Pahlawan?


Dia berlari-lari ceria, sambil memandangi kapal-kapal putih yang bersandar di dermaga. Di sampingnya, pria berjaket cokelat itu sangat sabar mengekor, tak banyak bicara. Namun pandangnya terlihat senang, pada tingkah polah gadis ayu di sana. Setelah lebih dari emat bulan lamanya berpisah, bertemu dengan seseorang yang dirindu, memang sangat memabukkan. Meskipun harus banyak bersabar pada tingkahnya yang jutek dan manja, dia pun ikhlas.

Sudah tiga hari ini mereka berpelesir, berkeliling Galveston Island. Menikmati pemandangan dan hiburan yang katanya mengesankan, itu memang benar. Terlihat dari tingkahnya yang masih bertenaga dan penuh tawa pagi ini. Pantai, museum, pertunjukan seni, restoran, hampir semua tempat sudah dijamah. Makanan pun tak lupa dari incaran, puas dilahap. Sudah terlalu lama hatinya menahan rindu pada pria hobi menghilang itu. Pokoknya, hari ini harus penuh bahagia, sayang dan cinta, harapnya.

"Gus sini!" panggil gadis itu. Tangannya mengayun manja, menanti uluran tangan coklat kuat. "Ayo foto lagi, berlatar kapal besar itu."

"Kapal Pesiar," tambahnya.

"Iya itu deh. Ayo cepetan."

Dia pria berambut pendek, berkulit cokelat terang, dengan kumis dan jenggot tipis, melangkah perlahan menghampirinya. Tangannya menyasar pinggang ramping itu, mendekapnya. Tak lupa, menyempatkan, memandang kasih, wajah dia yang anggun rupawan dari dekat. Mereka pun senyum bersama di depan lensa kamera yang melekat di tangan kiri putih mulus. Sekejap, senyum cerah itu pun terabadikan.

"Wah hasilnya bagus," ucap gadis itu senang. "Tapi mau lagi. Nih gantian, giliranmu," tangannya menyodorkan kemera kecil itu ke tangan besar cokelat.

Dia hanya tersenyum saja. Tubuhnya mengikuti apa yang dimau sang ratu hati. Lensa sudah diarahkan, tangan putih bengkoang itu, menerkam bahu pria berjaket kulit cokelat. Tentu saja dia senang, apa lagi sesaat kemudian, bibir merah muda itu mendarat di pipinya. Jarinya sempat kaku sejenak kemudian tersadar kembali untuk menekan tombol kecil.

Sangat beruntung dia mengenalnya, apa lagi sampai mendapat hati. Dia gadis putih, cantik, ramping, dan pintar, bisa terpikat pada sosok pria kusam itu? Benar-benar rejeki atau bahkan mukjizat? Berawal dari setahun lalu, saat dia sedang menyendiri di sebuah cafe, di New York, untuk sebuah pekerjaan. Matanya sedang tertuju pada layar Handphone kala itu, sedang berbalas pesan.

PF: Paket akan sampai besok jam 12.00 siang. Semua aman, tidak ada cacat.

Me: Bagaimana dengan anggota?

PF: Tidak ada masalah, hanya saja Nakato masih belum bangun hingga saat ini.

Me: Kenapa dengannya?

PF: Tubuhnya masih belum stabil. Butuh analisa lanjutan.

Me: Baiklah, malam ini kalian istirahat saja. Sampa jumpa besok.

"Hai," sapa gadis itu tiba-tiba.

Dia terkejut, seketika mematikan dan menyimpan Handphonenya. "I.. Iya? Bisa saya bantu?" balasnya.

"Kamu dari Indonesia kan?"

"Ah, iya benar."

"Syukurlah, padahal aku asal menebak loh berdasarkan wajahmu yang berparah melayu," katanya sambil tertawa. "Boleh aku duduk ya." Dia bergegas menduduki kursi tanpa permisi, sambil tetap menebar senyum pada pria di depannya. "Tempatnya ramai dan aku pingin sekali makan di sini. Katanya di sini saladnya enak."

"Boleh silahkan," jawabnya telat. " Kamu orang Indonesia?"

"Ya iyalah. Jelas-jelas aku ngomong bahasa," jawabnya sambil mengacungkan telunjuk. "Sudah dua hari di sini, muter-muter, cuma rekreasi aja. Tapi aslinya sih aku sekolah di Houton, jurusan seni. Mumpung lagi liburan dan kepala lagi penat terus ada tabungan, cabut deh."

"Oh gitu," balasnya singkat.

Gadis itu mengulurkan tangan. "Namaku Riana, boleh kenalan?"

"I.. Iya." Dia menjabat tangannya. "Perkenalkan namaku Gusti."

Dari sanalah hubungan itu bermula. Hingga sekarang merajut jalinan kasih, terpisah jarak. Gusti lebih sering memang meninggalkannya, kadang berbulan-bulan. Tapi hebatnya Riana masih mau menjalani. Sejak awal sudah diucap, dia bukanlah pria bebas. Sejak awal pula sudah berpesan, jangan pernah berharap kehadirannya setiap waktu. Namun Riana sudah buta, cintanya terlanjur mengikat. Walau tersisa bayang pun dia rela asalkan Gusti masih menyayang.

Umurnya dua puluh lima, gadis itu sedang sibuk melanjutkan pendidikan lanjutan, setelah dua tahun silam merengkuh gelar sarjana di Negerinya. Harus diakui, dia orang yang mandiri dan berdedikasi. Meski dari perawakannya tampak lucu, lugu namun mempesona. Yah, tubuhnya memang mungil dibanding orang-orang daratan America, tapi cantiknya tetap memancar, siapa pun pasti sadar. Rambut hitam itu, suaranya yang kecil, merdu, mendesah, bibir tipis ditambah kulit putih bengkoang. Siapa yang tak akan terpikat, bahkan Gusti yang gagah bermental baja.

Usahanya untuk meraih gelar berikutnya, tidak pernah dianggap permainan maupun hiburan. Target sudah dicanangkan, tahun depan harus lulus. Lalu segera kembali ke Indonesia. Dan harapannya yang lebih besar adalah segera mengangkat hubungan cintanya saat ini, lebih tinggi.

Tak terasa hari itu sudah terlewat separuh, mata hari pun terik dan menyengat. Mereka berdua kini sudah berteduh di bawah atap sebuah café kecil, menikmati sebaskom besar eskrim. Besok Gusti akan pergi lagi dan hari ini yang terakhir pertemuan mereka. Riana tidak ingin mengingat, dia hanya ingin senang dan senang, sekarang. Karena besok pasti akan kembali mengenang dan sendu lagi.

Dia tertawa terbahak-bahak, melihat wajah Gusti yang cemong eskrim dan terdiam. Gadis itu memang aktif, mulut dan tangannya tak mau berhenti. Maunya selalu iseng dan jail. Tapi tentu saja Gusti akan mau membeku diam, biarkan saja dianiaya asalkan tetap memandang parasnya yang sedang tertawa. Lagi pula, siksaan-siksaan itu tidaklah seberapa, secuil pun tidak setara dengan yang pernah dia rasakan. Tertembus peluru, tersabet belati, tentu lebih lebih menyakitkan bukan.

Handphonenya bergetar, dia segera menjamah lalu memandang layarnya. Sedangkan Riana pun seketika terdiam. Hatinya mendalak mendung sambil menghela nafas panjang. Selanjutnya menyibukkan diri dengan mengaduk-aduk baskom eskrim itu dengan malas. Biasanya, Itu adalah pertanda, pria itu akan segera pergi meninggalkannya, seperti sebelumnya.

"Apa sekarang?" tanya Riana sambil membuang muka.

"Hm? Apanya?" jawab Gusti, matanya masih tanpa perhatian.

"Pergi lagi, menghilang seperti sebelumnya?"

"Sepertinya begitu. Pekerjaan telah memanggil."

"Tolong pandang aku," pintanya.

Gusti memasukkan Handphonenya lalu memberikan perhatian yang diminta.

"Ini adalah pertemuan kita yang keempat, setelah setahun lebih berhubungan. Dan aku masih tidak mengenalmu."

Gusti mengangkat alisnya, bibirnya sedikit berketut. "Bukankah sejak awal aku sudah bilang? Aku akan selalu pergi dan jangan mengharap seperti yang lain?" Dia menangkupkan tangannya, mendaratkannya ke meja. Matanya kini sedikit lebih mendekat. "Aku sudah memberikan pilihan sejak awal."

Riana terdiam, matanya sedikit goyah dan bibirnya bergetar. "Apa kamu sungguh mencintaiku?"

Seketika mengangguk, "Dengan kesungguhan, yang entah apa kamu percaya," jawabnya.

"Dua bulan, empat bulan berpisah, diganti dengan tiga sampai empat hari kebersamaan, aku bisa. Tapi saat kamu benar-benar menghilang, tanpa suara, tanpa tau keberadaan, sekarang terasa berat. Ternyata hanya bayangan pun tak cukup. Dan yang lebih membebani, sampai sekarang pun kamu masih orang asing. Kamu siapa? Tak bisakah aku lebih mengenalmu? Apakah kamu orang baik atau orang jahat?"

Gusti tersenyum. Dia menarik tangannya kemudian menyandarkan punggungnya. "Apa penjelasanmu tentang orang baik dan orang jahat?"

"Pembunuh, perampok, pemerkosa, pencuri.." mulutnya tertahan, seakan habis kata-kata tuk terucap. "Jadi kamu yang mana?"

Gusti memberikan senyum. "Bagaimana dengan polisi? Mereka membunuh kan? Pemerintahan, birokrat yang menyebut dirinya suci, pun pembunuh? Korupsi? Apa mereka orang baik bagimu?"

Riana terdiam sejenak, sebelum lidahnya kembali mengepak. "Setidaknya mereka membunuh penjahat untuk menolong. Sedangkan penjahat membunuh semaunya, bahkan anak-anak."

Tiba-tiba tangannya memalu meja, semua tersentak. "Irak, Afganistan, Zamibia," bisiknya. "Kamu tau berapa banyak anak-anak dan wanita yang mati di sana karena rudal-rudal kiriman mereka? Banyak, aku tahu itu. Lalu dengan bangga mengatakan pada dunia, mereka telah membunuh teroris, penjahat," Gusti menyengir. "Tatanan dunia sudah kacau, asal kau tau sayang. Srigala-srigala yang kamu sebut orang baik itu, sudah menjangkiti, bahkan sampai ke pondasinya."

Riana masih membisu. Mulutnya tak mampu berujar.

"Jika kamu mau tau siapa aku sayang? Maka aku bilang, aku adalah orang baik. aku adalah pahlawan." Tangan gusti menjulur, meraih tangan putih yang terdiam di meja. "Dan aku sungguh-sungguh mencintaimu."

Tangan putih itu seketika ditarik. Tangan gusti kini menjadi kosong. Gadis itu berdiri lalu melangkah pergi, bergegas, tanpa meninggalkan kata. Dia pergi mengacuhkan pasangannya yang sedang mematung. Melepaskan bebas kasih yang selam ini menghinggap, meski tak mudah.

Aku akan selalu menyayangimu, bisik hatinya sambil meratapi Riana yang pergi, menghilang di balik pintu kaca. Handphone yang tadi tersimpan, kembali diraih. Matanya kini teralihkan, lanjut melihat isi pesannya. Blar! Rekaman bergoyang-goyang sambil menampilkan kobar besar api di atas jalan layang. Hampir bersamaan, sesosok manusi terlempar jatuh, menumbuk kencang sebuah kotak telepon umum, di pinggir persimpangan, diikuti teriakan histeris orang-orang. Layar kembali bergetar, sepertinya pengambil gambar sedang berlari, mendekati tempat kejatuhan.

Semua berantakan, rekaman itu melihat lengkap sepihan yang berserakan. Tak lama kemudian sorotnya, berpindah pada sosok jasad yang tersungkur. Darahnya lumayan mengaliri aspal, wajahnya tak tampak, tertutupi rambut panjangnya yang terburai. Dan tak lama kemudia, semua orang terkejut, sosok itu bergerak. Dia berdiri meski agak sempoyongan lalu memutar kepala, pandangannya menyebar. Sejenak matanya terpaku pada helicopter polisi yang mengelilingi jalan layang di atas. Sesudahnya dia pergi menerobos kerumunan, menghilang entah kemana.

***

Pendidikan di akademi militer berlangsung selama empat tahun lamanya. Selama itu rintangannya tidaklah mudah, susah pun tidak tapi teramat sangat berat sekali. Mau tau buktinya? Semua taruna itu sekarang memiliki badan yang atletis dan berat badan yang ideal. Bahkan seorang siswa yang tadinya datang dengan badan tambun delapan puluh kilo pun, sekarang tampil macho dan sintal bak model, hanya tersisa enam puluh delapan kilo saja! Rata-rata selama empat tahun pendidikan, seorang taruna telah menguras lebih dari sepuluh kilo lemaknya. Habis melumer menjadi pelung-pelung keringat yang membanjir selama pendidikan, sehari-hari.

Termasuk empat sekawan itu pun tak lepas dari tawa dan bahagia. Mereka lulus dari pendidikan dan sudah terbayang, selanjutnya akan sepenuhnya menjadi pria mandiri. Harap pun menjulang pada kebanggaan orang tua, saat anaknya pulang nanti berseragam tentara.

Kemarin telah selesai dilakukan upacara wisuda para taruna, baik dari Akademi TNI maupun Bhayangkara POLRI, total ada lebih dari seribu wisudawan dan wisudawati. Dan hari ini para taruna, termasuk empat sekawan, berkumpul lagi di markas akademi. Di sana akan disampaikan pengumuman, penempatan mereka. Tentu saja deg-degan, kekawatiran menerpa, saat empat sahabat itu harus berpisah.

Yang ditunggu pun tiba. Pengumuman penempatan dinas masing-masing tentara baru, esok hari. Irwansyah dan Rano sumringah, sudah pasti mereka berdua akan bertemu lagi nanti di tempat yang baru. Tapi tidak dengan Gustar dan Abdi, dua orang itu harus berpisah. Irwansyah dan Rano akan ditempatkan di Bogor, Gustar ke Balikpapan dan Abdi ke Palembang. Mereka segera berpelukan, akhirnya setelah empat tahun lamanya bercanda bersama, saling menghibur, hari ini tiba, saat untuk berpisah. Para pria gagah itu pun tak kuasa berlinang, saling menguatkan, meski masing-masing meronta di dalam dada.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top