya. Tentunya itu usahanya untuk menutupi perihal Mahesa. Namun itu semua urung terwujud saat di pagi hari, lagi-lagi televisi ramai memberitakan teror di markas Dinas Intelijen di daerah Pasar minggu, yang menewaskan puluhan orang. Bersamaan itu, foto Mahesa juga terpampang sebagai teroris yang menghilang dan dijadikan DPO oleh pihak berwajib.

Di pikiran Prita, semua ini mungkin tidak akan terjadi seandainya dia tidak memaksa Mahesa masuk dalam masalahnya. Di hati gadis itu seakan terkekang beban rasa bersalah. Seharusnya Mahesa akan masih menjalani kehidupannya sebagai supir taxi andai tidak masuk ke ranah masalah keluarganya. Pikiran itu terus berputar di kepalanya. Gadis itu kini merasakan penyesalan atas keegoisannya. Batinnya terus mengeluh kapan dan bagaimana beban dihatinya itu bisa hilang.

Di tempat lain, dibawah pohon kismis, dibalik rindang gelap bayangan malam dedaunan, sorot sepasang mata menatap diam sosok Prita yang sedang sendiri di lantai tiga. Cukup lama dia berdiri diam mengamati gadis muda yang dirundung gelisah itu.

***

Langit sudah terang, pelataran gedung Dinas Intelijen penuh dengan puing-puing kekacauan semalam. Beberapa kantung jenazah berisi para koban, baik dari pihak Intel dan polisi mapun para teroris, tertata. Dan tak sedikit petugas berlalu-lalang melakukan penyisiran tempat kejadian perkaran. Sedangkan para media ditahan dengan barikade di tempat jauh radius beberapa ratus meter dari lokasi.

Indra berjalan di dalam gedung yang porak poranda. Sungguh tentunya dia sangat menyayangkan atas banyak korban yang berjatuhan. Lagi dia merasa kecolongan dengan kejadian yang merenggut banyak nyawa dan ini yang terparah selama karirnya. Murka pun tak dapat diditahan, juga perasaan sedih. Namun dalangnya siapa, dia masih belum mengetahui.

Indra berbalik, berjalan menuju Wulan yang sedang terduduk diam pada anak tangga. Terlihat wajah perempuan itu yang kelelahan dan kusam.

"Kamu seharusnya segera ikut ambulan untuk pemeriksaan ke Rumah Sakit," ucap Indra. Dia segera turun duduk pada anak tangga, di sebelah Wulan. Wajahnya sambil menyampaikan bela sungkawa dan penyesalan. "Kamu tidak seharusnya memaksakan diri begini."

"Tenanglah. Aku tak apa-apa dan tak ada yang perlu dicemaskan," jawabnya sambil memandang kosong ke lantai kotor. "Sungguh ini adalah tamparan untuk Badan Intelijen yang selama ini memang masih kurang dalam hal fasilitas pertahanan."

"Ini juga kesalahan kami dari pihak kepolisian. Seharusnya bisa memberikan bantuan penjagaan lebih. Sungguh akupun tidak menyangka mereka memiliki kekuatan sebesar ini di Jakarta. Terorisme sekarang telah berevolusi ke tahap yang lebih mengkawatirkan."

Wulan memalingkan wajahnya, menatap Indra. "Kita harus segera bertindak. Tidak ada jaminan kejadian seperti ini tidak akan terjadi lagi dalam waktu dekat. Dari mulai kejaian di jalan tol, di bekasi dan Markas Badan Intelijen, dalam hitungan hari semuanya terjadi berturut-turut. Ini sudah kode merah untuk keamanan negara."

Raut keningnya mengkerut, Indra pun menatap balik Wulan. "Aku akan menyampaikan ini segera kepada Irjen Suparyono dan Kapolda agar segera dilakukan tindakan. Kamu jangan kuwatir. Seharusnya sekarang, seperti yang aku bilang, kamu istirahat." Dan Wulan tampak mengacuhkannya.

Tak lama seorang pria berseragam datang menemui Indra. "Lapor Pak!" serunya dan seketika Indra berdiri dan menatapnya balik.

"Katakanlah," ucapnya singkat.

"Persiapan mobilisasi para tersangka sudah siap. Personil bantuan yang ditunggu sudah tiba."

"Baiklah saya segera turun. Saya akan ikut pengawalan. Dan pastikan kita meninggalkan dua kompi anggota untuk tetap berjaga di TKP sampai waktu yang belum ditentukan." Indra memutar wajahnya kepada Wulan. "Kamu ikut denganku, kita langsung menuju ke Rumah Sakit sesampainya di Mabes."

***

Tak lama, beberapa jam kemudian, jajaran petinggi kepolisian bersama Teguh Wiryawan melakukan konferensi pers mengenai yang telah terjadi di gedung Badan Intelijen. Di saat itu juga mereka memampang foto Mahesa ke hadapan para jurnalis dan menyatakannya sebagai DPO. Di tempat itu Teguh Wiryawan tak bisa menyembunyikan kekecewaan dan dukanya atas korban-korban dari Departemen yang dipimpinnya. Wajahnya muram dan cenderung berbicara dengan meledak-ledak, menyikapi beberapa pertanyaan wartaman yang nyinyir.

Konferensi pers telah usai dan Teguh Wiryawan kini berjalan beriringan bersama Suparyono, atasan langsung dari AKP. Indra beserta Tim Siliwangi. Tidak ada senda gurau diatara keduanya, meski segores senyum. Hari itu pekerjaan mereka berdua belum usai. Di ruangan lain Indra dan Wulan sudah menunggu untuk rapat darurat.

Melalui konferensi itu diumumkan pula tentang tindakan penanggulangan keadaan bahaya untuk Jakarta. Disampaikan juga bahwa para anggota kepolisian akan segera disebar ke seantero Jakarta, difokuskan untuk penjagaan tempat-tempat fasilitas umum. Demikian juga tindakan yang sama diberlakukan dikota-kota lain, meskipun isu saat ini di Jakarta. Kondisi sudah dianggap mencekam dan Tim Siliwangi sebagai satuan khusus penyelidik antiteror pun dituntut bekerja lebih keras.

***

Sebelumnya sersan Ridwan baru saja melalui dua jam lamanya menginterograsi Mile. Setumpuk laporan sudah tersusun dan diletakkan di meja Indra.

"Jadi dia masih tidak membuka mulut tentang organisasinya?" tanya Indra pada Ridwan yang duduk di depan mejanya.

"Kalau orang itu sama sekali tidak membantu. Dia sangat tidak kooperatif Mas." Pria berambut cepak itu berpaling, memandang Mile yang duduk sendiri dengan tangan terborgol dari balik jendela besar. "Sepertinya dia adalah orang sudah sangat terlatih. Tak salah jika dia pimpinannya. Tapi beruntungnya tidak dengan beberapa orang bawahannya."

Indra sudah membuka laporan dari Ridwan dan membacanya. "Jadi rata-rata para anggota lainnya sudah tergabung selama kira-kira tiga tahun ya."

"Selama tiga tahun itu kegiatan mereka sebatas latihan militer di tempat terpencil, di tengah hutan. Yang kemarin lusa kejadian di Kantor Badan Intelijen adalah operasi militer pertama bagi mereka."

Sesaat Indra membisu kembali membaca laporan. "Jadi mereka bukan termasuk satu kelompok dengan yang kita tangkap di pergudangan daerah bekasi minggu lalu?"

"Menurut info mereka bukan. Yang kita tangkap sebelumnya, menurut mereka sebagian besar merupakan kompi yang berasal dari luar Indonesia yang datang secara bergilir dan segelintir saja lokal, itupun sebatas berandal bayaran."

"Operasi militer yang pertama dan berhasil dilakukan sangat sempurna. Kemampuan mereka sudah setara dengan pasukan spesialis. Bahkan meski orang-orang itu berlatar belakang bukan dari militer. Luar biasa."

"Namun itu ada rahasianya Mas."

"Maksudmu?"

"Ada di halaman dua belas. Ada satu orang yang memberikan keterangan bawah selain dia menjalani latihan sangat berat, setiap periode juga diberikan sebuah pil yang seketika membuatnya pingsan setelah meminumnya. Dan diperkirakan efeknya mampu meningkatakan konsentrasi dan daya tahan tubuh."

Indra sigap membuka dan membaca detail halaman yang dimaksud. Matanya tampak membelalak, menandakan penasaran yang menyeruak. "Ini mirip seperti Mahesa dan cerita Ten Phantom yang memiliki kekuatan melebihi batas. Namun di sini diceritakan hanya tersisa sepertiga dari jumlah awal anggota mereka setelah selama masa pelatihan hampir tiga tahun."

"Menurut mas apa yang terjadi pada dua pertiga lainnya?"

Tiba-tiba seorang pria berseragam menghampiri meja Indra. "Lapor Pak! Lokasi persembunyian gerombolan teroris itu berhasil diketahui!"

***

Di dalam ruangan Indra beserta beberapa anggotanya sudah berkumpul. Irjen Suparyono dan Teguh Wiryawan berjalan memasuki ruangan. "Pesanmu masuk waktu kami melakukan konferensi pers." Suparyono langsung berujar sambil melepas topinya. "Apa ada info baru perihal teroris?"

Indra segera menjajar berkas-berkas beserta foto-foto di atas meja. "Maaf ini mendesak jadi file-file laporan masih berantakan pak. Intinya setelah kami memeriksa nomor rangka mobil, memeriksa kamera-kameran CCTV publik dan beberapa aksi mata, kami sudah menemukan lokasi yang sangat potensial dan dipastikan markas rahasia Red Rose Pak. Di sini Pak," AKP. Indra menunjukkan sebuah peta berlingkat spidol hijau di meja.

"Bekasi?" ucap Teguh Wiryawan

"Tempat yang tidak termonitor dan pastinya minim monitoring kita, pasti di daerah TPA bekasi."

"Kalau memang sudah dipastikan, segera saja melakukan tindakan." timpal Suparyono.

"Baik Pak, hari ini juga saya beserta tim akan menuju lokasi."

"Dan saya perintahkan bawa maksimal pesonil kepolisian dan Densus Anti Teror," lanjut Suparyono dengan nada tegas. "Seratakan maksimal kekuatan kita, termasuk kekuatan udara untuk mengamankan lokasi. Saya tidak mau jatuh korban lagi meski satu orangpun dari kita."

Indra sempat membatu dan dia mengerti raut gelisah di wajah Suaryono, atasnnya. "Baik Pak akan saya pastikan tidak ada korban jiwa pada operasi ini."

Suparyono meletakkan kedua tangannya kemeja lalu menghela nafas panjang. "Hah, lebih dari seminggu ini kita benar-benar bekerja keras." Dia menegakkan lagi tubuhnya. "Baiklah, kalian berangkatlah."

"Siap Pak!" jawab Tim Siliwangi serentak.

***

Prita memutar roda kursinya. Malam sangat larut dan semakin dingin, sudah saatnya dia kembali ke pembaringan untuk istirahat. Gadis itu pun berdiri dan berbalik. Kini dia membelakangi langit yang lama tadi dipandang. Sedangkan ibunya terlihat sudah terpejam nyenyak di sofa, menghadap televisi yang masih menyala.

Kakinya mulai melangkah meninggalkan teras kamar, menuju kedalam ruangan kamar. Namun tiba-tiba suara berkerosak itu terdengar di belakangnya. Dia segera berbalik dan benda terbungkus plastik hitam tergeletak di atas lantai.

Dia mendekatinya perlahan dan plastic hitam itu bergetar melambai tertiup angin. Dia membungkuk pelan lalu menjulurkan tangan kirinya. Hangat terasa saat tangannya meraba. Dia mencengkeramnya lalu segera meletakkannya di meja, di samping kursi yang tadi diduduki. Pembungkusnya dibuka,begitu pula kotak putih di dalamnya dan Prita seketika ceria. Sebuah martabak hangat tersaji dan tanpa jeda gadis itu melahap sambil menitikkan air mata.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top