Cakar Perak Terkutuk

Pintu ruangan terbuka. Pria berjas putih itu melangkah sambil membetulkan kacamatanya yang terasa longgar. Badannya tinggi, kurus dan rambunya sedikit tipis. Dia adalah Dokter Syam, ahli ortopedy. Baru saja dia kembali dari ruang operasi lalu akan bertemu seorang tamu yang menunggunya.

Di depan mejanya, bapak tua dengan diam, menunggu. Tampak sesekali matanya memandang penasaran ke sekeliling ruangan. "Maaf, lama ya?" sapa Dokter Syam tiba-tiba. Dia duduk perlahan di kursinya, berhadapan dengan pria tua.

"Tidak apa–apa Doc, tidak terlalau lama juga kok." Jawab bapak tua itu. Dia tampak canggung.

Sebuah amplop besar coklat di mejanya, dibuka. Docter Syam berdiri, mengangkat tinggi sebuah foto Rontgen yang lebar lalu menempatkannya pada papan menyala di dinding. Gambar tulang manusia menampak. Dia mendekatkan mukanya, mengamati gambar itu. Raut wajahnya tampak aneh. Satu persatu dari tiga lembar foto Rontgent itu di lihat bergantian. Dan diakhiri menggeleng-geleng heran.

"Kenapa Doc? Apa ada masalah pada putra saya?" tanya bapak tua itu penasaran.    

"Entahlah," katanya, masih dengan raut muka yang bingung. "Ini tidak ada masalah? Semuanya normal," kata Docter Syam.

"Jadi bagaimana Docter? Putra saya jadi dioperasi?"    

Docter Syam duduk kembali di kursinya. Dia mengabaikan foto rontgen di papan. Wajahnya masih tetap berkerut linglung sambil memandang pria tua di hadapannya. "Kok beda ya?"

"Beda? Apanya Doc?"

Docter Syam memaling, memandang foto Rontgen yang menyala di dinding. "Itu," Dia menunjuknya. Lalu, "Dan ini," dia mengetuk foto rongent di meja. "Harusnya tulangnya kan patah semua kemaren? Yang sebelumnya kita lihat bersamakan? Saya masih ingat. Kok sekarang beda? Tau–tau jadi normal? sembuh?"

"Terus gimana Doc?"

"Terus? Ya sudah, sembuh. Bisa pulang. Ga usah operasi."

"Oh gitu Doc. Baiklah kalo gitu. Saya beres–beres dulu." Bapak itu bergegas berdiri kegirangan. Dia bukanlah orang berada, perekonomiannya pas-pasan. Di benaknya, operasi sama dengan menguras recehnya yang tak seberapa. Saat mendengar kata tidak operasi, itu sangat melegakan.

"Eh jangan sekarang". Sigap, Docter Syam cepat berdiri dari duduknya, dia melarang. "Tunggu sampai nanti putra situ sehat dulu, baru boleh pulang. Kan masih ada luka-luka toh?"    

"Ah, iya yah. Baik Doc saya nurut. Maaf, saya kadung kegirangan dengarnya."

Docter Syam tersenyum menggapinya. Dua orang itu duduk kembali di kursi masin–masing. Mereka melanjutkan bincang-bincang santai, ditemani secangkir kopi hangat di meja.

Matahari sudah mulai meninggi, Mahesa duduk sendiri di atas pembaringannya. Jendela kamarnya terbuka dan gordennya meliuk – liuk oleh semilir angin yang sepoi, menyejukkan ruangan yang pengap. Dia hanya terdiam, tatapannya tampak kosong, tertuju pada jendela. Sementara tontonan musik dangdut yang berdendang ditelevisi, tak digubrisnya.

Karena kecelakaan itu, tadinya dia menderita luka cukup parah. Tangan kananya di sanggah papan dan berbalut perban. Begitu juga dada, kepala dan kaki kanannya.

Matanya berlinang dan memerah. Kuku–kuku tangannya pun menjulang. Dua atau tiga centi panjanganya. Benda itu berkilau di ujung-ujung jemarinya, tampak mengancam.

Irma telah tiada, fotonya terpampang di halaman depan sebuah surat kabar. Dia ditemukan telah meregang nyawa di kamarnya sehari kemarin. Tragis, tiga butir peluru menerjang tubuhnya. Kabar itu telah tersampaikan pada Mahesa beberapa saat lalu. Setelah terbangun dari koma selama tiga hari. Mengetahui hal itu, hatinya merintih sedih. Sesalnya menggebu, teringat kala meninggalkan pria itu masih bernafas.

***

Bertopeng belang tanpa ekspresi, dia tertunduk diam dengan tangan berlumur darah. Di hadapannya seorang wanita dan seorang anak laki-laki, terbaring diam. Mereka baru saja terbunuh sesaat lalu dengan luka sayatan menganga di leher. Darah segar merah muda mengalir, menyebar, mewarnai lantai yang tadinya putih keramik.

Masih terngiang di kepala, tangis sesenggukan suara wanita meminta ampunan. Di dekapannya pula suara seorang bocah yang menangis ketakutan, sambil memeluk erat ibunya. Tapi bisikan perintah itu mengalahkan semua. Nuraninya yang sebenarnya sadar, tak mampu menahan tangan kanan yang menebas. Selanjutnya, mereka pun terkulai, terhempas tubuhnya ke lantai.

Bunuh semua dan jangan ada yang tersisa satupun, perintah itu begitu menghantui, mengiang di kepala, mengendalikan seluruh kesadaran. Di balik topeng belang itu, sosoknya masih meratapi malang yang menimpa ibu dan anak. Matanya berlinang dibalik wajah palsu yang sangar. Merana pada dosa yang kembali berulang. Hari itu nyawa kembali terenggut oleh tajamnya cakar perak, benda terkutuk yang tertanam di ujung–ujung jemarinya. Dan lagi, hanya bisa melihat, tanpa bisa berontak saat benda itu mengamuk.

Sejak hidup bersama Pak Abdullah, dia merasa telah mendapatkan kedamaian. Hampir setahun lamanya dia telah membenamkan cakar pembantai itu dalam. Dan sangat bahagia menjalani hidup normal sebagai seorang supir taksi biasa. Semoga kehidupan damai dan senyap ini bisa selamanya, harapannya. Tapi bukan Mahesa, Nasiblah yang berkuasa.

***

Cakarnya berkilauan di depan mata. Sedihnya masih menggunung. Namun hatinya berbalik murka jika mengingat wajah lelaki itu. Dia yakin, pria itu pasti pelakunya. Saat matanya terpejam, ingin rasanya waktu berulang. Kemudian menebas batang lehernya di saat gerimis itu.

Amarah benar–benar telah merenggut akal sehat. Dia telah lupa sakitnya di masa lalu sebagai seorang pembantai. Sedangkan hari ini darahnya terlalu panas, ingin segera bertemu dan kembali mencabut nyawa.

"Loh kamu sudah sadar?" Suara itu muncul dari belakang. Pria tua berjanggut putih itu datang mendekat. Lalu melihat–lihat sekujur tubuh Mahesa yang penuh luka dan perban. Dia adalah Pak Abdullah, penolongnya. "Bagaimana keadaanmu?"

"Sudah terasa baikan Pak," ucapnya. Cakar tajam itu sudah kembali tersembunyi. "Bapak dari mana?"

"Saya habis ketemu Docter Syam. Tanya hasil pemeriksaanmu yang terbaru. Dan katanya, hasilnya bagus, kamu sudah sembuh. Wajahnya sempat bingung sejenak lalu dia bilang kamu tidak perlu operasi, ya bagus."

"Oh begitu?" balasnya datar.

"Jadi bagaimana sebenarnya kejadiannya?" tanya Pak Abdullah. Suaranya lebih pelan. Sambil memandang pada Mahesa. "Bagaimana bisa mobilnya terjun ke jurang? Polisi bilang itu bukan kecelakaan tunggal. Katanya mereka menemukan serpihan kendaraan lain di sana."

"Iya, itu memang perbuatan seseorang pak. Itu kesengajaan." Mahesa mengambil koran kemudian meletakkannya di depak Pak Abdullah. "Saya pernah cerita ke Bapak sehari sebelumnya. Tentang menolong wanita dianiayakan? Itu fotonya di halaman depan. Namanya Irma dan dia sudah meninggal."

Pak Abdullah terdiam sebentar. Dia lalu melihat, membolak–balik koran di tangannya, mengamati sesosok wajah di muka koran. Dia kemudian menoleh kepada Mahesa kembali sambil meletakkan koren itu terlipat.

"Saya yakin, orang itu yang mencelakai saya dan Irma."

"Maksudmu, pria yang menganiaya gadis itu?"

"Benar Pak."

"Terus bagaimana? Kalau memang begitu, ini harus disampaikan ke polisi. Dan mungkin beberapa saat lagi meraka akan datang."

"Tidak perlu Pak. Polisi tidak akan berbuat apapun. Selain bukti yang kurang, dia orang yang berkuasa, begitu kata Irma."

"Tapi wanita itu harus mendapat keadilannya Mahesa. Percayalah hukum tidak mungkin buta."

Mahesa berdiri. Lilitan perban di tangannya dikupas sampai habis. "Saya yang akan melakukannya Pak. Saya yang akan menghukumnya." katanya sambil melempar segenggam kassa putih dan dua bilah kayu ke tempat tidur. "Sekarang mari Kita pulang pak."

Raut wajah Pak Abdullah terihat diam dan cemas. Baru sekarang sejak pertama bertemu, dia menangkap sosok Mahesa yang bengis dan menakutkan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top