Piye?
Vote dulu tukhooon. Mulmed random ya
.
.
.
.
.
Sebelum keluar kamar, Jaki terus meyakinkan dirinya kalau ia bisa terlihat baik-baik saja di mata semua keluarganya. Tolong, Jaki sedang berusaha terlihat dewasa kali ini. Hari libur biasanya adalah hari paling menyenangkan baginya. Namun, kali ini rasanya lebih berat karena ia harus menahan perasaan galaunya mati-matian.
"Wih, tumben keluar sarapan udah mandi, nyet?" sapa Tri yang sudah duduk lesehan dengan tidak sopannya sambil memakan bawang goreng yang berhasil ia curi dari dapur selagi Cista memasak.
"Bang, ngapain sih ngegembel kayak gitu? Lagian ya, gadoin bawang goreng kayak gitu nanti bisulan, ye." Entah, teori dari mana yang anak bungsu Cista itu bawa.
"Gak usah ngadi-ngadi ah. Dah, jangan berisik. Mau ngopi gak?" tawar Tri yang menyodorkan cangkir kopi yang masih mengepul ini.
Jaki tentu saja menolak. Lagi pula, sejak kapan Jaki suka kopi? Ah, salah. Sejak kapan Tri suka kopi? Apalagi, pagi hari seperti ini. Sudah seperti Toro saja.
"Yeu. Enak tau, Jak. Cobain, kuy!" Tri menirukan gaya bintang iklan kopi yang tengah naik daun itu.
"Bang, lo kagak di endorse, jangan sok ngiklan deh."
Jaki mendelik sebal ke arah Tri yang sedang tertawa melihat ekspresi Jaki. Sepertinya, Jaki ingat kenapa Tri tiba-tiba saja suka kopi. Abangnya itu pernah dengan percaya dirinya mengatakan kalau dirinya mirip dengan bintang iklan kopi tersebut. Cih, mirip bungkus kopinya iya. Kadang, tingkat percaya diri Tri yang di luar batas itu membuat Jaki mual.
"Bang, kurang-kurangin deh! Awas, gue mau ke meja makan aja. Ngalangin jalan banget!"
"Jalan masih lapang juga dih! Anak siapa sih lo? Nyebelin banget!" balas Tri tak kalah sengit.
"Anak Emak. Kenapa?!" teriak Cista dari arah dapur yang berhasil membungkam mulut Tri.
Kalau orang lain, bertengkar bisa memperburuk mood, lain cerita dengan Jaki. Bertengkar dengan kakak-kakaknya malah membuat moodnya semakin membaik. Bagaimana tidak? Setelah itu, mereka akan melakukan hal-hal seru, seperti saling melempar bantal sofa atau main kejar-kejaran di dalam rumah dan akan berakhir dengan jeweran pedas dari Cista.
Rutinitas sarapan keluarganya tak jauh dari biasanya. Hanya saja, karena hari ini libur, maka waktu sarapan menjadi lebih lama. Jaki masih sibuk berebut ceker ayam dengan Jaylani, kakak sulungnya. Sampai ia tak sadar kalau Tri dengan isengnya memasukkan banyak sambal ke mangkuk sop milik Jaki.
"Haaah... Pedes! Haaah!" Jaki mengipas-ngipas tangannya di depan mulut setelah meyantap kuah sopnya.
"Tri! Abis makan temui Emak."
Habislah kau kisanak! Rupanya, kejahilannya terekam jelas dalam pandangan tajam seorang Cista.
"Nah loh, Tri. Mampus!" bisik Fariz dengan sifat kompor seperti biasa.
"Nih, Jak. Tuker sama sop Emak aja, belum Emak kasih sambal, kok."
Keenam kakaknya sontak melotot tak percaya. Memandang sayang ke mangkuk sop Cista yang masih penuh dan ditukar dengan mangkuk sop Jaki yang hampir habis. Menyisakan satu ceker yang berhasil ia dapatkan dari pertarungannya dengan Jaylani.
"Lanjut makan. Yang masih bengong cuci piring!" Bentakan Cista langsung membuat semuanya kembali makan meski sesekali melirik Jaki yang mujur pagi ini.
Sedangkan Toro tak ingin ikut campur masalah pagi ini. Bisa-bisa, ia lagi yang kena imbas karena memisahkan pertengkaran anaknya dan berakhir dengan mencuci semua piring dengan ancaman tak tidur di kamar kalau membantah.
Walaupun terkadang semua keinginannya harus dituruti, tapi Jaki bukan anak yang tega pada kakak-kakaknya. Buktinya, sekarang ia tengah membantu Tri mengeringkan perabot yang selesai dicuci oleh kakaknya itu. Ya, hitung-hitung membayar bonusnya karena hampir mendapat dua mangkuk sop ayam untuk sarapan.
"Jak, kalo mules-mules, bilang gue, ya."
"Tadi baru nyampe mulut, Bang. Untung gak banyak," sahut Jaki.
Anak itu memang tak terlalu bisa bertoleransi dengan makanan yang terlalu pedas. Mungkin, kalau sedikit tak masalah. Tetapi, untuk ukuran sambal yang Tri masukkan tadi sepertinya terlalu banyak.
"Maaf, ya. Gue iseng doang beneran."
"Jaki tau. Ya kali, Bang Tri niat nyelakain adiknya yang imut nan lucu ini?"
"Kalo ini bener minta gue ceburin ke empang pak Tarji!"
Lalu keduanya tertawa sampai tak terasa kalau kegiatan mencuci piringnya sudah selesai.
Jaki masih punya beberapa daftar kesibukan yang harus ia lakukan seharian ini. Pokoknya, ia harus sibuk dan tidak boleh bengong sendirian. Ia tidak mau berpikir yang tidak-tidak lagi. Anak lelaki itu memilih merecoki kamar Jamyla. Kamar kakak perempuan satu-satunya itu memang paling nyaman di antara kamar kakak lelakinya. Jaki bisa berbaring di kasur empuk Jamyla yang penuh dengan sally.
Namun, sayang sungguh sayang. Jamyla tak ingin diganggu. Saat itu, Jamyla sedang meringkuk di atas ranjangnya sambil memegangi perutnya. Sudah dipastikan kalau ia sedang dalam fase datang bulan. Jaki mengurungkan niatnya dan kembali ke ruang keluarga. Masa, ia harus mengajak bapaknya main catur? Itu lebih membosankan dari apapun.
"Assalamualaikum. Punten, gopud!"
"Assalamualaikum. Paket!"
"Paket apa gopud sih pagi-pagi gini?" gerutu Cista yang dengan terpaksa menghentikan kegiatan menjemur pakaiannya.
"Pagi, Tante. Apa benar ini rumah Jaki?"
Cista menghela napas sebelum menjawab pertanyaan dua pemuda yang berdiri di depan pagar rumahnya. Ternyata, anak iseng ini yang membuat keributan di depan rumahnya.
"Mujaki? Yang kuliah di UWU? Kalo itu yang kalian cari, benar. Soalnya, dari ujung gang kompleks ini, banyak yang namanya Jaki," cerocos Cista.
"Bener, Tan. Kita berdua temen kampusnya Jaki. Apa Jakinya ada di rumah?"
"Ada, masuk dulu, gih. Tante mau kelarin jemur dulu." Ucapan Cista lebih terdengar seperti suruhan daripada mempersilakan.
"Makasih, Tante."
Karena mendengar keributan di depan, Jaki pun beranjak dari duduknya dan melihat dua orang yang sangat dikenalnya tengah duduk di ruang tamu.
"Anyu? Bagus? Ngapain kalian di sini?"
"Ada temen nyamper malah ditanya gitu! Gak sopan!" sembur Cista yang entah sejak kapan sudah selesai menjemur dan kini membawa nampan berisi air berwarna tapi bukan menggunakan pewarna tekstil.
"Jak, kita mau ngajak lo keluar. Yuk!"
"Gue izin emak dulu. Kalo boleh ya gue ikut."
Anyu dan Bagus manggut-manggut saja dan memilih menikmati camilan yang ada di meja sambil menunggu Jaki yang tengah meminta izin pada Cista.
Tak berselang lama, Jaki kembali dan mengajak kedua temannya itu untuk segera bergegas. Padahal, mereka masih dengan antengnya menikmati kue kering yang tertata di meja.
"Mobil lo baru, Nyu? Widih!" komentar Jaki saat melihat mobil kinclong yang terparkir di luar rumahnya.
"Mobil si Bagus. Nyusahin aja dia! Kagak bisa nyetir tapi mau pake mobilnya. Ya udah, gue mesti ke rumahnya dulu naik ojek."
Jaki hanya terkikik mendengar penjelasan Anyu. Ia sendiri tidak tahu akan ke mana tujuan mereka pergi. Pasalnya, mereka memang tidak ada rencana pergi sama sekali sebelumnya.
"Jak, ini kafe baru katanya bagus," ucap Anyu saat mereka tiba di parkiran kafe itu. Jaki hanya menurut.
Memang, setelag mereka masuk, suasananya cukup menyenangkan. Beberapa tanaman hias tertata rapi di sudut ruangan dan seni mural yang memenuhi dinding. Jaki hampir lupa kalau ia pergi bertiga sampai akhirnya mengedarkan pandangan untuk mencari Anyu dan Bagus. Namun, kedua teman bangsulnya itu tidak ditemukan.
Ia tidak mungkin berteriak mencari mereka. Bisa hilang muka kalau sampai melakukannya. Karena sudah terlanjur, ia memilih mencari tempat duduk yang nyaman. Lihat saja, besok ia akan buat perhitungan dengan Anyu dan Bagus. Belagak buat perhitungan, padahal matematika saja di remedial.
"Jaki."
Suara itu sontak membuat Jaki membeku di tempatnya. Ia tak berani menoleh ke sumber suara.
"Jak, jangan kabur-kabur lagi, ya. Aku mau jelasin."
Siapa yang tahan jika sudah ditatap lembut seperti ini? Jaki saja hampir pingsan dan dengan sisa tenaganya, ia mengangguk.
Ciluuuk ba 🙈
Ayo tebaaaak! Kabar baik apa kabar buruk nih?
#SalamKetjupBasyah 😘💦
#authorterjomlosedunia
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top