HADES

Irma hanya terdiam memandang gemelincir air hujan di kaca. Dia masih tertegun, teringat akan celakanya sesaat tadi. Pipinya masih lebam dan badannya pun masih basah bercorak lumpur. Sesekali kedua tangannya meremas dan gemetar setiap kilasan seram itu berkelebat.

"Pergi ke sarang iblis, maka kamu hanya akan menemui Iblis," ucapnya sambil memegang kemudi. Mata Mahesa melirik bayangan Irma di kaca spion. "Jadikan itu pelajaran sekali, dalam seumur hidupmu," lanjutnya.

Irma tampak tak menggubris. Dia masih tenggelam dalam lamunan.

Kembali Mahesaa mencuri pandang, wanita itu masih juga mematung. "Sebaiknya melapor ke polisi. Orang seperti itu harus diamankan segera agar tidak ada korban lainnya."

"Itu tidak akan terjadi," jawabnya sigap. "Aku tau siapa dia. Polisi tidak akan berguna."

"Benarkah?" Mahesa penasaran. "Memangnya siapa?"

"Sudahlah percuma. Antarkan saja aku ke rumah. Aku ingin istirahat." Irma menyandar lemas lalu memejamkan mata.

Matahari sedikit, mulai mengintip. Langit yang tadinya gelap gulita, sekarang mulai jingga. Setelah lama berlari, taksi biru itu pun menepi. Pintu dibuka dan Irma keluar perlahan. Dan Mahesa sudah berdiri di samping pintu mobil, menyambutnya.

"Berapa?" tanya Irma. "Argonya mati."

"Tidak perlu. Itu memang sengaja saya matikan kok," jawab Mahesa.

"Bagaimanapun aku harus membayar tumpanganmu." Irma segera membedah dometnya namun Mahesa cepat menerkam dan meremas rapat mulut dompet itu.

"Saya bilang tidak perlu. Yang ini murni sebagai pertolongan."

Irma memandang Mahesa. "Terima kasih," katanya singkat. Irma bergegas melangkah, pergi memasuki gerbang tanpa kata. Dia meninggalkan Mahesa bersama taksinya. Mata wanita itu tak kuasa membendung, peluh air mata pun meluap.

Matahari sudah memerah terang. Terpapar cahaya surya pagi, gedung yang berada di balik pagar tertampak. Sebuah rumah susun kusam dan kumuh, penuh dengan jemuran di beberapa lantai. Dan kotor lumut menjalar di beberapa bagian dinding.

***

Sebuah Printer berderit, memuntahkan lembar demi lembar kertas, bertumpuk rapi. Suara ketukan sepatu bertubi–tubi mendekat. Sesaat berikutnya, tumpukan kertas itu pun telah hilang.

Dia cantik dan menarik dengan tubuh ramping. Namun raut wajahnya terluki judes dan serius. Itulah yang menggambarkan sosok Wulan, seorang Agen lapangan Badan Intelijen Negara. Dia sedang berdiri diam di dalam lift yang sedang bergerak naik, pelan. Wajahnya tampak gusar, melihat angka digital di atas pintu yang menyala. Kedua tangannya menggenggam erat tumpukan kertas, laporan untuk atasannya Teguh Wiryawan, seorang Direktur Badan Intelijen Negara.

Asap putih mengepul, menabrak lenyap pada kaca jendela. Pria berkaca mata paruh baya itu sedang nikmat menghisap gulungan tembakau sambil memandang kota dari balik kaca. Suara ketukan itu terdengar dari balik pintu kayu, dia berpaling, "masuk!" teriaknya.

Pintu coklat besar terbuka. Wulan memasuki ruangan dengan langkah yang tergesa. Tak lama, dia sudah berdiri di depan meja kerja besar kemudian meletakkan setumpuk kertas di atasnya. "Pak Direktur, Saya dapatkan informasi terbaru," katanya sambil sedikit tersengal.

Teguh Wirawan membuang puntung rokoknya. Pergi menuju meja kerjanya berada. Di sana Wulang sudah menunggu tak sabar.

Tumpukan kertas diambil lalu dibaca tiap lembarnya. Lalu pandangan Teguh diam, tertuju pada sebuah foto. Dahinya mengernyit, pertanda gelisah melanda. "Ini Mr. Fox dari Red Rose," gumamnya.

"Foto itu diambil dua minggu lalu di bandara Internasional Soe-tta, Jakarta. Dan orang yang bersama dengan Mr. Fox adalah Anfi Samosa," Wulan menjelaskan. 

Teguh masih terpaku pada laporan. Seakan tak menggubris perkataan Wulan. "Lanjutkan," ucapnya tiba-tiba.

"Dia adalah seorang ilmuan, ahli Bio Chemical warna Negara Aljazair. Dia masuk dalam daftar orang yang paling dicari saat ini oleh Dinas Internasional. Salah satunya Interpol," lanjut Wulan.

Teguh mulai tergugah. Dia meletakan kertas laporan dan melayangkan perhatiannya pada Wulan. "Coba jelaskan lebih tentangnya?"

"Setahun silam dia didakwa dan dinyakan bersalah dengan tuduhan kejahatan terorisme dan percobaan pembunuhan terhadap Presiden. Dia dijatuhi hukuman mati seharusnya tapi tepat tiga hari sebelum hari eksekusi, penjara pusat Republik Zamibia diserang oleh sekelompok orang yang disinyalir merupakan gerombolan Ten Phantom. Anfi Samosa menghilang setelahnya. Dan patut diketahui, Ten Phantom merupakan gerombolan pasukan bayaran yang akhir-akhir ini mulai ramai terdengan keributannya. Terutama hubungan kedekatannya dengan Organisasi Red Rose"

"Seorang Ilmuan pembunuh ya," ucap Teguh sambil bersandar nyaman pada kursinya. "Seorang Ilmuan tanpa basic militer. Red Rose  tidak akan tertarik kecuali pria itu memiliki sesuatu yang berharga."

"Hades. Itu yang dia miliki Pak."

"Hades?"

"Di hari itu, dihadapan Presiden Republik Zamibia, seharusnya Anfi Samosa presentasi hasil penelitiannya tentang serum anti kanker. Diluar dugaan, yang terjadi justru ledakan besar. Dua orang tewas dan belasan lainnya luka–luka, termasuk Sang Presiden sendiri. Pada dasarnya polisi setempat tidak menemukan adanya bukti bahan peledak atau sejenisnya yang mengarahkan itu pada bom. Namun dengan gamlang, dihadapan wartawan, seakan berdeklarasi, Anfi Samosa justru mengklaim bertanggung jawab atas peledakan tersebut. Dia sesumbar bahwa Hades telah di denggamannya, dunia akan segera terbakar. Namun sampai sekarang, saya masih belum dapat informasi atas yang dimaksud Hades tersebut."

Teguh Wiryawan berdiri. Dia melangkah pelan, mendekati jendela kaca sambil meraih ponselnya. "Anfi Samosa direkrut oleh Red Rose, itu indikasi bahwa Hades adalah sesuatu ancaman yang nyata. Apakah itu Hades sang Dewa maut? Atau apapun, yang jelas dua orang sudah tewas karenanya dan sangat misterius." Dia berbalik, memandang Wulan. "Aku akan segera melapor ini pada Presiden. Tugasmu Wulan, aktifkan semua asset, cari informasi mengenai Red Rose, Hades atau juga Ten Phantom. Saya kawatir pada kemunculan mereka di Jakarta"

Wulan segera berdiri. "Siap Pak!" sahutnya.

***

Langit sudah gelap, satu hari juga telah terlewat. Mahesa masih dalam mode bahagia, sakunya telah penuh dan akan semakin membuncit setelah mengantarkan penumpangnya yang ke tujuh. Lumayan, tujuan tempatnya cukup jauh, dipinggiran kota. Semakin jauh, rupiah di argo pun semakin meninggi. Membuat liur serakahnya bergelimang. Ini adalah penumpang terakhir, yakinnya. Setelah itu, saatnya untuk pulang dan beristirahat dengan damai. Pada akhirnya, mereka pun turun, di sebuah pasar kecil yang sepi. Rupiah akhirnya mendarat di tangan, hatinya pun meluap kegirangan.

Taxi biru kembali berjalan. Para penumpangnya, sepasang laki perempuan dewasa dan seorang anak kecil, masih berdiri diam, memandangi. Pria itu menaikkan kerahnya, mendekati mulut. "Target sudah bergerak," ucapnya berbisik.

Mahesa sumringah. Dia memutar-mutar kemudi dengan bahagia. Taksi birunya berjalan kembali menyusuri jalan sepi, menerobos wilayah hutan lindung yang lebat dan gelap. Sementara di sisi kirinya menganga jurang dalam. Jalannya yang meliuk-liuk akan amat berbahaya bagi mereka yang awam dan tidak berpengalaman.

Tiba-tiba, sepasang cahaya melesat dari kejauhan. Tak berselang lama, Brak! suaranya mengagetkan malam. Mahesa terpental dan kepalanya terantuk kemudi. Taksi itu sempat meliuk sesaat tapi kemudian mampu dikendalikan.

Sambil menahan perih di pelipis yang berdarah, Mahesa cepat memainkan tongkat persneling lalu menginjak kuat pedal gas. Tapi belum sempat taksinya melesat, mobil sialan itu kembali menyeruduk dari samping, benturan kembali menggema. Pertikaian dua besi itu menggugah malam.

Suasana yang tadi sepi kini menjadi ramai. Penuh dengan suara dentuman logam berbenturan dan raungan mesin mobil berteriak. Keduanya masih berkejar-kejaran sambil beradu badan. Taksi biru mulai berhasil menjauh dan mobil hitam itu hanya mengekor, berusaha mengejarnya yang lincah. Jalannya berkelok-kelok, mereka pun menyusuri beriringan.

Dia tampak kepayahan. Badan sisi kanannya kini penuh penyok dan bemper depannya telah hilang. Ditambah asap tipis mulai menyembul dari kap depan. Dengan semua luka, taksinya masih memaksakan berlari. Sedang mobil hitam itu perlahan mulai berusaha mengungguli.

Taksi Mahesa mencapai batasnya. Dia mulai melambat dan mobil hitam mampu sejajar. Dan pertikaian mereka dimulai kembali. Suaranya yang gaduh kembali menggema. Akhirnya pada benturan terakhir, taksi biru itu menyerah. Dia oleng tak terkendalai, melaju, menerobos pembatas jalan. Dia kemudian melompat, menuju jurang yang gelap sambil berguling–guling liar. Bagian–bagian tubuhnya terpental, tercerai berai. Sosoknya menghilang bersama Mahesa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top