Kebebasan Prita

Hari ini masih seperti sebulan terakhir, suasana hatinya mendung. Hari ini masih berbeda dari bulan lalu yang ceria dan riang. Memang kewajiban setiap orang tua, memberikan bergunung kebahagiaan untuk anak–anaknya. Tapi harusnya mereka cukup pintar dan dewasa, dari mana kebahagiaan itu didapat. Apakah kebahagiaan itu hasil dari merampas bahagia orang lain atau memang pemberian halal dari orang–orang dengan senyuman.

Keluh–kesah itu terkungkung di kepala Prita. Remaja SMA yang akhir–akhir ini sulit untuk tertawa. Semua sudah muram baginya. Tanpa teman, tanpa ayah, tanpa kehormatan dan lebih parahnya lagi tanpa kebebasan. Ya, bagian terakhir, memang benar adanya. Setidaknya dua orang polisi yang tewas beberapa hari lalu adalah bukti dari kebebasannya yang terampas.

Ibunya masih diam tidak banyak berkata. Sendu di matanya masih tempak terlihat. Ucapan salampun tak ada jawaban, wujud dari hatinya yang sedang keluh. Setelah sarapan hanya dengan setenggak susu hangat, harinya yang kaku dimulai lagi. Berangkat ke sekolah bersama tiga orang polisi. Belajar di kelas, disebelah seorang petugas polisi. Di kantin, hanya ditemani oleh polisi. Kawan – kawannya, semuanya sudah menjauh. Tepat sejak hari pertama wajah ayahnya terpampang di berita TV nasional dengan tangan terborgol.

Mercy hitam keluaran terbaru, mobil mahal yang tergolong mewah. Prita bersama tiga orang petugas kepolisian duduk nyaman di dalamnya. Trffic Light masih menyala merah, mereka harus diam menanti beberapa saat. Begitu juga dengan Prita yang diam dalam lamunan. Tanya itu selalu mendengung, kapan akan terbangun dari mimpi buruk ini? Di saat wajahnya berpaling, di sisi luar kaca jendela, sosok itu menampak. Pria berambut panjang, sedang duduk diam di balik kemudi taksi berwarna biru.

***

Akhir – akhir ini sedang marak berita tentang kemunculan sosok manusia harimau yang mencari mangsa. Semua simpang siur, tentang keberadaannya. Ada yang bilang suka menculik bayi, pelaku pesugihan, orang gila dan banyak lagi. Mahesa bingung, kabar yang merebak tidak sesuai harapannya. Bukannya membuat masyarakat tentram, tapi malah membuat resah. Semua berkat infotainment dan ibu–ibu alai yang membesar–basarkan. Karena itu hampir dua bulan lamanya, dia sudah tidak berkeliaran berburu lagi. Biarkan masyarakat yang memutuskan, membutuhkannya kapan. Setidaknya, dari pemaparan berita kriminal di salah satu channel televisi, sehabis maghrib, menampilkan grafik kasus kejahatan yang mulai menurun.

Yang lebih membebani pikirannya saat ini adalah kejadian seminggu lalu. Pada kelalaiannya saat menghalau penculikan tanpa menyembunyikan wajahnya. Memang dia sudah menghapus data Call Center dan rekaman kamera publik di tempat kejadian. Bahkan nomor kendaraan pun selalu menggunakan yang palsu untuk berjaga–jaga. Namun dia tau ada banyak saksi di tempat itu. Jika polisi mau, sketsa wajahnya bisa terpampang di berita televisi dan media – media publik. Dan Mahesa harus siap menghilang, meninggalkan Pak Abdullah suatu saat nanti.

Brak! Brak! Pintu kamar ditampar. "Sa bangun!" teriak Pak Abdullah dari balik pintu.

Masih berat matanya membuka. Letih menjalar di sekujur tubuhnya. Kemarin tiga hari beruntun Mahesa menjalankan taksinya, mengejar rupiah. Waktu istirahat pun sangat terbatas. Bahkan sempat dua hari dia tidak tidur sedikitpun. Itu karena masih ada sisa hutang di rentenir, atas pinjamannya beberapa bulan lalu. Untuk perbaikan taksinya yang hancur selepas menerjang jurang.

"Karena tiga hari narik terus ya? Hari ini kamu terlihat sangat letih."

"Iya, begitulah pak," kata Mahesa sambil duduk dan menyeruput kopinya. "Hutang karena musibah yang lalu masih menumpuk. Saya harus segera melunasinya."

"Maaf, Saya hanya bisa mendoakan yang terbaik saja buatmu. Sudah lama kamu bekerja hanya untuk saya, menafkahi saya dan keluarga saya di kampung. Itu saja sudah cukup berat. Dan ini.. Sebenarnya saya tidak mengerti dengan keikhlasanmu ini."

Mahesa meletakkan gelasnya. Dia menatap Pak Abdullah dalam. "Bapak tidak udah pikirkan. Saya yang masih banyak berhutang budi sama bapak. Mungkin seumur hidup pun saya tak kan mampu melunasinya. Pokoknya cukup bapak istirahat dan jaga kesehatan, itu saja. Selebihnya serahkan pada saya."

Pak Abdullah hanya terdiam dan sedikit membuka tersenyum. "Oh Iya. Itu HPmu mulai tadi bunyi terus."

Mahesa segera meraihnya. Benar saja, lima kali panggilan tak terjawab dari nomor asing. "Ya sudah pak, saya pergi dulu." Dia berdiri kemudian melangkah pergi, memulai harinya.

Suara mesin mobil meraung. Mahesa segera melaju bersama taksinya. Pagi itu sudah sangat terang. Hari ini dia memulai kerjanya lebih siang dari biasanya. Tak berselang lama Handphonenya berdering. Nomor asing itu muncul lagi. "Halo?" Dia jawab panggilan tepon itu penuh penasaran.

"Ini Mahesa kan ya?" suara seorang gadis terdengar dibalik nomor asing itu.

"Iya, maaf ini dengan siapa?"

"Saya butuh taksi, tolong jemput saya di.."

***

Sebuah mobil polisi parkir di halaman depan rumah besar nan megah. Itu pagi yang cerah, matahari mulai ngintip di ufuk timur. Angga baru saja menutup pintu mobil, bersama tiga orang anggotanya, melangkah menuju pintu rumah besar dan berwarna coklat. Dua orang polisi tanpa seragam telah berjaga semalaman di depan rumah. Meraka sigap berdiri memberi hormat. Setelah sedikit mengangguk pada dua anggotanya itu, dia langsung pergi memasuki pintu.

Seperti biasanya, sarapan pagi sudah dijajar rapi di meja makan besar. Cukup untuk lebih dari sepuluh orang, termasuk penghuni rumah. Sesuai instruksi sebelumnya, Angga akan mengawal sendiri Prita. Selain itu, harga dirinya tidak ingin kejadian sebelumnya terulang. Terutama untuk meyakinkan Tuan Surya Praja agar tenang dan mau bersaksi di pengadilan.

Surya Praja bukan nama asing di Jakarta. PT. SURYA PRAJA FINANCE sudah menjadi salah satu kekuatan sector permodalan Indonesia sejak sepuluh tahun silam. Bergeliatnya bisnis pertambangan, konstruksi dan transportasi, tak jauh dari kekuatan modal perusahakan itu. Namun tepat enam bulan lalu, perusahaan saksasa itu pun menemui ajal. Penyebabnya tak lain, terpapar skandal korupsi dan pencucian uang haram para mafia.

Kejayaan itu jatuh dalam semalam. Keluarga Surya Praja yang terpandang akhirnya muram. Tekanan juga harus di alami Prita, sang putri pertama. Sejak ayahnya resmi menjadi terpidana, kehidupan remajanya yang bahagia, sirna. Teman–temannya menjauh dan bisikan–bisikan nyinyir harus ditelannya sehari–hari. Dahulu Prita selalu diperlakukan bak putri raja di sekolah, sekarang terhina.

Jam sudah menujukkan pukul tujuh. Angga dan kawanannya baru saja selesai santap paginya. Tapi pikirannya mulai penasaran, tidak seperti biasanya, Prita belum juga turun dari kamarnya. "Maaf Nyonya Surya, apa Nona Prita masih belum siap juga?" tanya Angga, baru saja meletakkan cangkir kopinya.

"Iya yah.. Bentar ya, coba saya panggilkan." Nyonya Lidya bergegas menaiki anak tangga, bermaksud membangunkan putrinya.

Namun teriakan itu mengagetkan. Angga beserta bawahannya pun tersentak. Mereka bergegas, lari bergerombol menuju ke lantai dua, tempat kamar Prita berada. Namun yang didapatinya hanya Nyonya Lidya yang berdiri kaku sambil berurai air mata. Prita hilang, tak tampak di kamarnya.

Sial! kesalnya dalam hati, amarahnya pecah. Angga segera berlarian, menyisir seluruh rumah yang besar. Tak lupa membentak anggotanya agar berlari memantau jalanan.

Sekitar seratus meter dari rumah mewahnya berada, Prita sendiri menunggu di halte bus yang kusam. Dia tidak berseragam sekolah pagi itu. Namun mengenakan kemeja kotak-kotak, celana jeans, jaket dan topi untuk menyembunyikan wajahnya. Tas ransel bergelantung di punggungnya. Dan taksi biru akhirnya datang. Prita berdiri, bergegas memasukinya. Lalu dia pun pergi..

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top