Hukuman
Pintu lift terbuka. Vian bersama seorang pria berkacamata, berjalan mengarungi deretan mobil di area parkir. Di ujung sana, Ujang terihat berdiri santai. Nikmat mulutnya berasap sambil bersandar di samping mobil hitam.
"Mana kuncinya?" tanya Vian.
Ujang terkejut salah tingkah, merogoh–rogoh saku celana. "Mana ya?" gumamnya sambil sesekali matanya melirik sosok Vian yang beringas. "Ah!" teriaknya lega, sambil memukul jidat. "Di dalam bos, di dalam. Masih nempel, saya baru ingat."
"Ayo berangkat," serunya singkat. Dia bergegas memasuki mobil. Ujang dan dua orang pria yang lain juga turut serta.
Mobil hitam itu berjalan, menuju pintu keluar basement. Pergi menyusuri jalanan malam yang sepi. Tidak ada canda tawa, mereka melaju dalam diam dan kaku.
"Jadi Kita lakukan dimana ini bos?" tanya Ujang pada Vian di sebelahnya, sedang memutar kemudi.
"Ke pinggiran kota lah. Lempar saja ke jurang beserta mobilnya. Aku ga mau gegabah seperti kemaren. Tidak boleh ada kehebohan lagi."
"Wah kalau gitu mah, harusnya Kita bawa dua mobil bos? Ngesot dong kita pulang?"
Vian menepuk jidatnya, "Aduh.. Goblok.." gumamnya. "Ya udah, ubah rencana kalau gitu. mobilnya ga usah."
Ujang tersenyum tipis sambil membuang muka. "Hihi.. Tak kira, Saya saja yang mulai pikun. Bos Vian juga?"
Plak.. tangan kiri Vian menabok kepala Ujang. "Awas Kamu ya, berani ejek aku lagi. Kamu juga bakal tak buang ke jurang!"
"Aduh Sorry bos, Sorry.." Ujang memelas. "Ampun bos ya.."
Mobil itu melaju kencang, di bawah deretan gedung tinggi. Malam itu jalanan mulus tak ada hambatan, Mereka melesat lancar bak jalan pribadi. Sedangkan di atap–atap gedung yang menjulang, sesosok bayang tampak bergerak, melompat kesana–kemari, dia mengikuti.
"Ini adalah yang terakhir," kata Vian. "Setelah ini, aku akan pergi ke Bali untuk berlibur. Dan kalian masih punya tugas untuk mencari supir taksi itu."
"Ah iya bos. Pasti akan saya temukan."
"Terus?"
"Apanya Bos?"
"Yang akan kamu lalukan sama orang itu?"
"Bu.. Bunuh kan bos?"
"Ingat, lenyapkan dan jangan sisakan bukti."
"Iya, mengerti bos."
"Coba dari awal langsung saja berondong peluru, tidak usah gaya–gayaan. Mungkin tidak akan kerja dua kali kan."
"I.. Iya bos, maaf. Saya kebetulan khilaf karena sehabis nonton film balap-balapan, waktu itu."
"Heran, kenapa kok Aku masih selalu mempercayaimu ya?" keluh Vian. Ujang hanya cengarcengir membalas perkatannya.
Sosok bayangnan hitam melompat lalu menerkam dinding gedung lainnya. Crraaaash! suara itu memekik, dibarengi tembok yang tercabik. Dia meluncur turun sambil menempel di dinding. Kemudan dia melompat, berayun di tiang lampu. Akhirnya berhasil mendarat di aspal segera kakinya melesat, mengejar mobil Vian beserta komplotannya.
Brak! Suara itu mengaget Vian dan bolo – bolonya. Mobil sempat berkelok, lepas kendali. Terlihat di atap kabin mobil, benda - benda lancip keperakan menyembul.
"Apa itu!" teriak Vian. Sambil matanya melirik was-was.
"Aaaarrrgh! Itu Bos!" teriak Ujang. Matanya melotot pada sosok gelap bergelantungan di samping kanan mobil.
Cakarnya menerjang masuk, mencengkeram lalu menariknya keluar, seorang pria yang tadi duduk di belakang Vian. Dia terlontar lalu mendarat pas ke dalam bak sampah.
Ujang ketakutan, dia mengacungkan pistol dan menembak membabi buta. Suaranya bising dan memekakkan telinga. Vian segera menampar pistolnya. Dia menonjok muka Ujang untuk menghentikan kecerobohannya.
"Brengsek kamu Jang!" bentaknya penuh amarah. "Kamu mau melubangi kepalaku hah?!"
"Ma.. Maaf Bos!"
"Ke atas! tembak! Dia di atas kita!"
Pistol Ujang kembali memberondong. Kali ini ke arah yang aman. Atap mobil bersulut bunga api, penuh lubang karena terjangan peluru. Namun sosok hitam itu cepat menghindar, berguling ke belakang. Dia sempat terjatuh, tapi cakarnya berhasil mencengkeram body mobil. Sambil terseret di aspal, dia masih bergelayutan, berusaha bertahan.
"Apaan sebenarnya itu bos?" tanya Ujang, wajahnya ketakutan.
"Mana aku tau? Pokoknya kalau dia muncul lagi, tembak! Kamu juga Ndro!"
"Ba.. Baik Bos," jawab Indro sigap. Seorang Bodyguard Vian yang tersisa.
Indro sudah mengeluarkan senjatanya. Tapi belum sempat mendesing, sosok itu bergelantungan di sebelah kanan mobil. Dia berayun dan menendangkan kedua kakinya. Indro pun terlempar keluar, menjebol pintu mobil di samping kirinya. Dia berguling – guling di aspal yang keras.
Sosok hitam meringkuk di belakang Ujang dan Vian. Ujang mengarahkan pistolnya tapi tangannya cepat ditangkap. Sempat berdesing tapi ke arah yang salah. Dan sebuah pukulan bersarang ke wajahnya. Berlanjut hantaman sikut ke muka Vian hingga kepalanya menerabas kaca pintu, Prang! Roda kemudi tertarik mendadak, mobil itu terpelanting dan berguling-guling. Akhirnya dia menepi di pinggir jalan dengan posisi terbalik.
Asap putih mengepul dari mesin mobil yang rusak. Pelataran aspal di sekitarnya, dipenuhi pecahan kaca. Vian merangkak kepayahan. Seluruh mukanya bertopeng darah. "Ujang! Ujang!" teriaknya sambil menggoyang – goyang tubuh Ujang dengan kuat.
"I.. Iya bos.." jawab Ujang lirih.
"Ayo keluar, tetap pegang pistolmu. Kita habisi makhluk itu." ucapnya berapi-api.
"Ba.. Baik bos."
Sosok hitam itu, Mahesa. Dia berdiri melihat mobil rongsokan yang terkulai. Matanya menangkap sosok Vian yang berdiri sempoyongan. Begitu juga dengan Ujang. Mahesa melangkah mendekat. Berjalan tenang menuju mereka berdua..
"Itu! Di sana Bos!" teriak Ujang.
Seketika, pelatuk ditarik. Dor.. Dor.. Dor.. suara itu bertubi - tubi meramaikan malam.
Tapi Mahesa cepat dan lincah. Diserbu rentetan peluru, dia bergerak gesit dan menghindar. Kakinya lincah berlari, memanjat, lalu melontarkan tubuhnya kencang ke arah Ujang. Cakarnya yang tajam berhasil mencengkeram pundak Ujang. Aaaarrggh.. Ujang berteriak kesakitan, terkoyak bahu kanannya. Darah menyembur, berurai deras. Ujang pun terduduk lemas sambil menahan sakit di bahunya. Buak! tendangan itu mengenai rahang Ujang hingga tak sadarkan diri.
Tembakan kembali berdesing. Mahesa menghindar, berlindung di balik bangkai mobil.
"Siapa Kamu!" teriak Vian. "Keluar!" Dor! Dor! Pistolnya kembali meletup dan peluru menghujam, membabi buta pada seonggok besi bobrok.
Perlahan Mahesa berdiri memberanikan diri, menunjukkan sosoknya.
"Kau.. Makhluk apa Kamu ini?" kata Vian sambil pistolnya tetap membidik, disertai perasaan heran dan takut.
"Aku? Iblis yang akan membunuhmu.."
"Membunuhku?" Cengirnya menyeruak, Vian tertawa angkuh. "Kamu siapa? Polisi? Hakim? Kamu tidak lebih hanya orang gila! Apa yang bisa kamu lakukan kalau kepalamu berlubang hah? Dasar bodoh. Setelah kamu mati, aku akan melepas topeng burukmu itu dan mencari keluargamu lalu aku akan bantai mereka. Ratapilah ketololanmu di neraka."
Pelatuk akan dipicu tapi Mahesa cepat melompat tinggi lalu menerkam tangan kanan Vian. Dor! Dor! Dor! Pistolnya pun berdesing tanpa arah lalu pukulan bertubi – tubi menghantam wajahnya. Kemudian diakhiri sebuah bantingan yang kencang, ke atas bangkai mobilnya, Bruak! Vian pun terkulai dan hampir tak sadarkan diri. Sesekali tersengal dan terbatuk karena nyeri di dadanya.
Mahesa menjulurkan tangannya. Cakar – cakar tajamnya sudah menempel di leher Vian, siap mengoyaknya. Hatinya kini sudah teguh, Mahesa sudah siap mencabut nyawanya dengan sekali tarik. Namun, dug.. dug... dug... suara itu terdengar dari mobil Vian.
Dia pun tersadar dan melempar tubuh Vian ke jalanan. Tangannya menebas, bagasi mobil itu pun terbuka. Bruk, sesosok perempuan muda yang terikat, dan tersumpal mulutnya, jatuh terjerembab.
***
Sesaat tadi mereka berdua tertawa terpingkal –pingkal dan sekarang menjadi kelabu. Raut wajah Irma tiba – tiba saja sembab. Peluh air mata menetes, membasahi tangannya. Inestpun segera mendekap, menenangkannya.
"Kenapa? Apa ini tentang orang tuamu lagi?" tanya Inest.
"Semalam Ibu telefon. Mereka memutuskan berpisah," kata Irma, suaranya sesenggukan.
"Kamu sudah coba berbicara sama mereka? Menyampaikan kemauanmu?"
Irma hanya terdiam, tidak mampu menjawabnya.
"Sabar. Kalau sudah terjadi ya mau gimana? Kamu harus kuat. Dulu Kamu yang menyemangatiku? Dan sekarang giliranku." Inest pun gigih menghibur sahabatnya sambil tangannya mengusap lembut bahu Irma.
"Entahlah.. Ini terlalu berat buatku Nest," ucap Irma sambil tersedu. "Mereka masih hidup tapi memutuskan berpisah. Mereka melupakan apa yang sudah mereka ikrarkan. Kenapa aku harus memiliki orang tua seperti mereka."
Inest memegang bahu Irma lalu mengangkat kepalanya. Dia melihat wajah Irma yang berlinang. "Sudah jangan bersedih. tenanglah, pasti akan tiba saatnya bahagia kembali. Nanti malam ikutlah denganku. Aku akan coba menghiburmu."
***
Inest terduduk lemas. Wajahnya tampak layu sambil memandangi sosok Vian yang pingsan. Tangan dan kakinya yang tadi terikat sudah lepas.
"Aku tidak menyangka kamu masih hidup," kata Mahesa. "Padahal aku tak mengharapkannya, setelah apa yang kamu perbuat."
"Iya, aku pun berharap demikian. Tadinya sudah pasrah dan rela menerima pembalasan atas dosaku. Tapi wajah Irma yang terbersit sesaat, menyadarkanku, itu bukan jawabannya." Inest samar mulai melihat cakar Mahesa yang berdarah. "Aku tak tau hubunganmu dengan Irma tapi kamu tidak seharusnya melakukan lebih dari ini. Biar aku yang memastikan mereka mendapatkan hukuman yang semestinya, begitu juga denganku. Urusanmu cukup sampai di sini saja. Entah bagaimana, perasaanku mengatakan Irma tidak ingin jika seseorang terjerumus salah karenanya."
Mahesa pun menghela nafas panjang. Perlahan cakar tejam itu tersarung ke dalam jarinya. Dia terdiam dan menunduk sesaat, membuang jauh amarah dan keliarannya yang lalu. "Ya sudah, lakukan saja yang kamu mau." ujarnya dan dia pun melangkah pergi, meninggalkan Inest bersama para penjahat yang tak sadarkan diri. "Aku akan tetap mengawasimu sampai palu hakim diketuk. Katakan pada mereka juga, jangan coba lari atau aku akan kembali. Nyawa mereka selamat karenamu."
"Terima kasih," ucap Inest pelan sambil matanya merlinang, menyesal. Tak berselang lama Polisipun berdatangan. Irma dan gerombolan Vian selanjutnya diangkut.
***
Palu hakim akhirnya diketuk. Vian di kursi pesakitan telah mendapatkan hukuman. Proyektil peluru pistolnya, kesaksian Ujang, dan Inest, memberatkannya. Hakim menjatuhkan hukuman seumur hidup padanya. Entahlah apakah hukuman itu setimpal atau tidak, yang jelas, jika pun hukum di dunia lalai, tidak dengan Tuhan.
Tampak diantara kursi, dua orang tua Irma sedang bersedih dan berpelukan. Mereka pada akhirnya hanya bisa menyalahkan diri sendiri, atas apa yang terjadi. Inest gamblang menceritakan semua di sana. Temasuk ungkapan hati Irma akan keluarganya. Mungkin benar, jika dibilang orang tuanya pun turut andil. Tapi biarlah, takdir memang misteri.
Demikian juga dengan Inest. Hukuman lima tahun penjara juga didapatkannya atas pasal perdagangan perempuan dan terkait dalam kasus Irma. Selama ini Inest memang bukanlah perempuan baik – baik. Berkeliaran dan menjajakan wanita adalah profesinya. Saat Vian menamparnya dengan setumpuk uang itu, Inest tak bisa menolak. Karena dia tau pilihannya mau atau mati. Hingga akhirnya, dengan perasaan tak tega, bercampur aduk, terpaksa obat itu dimasukkannya ke dalam minuman Irma. Menjadikannya awal dari tragedy.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top