4 sekawan


Mereka berkerumun, riuh. Puluhan kamera handphone, berjejer, mengabadikan momen gaduh yang baru saja terjadi. Sebuah box telepon umum berwarna merah, hancur berantakan, bercerai-berai. Serpihan kacanya menabur jalanan dan trotoar, akibat terjangan sosok manusia sesaat lalu. Dan sekarang dia masih tersungkur diam di atas aspal, rambutnya terburai, beralaskan darah.

***

"Irwansyah!"

"Siap!" jawabnya lantang. Pemuda berambut cepak, sedang berdiri tegak di siang yang menyengat. Dia sedang berbaris rapi bersama para pria muda lainnya, bertelanjang dada, berjemur matahari. Disekeliling mereka, beberapa pria berseragam hijau loreng, berdiri mengawasi. Hari itu adalah permulaan langkahnya, menjadi seorang prajurit. Yang selalu diimpikan sejak dulu, cita-cita yang sudah menjangkiti menahun.

Dia terlahir dari keluarga yang seadanya. Dari sepasang buruh tani miskin di Banyuwangi, di ujung paling timur pulau jawa. Irwansyah tidak pernah berpaling dari takdirnya. Sepulang sekolah, mencari pakan ternak untuk kambingnya, menjadi pekerjaan tetap sehari-hari. Kadang ikut membajak sawah, bersama ayahnya. Alam telah menempa fisik dan mentalnya. Menjadikannya sosok yang kuat dan tangguh sejak dini.

Ilyas kakaknya, merupakan pahlawan dan ispirasi bagi pemuda itu. Fotonya selalu terpampang, menempel di dinding ruang tamu, dengan bingkai sederhana. Hampir setiap hari, Irwansyah selalu menyempatkan, memandang hormat, sambil mengingat rekaman kebersamaan mereka. Walaupun sudah tak ada lagi di dunia. Kakaknya adalah figur dibalik hidup Irwansyah sekeluarga selama ini. Tentu saja berkat dana asuranasi dan tunjangan dari Dinas Pertahanan. Karena dia, bocah itu mampu merasakan pendidikan hingga sekolah menegah. Karenanya pula sekarang bisa berdiri gagah, menjalani pelatihan di Akademi Militer sebagai seorang taruna.

Perjuangannya berat, penuh dengan peluh keringat. Berlari, berguling, merayap, merupakan segelintir dari sekian banyak menu latihan yang harus diemban. Seminggu pertama, badan remaja itu menjadi ngilu, pegal, remuk redam disertai beberapa luka lecet di badan. Namun itu tidak selamanya. Saat jiwa dan raganya sudah menyatu dengan kerasnya penggemblengan, penderitaan itu pun menjadi ringan seperti bernafas.

Udara pagi terasa dingin seperti biasanya. Hangat matahari pun demikian tak berbeda. Tapi tetap hari ini memang spesial. Sudah empat minggu lamanya, sejak pertama datang, mereka terkurung di dalam area tempat pendidikan. Itu merupakan kebijakan akademi untuk siswa baru. Dan hari ini, akhirnya kesempatan itu diberikan, untuk kembali menyapa dunia luar. Tidak dengan bebas tentunya, tetap sambil menerima pelatihan berat dari para intruktur yang ganas dan bermuka bengis.

Brok.. Brok.. Brok.. Suara kompak gebrak sepatu itu mengagetkan orang-orang. Nyanyian yel-yel serempak, riuh ramai, menarik pandang warga yang lewat. Para calon tentara itu, berlari dengan gagah dan tanpa terlihat lelah, walau brselimut keringat di seluruh badan. Irwansyah pun demikian, masih terlihat semangat dan kuat. Fisiknya terlalu gengsi untuk kalah pada godaan capai yang melanda. Apa lagi saat melintas di depan gerbang sekolah menegah yang masih banyak dipenuhi bidadari berseragam pagi itu. Andaikan rel jogging pagi ini berbelok ke arah gerbang, itu khayalannya saat ini.

"Kompi satu! Berhenti gerak!" bagai terambar, perintah itu terdengar mengejutkan. Hati mereka tersentak, terlambat tersadar. Dan kaki pun akhirnya goyah tak berimbang, membuat beberapa Taruna terjerembab, tumpang-tindih.

"Kampret. Asem tenan kowe Gus? mambu!" gerutu Abdi yang baru saja mendaratkan mukanya ke pantat yang gembul.

Gustar cengengesan mendengarnya, "Maaf Bro, Aku kentut. Ga sengaja, sumpah," ucapnya sambil cengar-cengir. Sedangkan beberapa taruna lainnya, terkekeh, ngakak melihatnya.

"Ora! Dasar bokongmu iku seng ga punya sopan!"

"Hus, sudah meneng Jek,"(Hus, sudah diam Jek) bisik Irwansyah sambil menepuk pundak Abdi. "Ntar Instruktur cari gara-gara loh."

"Bener Di," tambah Rano. "Dari pada lo sibuk marah. Tuh nikmatin dulu surga di sebelah."

Empat orang pemuda itu tertegun bersamaan. Pemandangan di gerbang sekolah itu sekarang berbingkai indah. Penuh cahaya keemasan, silau, beserta kelopak bunga beterbangan. Mereka berkhayal kompak, seperti yang diajarkan di akademi, kebersamaan dan kekompakan.

Rambutnya panjang sepunggung. Badannya tinggi, berkulit putih dan bibirnya merah muda. Dia bunga mawar diantara semerbak bunga melati, yang terindah dan tercantik dari semua. Pandangannya yang syahdu menebar pesona pada empat sekawan. Membuat serempak hati mereka berdenyut cepat dari normal. Dia telah merobohkan tembok kokoh kesadaran. Membuat mereka melayang dalam bayang, bersanding dengan dia yang menggoda.

"Dia ngeliat aku Rek," bisik Irwansyah.

"Gundulmu! Aku seng dideloki," (Gundulmu! Aku yang diliati) balas Abdi yang berkulit hitam, pesek dan jangkung. "Secara mek awakku seng paling ngganteng tekan awakmu kabeh kok." (Secara cuma diriku yang paling tampan dari kamu semua kok)

"Kalo ngomong, mikir," timpal Rano sambil jari telunjuk kanannya, mendorong kepala Abdi.

"Ya Allah. Cuantik bener ciptaanmu," puji Gustar. "Andaikan dia menjadi jodohku."

"Jodohmu?" sahut Abdi, "langkahi disek mayite Irwan karo Rano, nek kate ngerebut de'e tekan aku." (langkahi dulu mayat Irwan dan Rano, kalau mau ngerebut dia dari aku)

Rano dan Irwas hanya melirik sinis, melawan perkataan Abdi.

"Taruna! Siap gerak!" bentak kencang itu tiba-tiba terdengar. Itu suara khas Instruktur Sertu Imam Wahyudi. Dia yang terseram dari semua instruktur yang terseram.

Seketika mereka terkejut. Reflek badannya berdiri tegak, pandangan lurus kedepan, masih pada bunga terindah yang masih berdiri membuai di sana. Tentu saja dengan barisan yang tak beraturan. Dan hanya menyisakan mereka berempat saat ini. Sedangkan para taruna lainnya, entah sejak kapan sudah tidak ada di tempat. Maklum masih ada secuil kesadaran yang masih belum kembali. Dan saat mereka tersadar, itu sudah terlambat. Sosok berang di belakangnya, sudah mencekam. Selanjutnya akan menjadi fatal tentunya.

Siang harinya, para taruna sudah kembali ke barak untuk beristirahat sejenak, sebelum memulai kelas. Mereka yang tadinya lelah dan capai, sekarang mulai kembali membangun kebugaran. Ada juga diantaranya yang melakukan ibadah sholat dzuhur. Dan beberapa memanfaatkan waktu untuk memejam sejenak, melepas sadar.

Namun berbeda dengan empat sekawan. Irwansyah, Rano, Gustar dan Abdi, siang itu masih berjalan jongkok keliling lapangan dengan dada telanjang, sambil tangannya memegang sepiring nasi dan mulutnya mengunyah. Inilah hukuman special dari Sertu Imam untuk empat pemuda yang lalai. Dan sebenarnya ini bukanlah hukuman yang berat seperti sebelumnya. Mungkin Seru Imam mengerti kuasa gejolak cinta yang melanda mereka.

Di dalam kepalanya, bayangan gadis itu masih melambai-lambai. Masih belum ada dari mereka yang bisa melupakannya. Walau berkeringat dan kepanasan menjalani hukuman tapi kepalanya tak juga lelah teringat. Harus bisa bertemu lagi, pikir mereka sambil matanya saling lirik bergiliran, sendiri, lanjutnya.

***

Akademi telah menyampaikan bahwa setiap hari sabtu dan minggu adalah hari pesiar. Hari dimana para taruna diperbolehkan untuk berpesiar keluar dari gedung pendidikan. Mereka bebas mau pergi kemanapun, walau pulang sekalipun. Yang terpenting minggu malam, jam sepuluh, sudah berada di barak masing-masing. Tentu saja saat mendengar kabar itu, para taruna gembira ria. Tak terkecuali empat pemuda yang sedang dimabuk cinta, langsung berpikiran indah, menjelajah.

Kebanyakan dari mereka sudah merencanakan, memanfaatkan hari pesiar untuk pulang, bertemu keluarga masing-masing. Tapi tak sedikit yang ingin berhura-hura, menikmati malam minggu di keramaian kota. Pagi itu, Irwansyah yang memulainya. Dia yang paling pagi lenyap, dengan penampilan terganteng tentunya. Gerbang terbuka bebas, penjaga juga diam tersenyum. Berkemeja putih, rapih dan celana hitam, dia berjalan dengan gontai, melangkah melewati gerbang dengan senang dan berbunga.

Abdi masih bersarung handuk, cengar-cengir sendiri di depan cermin. Tangannya berkali mengelus, menata rambut yang cepak tak seberapa. Bayangannya terlampau jauh, menyamakan mukanya dengan Elvis Presley. "Hai. Bapak kamu Polisi ya? Kok tau? Iya, mau laporin anaknya yang sudah mencuri hatiku,"ungkanya pada bayang di cermin, berlanjut ketawa-ketiwi sendiri. Gustar yang lewat di belakangnya pun nyengir jijik.

"Eh mana si Irwan?" tanya Rano. Mukanya masih kucel, baru saja bangun tidur.

"Itu Bocahe masih tidur," jawab Abdi. Mukanya masih tak berpaling dari cermin.

Gustar jalan bergegas. "Dasar bocah goblok, hari bebas malah malas-malasan," gerutunya. Dia sudah di samping ranjang Irwan. "Woi bangun-bangun!" bentaknya sambil menepuk-nepuk. Gustar tersadar, ada yang aneh. Tangannya meraba lalu menarik selimut. Matanya terbelalak, tidak ada sosok Irwan, selain beberapa tas yang tersusun. Matanya segera melirik pada Rano. "Gawat , gencatan senjata sudah dilanggar Bro," ucapnya.

Tiga pemuda itu diam sesaat, bermandangan lalu seketika berlarian tanpa komando. Mereka mondar-mandir, hilir-mudik, mempersiapkan perlengkapan perang, guna memperebutkan cinta.

Matahari masih samar-samar saat Irwansyah tiba di gerbang surga itu. Sekarang suasananya berubah, tidak terbayang indah lagi tanpa sang bidadari ayu. Berkali jam tangan dilirik, berkali menghitung waktu yang seakan melambat. Yang berlawanan dengan hatinya yang ingin segera bertemu. Setangkai mawar sudah tergenggam, lengkap dengan bungkus plastic dan pita kuning. Dia tersembunyi di belakang punggungnya.

Satu-persatu mereka berdatangan. Para siswa berseragam itu, berkali melirik Irwansyah yang berdiri. Otak mereka menerka aneh pada pria tegap, berambut cepak, yang berpakaian rapi, baju dimasukkan, mirip sales panci.

Perlahan tempatnya mulai ramai. Para remaja berseragam berseliweran dan Irwan tidak melepas pandang, melirik kanan-kiri, mencari gadis incaran. Sedangkan jauh dari Irwan berdiri, sebuah angkot berhenti mendadak. Beberapa sepatu boot turun bergegas, "Itu Gus bocahe!" ucap Abdi. Mereka segera bergegas melangkah.

"Woi Jang!" panggilan itu terdengar, seketika langkah mereka terhenti. "Bayar dulu atuh," kata supir angkot sambil melambai-lambai tangannya.

Mereka sebentar kebingungan, tak lama Abdi pun mendekat, memberikan beberapa lembar. "Ini Mas, ngapuro yo Mas," ucapnya sambil mengangguk-angguk. Angkot itu pun pergi, meninggalkan mereka. Dan tiga taruna itu melanjutkan jalannya, menghampiri Irwansyah yang tampak di sana.

Irwan merinding, badannya bergetar karena kehadiran tiga sosok yang mengelilingi. "Kita sudah sepakat loh Wan. Daripada kawatir persahabatan kita runtuh, mending jauhi cewek itu. Ya toh?" tegur Abdi.

"Lo sialan Bro, musuh dalam barak," ujar Rano.

"Dalam selimut Ran?" balas Irwan pelan.

"Ah ga. Dalam barak, pokoknya. Soalnya lo musuh bareng kita-kita. Menyerang dalam keheningan. Menusuk dari belakang. Lempar granat sembunyi tangan."

"Ah, lebay kamu Ran," timpal Gustar sambil melirik.

Sebuah mobil kijang merah maron berhenti. Rambutnya menjuntai, berkibar terhembus angina. Kulitnya yang putih, tampak terang terpapar matahari yang sudah sedikit meninggi. Dan mata itu, yang anggun, lugu menggoda terlihat lagi. Bidadari yang dinanti-nanti baru saja turun dari kereta kencana berbentuk Kijang jadul, sedikit karatan di sisinya.

Ditengah-tengah ceramah tiga keparat, "Itu!" serunya singkat namun mematikan, sambil mengacungkan telunjuknya. Irwan berhasil lepas dari ruang intimidasi. Tiga pemuda lainnya pun bergegas berpaling. Selanjutnya mereka serempak mematung, juga Irwan. Melihat dia sang jelita, melangkah anggun, mendekat, sambil rambut panjangnya yang tak henti berayun.

Mungkin dimensi waktu di mata para pemuda yang sedang terlena cinta, memang menjadi melambat. Langkah gadis bunga itu seakan-akan, menjadi slow motion, slow.. slow... Dan bingkai itu, bersama cahaya terang kemasan dan taburan kelopak mawar muncul kembali. Mereka lagi-lagi tersihir dalam khayalan, terhempas rasa indah di dada. Saat dia sudah mendekat, Abdi pun tak sanggup bertahan.

"Wes gencatan senjata buyar!" serunya. Dia bergegas berlari, memotong jalan sang malaikat cantik. "Ha.. Hai," sapanya. Gadis itu terkejut, dahinya pun berkerut.

Melihat Abdi yang sigap, yang lain pun bergegas, tak tinggal diam. Mereka akhirnya mengerubungi Sang Mawar, dengan wajah yang cengengesan dan cengar-cengir. "Hai.. Hai," sapanya berganatian. Namun wajah gadis itu semakin tampak tertekan.

"Hai, ini buat kamu," ujar Irwan sambil memberikan bunga mawar yang patah tangkainya. Dan tiga orang lainnya pun melirik, sinis. "Kenalin namaku Irwansyah." Tapi gadis itu hanya diam. Dia membeku ketakutan, dalam hadangan empat wajah asing yang cengengesan.

Rano menyenggol Irwan hingga bergoyang tak seimbang. "Aku Rano," tangannya mengacung, berniat bersalaman. Dan lagi gadis itu diam tanpa respon.

"Kalian siapa sih. Mau ngapain?" Dia terlihat menjadi semakin gusar.

Di sebelah Rano, Gustar hanya diam mematung. Mulutnya terkunci tak mampu berucap apapun, kaku terpaku pada yang terindah. Maklum saja, Gustas itu no women no cry - with women will die. Wanita ibarat batu kripton buatnya. Itu makhluk yang mampu membuatnya diam membatu tanpa kata. Kecuali yang seumuran ibu-ibu dan nenek-nenek, itu ga berefek.

Abdi seakan tak terima dengan serangan kedua temannya. Bergegas dia merogoh sakunya, lalu menjulurkan sebuah kotak hitam yang terbuka. Di tengahnya mencuat sebuah arloji indah, keemasan, diikuti pandangan sebal teman-temannya.

"Kampret, kowe sendiri juga ternyata sudah niat," sindir Irwan.

Abdi tidak menggubris. "Bbbb... Bapak.. Bab.. Bapak kamu Pp.. Polisi ya?" Dia mencoba merayu, seperti trial sebelumnya.

"Bukan.. Tentara," jawab Gadis itu dengan suara indahnya yang membuat para pria semakin melunglai.

"Taruna! Siap grak!" suara itu tiba-tiba terdengar. Para pemuda itu pun tersentak, menjadi kaku dengan badan tegap berdiri. Langkah itu terdengar semakin mendekat dan semakin dekat. Walau hanya langkah namun sepertinya tak asing. "hadap kanan grak!"

Mereka serentak memaling dan sosok sangar itu berdiri murka. Dia Sertu Imam yang berwajah bengis, sekarang terlihat teramat sangat bengis dan seram dari sebelumnya.

"Ayah," panggil gadis itu. Diikuti empat sekawan yang tampak terkejut sambil menelan ludah.

Mendengarnya, hati para pemuda menjadi bergetar tak karuan. Bergetar karena ngeri dan seram, imajinasi dan hayalannya pun lebur. Bahagia yang tadi menyapa, berubah menjadi petaka yang akan segera menimpa.

"Lencang kanan grak!" para pemuda segera bergerak, berbaris kemudian menjulurkan tangan kanannya. "Tegap grak!" kemudian suasana hening sesaat. Gadis cantik yang tadi diam, terdengar melangkah, meninggalkan medan. Tersisa pria bermata seram yang siap menjatuhkan hukuman. "Posisi Push Up!" bergegas para mereka tengkurap. "Berikan Saya seratus Push Up, mulai!"

Sambil berhitung serempak, mereka bergerak naik turun, berkali-kali. Peluh mengalir bertetesan silih-berganti, menemani raga yang sedang sengsara. Dari balik gerbang sang mawar masih berdiri memandang mereka yang sedang merana, di dalam siksaan sang ayah. Tak ayal dia pun meluap ketawa. Tentu saja di sebelahnya, berbondong siswa lainnya berkerumun, turut menikmati tontonan.

Maaf, kali ini Saya ingin cerita yang sedikit refresh.. Semoga, meski tanpa laga, tetap bisa menghibur para pembaca.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top