Air mata Wulan

Mahesa kini bersama badan intelijen. Tentu saja dia tetap terpenjara, sebagai tahanan. Bersamanya turut serta Jeremiah, namun berada di ruang terpisah.

Kini sudah dua hari setelah penangkapannya. Mahesa duduk terantai di depan meja panjang coklat. Bersamanya, dua orang pria berdasi menemani. Mereka silih berganti menanyainya.

"Apa saja yang sudah kita dapatkan," tanya Teguh Wiryawan. Dia berdiri di ruangan terpisah sambil mengamati dari balik kaca satu arah, kepada Mahesa.

"Sementara ini, hampir semua yang dia sampaikan, sama dengan buku cacatan sebelumnya." Wulan berdiri di belakang Teguh. Sambil pandangannya turun mengamati di balik kaca. "Sedangkan informasi terbaru merupakan tentang informasi pribadinya. Dia mantan tentara pak."

Pria berkaca mata itu menoleh. "Seorang tentara yang membelot ke ranah terorisme?"

"Tidak secara langsung pak. Ini jauh lebih rumit. Lebih tepatnya tentang pencucian otak"

Keningnya berkerut. Penasaran itu menyeruak dari balik wajah seorang Teguh Wiryawan. "Kumpulkan data dan informasinya, secepatnya dan rahasiakan." Dia kemudian kembali melirik Mahesa. "Aku jadi pemasaran padanya."

Untuk hari itu, proses interogasi terhadap Mahesa hanya sampai siang hari. Itu karena sehari sebelum dia sudah dicecar oleh para pria berdasi hingga larut. Mungkin saja kini informasi yang mereka rampung sudah berjubel.

Dan sang fajar mulai menyingsing. Langit juga mulai meredup. Perlahan para petugas berpamitan satu persatu. Menyisakan segelintir saja, Wulan salah satunya.

***

Belasan pria berjas biru, hilir mudik, menjalani kesibukan. Di dalam ruangan besar itu, yang penuh penerangan, amat sesak dengan keramaian. Para pria berseragam, bersenjata api, diam berdiri mengawasi di sudut-sudut ruang. Matanya kokoh mengawasi para pria pekerja.

Di lantai dua, dia menghadap pada layar komputer. Seorang pria berkulit coklat gelap dengan rambut ikal beruban, terlihat letih dan bekerja keras. Dia berusia sekitar empat puluh, lengkap dengan kerut di wajah yang menegaskan.

Tak lama, pintu besi terbuka. Seorang pria tanpa rambut, melangkah bersama beberapa pria bersenjata. Di sampingnya sosok wanita tinggi, cantik menemani. Riuh ramai itu pun seketika hening.

Dia terkejut, sontak berdiri dari kursinya. Para tamu itu mengalihkan pandangannya dari layar monitor. Perlahan senyum itu menyeruak.

"Halo profesor Samosa!" Teriaknya. Kini dia mulai menaiki tangga besi bersama perempuan oriental itu. "Aku sangat senang akhirnya Anda memberikan undangan." Kini mereka sudah saling berhadapan. Dan segera saling berjabat tangan.

"Yah, seperti yang saya sampaikan sebelumnya. Saya hanya akan memanggil anda jika benda itu telah siap."

"Lalu apa yang akan kita lihat hari ini?"

Dia menjulurkan telunjuknya, di lantai bawah, pada sebuah tabung kaca besar. "Saya membutuhkan sukarelawan."

Pria gundul itu melotot, "hanya itu?" katanya diikuti tawa. "Tolong isi tabung kaca itu," serunya.

Seketika sebuah moncong senjata terarah pada seorang pria tambun berjas biru. Dia terkejut dan wajah memelas itu mulai muncul. "Tolong jangan saya.." pintanya menelas sambil berlurut.

Namun seorang tentara Red Rose itu sungguh teguh. Kakinya dilayangkan hingga membuat pria tambun berguling. "Masuk atau peluru yang melubangi kepalamu!" bentaknya.

Dor! Seketika semua orang terkejut. Tentara Red Rose itu meraung sambil memegangi pahanya yang berdarah.

"Kamu saja yang masuk!" teriak pria pelontos sambil menyerahkan pistol pada wanitanya.

Dua orang tentara lainnya menghampiri dan menyeret rekannya yang memelas dengan paksa. Dia pun dilempar dan dikurung di dalam tabung kaca. Suara ronta itu pun tak terdengar dan si pria tambun pun merasa lega.

"Mulai prosedur injeksi Hades pada media sample!" Kata Anfi Samosa.

Pria tambun itu bergegas berdiri. Dia pergi menghampir sebuah kota berwarna metalik. Dan saat benda itu terbuka, berjajar beberapa botol berwarna biru, berbalut kabut.

Dia bergegas meraih lalu menempatkannya pada lubang di samping tabung kaca. Wajahnya berpaling, dia berhadapan dengan tentara yang sesaat tadi menerornya. Lalu mundur perlahan.

Sorang pria berkulit hitam menancapkan sebuah kunci lalu memutarnya. Tahap berikutnya menarik tuas-tuas besi perlahan secara bergantian.

Sang kelinci percobaan mulai bertambah ketakutan, bersamaan dengan suara dengung mesin. Asap putih menyembul di kakinya sesaat dan tak lama pun lenyap.

Semua orang terdiam. Itu sudah berlangsung selama lebih dari dua puluh menit sejak kemunculan asap putih.

"Profesor, berapa lama reaksi Hades akan mulai terjadi?" tanya pria gundul pada Anfi Samosa.

"Reaksi akan terjadi, kira-kira setelah lima jam. Memang untuk saat ini, effect hades yang versi gas menjadi lebih lama dari versi cair yang hitungan menit. Tapi setidaknya ini sudah merupakan sebuah keberhasilan bukan?"

Pria gundul itu memandang lantai. Dia mendesah dan mengatur nafas. "Nina tolong ambilkan saya kursi." Dia menghujamkan tangannya ke saku celana. Benda itu kini di genggamannya. Sesaat berikutnya, menempel di pipi. "Hei Gusti. Saya sudah mengetahui kekalahanmu. Brengsek!" Hardiknya menyentak keheningan. Perlahan dia merebahkan tubuhnya di kursi. Dia kembali mengatur nafas. "Sekarang aku ingin kamu kembali."

***

"Apa sebenarnya yang ingin kamu sampaikan." Mahesa peka. Mata itu begitu terpagut pada raut wajah jelita yang tampak semakin memucat.

"Maaf," terucap berat, hanya itu kata yang mampu keluar dengan susah dari bibirnya. Bening itu mengalir, merayap turun di pipi, bercampur dengan rasa bersalah dan duka. Wulan tak mampu lagi menatap Mahesa.

"Maaf untuk apa?" Tanya Mahesa. Sorot mata itu tajam menghujam pada perempuan di balik jeruji. Hatinya seketika mengkap suatu keganjilan. "Maaf untuk apa? Katakan!" Bentaknya.

***

Teguh Wirawan terdiam kosong di ruangan kerjanya, sendiri. Asap itu pun berkali-kali mengepul dari mulutnya. Baru sesaat lalu kabar duka dia terima melalu sambungan telephone. Seketika itu juga tubuhnya terhuyung lemas. Dia meratapi penyesalan.

Pak Abdulah tewas. Pria bijak dan teguh, yang baru dikenalnya telah tiada.

Sialnya pria malang itu tewas terbunuh dalam perjalanan menuju bandara. Dia bermaksud pergi ke Jogja, pulang kepada keluarganya.

***

"Maaf, karena prosedural dan kepentingan penyidikan, Mahesa belum bisa ditemu siapapun." Teguh Wiryawan berujar pada pria tua itu. Di sampingnya berdiri AKP. Indra dan Wulan.

"Ndak apa-apa pak, kata Pak Abdullah, tabah sembari menghela nafas. "Lagi pula Mahesa sudah berpamitan sebelumnya. Kalo jodoh pasti jumpa lagi." Dia pun menatap tiga orang itu bergantian. "Saya titipkan dia pada Anda sekalian. Mohon bantulah dia."

Wulan membuka senyum. "Baik pak. Percayakan pada saya. Saya telah menangkap niat tulusnya. Akan saya bantu Mahesa sebisa saya."

"Tapi pak," Indra menyela pembicaraan. " Bisa jadi nanti bapak akan dipanggil ke persidangan sebagai saksi jika kasus Mahesa mulai diusut."

Sejenak Pak Abdullah manggut-manggut. "Ah tentu saja, sewaktu-waktu, saya siap pak," balasnya.

Tak lama mereka bercakap-cakap di tempat parkir, di belakang gedung polda metrojaya. Tentu saja mereka harus mengasingkan diri dari ramai pewarta di depan. Dengan menaiki Ford hitam berlabel polri, Pak Abdullah pun pergi. Turut bersamanya, dua buah van dan beberapa petugas bermotor, bertugas melindungi.

Rencananya penjagaan penuh selama perjalanan, akan diberikan di Jakarta dan Jogja. Tak tanggung-tanggung, pasukan khusus bersenjata lengkap, dikerahkan untuk misi pengawalan. Karena Teguh tau, kepolisian juga tau, siapa para penjahat lawannya. Selain itu mereka juga terikat dengan salah satu permintaan Mahesa agar melindungi Pak Abdullah.

Namun nyatanya, Red Rose lebih dari sekedar yang mereka perkirakan. Red Rose lebih dari standar penjahat ataupun teroris di otak kepolisian saat ini.

Pada akhirnya semuanya usai di tengah jalan tol Prof. Sediatmo. Pak Abdullah, beserta sekelompok pasukan pengawal, tewas seketika. Yang tersisa hanya mayat-mayat dan kendaraan hancur berkobar api.

***

"Lalu apa gunanya semua ini? Coba katakan, apa gunanya yang aku lakukan sekarang? Nyatanya kalian sendiri tidak becus!" Mahesa yang tangguh pun berduka. Wajahnya menuntut pada Wulan di seberang, sambil mengacungkan tangan berlilit rantai. "Aku telah percaya pada kalian. Aku rela melepas kebebasanku. Tapi apa ini?" Pria itu memelas. Matanya mengungkap beribu kecewa sambil terisak.

"Kami telah berusaha tapi.. Mereka.." Wulan berujar sambil terbata. Namun sebuah alasan tak terbersit di kepalanya. Mulutnya pun kembali membisu. "Maaf.. Maafkan saya.. Maaf," katanya sambil menunduk dan terisak.

"Apa ini artinya yang aku lalukan sia-sia belaka?" Mahesa mengeluh sendiri. Suaranya pun sudah merendah. "Lagi, aku gagal menyelamatkan nyawa. Bahkan keluagaku."

Wulan pun mencapai batasnya. Dia segera melangkah pergi, meninggalkan Mahesa yang sedang merana. Di sepanjang langkahnya, peluh air mata juga tak kunjung mengering.

***

Sudah melewati tengah malam. Jalanan jakarta pun kini sudah sepi. Truk itu menepi di depan gedung Badan Inteligen.

"Malam Pak Sulton" sapa seorang pria pada pria yang sedang berdiri di depan pintu lift. Dia merupakan salah seorang interogator Mahesa siang tadi. "Anda kelihatan kurang sehat?"

"Ndak tau juga Pak Udin. Sejak dari luar beli kopi, ini badan tiba-tiba sangat capek."

"Ah bapak terlalu memaksa pak. Sebaiknya malam ini segera pulang saja dulu untuk jaga kesehatan."

"Tenang saja..." tiba-tiba dia terbatuk-terbatuk. Asap putih itu meletup di mulutnya, di setiap batuknya.

Udin pun segera mendekat, memastikan Sulton yang tampak kewalahan. "Pak? Bapak tidak apa-apa?"

"Haus.." ucapnya sambil memegangi leher. Wajah Sulton menjadi sangat pucat dan mulai gelap.

"Tolong! Tolong!"

Beberapa orang bergegas menghampiri. Diantaranya para petugas polisi yang tadi sedang berjaga di sudut-sudut gedung.

Wulan baru saja memasuki ruangan. Matanya masih tampak sembab tapi sudah tak berair. Dia terkejut saat seorang pria berlari terburu-buru, berpapasan dengannya. "Eh ada apa?"

"Katanya Pak Sulton sakit aneh di lantai dua Bu," kata seorang perempuan yang duduk tak jauh darinya berada.

"Sakit aneh?"

Orang-orang berkerumun, memandangi Sulton yang sedang kejang. Matanya melotot sambil memegangi lehernya. Suaranya pun tak henti meronta. Samar-samar asap putih itu masih menyembul dari mulutnya.

Aaaaarrrgh! Teriak kencang Sulton menggugah dan tak lama Duar! Tubuh Sulton meledak hebat.

Gadung menjadi gaduh. Sirine meramaikan keheningan, diikuti siraman sistem pemadam di langit-langit gedung.

Wulan seketika berjongkok saat terjadi ledakan. Pandangannya ditebar, memastikan keadaan. Dia berdiri dan bergegas meraih komunikasi radio di meja. "Tim! Laporkan apa yang sudah terjadi!"

Sedangkan beberapa orang, termasuk para petugas polisi yang berjaga di luar gedung pun, bergegas, berlarian ke dalam gedung.

Pagar besi itu diterjang truk hingga terpental. Lusinan pasukan bersenjata lengkap, meluber dari bak belakang. Mereka sigap menembakkan pelornya membabi buta.

Para petugas yang berjaga banyak yang tumbang. Mereka lalai saat perhatiannya teralihkan pada ledakan di lantai dua.

"Bunuh Mahesa dan Jeremiah!" Teriak Mile sang pemimpin operasi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top