Pahlawan


Mereka bertiga berjongkok, melingkar, saling memandangi. Wajahnya tampak kalut, bercecer peluh keringat di pelilisnya. Hati mereka sebenarnya terpanggil pada teriakan-teriakan memelas itu.

Dor! Dor! Dor! Letupan senjata itu terdengar menggema, diikuti ribut teriakan. Sontak membuat ketiga prajurit itu terkejut, bergegas merangsek kembali, memercing dari celah rimbun dedauan. Belasan orang pria itu terkapar, sanak keluarga, istri, anak-anaknya, teriak, terisak. Sedangkan orang-orang lusuh berseragam itu tertawa, terkekeh bak baru saja melihat pertunjukan.

"Aku sudah tidak tahan, Gus," kata Irwansyah sambil matanya terbelalak, berlinang. "Aku tidak bisa hanya melihat dan tak menghiraukan."

"Aku pun demikian, Wan," balas Gustar. "Tapi mereka tidak akan datang. Kalaupun memaksa, hanya kita bertiga, melawan belasan orang itu?"

"Rek-rek," panggil Abdi. "Mereka dikumpulkan lagi." Dia pun tampak tertekan, dadanya berdetak, berkejaran. Benar-benar tak tega hati Abdi melihatnya, segerombol orang yang memainkan nyawa manusia bak lelucon.

"Di bagaimana dengan markas?"

"Mereka mengacuhkan laporanku, Gus. Katanya timpat ini diluar wewenang operasi dan harus membawa bukti terlebih dahulu. Aneh ga? Apa mereka ga mengerti atau ga mau tau, arti kata nyawa yang aku ucapkan?"

"Sial," Gustar menggerutu pelan.

Irwansyah seketika bergerak, melangkah bergegas. Gustar melihat dan cepat tangannya mencengkeram, menahannya. "Kamu mau apa?" tanyanya.

"Aku akan melepaskan orang-orang itu. Aku sudah tidak bisa diam saja."

"Wan! Dinginkan kepalamu. Kamu boleh kesatria tapi tidak dengan sembarangan. Mati konyol itu namanya."

"Tapi.. Mereka Gus.. Mereka harus dibebaskan.."

"Iya tahu!" Gustar menarik Irwan duduk kembali lalu merangkulnya. "Baiklah, kita akan melakukannya. Tapi kita harus punya perencanaan matang dulu. Ga boleh gegabah. Abdi? Kamu tidak perlu.."

"Kalian pikir aku pengecut?" potongnya sambil tangannya mendorong tepat kena monyong Gustar. "Aku akan ikut. Lebih baik aku mati, daripada kalian dan mereka yang mati."

Gustar tersenyum lalu menepuk pundak Abdi. "Maaf. Iya kamu pemberani Di. Ya sudah kita sepakat, kita bertiga akan melakukannya. Akan sulit tentunya tapi dengan rencana dan taktik, semoga itu lebih baik."

Abdi dan Irwansyah serempak mengangguk kepada Gustar.

***

1 Mei 2012, sebanyak 200 personil tentara terkumpul, berbaris rapi di atas aspal landasan pacu Bandara Halim. Di sana sedang dilakukan upacara pelepasan para tentara terpilih yang akan pergi menuju Afganistan, sebagai bagian dari tentara keamanan PBB. Irwansyah, Abdi dan Gustar, kembali berkumpul, tergabung dalam satu gerombol pasukan itu.

Mereka sudah melewati 3 tahun masa tugasnya di satuan Batalion masing-masing. Kini mereka sudah menjadi laki-laki dewasa yang matang. Pangkat mereka tentu saja masih sebatas Letnan dua, setara dengan masa tugas yang masih bisa dikata sejengkal dalam kemiliteran. Namun sayang berkumpulnya mereka saat ini harus tanpa Rano. Untuk lolos menjadi perwakilan tentara keamanan PBB harus menjalani berbagai tes yang super berat dan Rano telah gagal menjalaninya.

Saat pertama kali berjumpa, cengar-cengir tentu saja menyeruak, sambil berpeluk bahagia. Masih teringat di kepalanya selama empat tahun kebersamaan masa pendidikan mereka di AKMIL. Yang paling berkesan tentu saja persaingan mereka untuk memperebutkan hati Widyasari, putri dari Sertu Imam Wahyudi. Wajah gadis itu terlampau ayu untuk dilepaskan, hati mereka masing-masing pun tak ikhlas. Akhirnya gencatan senjata perebutan cinta itu pun dihapus. Sebaliknya, perang diantara keempatnya dicanangkan, dideklarasikan terbuka, di dalam kamar mandi, secara sembunyi-sembunyi.

Mereka berjajar rapi, tegap dan gagah di bawah langit siang yang panas menampar. Di hadapannya, Jenderal Hadi Sofyan, berdiri, membakar semangat para prajurit, sebelum keberangkatannya menunaikan tugas. Saat itu dia masih lebih muda, badannya masih bugar dan masih bisa berdiri tegak. Di belakang sana, di bawah rindang tenda, segelintir tamu undangan bersama keluarganya, duduk menunggu. Terlihat diantaranya Prita yang masih kecil bersama neneknya.

Gemuruh irama Drumband militer baru sana selesai mengumandangkan lagu kebangsaan Negara. Setelahnya para prajurit pun berjalan, bergerombol menuju pintu pesawat yang terparkir. Tangan-tangan mereka bergoyang pada sanak keluarga di bawah tenda, cukup jauh berada. Tentunya dalam hati tetap berdoa semoga nanti akan tetap dipertemukan. Baik di peleton maupun di kumpulan para keluarga, sama-sama berselimut sendu, berurai air mata.

Mesinnya meraung kencang, melesat, menjelajah langit yang cerah dan luas. Kini para prajurit terpilih itu sudah berada di dalam pesawat, dalam perjalanan menuju Kabul, Afganistan. Mereka tergabung dalam satuan tugas kompi ZERO, dibawah pimpinan Mayor Ananta Satria. Nama misinya adalah United Nations Afganistan Military Observer Group (UNAMOG) di bawah komando PBB yang bertugas menjaga keamanan di Afganistan yang tengah berkonflik.

Irwan dan dua konco karibnya saat ini terduduk pucat. Meski sedari awal ini adalah keinginannya namun sekarang tiba-tiba menjadi momok yang menggoyahkan keberaniannya lalu. Konflik Afganistan sudah bukan konflik sekala kecil. Disana sudah melibatkan senjata-senjata berat bahkan sampai pesawat tempur meramaikan langit, melempar rudal-rudal bercahaya. Korban nyawa pun sudah terhitung ribuan, baik dari kalangan militer maupun sipil.

Gustar melihat wajah Irwan yang kaku. Sepanjang jalan dia banyak terdiam dengan tatapan kosong. "Kamu takut?" sapanya.

"Hah? Takut? Mungkin saja," jawab Irwansyah.

"Apa yang kamu takutkan? Mati?"

Irwansyah memberinya senyum. "Mungkin lebih tepatnya perpisahan. Terasa berat aku pikir jika meninggalkan ayah dan ibuku saat ini. Aku merasa masih belum sepenuhnya membahagiakan mereka."

Gustar menepuk pundaknya. "Kamu tidak akan apa-apa. Aku akan menjagamu."

***

Sudah lebih dari empat bulan lamanya kompi ZERO berapa di Kabul. Beruntungnya selama itu, anggota kompinya masih lengkap tanpa ada yang terluka. Meskipun sesekali ledakan bom mobil maupun tembakan-tembakan liar melanda. Di kota itu, pasukan dari Indonesia membaur dengan para kompi-kompi kiriman Negara lain. Abdi berdanding dengn seorang tentara bule, wow, bagai Yin dan Yang, hitam dan putih.

"Halo Kev?" saba Abdi pada seorang tentara bule yang melintas. Pria itu memberinya senyum.

"Kamu kenal dia Di?" tanya Gustar penasaran.

"Iya minggu lalu kebetulan aku digabungkan sama dia untuk patroli kota. Tapi ternyata tentara Amerika juga ga ada apa-apanya kok."

Mereka berdua sudah membopong sarapannya. Kemudian duduk di depan meja makan.

"Loh masak? Kok bisa?"

Abdi mendekati Gustar. "Aku tunjukin ilmu kebalku, mereka langsung geleng-geleng," bisiknya.

"Kamu punya ilmu kebal?" kata Gustar terkejut.

"Gus! Ssssst!! Ojo rame-rame rek."

"Maaf. Jadi kamu beneran punya ilmu kebal?"

"Hmhmhm..." Abdi menjawabnya dengan ketawa sombong.

"Lagi ngomongin apa kalian?" Irwansyah turun membaur dan duduk di depan mereka. Dia langsung melahap sesendok. "Kayaknya seru banget?"

"Ah ga, Wan. Ga usah dihiraukan. Makan saja kamu."

Mereka bertiga pagi itu ditugaskan untuk bergabung di pos keamanan, di daerah selatan. Seperti biasa, trio itu pun penuh beraksi semangat, melaju di tengah kota yang banyak bangunan runtuh. Wrengler meraung ganas, meliuk-liuk menghindari puing bangunan maupun bangkai-bangkai mobil di jalanan.

"Eh Gus hari ini kita jalan-jalan sebentar yuk?"

"Jalan kemana?" jawab Irwansyah. "Kita ini lagi perang, malah jalan-jalan."

"Ga jauh kok dari pos jaga. Itu aku dapat info dari Kevin, katanya di sana ada danau yang bagus dan banyak ikannya. Aku pengen mancing."

"Heh Di, kamu percaya sama mereka?" kata Gustar. "Mana mungkin tentara Amerika doyan mancing. Awas dikerjain kamu, biasanya gitu kan mereka sama tentara negara berkembang kayak kita ini."

"Ya coba lah kita liat dulu. Aku kebetulan bawa joran ini."

"Wah geblek kamu. Jauh-jauh ke Afganistan, sempet-sempetnya bawa joran?" kata Irwansyah terheran.

"Eh Wan kamu ini mulai tadi ngageti ae. Ini mek joran rek."

Dan ternyata itu terlaksana. Tiga pria itu pergi keluar kota tanpa permisi. Mereka pergi ke arah hutan, mencari yang diinginkan. berjam-jam, berputar-putar mencari jalan dan hanya membingungkan. Dan akhirnya tersesat, tak menemukan tempat yang dituju. Saat kepala mereka mulai sebal, tiba-tiba bunyi tembakan itu terdengar. Gustar seketika berhenti, menepikan Wrenglernya.

"Kalian dengar itu?" tanyanya.

"Suaranya tidak jauh," kata Irwansyah.

Mereka bergegas turun dari tunggangannya, berlari perlahan, mencari sumber suara tembakan. Jejak kakinya pelan melangkah. Matanya meraba-raba seluruh rimba yang labat. Hingga mereka menemukan pemandangan mengerikan itu. Segerombolan manusia yang lemah dan dipermainkan nyawanya.

Dua buah Jeep militer terparkir di sana, beserta dua truk. Ada Mayat-mayat bertumpuk, menggunung. Lalu sekumpulan sipil, baik dewasa maupun anak-anak, diterpa ketakutan. Mereka dikelilingi belasan pria-pria bengis yang menebar tawa. Tampak seorang pria kejam itu memilah para laki-laki kemudian meletakkannya sebaris, menghadap ke arah yang sama. Lalu di belakang masing-masing, berdiri pria yang mengacungkan moncong senjata padanya. Dor! Suara letupannya serempak.

***

"Samakan waktu," kata Gustar.

"Siap!" jawab Irwansyah dan Abdi bersamaan.

"Sekali lagi ingat. Kita hanya bertiga dan mereka sekitar sembilan belas orang. Kalah jumlah, pastinya sulit menang. Yang bisa membantu kita adalah kita tau mereka dan mereka tidak." Gustar menjelaskan dan kedua temannya tampak serius menyimak. "Cek peluru!"

Mereka bersama mengeluarkan magazine lalu melihatnya. "Cek!" jawabnya bersamaan.

"Cek amunisi cadangan!"

"Cek!" lagi jawabnya serempak.

"Granat!"

"Cek!"

"Alat monikasi!"

"Cek!"

Gustar menarik nafas panjang. "Mulai!" serunya, serempak dirinya bergegas berlari bersama Irwan. Abdi pun demikian berlari ke arah berlainan.

Gustar dan Irwansyah berlari cepat menerabas rimba. Mereka berlari memutari tempat musuh berada, tentunya tanpa diketahui. Sambil kakinya melaju, matanya berkali-kali melihat jam di pergelangan tangan. Mereka mengejar waktu, harus sesuai dengan yang direncanakan.

Sedangkan Abdi baru saja sampai di Wrangler belang. Dia mengambil laras panjang berbalut kain lalu meletakkan di tanah. Setelahnya, kunci itu diputar, mesinnya meraung. Abdi meletakkan sebuah batu besar di pedal gas.

Mereka berdua sudah sampai di posisinya. Matanya tajam mengamati lawan, memastikan posisi mereka. Gustar kembali melihat jam, angka digital itu terus berkedip menghitung mundur. "Mulai!" bentak Gustar pada komunikasi radio.

Ketika kiri Abdi yang menginjak kopling dilepas, Wrengler sontak melaju. Dia menarik pin Granat, lalu membungkusnya bersama granat lainnya dengan platik hitam. Dia cepat melompat dan meninggalkan bungkusan hitam itu di sana.

Wrangler itu terjun, melompat-lompat menjelajah hutan lalu, Blar! Ledakannya besar, hasil kreasi Abdi dengan mainan granatnya. Pria-pria penjahat itu terkejut, bergegas, berlarian menuju pusat ledakan.

Dari belakang, Irwansyah dan Guster mulai bergerak. Das! Das! Mereka menembaki bersamaan para penjahat satu demi satu dengan laras panjangnya yang berperedam. Pandangan para musuh teralihkan pada ledakan di arah depan, yang dibuat Abdi sehingga mudahlah Gustar dan Irwan beraksi, membantai mereka perlahan.

Namun akhirnya seorang penjahat menyadari. Segera dia berteriak, memerintah untuk melawan musuh di arah belakang, pada Irwan dan Gustar berada. Mereka berbalik arah kemudian menebarkan peluru. Dua tentara itu terpojok, meringkuk diam di belakang batang pohon yang menangkis paluru.

Das! Satu tumbang. Das! Satu lagi tumbang dan seterusnya. Kini giliran Abdi beraksi dengan Senapan Snipernya, mengincar satu persatu kepala mereka dari anggota yang paling belakang, yang sedang memberondong habis Gustar dan Irwansyah. Ini memang salah satu siasat jitu Gustar, penyergapan dari dua arah. Abdi telah berhasil menjatuhkan lima orang kini, tanpa mereka sadari.

Irwan menggenggam tiga Flash Bom di tangannya. Dia lemparnya segera, Blar! Lalu kabut putih menyembul, meluap, untuk menghalangi penglihatan lawan. "Bergerak!' seru Irwan.

Mereka berdua kompak bergarak, berlari menyamping ditengah terjangan peluru. Sesekali berguling, merayap untuk berlindung dari pelor-pelor yang mengncam. Gustar melempar granatnya, Duar! Suaranya memekakkan telinga, bersamaan beberapa orang terpelanting. Dor! Dor! Dua tembakan Irwan mengenai sasaran, seorang pria tersungkur. Kemudian kembali berlindung di batang pohon. Pelurunya habis, dia segera mengganti magazine senjata.

Serangan Abdi diketahui namun berhasil menembak jatuh pria yang berteriak. Gerombolan teroris itu kacau, menembak kebingungan pada dua tentara dan Sniper yang tak terlihat. Di arah belakang senjata Irwan dan Gustar masih sengit memberondong. Dan di arah sebaliknya diterpa peluru Sniper terus menghujam tepat. Dor! Dia terjerembab karena peluru pistol Gustar.

Gustar memercing, melihat keadaan. "Laporkan target tereksekusi?"

"Lima!" ucap Irwansyah.

"Enam!" jawab Abdi.

"Tujuh, maka ada delapan belas. Harusnya masih tersisa satu." Gustar masih menebar pandangan.

Musuh yang terakhir muncul dan sudah mengarahkan senjata ke arah Irwansyah.

"Awas!" teriak Gustar. Dor! Lawan yang terakhir pun tumbang dan Irwansyah selamat. Mereka masih terdiam sesaat, berusaha menyadari keadaan. "Operasi selesai. Semua target sudah dilumpuhkan," lanjut Gustar.

Para sandera itu pun selamat. Mereka yang satu keluarga langsung berpelukan. Sedang yang lain, ada yang menangisi mayat yang tergeletak, yang tak sempat diselamatkan. Tiga orang tentara itu pun berkumpul, wajahnya sumringah karena berhasil dengan usahanya.

"Kamu hebat Gus," puji Abdi. "Taktikmu, komandomu sempurna."

Lalu mereka memandang bersama para sipil yang telah bebas. Hatinya puas, merasa berguna sebagai prajurit. Ini adalah kenangan yang tak akan terlupa, pikir mereka. Meskipun sangsi kemiliteran sudah menunggu di depan.

"Aku tidak perduli walau habis ini langsung pulang dan dikeluarkan dari militer. Yang penting aku telah menjadi pahlawan." Ungkap Abdi, diikuti senyum lega dan bahagia kedua kawannya.

Dor! Semuanya terkejut dan seketika merunduk. Tak terkecuali tiga prajurit itu juga. Irwansyah melihat sumbernya kemudian cepat dia mengarahkan pistolnya. Dor! Pria berpistol yang terbaring itu pun kini dipastikan tewas dengan kepala bercucuran darah. Mereka telah lalai karena kemenangan. Seorang musuh yang dikira telah dilumpuhkan, berhasil mengambil kesempatan. Dan itu harus dibayar mahal.

Abdi masih tersungkur, terdiam. Gustar melihatnya, darah yang merembes di punggung rekannya. "Abdi!" teriaknya. Bergegas meraba tubuh Abdi lalu membaliknya. Pelurunya menembus hingga ke dada kirinya, jantunganya pasti tertembus. "Irwan hubungi markas! Di! Tahan Di!" bentaknya kalut.

"Gus?" panggil Abdi lemah.

"Katanya punya ilmu kebal, Di, kok gini?" ucap Gustar sambil berlinang dan sesenggukan.

Abdi masih sempat tersenyum. "Maaf.. Maaf rek.." dia pun terdiam. Dia telah gugur dengan senyuman.

***

Abdi! Mahesa terbangun seketika. Pandangannya masih kabur sesaat dan tak lama telah kembali normal. Dia sudah berada di dalam taksinya dan wajahnya masih bertopeng darah yang mengering. Langitnya sudah gelap, sudah cukup lama Mahesa tertidur di dalam taksinya. Sedangkan motor yang dia rebut dari jalanan masih tergeletak tak jauh.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top