Bertemu Kembali

"Selamat datang bapak," pria berseragam itu menyapa hangat. Dia pria berumur empat puluhan dengan kumis tipis dan perut yang agak buncit. Tapi badan terlihat tegap. "Maaf, mohon dokumennya bapak?" pintanya ramah. Sebuah buku kecil itu berpindah tangan. Bapak Petugas kembali duduk, menghadap ke monitor.

Pria berjaket kulit coklat itu, sang pendatang, harus terasing sejenak. Dia harus sabar menunggu petugas imigrasi menjalankan tugasnya. GUSTI WIRYA TRENGGANA, nama itu sekilas saja terlihat dari sebilah buku kecil di tangannya. Lengkap dengan foto seorang pria berambut cepat dan tampan. Proses pemeriksaan tidak lama dan buku kecil itu dikembalikan.

"Terima kasih atas kerjasamanya pak Gusti. Selamat datang kembali di tanah air." ucapnya. Dan Gusti membalas senyum ramah, sebelum melangkah.

Di tengah hari, area kedatangan Internasional Bandara Seotta ramai. Dia muncul dari kerumunan, berjalan gagah, mengabaikan kerumunan para supir taksi yang saling mengumbar jasa. Perlahan langkahnya mulai melambat pada dua orang pria tinggi besar, berbadan tegap, yang diam mematung di pinggir jalan. Dan para supir taksi pun bergidik, menghindar pergi.

"Dia menunggu anda di dalam," ucap salah seorang pria itu, sesaat setelah kedatangan Gusti. Dia memutar kepalanya, menunjuk pada sosok mobil Audy merah yang diam di seberang jalan aspal.

***

Pagar hijau berkarat itu, warnanya semakin muram, seraya sinar surya yang mulai menghilang. Di baliknya, beberapa container karatan tergeletak tak terawat, di halaman luas gudang tua yang dipenuhi ilalang liar. Langitnya akan segera menghitam, sekarang sudah berwarna kelabu. Karat-karat kekuningan bangunan pun perlahan tertutupi. Menghilangkan kesan bangunan tua, menjadi bangunan angker. Namun di antara jajaran kontainer itu, tampak beberapa mobil SUV hitam yang kosong telah terparkir. Sedangkan beberapa pria berseragam hitam, lengkap dengan laras panjang di tangan, berjalan, hilir mudik mengamankan area.

Wajahnya tampak pucat dan lelah. Rambut itu berantakan, menyumpal mukanya yang menunduk. Membuat bergidik, mereka yang memandangnya. Di dalam ruangan besar dan kosong itu, yang hanya menyisakan dua bilah kursi dan sebuah meja, berdiri sepuluh pria berseragam, bersenjata api. Jeremiah yang tadi pagi puas menghardik dan melecehkan Mahesa sang Phantom, telah lama pergi dengan wajah bangga dan cengengesan. Tembak mati jika dia sampai berdiri dari kursi, itu adalah perintah terakhirnya pada para pasukan yang siaga.

Saat itu matanya sedang memejam. Dia tertidur tenang dalam kondisinya yang terbatas. Bagi Mahesa, itu adalah salah satu pilihan tepat. Malamnya lalu sangat melelahkan, berkali kepalanya dihantam, disiksa oleh Jeremiah yang brengsek. Karenanya, nyaman pun tak pernah dia dapatkan. Tapi tidak kali ini, saat yang tak boleh disia-siakan. Stamina harus terkumpul penuh sambil menunggu pembalasan.

Lebih dari empat jam lamanya, Jeremiah telah menghilang. Hampir selama itu pula Mahesa terdiam. Tangannya masih terikat rantai, begitu juga dengan pergelangan kakinya. Empat jam sudah lebih dari cukup untuk melenyapkan lelahnya. Dan kini tenaganya telah pulih, dia dalam tahap menanti atas apa yang telah dijanjikan oleh Jeremiah sebelumnya.

***

Hanya sebentar saja Wulan menarik informasi dari mulut Pak Abdullah lalu dia segera bertindak. Dalam satu jam, lebih dari dua puluh polisi telah terkumpul di dalam ruangan. Salah seorang diantaranya tentu saja AKP. Indra, sang pimpinan Tim Siliwangi. Sedangkan di ujung sana, sebuah layar proyektor menyala, memampangkan foto scan, buku catatan Mahesa yang didapatkan Wulan sesaat lalu.

"... Saya tidak akan lama-lama karena waktu kita mendesak," ujar Wulan di samping layar proyektor. "Pria misterius anggota Ten Phantom telah kita dapatkan. Lokasi keberadaannya pun sudah diketahui dan saya ingin kita sesegera mungkin bergerak." dia mengalihkan pandangannya pada seorang petugas yang menhadapi layarlaptop. Jarinya memberi isyarat dan seketika layar proyektor menampilkan sebuah peta digital, lengkap dengan sebuah titik merah berkelip-kelip. "Ini adalah posisi target kita sekarang. Dia di daerah bekasi, di pinggiran kota. Dan medan pasti akan sulit tentunya. Dan beruntungnya sampai sekarang pelacak masih belum terdeteksi." Wulan kemudian memandang Indra di tempatnya. "AKP Indra mohon segera jalankan Operasi penyergapan sekarang juga," ujarnya singkat dan perhatian pun terarah pada AKP. Indra sekarang.

Indra berdiri dari kursinya. Wajahnya menebar pandang pada kerumunan. "Kita akan melakukan operasi pernyergapan dalam satu jam. Iptu Edi Purwoko segera berkoordinasi dengan Densus 88, agar mengaktifkan semua personil yang ada. Iptu Johan koordinasi perihal logistik persenjataan dan Ipda Sinta persiapkan perihal transportasi... Ingat! Dalam satu jam, Saya ingin semua harus sudah siap. Saya rasa pertemuan ini sudah cukup. Semua bergerak sekarang!" Tanpa akhiran, rapat darurat itu segera ricuh, berlarian. Demikian juga dengan Wulan.

Sedangkan Pak Abdullah beserta Tarjo dan Bejo sudah duduk nyaman di ruang tunggu berAC. Di sana juga sudah dihidangkan beberapa nasi kotak dan minuman. Beserta televisi 32 inch yang menghibur. Setelah bercakap-cakap tadi, Wulan langsung mengarahkan dan memerintahkan mereka agar diam dan menunggu sementara di ruangan itu. Tentu saja mereka hanya bisa menurut, tak ada pilihan lain karena perintah Polisi, pikirnya.

Suara gaduh pun terdengar hingga keruangan mereka. Sontak ketiga orang itu berdiri dari duduknya, kompak mengintip kegaduhan di gedung, markas kepolisian. Di luar, terlihat beberapa orang berseragam saling berlarian. Beberapa diantaranya sambil menyarungkan senjata di pinggang dan lainnya memanggul laras panjang di bahu.

"Wih, kayak di pelm-pelm Amerika ya Mas," Ucap Tarjo sambil menjambak baju Bejo di isinya.

"Iya eh. Jarang-jarang liat polisi kocar-kacir kayak gitu ya."

***

Gerbang itu tertutup kembali setelah Audi merah melewatinya. Di samping gerbang tampak seorang pria, berseragam juga, sedang duduk sambil menyeruput kopi.

"Kamu mendapatkan markas yang cukup bagus," kata Gusti. "Sangat terasing, tidak mencolok."

"Yah tentu saja Bos. Begini-begini, Kita punya naluri dagang."

"Apa hubungannya naluri dagang dengan stategi militer?" timpal Gusti.

Jeremiah langsung bermuka sombong. "Ya tentu Bos. Itu kita punya organisasi kasih dana pas-pasan. Jadi harus putar-putar kita punya otak, cari bangunan kosong di luar jakarta yang terkenal angker untuk disewa, pasti dapat harga murah."

"Ah itu bisa-bisa kamu ajah."

Tak lama Audi merah itu pun berhenti. Beberapa orang prajurit menghampiri, membuka pintu mobil.

Kelotak sol sepatu itu seakan  terdengar nyaring. Hal itu mungkin tentunya, mengingat gedung yang sepi dan minimnya aktifitas di sana karena para pasukan hanya berdiri diam, sedikit berlalu-lalang, bersiaga melakukan penjagaan. Karena pendengaran Mahesa yang sensitif. Sudah pasti Dia mendengarnya dan tau beberapa orang akan segera datang menghampiri. Hatinya sangat berharap mantan sahabatnya itu yang akan dihadirkan Jeremiah. Tangannya sudah gatal, tak tahan ingin segera menghajar. Ingin segera menumpahkan kesal yang mengganjal.

Pintu kayu itu terbuka. wajah yang tak asing bagi Mahesa bener menampak, disertai senyuman tak merasa bersalah. Dari balik juntaian rambut belantara, matanya menatap. Pada detik itu, benar, amarahnya meluap. Namun tangannya sontak saja mengepal erat, mencoba menahan murka. Dia sadar, belum saatnya beraksi. Bantuan belum tiba sehingga masih belum saatnya amarah terlampiaskan. Wajah Gustar yang tersenyum sungguh memuakkan di hadapan Mahesa.

Langkah demi langkah, akhirnya kakinya terhenti, tepat dua langkah dari tempat Mahesa yang terdiam. Kacamata hitam itu disingkirkan, Gusti memandangnya arogan. Pada sosok sahabat lamanya yang telah lama menghilang dan mungkin dirindukan.

"Bagaimana kabarmu Wan?" tanya Gusti. Kepalanya sedikit miring kesamping. Pandangannya mencoba menyibak, menangkap wajah yang tersembunyi. "Sorot mata itu. Sorot mata yang hidup. Kamu benar-benar telah tersadar ya."

"Kamu terlampau berani menemuiku hari ini. Harusnya kamu sudah membaca apa yang akan terjadi. Aku sudah tidak memperdulikan hubungan masa lalu, Gustar." Ucapan Mahesa sedikit mendesah, bertabur amarah.

Gusti sejenak terkekeh sambil mengusap wajahnya. "Itu nama yang sudah lama aku tinggal. Panggil saja aku Gusti, itu memang nama asliku kan?" katanya. "Walau begitu, nyatanya aku ga mampu berpaling Wan." Gusti menujuk sebuah kursi kosong, segera seorang pria mengambil dan menyodorkannya. Perlahan dia duduk berhadapan dengannya. "Aku masih menganggapmu teman dan ingin memasikan lagi sebelum benar-benar harus membunuhmu."

"Teman?" wajah Mahesa sejenak masam."Kutukanmu padaku ini, apa itu pantas dilakukan seorang teman?"

"Itu adalah hadiah."

"Kamu menjadikanku boneka pembunuh."

"Kamu seorang pembunuh sedari awal," jawabnya sambil tersenyum.

"Setidaknya aku membunuhi penjahat brengsek dan gila sepertimu."

Sambil tersenyum, tangannya kemudian menjambak dan menarik rambut Mahesa hingga wajahnya tersingkap. "Sudah berapa kali ku katakan. Kita berdua sama. Kamu membunuh untuk mereka yang kamu percayai yang benar. Begitu juga denganku.

"Tapi kalian lebih kejam!" bentaknya. "Aku tidak buta, juga tidak tuli. Aku tau semua. Serangan-serangan teror bom itu. Peperangan itu. Kalian dalangnya. Kalian menyampingkan belas kasih demi mewujudkan tujuan. Berkatmu juga, aku tak akan bisa melupakan bau anyir darah di kedua tanganku."

"Mengorbankan satu nyawa untuk kelangsungan hidup seribu lainnya, kenapa tidak?" sanggah Gusti. "Mereka yang kamu sebut polisi dunia, mengirimkan rudal-rudal yang katanya ditujukan untuk teroris. Kembang api kematian memenuhi langit kota yang muram. Hasilnya? Tak sedikit warga sipil yang tewas karenanya. Dan saat mereka bilang yang terbunuh adalah teroris maka dunia pun percaya. Apa bedanya coba?" Gusti melepaskan tangannya, kembali duduk di kursi reot. "Orang-orang itu tak akan pernah puas. Perang tak akan pernah hilang selama masih ada paham yang perbedaan. Maka itu Red Rose hadir untuk menjadi pemersatu. Dunia ini hanya perlu satu pemimpin untuk menghilangkan perbedaan. Jika mereka merasa sama maka tak akan ada lagi perang terhadap sesama. Dan itu akan hadir dalam cita-cita pemerintahan dunia yang tunggal. Itu keyakinanku. Harus berapa kali aku bilang Wan? Ini yang benar."

Mahesa hanya terdiam. Matanya menusuk tajam pada sosok di hadapannya.

"Aku sudah sampai batas Wan. Ini yang terakhir aku berharap kamu bisa mengerti. Mereka itu tidak akan ada habisnya menebar perang. Cukup Abdi saja korbannya. Kalau aku mau, sudah lama kamu mati. Sekali lagi, ini kesempatan terakhirmu."

"Tidak akan aku biarkan. Kamu dan Red Rose mu pasti akan aku habisi."

"Coba saja," jawab Gusti singkat pada Mahesa, masih tersenyum. "Apa itu artinya sebuah penolakan, lagi?" sesaat Gustar masih tersenyum angkuh lalu seketika diam. Matanya tertuju pada sandal karet yang melekat di kaki Mahesa. "Jeremiah!" teriaknya.

***

Di luar langit sudah gelap gulita dan ramai suara jangkrik, menemani. Beberapa pria bersenjata itu, masih berseliweran. Beberapa berjaga di sekitaran gerbang, beberapa tiarap di atap-atap bangunan, di pojok-pojok tembok pembatas. Dan penerangan di area itu memang sengaja tetap diminimalisir agar tidak menarik perhatian. Jadilah mereka yang berjaga harus lengkap dengan teropong pengamatan malam. Di sebelah belakang area gedung kosong, terhampar ladang padi luas dan lebat. Dan tentu saja gelap gulita. Sayup-sayup gemuruh itu terdengar.

***

"Tempatnya jauh, lalu lintas padat dan saya yakin, bahkan di luar gerbang Gedung ini, kemungkinan besar sudah ada para pengintai," kata Indra.

"Lalu bagaimana saranmu?" tanya Wulan.

Indra dan Wulan berjalan cepat, menapaki anak-anak tangga sampai di sebuah pintu. di sana, dua buh Helicopter sudah meraung bising. "Lewat udara!" teriak Indra sambil menjulurkan jarinya.

Di pelataran luas, sudah bersiaga tiga buah Helicopter. Dua dari Heli itu sudah dipenuhi beberapa pasukan bersenjata lengkap. Tinggal satu saja yang masih membukakan pintu, menunggu Wulan dan Indra memasukinya.

Indra sudah sampai dan memasuki ke dalam kokpit. Dia duduk di sebelah pilot dan tak lupa memasang Headphone untuk berkomunikasi. Indra sudah bersenjata lengkap. Keflar sudah merangkul di badan dan dua buah MAG 4 tak lupa menempel di pinggang, lengkap dengan magazine cadangan. Dan dibelakanganya, Wulan juga sudah masuk dan memasang Headphonenya. "Dengan ini kita akan sampai dengan cepat," kata Indra. "Selain itu, saya juga sudah minta bantuan ke Batalyon Infantri TNI AD di bekasi. Bersiaplah malam ini akan ramai."

Bersambung...

Gustar memas bukan nama asli Gusti, tepatnya nama panggilan dari empat sekawan semasa pendidikan militer. Tentu saja ini gara-gara si Abdi, suka lupa sama nama orang, terlalu sering manggil Gusti dengan Gustar maka jadilah itu nama selamanya XD.. semoga next chap bisa cepat release, ga lama kayak yang ini XD dan anda-anda masih sabar mengikuti...

Oh iya, next chap akan penuh ledakan dan cakar-cakaran ya... awas, persiapan...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top