Melawan Raksasa
Pria itu bergegas dengan nafas tersengal, berselimut merinding yang mencekam. Sedangkan di sisi lain, dentuman peluru – peluru itu masih ramai riuh terdengar. Sungguh Pak Daud masih sadar diri sebagai pria tua lemah. Tadinya hanya ingin diam meringkuk, sembunyi dari kekacauan hingga pagi tiba. Tapi secuil keberanian itu muncul. Kala Wulan berujar bahwa uluran tanggannya sunguh diharapkan. Untuk menolong para agen yang sedang berjuang menjaga nyawa.
Tak lama, dia sampai pada tujuan. Kini matanya sudah menatap sepasang lubang stop kontak yang melotot di dinding. Kabil yang melilit, segera diurai sambil bergetar. Pria tua itu menancapkan ujung kabel di lubang sumber listrik. Ujung lainnya pun ditancapkan, seketika percikan api meletup dan Pak Daud tersentak karenanya. Bersamaan itu, gedung pun menjadi gelap gulita.
Dia lorong koriodor yang tak seberapa lebar itu, dalam kondisi yang kini samar, Mahesa cepat menyergap para mangsanya. Seorang diri melawan belasan orang bersenjata, tidaklah mudah baginya dalam kondisi biasa. Meski memiliki kemampuan di atas manusia normal tapi dia tetaplah manusia. Tapi dalam kondisi yang tepat, kemampuannya akan cukup mengungguli. Dan apa yang sudah dilakukan Pak Daud sungguh membantunya. Semua berjalan sesuai rencana.
"Itu Mahesa! Awas!" teriak seorang teroris yang histeris di dalam kegelapan. Duag! Dia pun terjatuh setelah pukulan mendarat telak di wajahnya.
"Aaaaarrgh!!" teriak pria lainnya kala ketiaknya tertancap cakar tajam. Mahesa melompat, berputar dan mendaratkan tulang kering kakinya di leher pria itu, Duag! Dia pun terkapar diam.
Mereka para penyusup sungguh terpedaya di dalam kegelapan. Ketakutannya pada Mahesa mendorong nalurinya bertindak gegabah. Orang-orang itu menembak membabi buta tanpa melihat dimana lawan berada. Mahesa yang awas penglihatannya di dalam kegelapan, semakin terbantu untuk menjatuhkan begundal-begundal itu.
Ujung-ujung senapan itu berdesing berisik ke seantero ruangan. Mahesa lincah, dia berlari gesit sambil menunduk, berguling untuk menghindari lusinan peluru yang menerpa. Kakinya menjejak, dia meluncur di lantai lalu mencengkeram dan menarik kaki seorang penyerang. Duad! Wajah pria itu pun menghujam lantai.
Mahesa lanjut menarik kaki pria itu, mengayunkan tubuhnya dengan mudah, pada teroris lainnya, Bruak! Dia bergerak kembali, menangkap moncong senjata lalu mengarahkan tinju kanannya ke dagu pemiliknya. Lalu kaki kirinya pun berputar, menjejak seorang terroris lainnya hingga dia terlempar dan berguling-guling di tangga.
Dia mengamuk, melesatkan tinju dan tendangan. Satu persatu para penyerang itu berjatuhan. Belasan pasukan Red Rose itu bergelimpangan. Mereka tak berdaya melawan Mehesa yang perkasa dan gesit. Di tambah lagi terlilit kegelapan yang membutakan mereka. Senapan pun menjadi tak berguna.
Sedangkan bagi Mahesa, hal seperti ini bukanlah masalah. Itu bukanlah kali pertamanya. Mahesa adalah maestro penyergap dalam gelam. Dia seorang solo eksekutor, pembantai dalam gelap yang menakutkan di masanya.
Mahesa melemparkan kaki kanannya tepat mengenai gagang senjata hingga terlontar. Kemudian menjejak kepala musuhnya hingga terjatuh. Di arah belakang suara berdecik itu terdengar, seseorang mengarahkan senjata padanya. Dia menjejakkan kakinya pada senjata yang tergeletak di atas tubuh yang terbarang. Senjata itu pun melompat ke udara dan dengan cepat dia meraihnya lalu melemparkannya. Duag! Benda itu tepat mengenai kepala seorang teroris di belakangnya. Mahesa cepat bergerak, melompat dan melayangkan tinju kanannya. Duag! Pria itu seketika tersungkur dan kepalanya pun terhujam ke lantai.
"Wulan saya turun! Berhati-hatilah!" seru Mahesa pada agen wanita yang sedang menangani Thomas.
"Baik. Kamu juga berhati-hatilah," Balas Wulan. Dan tak lama Mehesa melompat, menuju lantai tiga.
"Siapa dia?" tanya Thomas.
Wulan menoleh dalam remang. "Dia bantuan kita," jawabnya singkat.
Suara gemuruh hentakan sepatu itu muncul. Beberapa orang teroris muncul lagi kelantai empat. Segera saja perempuan itu melemparkannya. Duar! Ledakannya menggelegar dan berhasil mengenyahkan gerombolan teroris. Merekapun bergelinding, kembali ke lantai tiga.
"Kamu tunggulah di ini," ujar Wulan pada Thomas. "Aku harus turun membantunya."
Thomas menepuk pundak Wulan. "hati-hati. Maaf aku tidak bisa lagi membantu." ucapnya.
Agen wanita itu melangkah dengan berani sambil membidik. Tak lupa dia meraih sebuah benda berbentuk kacamata dari sakunya. Beberapa orang teroris tertangkap bergerak, akan meraih senjata. Dor! Dor! Wulan pun menembaknya tanpa memberi ampun.
Kakinya pun telah mendarat di lantai tiga. Tempat itu tadinya adalah ruangan lobby yang cukuplah luas dan kini telah hancur berantakan beserta furniture dan segala peralatan di sana. Dalam keremangan, masih ada beberapa teroris di sana termasuk diantara Mile sang pemimpin operasi. Mahesa segera bergerak, melapaskan pukulan dan tendangan, menjatuhkan beberapa anggota teroris. Dor! Senapan itu meletus tapi Dia sigap berguling.
Dia cepat berlari lalu menerjangnya sambil menghujamkan cakarnya pada pria itu, tepat menancap di pinggangnya. "Aaarg!" pekiknya. Senapan kembali mendesing dan Mahesa berputar, berlindung dibalik mangsanya. Dia menendangnya dan tubuh pria itu terlontar, menghantam seorang teroris lainnya. Teroris itu berusaha berdiri perlahan namun pukulan itu sekejap melontar dan menjatuhkannya ke lantai.
Mahesa berlari kencang menapaki tembok, melompat kamudian menjejakkan kedua kakinya, Bruak! pria itu roboh. Dia berguling lalu menghujamkan cakarnya pada kaki kanan seorang teroris lainnya, "Aaargh!" pria itu seketika menunduk dan dengan sigap Mahesa memberikan tinju ke dagunya hingga dia melajang, terjerembab ke lantai.
Mile mendekatkan dirinya pada secuil kobaran api sisa ledakan sebelumnya. Samar bayangan lawan pun tertangkap. Dia segera mengarahkan ujung pistol namun sasarannya bergerak lebih cepat. Mahesa berlari dan menerkam tangan kanan Mile yang menggenggam pistol. Dor! Pistol itu menembak langit-langit. Dan tak lama kemudian menjeritlah dia saat cakar tajam itu menusuk bahu kirinya.
"Lepaskan pistolmu atau berikutnya jantungmu yang ku hujam," ancam Mahesa dan Mile pun menurut.
"Kamu sekarang tumpul," kata Mile seakan tak terintimidasi. "Kalau Tem Phantom yang dulu tidak akan memberi peringatan." Pria itu juga sempat tersenyum. "Satu hal yang harus kamu tau, aku tidaklah datang tanpa persiapan."
Bruak! Tiba-tiba pintu itu hancur. Mahesa segera memutar pandangannya dan makhluk itu langsung mencengkeramnya, mendorongnya tanpa ampun menuju jendela. Prang! Kedua orang itu pun lenyap dan Mile pun merasa lega.
Mile masih mengerang, meraba pundaknya yang berdarah. Kini dia berdiri sendiri diantara belasan teroris yang terkulai. Dia melangkah dan perlahan akan meraih pistol yang tergeletak. Dor! Peluru itu meledakkan lantai di hadapannya, membuatnya mematung sejenak tak berkutik.
Suara kerosak terdengar, Dor! Dan seorang teroris itu pun kebali terbaring. Wulan benar-benar menghukum mereka tanpa belas kasih.
"Jauhkan tanganmu! Atau kamu akan segera bernasib sama dengannya." bentak Wulan dari arah tangga. Dia berjalan ke arah Mile sambil mengacungkan pistol. Mile menyadarinya dan dia pun mundur perlahan.
Perempuan itu sudah mendekat kemudian menendang jauh pistol Mile di lantai. "Berbalik dan angkat tanganmu!" katanya sambil melepas kacamata night vision-nya.
Mile menebar senyum dan melihat lekat perempuan itu. "Kamu cantik dan tangguh nona." Pria itu seakan tanpa takut padanya. Wajahnya menatap percaya diri. "Kamu terlihat lebih hebat dari rekan-rekanmu yang lain. Mereka hanya bisa teriak dan lari. Pasti akan nikmat jika bisa memainkan belatiku pada wajah dan tubuhmu," ujarnya lagi sambil menyengir.
Wulan terdiam sesaat. Hatinya menjadi muak kala melihat wajah pria yang sudah membunuh teman-temannya itu masih cengengesan. "Haih beruntung sekali kamu," ujarnya bernada tenang. "Aku berniat memborgolmu tapi sepertinya borgolnya jatuh entah dimana." Dia pun menurunkan pistolnya lalu menyarungkannya ke pinggang. "Jadi terpaksa aku harus menghajarmu sampai mampus."
"Kamu yakin nona? Luka di bahuku ini bukanlah apa-apa. Jangan meremehkanku."
Wulan memasang kuda-kuda. Kini dia dalam posisi siap bertarung. "Aku akan menjatuhkanmu dalam tiga serangan. Maaf sepertinya aku memang meremehkanmu."
Pria kekar itu pun turut bersiaga. "Kamu yakin? Ayo coba saja nona. Jika ada kesempatan, aku tidak ada segan membunuhmu."
Wulan melangkah maju. Dia melepaskan tinju kanannya tapi Mile tepat menangkapnya. Tak sampai situ, dia berbalik sambil menarik tubuh Wulan dan membantingnya ke lantai, Bruak! Perempuan itu meringkih dan perlahan berdiri kembali. Buag! Dia segera terhuyung dan terjerembab kembali ke lantai karena sebongkah tinju Mile besar.
Dia berdiri kokoh dan tampak puas melihat Wulan yang terjerembab sambil menggoyang-goyang tinjunya. "Kamu udah melepaskan satu serangan," kata Mile. "Aku akan menikmati kebersamaan kita ini nona. Ayo berdirilah."
Perempuan itu berdiri. Dia menarik nafas panjang untuk menenangkan diri lalu mundur beberapa langkah. Setelah mengusap darah di mulut dengan lengan kemeja, Wulan segera berlari kencang menuju Mile yang berdiri. Dia melompat dan menjejakkan kedua kakinya pada kaki kanan Mile. Pria itu goyah, tangan Wulan sigap menarik kerah baju Mile dan mendorong kepalanya hingga menghantam lantai, Bruak! Mile pun terjatuh bersimbah darah.
Wulan segera bangkit dan memandangi pria yang sejang bersujud mencium lantai di mukanya. Perlahan pria itu turut bangkit dalam kesakitan. Darah itu mengucur dari hidung dan mulutnya. Tapi dia tak tinggal diam. Dia sontak meraih balok kayu di dekatnya lalu menghantamkannya ke wajah Mile, Buag! Pria itu kembali terjatuh dan kini tak sadarkan diri.
"Maaf aku menyerangmu empat kali. Ternyata tidak puas kalau cuma menjatuhkanmu," katanya.
***
Mahesa meringis sakit di sekujur tubuhnya. Maklum saja, dia baru saja terhempas ke tanah dari lantai tiga. Perlahan dia berusaha bangkit namun tangan besar itu tiba-tiba mencengkeram lehernya.
Dia Sosok berambut panjang, bertelanjang dada. Badannya tinggi, besar dan berotot, sungguh menggambarkan kekokohan dan kekuatan tanpa tanding. Dan kini tangan kirinya yang besar sedang mengangkat Mahesa hingga kakinya terangkat dari tanah.
Tangan kanannya besar pun mengepal lalu melontar kencang pada dadanya, Bruag! Mahesa terlempar hingga beberapa meter jauhnya.
"Mahluk apa kamu ini," keluhnya. Mahesa masih tergeletak dan perlahan berdiri kembali. Sesaat nyalinya kengkerut pada sosok buat di hadapannya. Sedangkan makhluk itu hanya diam berdiri tanpa kata.
Cakar tajam menyeringai. Mehesa pun berteriak, memulai kembali perlawanannya. Dia berlari kencang, menghampiri raksasa yanh terdiam. Dia melompat dan meluncur menyusur tanah menuju diantara kaki sosok buas itu. Duag! tinju besar itu menumbuk bumi dengan keras, beruntung meleset dari kepala Mahesa.
Dia segera bangkit dan menerkam lawan dari belakang. Cakar kirinya telah menghujam ke pundak kirim raksasa itu. "Grrooarr!" suara raungan itu menghenyakkan hening. Tangan kanannya akan mencengkeram leher makhluk itu tapi lebih dulu tertangkap.
Dia menarik tangannya, Mahesa pun terlontar dan terbanting kencang ke tanah. Tak berhenti, dia menariknya lagi dan kembali membanti Mehesa beberapa kali, Bruak! Bruak! Lalu diakhiri dengan melempar jauh, membuat tubuh Mahesa terpelanting beberapa meter.
Mahesa masih terdiam di tanah. Darah merembes dari mulut dan hidungnya. Pelipisnya berdarah dan bahu dan beberapa bagian tubuhnya pun terluka parah. Saat ini dia terperangkap bersama musuh yang berat. Ini kali pertama dia melawan musuh yang seperti ini. Dalam beberapa detik, sudah mematahkan beberapa tulang rusuknya.
"Sial, dia kuat sekali." Keluhnya. Sungguh dia kali ini kewalahan. Mahesa merasakan batasan untuk bisa menjatuhkan makhluk besar di depannya itu. Dia pasti punya kelemahan, pikirnya sambil perlahan kembali berdiri.
Dia diam sejenak sambil mengamati. Kepalanya berpikir keras, bagaimana cara menjatuhkan sosok kokoh di hadapannya. Namun raksasa itu pun tiba-tiba bergerak, berlari menghampiri. Mehesa tidak bisa mundur. Dia harus melawannya.
Tinju besat itu kembali dilesatkan dan Mahesa menyilangkan tangannya, bermaksud menahan. Bruag! Dia terlempar, terguling-guling ditanah lalu segera berdiri kebali.
Dia kembali datang dan melontarkan kembali tinjunya yang besar. Mahesa menghindar. Dia berputar dan melesatkan siku kirinya, tepat mengenai pelipis makhluk itu. Sempat sempoyongan sesaat namun itu belumlah cukup. Makhluk itu mengayunkan tangan kirinya, mengantam kepala Mehesa hingga wajahnya terjerembab ke tanah.
Makhluk itu melangkah menuju Mahesa yang masih terdiam. Dia meraih pergelangan kaki kirinya lalu mengangkat Mahesa tinggi, menggelantung.
Mahesa sigap terbangun kemudian menebas pergelangan tangan makhluk itu hingga kakinya pun terlepas dan terjatuh.
Pria besar itu meraung sambil memegangi tangannya yang berdarah. Duar! Tiba-tiba saja ledakan dahsyat terjadi dan tubuh sang raksasa pun terlempar beberapa meter jauhnya.
Di belakang Mahesa, Wulan terlihat masih menggenggam RPG Launcher dengan moncong yang berasap. Dia meletakkan benda itu lalu bergegas mendekati Mahesa. "Kamu ga apa-apa?" katanya sambil membantu Mahesa berdiri.
"Aku tidak cukup baik juga. Dan Makhluk itu kuat sekali."
"Aku bisa melihatnya. Kamu sungguh kewalahan melawannya."
Tak lama bunyi sirine datang. Jauh di depan gerbang, satu persatu mobil kepolisian berhenti. Gerombolan pasukan bantuan beserta kepolisian akhirnya tiba. Tapi kedatangannya cukup terlambat.
"Pergilah." kata Wulan.
"Apa maksudmu?"
"Bukankah kamu bilang sebelumnya akan pergi? Sekaranglah kesempatannya."
"Tentu saja. Aku akan pergi. Tapi tidak sekarang, sampai makhluk itu benar-benar bisa dijatuhkan."
Dan benar saja, dari balik rongsokan bangkai sebuah SUV, raksasa itu bangkit kembali. Dia meraih rongsokan mobil dan melemparkannya. Namun cepat Mahesa menerjang Wulan untuk menghindar.
Dan ketika Mahesa berpaling, Makhluk itu pun berlari pergi. Dia menjebol pagar beton dan pergi menghilang. Kemudian dengan perlahan mereka berdua pun berdiri kembali.
"Bagaimana mungkin dia masih hidup?" ucap Wulan dalam keheranan.
"Tentu saja karena dia pasti makhluk rekayasa Red Rose seperti diriku. Aku akan pergi sekarang," kata Mahesa.
"Makhluk itu.."
"Aku akan memastikannya juga dan sebaiknya suruh aparat juga mengejarnya."
"Baik, tentu saja." Wulan segera menjulurkan tangannya dan Mahesa tertegun sesaat. "Terima kasih atas bantuamu dan maaf atas kegagalanku melindungi Pak Abdullah."
"Sudahlah tak apa. Lain waktu kita akan berjumpa lagi." Mereka pun saling berjabat tangan. Kemudian Mahesa pergi meninggalkan Wulan sendirian. Dan malam mencekam itu pun berakhir sudah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top