Kakekku Jail, Kakekku Tersayang


Tepat tengah malam. Belasan Pria, ramai berlarian, keluar dari Markas Besar Polisi. Dua buah SUV penuh sesak, dijejali para Polisi berbaju preman, yang tergesah–gesah. Mereka pergi menyusuri jalanan sunyi, diiringi raungan sirine yang menyala.

Lima menit lalu, di saat Sersan Angga diam kebingungan, telpon itu berdering. Nyonya Lidya menyampaikan kabar yang membahagiakannya. Prita saat ini berada di Bogor, katanya, diikuti gerak sigap Sersan Angga yang kembali bersemangat. Dia segera mengajak serta seluruh anggota yang berjaga malam itu, menuju ke tempat Prita berada. Insingnya mengatakan, Robert Koi tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini, saat Prita berada di luar penjagaan.

***

Seorang Pria tua, duduk diam di atas kursi roda. Rambutnya hampir seluruhnya memutih dan wajahnya pucat berkeriput. Mulutnya tampak miring dan sesekali liurnya menetes. "Mana Kek, Prita lap bentar ya." Perlahan dan lebut, diamenyeka bibir Kakeknya yang tak normal.

Sedikit terlihat mata Kakeknya bergelombang. Setelah seharian kawatir, dia akhirnya bisa bahagia dan tenang setelah melihat cucunya yang tercinta. Tangannya yang kurus perlahan terangkat berat, bergoyang-goyang lemah. Prita mengerti maksudnya. Dia menunduk lalu mengusapkan tangan kakeknya yang renta ke pipinya. Air matanya tiba-tiba berurai, teringat masa kecilnya digendong sayang oleh sang Kakek tertercinta.

"Kakek sekarang sudah tenang ya? Nih Prita sudah di sini. Prita baik saja," ujarnya sambil ceria.

Kakeknya membalas dengan suara lirih tanpa kata. Bersama beberapa kali kedipan pelan di matanya. Hanya itu balas yang mampu Kakeknya lakukan. Dan Prita pun mengangguk seakan mengerti maksudnya.

Setahun yang lalu. Prita masih sebagai siswi SMP. Bersama Ibu dan Adiknya yang masih berumur 5 tahun, dia sedang bersantai di Bogor, di rumah Kakeknya. Sudah lima hari dia di sana, menghabiskan jatah libur sekolah dengan hati yang cemberut. Sebelumnya dia sudah berusaha merengek agar bisa ikut ayahnya ke Hongkong. Tapi gagal, Ibunya bersikeras menolak karena nilai ulangan Prita yang menurun. Jadilah dia berhati muram. Jarang tersenyum dan bersenda gurau. Lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berselancar internet.

Itu minggu pagi yang cerah. Udara pagi pun dingin menyegarkan. Kakeknya saat itu masih bisa berdiri tegap. Badannya masih sehat bugar namun sedikit buncit perutnya. Tiada henti Kakeknya menggoda Cucunya itu agar ceria. Itu adalah Hobby dadakan saat sang Cucu berada di dekatnya.

Baginya, untuk saat ini, tersenyum adalah penghinaan. Inginnya, biar mereka tau, Orang Tuanya, bahwa selama seminggu ini dirinya bersedih. Sejak awal Prita sudah berikrar, bibirnya harus merekat rapat. Dia harus bertahan hingga minggu depan tiba, bertopeng mendung. Harapnya, saat Ayah dan Ibunya sadar, mereka akan datang dengan iba dan mengabulkan sebuah permintaannya.

Rasa sayangnya sangat besar pada cucu-cucunya. Baginya akan sangat merugi jika tidak bisa melihat sebanyak mungkin tawa mereka. Kakek Prita, meski seorang Purnawirawan Tentara, tapi tidak kaku dan segalak bayangan mantan militer kebanyakan.

Dia tau Cucu tercintanya Prita sedang sebal. Terlihat dari mukanya yang selalu masam, itu adalah kerugian. Setiap saat hatinya selalu terbisik untuk menggodanya. Dia menari-nari, menyanyi, menepil karet, melempar ular mainan, semua dilakukan Kakeknya yang usil untuk menggoda Cucunya yang lagi bertapa. Tapi memang Prita anak yang teguh. Dari sekian banyak usaha, hanya segelintir saja yang berhasil.

Tepil karet sangat mujarab untuk menggugah gadis itu. Ketika tangannya nyeri terkena tepil, tanduknya pun mencuat. Kakek jail!! selanjutnya, mereka berlarian keliling rumah seharian. Mereka saling kejar, saling menghindar dari ketapel karet gelang masing-masing, yang menyakitkan kalau sampai terkena. Dan Rindi, adik kecilnya yang baru berumur empat tahun pun turut jingkak-jingkrak kegirangan.

Enam hari sudah berlalu. Prita menjalani tapanya dengan berat. Terutama, godaan terbesarnya adalah dari Kakeknya yang super jail. Kalau dibandingin sama isengnya Kasino dan Indro waktu ngerjain Dono, mirip-mirip lah.

"Aaaaaaarr!!" teriak Kakeknya, muncul tiba-tiba. Prita terperanjat, jatuh dari kursinya yang nyaman, bersama Laptopnya.

"Kakek Jail!!" teriaknya dengan amarah.

"Kakek.. jangan dikagetin dong Cucunya," tutur Nenek dari jauh. Sosoknya tak terlihat, sedang sibuk menata makanan di ruang sebelah bersama Bik Sum.

"Habisnya Cucumu ini, hampir seminggu cemberut saja. Mana waktunya buat maen sama Kakek," katanya sambil tertawa.

Prita merengut, matanya menatap angkuh Kakeknya yang sedang terpingkal-pingkal. Dengan perasaan sebal, dipangkunya laptop yang tadi terjatuh. Dia kembali berselancar ke dunia maya. Ini hari terakhir, besok ayahnya akan datang dan menjemputnya pulang ke Jakarta. Inginnya hari ini, akan berjalan sesuai rencananya minggu lalu. Melihat beberapa kali Ibunya yang melirik kawatir, sepertinya rencananya akan berhasil. Meski sesekali, pertahanannya terbobol oleh tingkah iseng Kakeknya.

"Prita ayo sarapan dulu," seru Neneknya. "Makanannya sudah siap loh."

"Ndak mau, Prita ndak lapar," jawabnya ketus.

"Loh kok gitu. Nanti kamu sakit loh. Apa lagi besok kan Kamu mau pulang."

"Pokonya Prita ndak mau!" bentaknya.

"Prita!" teriak Ibunya. "Gak boleh gitu dong sama Nenek. Jaga sukapmu!"

"Ya sudah. Kalau belum lapar ya ga usah dipaksa," ucap Neneknya mendinginkan suasana. "Nanti kalau Prita lapar, langsung ambil sendiri ya makanannya di dapur." Nenek mengelus-elus kepala Prita kemudian pergi menjauh.

Gadis itu terdiam kembali. Hatinya menggerutu sebal. Harus bersabar, semua akan sesuai rencana, suara hatinya berusaha menenangkan. Tapi amarah Ibunya itu diluar rencana. Tadinya berharap, Ibunya akan datang dengan lemah lembut lalu menanyakan isi hatinya yang kesal. Namun yang didapat malah sebaliknya.

Buk, sebuah bola bantal kecil jatuh menghantam mukanya dan mengagetkan. Tak jauh dari tempatnya, Rindi tersenyum sambil menengadahkan tangan. "Kakak ayo maen," ajaknya.

Wajahnya masih muram sambil meraih malas, bola yang tergeletak di lantai. "Kakak belajar dulu ya," ucapnya sambil melemparkannya kembali ke tangan adiknya. Dia pun melanjutkan aktifitasnya. Buk, kepalanya kembali tertimpuk. Prita naik pitam. "Udah dibilang Kakak ga mau maen kok!" dia mengambil bolanya lalu melemparnya jauh, sambil marah.

Bola itu mendarat dan diam di lantai, di sebelah tangga. Rindi berlari, bermaksud mengambilnya dengan wajah ceria. Tak jauh, Kakeknya melihat. Dia segera meraih Cucunya tapi sayang tak beruntung. Kakek dan cucu itu terpelanting. Mereka berguling bersama, menuruni tangga. Nenek yang melihat berteriak panik. Semua orang bergegas menghampiri ke lantai bawah. Dan Prita tertegun kaku melihat Kakek dan adiknya yang diam tak bergerak.

Hari itu adalah liburan terburuk seumur hidupnya. Hari itu Kakeknya menjadi lumpuh. Hari itu juga adiknya, Rindi harus meninggal dunia. Dan sampai sekarang, penyesalan itu kadang bergelayut di dalam hatinya.

***

Sebuah SUV hitam berhenti mendadak di depan gerbang rumah. Seorang Pria tinggi, tegap, bergegas menghampiri. Dang.. Dang.. Dang.. gerbang dipukulnya menggunaka sebuah Handphone.

"Cari siapa Pak?" tanya Pak Min, satpam rumah, kepadanya.

"Saya dari kepolisian, tolong buka gerbangnya."

Pak Min sempat berfikir sebentar. "Ah baik Pak, tunggu sebentar." Dia kembali ke Pos sebentar untuk mengambil kunci. Pintu gerbang dibuka dan SUV hitam berjalan, masuki gerbang.

"Makasih Pak ya," ucap orang itu ramah.

"Ah iya Pak Polisi. Sama–sama."

Des.. Des.. Pak Min terjatuh. Dadanya berdarah tertembak dua kali oleh Pistol Polisi gadungan. Mobil memasuki gerbang lalu cepat terparkir. Mereka berjumlah delapan orang, bergerak cepat memasuki Rumah besar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top